Bab 14 THE CONSUMERS of ART
Bab 14 THE CONSUMERS of ART
kaum borjuis yang teremansipasi dan pusat finansial yang utama – yang
diekspresikan dalam kategori-kategori produksi dan resepsi seni – adalah
seniman yang membuang karyanya sendiri, pasar seni yang bebas,
produser yang tidak lagi terpaksa melaksanakan komisi-komisi langsung,
serta kolektor yang memilih secara spontan dari apa yang tersedia pada
saat tertentu.
Kita tidak bisa membicarakan masyarakat umum sebagai suatu
subjek reseptif yang bersifat kolektif, sama seperti kita tidak bisa
membicarakan sekelompok orang kreatif sebagai kelompok yang bersifat
kolektif. Seperti selalu terjadi, hanya orang-orang produktif tertentu yang
dapat dikenali, begitu juga hanya orang-orang secara terpisah yang dapat
mengalami (merasakan) karya-karya seni, tanpa menghiraukan seberapa
erat mereka terikat, seberapa cepat mereka saling menstimulasi,
menyisihkan inisiatif orang lain, atau saling mewakili dan menggantikan
satu sama lain. Dengan kata lain, sebuah karya seni dirasakan oleh setiap
orang dengan caranya sendiri, walaupun pengumpulan banyak orang
sebagai penonton yang padat bisa menghasilkan semacam infeksi
psikologis dan reaksi yang kurang lebih sama. Penyangkalan terhadap
prinsip inisiatif kolektif belum tentu berarti bahwa reaksi seseorang
terhadap pengaruh seni tidak dipengaruhi oleh sifat dasar kelompok di
mana ia merupakan salah satu anggotanya. Konsep mengenai masyarakat
umum sebagai suatu kesatuan yang aktif secara intelektual memang hanya
merupakan suatu hipotesa, yang tidak menyatakan diri secara jelas dan
tetap menjadi cara berpikir yang fiktif dan dapat direduksi menjadi kategori
numerik; walaupun demikian, terdapat kelompok-kelompok masyarakat
berdasarkan konstitusi di mana pengalaman artistik seseorang bisa
berbeda atau sama dengan orang lain. Tidak masalah betapa tidak jelas
konsep “masyarakat umum”, setiap kategori masyarakat memiliki
4
perbedaan yang tajam. Pada jaman dulu, tidak pernah ada seni yang
terpadu karena tidak pernah ada masyarakat yang terpadu, dan karena
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda mengkondisikan bentuk-
bentuk seni tertentu yang secara idologis dan secara sengaja tidak dapat
dipertemukan dan memiliki perbedaan makna dan nilai, kompleksitas dan
kehalusan.
Kelompok-kelompok masyarakat yang dapat diuraikan secara tidak
ambigu berhubungan dengan strata budaya tertentu dan di dalam strata
tersebut berhubungan dengan kelompok-kelompok yang berbeda dan
memiliki ideologi yang berbeda. Namun, tidak ada satu jenis kesenian, baik
kesenian tinggi, populer, atau populis, yang memiliki pengikut yang
bersifat homogen. Seperti kesenian tinggi milik kelompok budaya yang elit,
yang sampai tingkat tertentu dan dalam arti tertentu bersifat “tinggi”, dan
kesenian popular, yang dalam cara berbeda bersifat “rata-rata”, maka
masyarakat di setiap tingkat/strata terdiri dari unsur-unsur yang tidak
hanya secara individu cukup jauh dari ideal artistik strata budaya mereka,
melainkan juga secara keseluruhan terpisah dari masyarakat pendukung
seni dalam strata lain oleh batas-batas yang tidak pasti. Garis besar yang
bersifat fleksibel adalah ciri khas dari semua kelompok sosial dan juga
merupakan ciri khas setiap masyarakat yang terstratifikasi dan tersusun
berdasarkan golongan dan tingkat. Mobilitas sosial, kenaikan dari strata
tertentu ke strata yang lebih tinggi, tidak menghadapi perlawanan yang
besar dalam bidang budaya, dibandingkan dengan bidang ekonomi dan
politik, meskipun kenaikan tersebut, pada tangga budaya pun, tetap
memiliki prasyarat dan kondisi ekonomis dan politis. Walaupun demikian,
strata budaya tertentu beserta masyarakat seninya seringkali
mempersatukan individu-individu yang memiliki latarbelakang sosial dan
ekonomi yang cukup berbeda. Sastra dari era Pencerahan Prancis,
5
diam dan sendiri, jauh dari dunia luar. Dalam genre-genre kesenian lain,
terutama teater dan konser, kekuatan pengaruh semakin berkembang
sesuai dengan jumlah penonton. Drama liris (lyrical) karya Hoffmannsthal
atau Maeterlinck, misalnya, yang ditujukan untuk “teater intim” modern,
menimbulkan efek yang mirip dengan membaca secara mendalam, tetapi
aturannya adalah bahwa sugesti/usulan emosional – sebagai salah satu ciri
dari efek massal – menyatakan diri dalam setiap jenis teater dan gedung
konser. Fenomenon yang luar biasa, yaitu bahwa seni teater – dengan
sifatnya yang “demokratis” dan bersandar pada pemerataan emosional
para penonton – menemukan respon semacam ini dalam kalangan istana
pada era “absolutis”, dapat dijelaskan karena persetujuan penonton sudah
ada sejak awal dan tidak perlu diciptakan melalui sugesti/usulan massal.
Perasaan umum yang tumbuh di antara para penonton di Versailles dan
terutama di Atena, dengan meningkatnya jumlah penonton, merupakan
semacam reaksi yang menyertai suatu upacara yang dihadiri oleh banyak
orang, bukan reaksi terhadap sebuah pengalaman artistik. Kekuatan
kohesif dari suatu efek/pengaruh artistik semakin gamblang ketika para
penonton terdiri dari bermacam-macam jenis orang, ketika kondisi semakin
mendekati kondisi yang berlaku di Inggris pada abad Pertengahan atau
jaman Elizabeth. Di sana, penonton sebenarnya merupakan suatu tempat
pencampuran (melting pot) di mana perbedaan-perbedaan golongan dan
tuntutan dari strata-strata budaya yang berbeda cukup mudah dijaga
keseimbangannya dan kriteria selera nampaknya sama, berdasarkan
penyederhanaan dengan mencari “kelipatan persekutuan terkecil” –
seringkali angka yang sangat kecil (*artinya mencari persamaan). Namun,
kemiripan efek/pengaruh tidak pernah berlaku dalam kondisi sosial yang
lebih terdiferensiasi berhubungan dengan seluruh faktor pengalaman, dan
7
cara artistik yang efektif secara universal pun tidak memiliki pengaruh yang
sama kuat bagi semua partisipan.
Penciptaan seni yang otentik dan bermutu selalu hanya bisa
mengandalkan dukungan dari strata masyarakat yang relatif sempit. Dalam
hal ini, karya-karya Shakespeare tidak merupakan pengecualian yang
fundamental, karena efek/pengaruh yang menarik perhatian massa pada
karya-karyanya bukan merupakan bagian karyanya paling berharga. Karya-
karya tersebut memperoleh pengakuan secara universal bukan karena
kualitas artistiknya melainkan justru terlepas dari kualitas artistiknya.
Walaupun demikian, kita boleh mengajukan keberatan dengan
mengatakan bahwa ada beberapa komponen artistik yang menjadikan apa
yang ditawarkan – walaupun secara tidak sadar dan tanpa motivasi –
menarik dan efektif. Karena bukanlah saat-saat di mana kita sadar ketika
menikmati seni yang memainkan peran paling menentukan dalam penilaian
kita terhadap suatu karya. Kesadaran terhadap faktor-faktor efek/pengaruh
artistik hanya memiliki relevansi psikologis. Bagi seorang penikmat seni
yang “naïf” (yaitu normatif), yang mengapresiasi sebuah karya seni dalam
konteks praktis di luar seni, nilai artistik bisa tersembunyi dan tidak terasa
penting: dia bahkan tidak perlu tahu bahwa dia berurusan dengan seni
ketika di bawah pengaruh badan/instansi artistik.
Setiap pengalaman artistik – baik kreatif maupun reseptif – berakar
pada tempat asalnya dan pengaruhnya dalam suatu masyarakat, walaupun
belum tentu dalam kesadaran masyarakat. Sifat-sifat umum pengalaman
seni oleh orang-orang yang berbeda bisa saja tidak ada kaitan dengan
keyakinan bahwa orang-orang tersebut merupakan anggota dari tatanan
sosial atau kelompok sosial yang sama. Dalam masyarakat primitif yang
diatur oleh pemahaman magis atau animism, batasan sosial dari suatu
pengalaman artistik bisa lebih kuat daripada dalam struktur sosial yang
8
pada hubungan antara dua orang ditandai dengan kenyataan bahwa dua
hal tidak ada: yaitu ikatan penguat yang dihasilkan oleh pihak ketiga atau
suatu kerangka social yang melampaui kedua-duanya, dan kekacauan
serta pengalihan dari hubungan timbal balik yang bersifat dewasa dan
langsung.”
Hubungan di antara “saya” dan “anda,” kecuali kedua belah pihak
saling acuh tak acuh, dicirikan dengan suatu jurang perbedaan yang tidak
dapat dijembatani atau suatu kedekatan yang sama sekali tanpa
ketegangan. Hubungan ini hanya semakin ramai/hidup ketik pihak ketiga
diperkenalkan, karena jarak di antara masing-masing pihak bisa semakin
besar atau semakin kecil. Dalam hubungannya dengan masyarakat umum,
seorang seniman selalu mencari tepukan tangan dan pengakuan, terutama
dukungan oleh unsur-unsur bebas yang pada awalnya tidak mengambil
posisi tertentu dan memainkan peran sebagai pihak ketiga dalam
persekutuan ini dan persetujuan/restu mereka dapat dimenangkan atau
justru dapat hilang. Peran ini yang tanpa komitmen pribadi namun harus
dimainkan, walaupun bisa mengandung berbagai asumsi individu,
mencirikan sifat dari seorang penerima/penikmat mandiri untuk membuat
pilihan yang bebas dan keputusan tanpa berprasangka/berpihak.
Tentu saja, tiga orang saja tidak membentuk suatu kelompok social
yang praktis dan dapat disebut sebagai penonton (audience). Tetapi
perbedaan antara dua orang dan tiga orang menyangkut perubahan paling
esensial dalam susunan mereka dan dalam hubungan internal para
anggota. Orang ketiga bisa membentuk suatu ikatan yang menguatkan,
atau pembatas yang menyebabkan jarak di antara kedua orang lain. Ini
bisa mengancam keakraban dalam hubungan ini tetapi juga bisa
mengakibatkan suatu pengertian ketika ada ancaman perselisihan.
Bagaimanapun, sekelompok penonton yang akan menghasilkan suatu
11
membaca buku secara pribadi ketika ada kesempatan. Pada awal abad ke-
12, jenis penulis muncul di wilayah Perancis utara yang dalam banyak hal
sangat mirip dengan penulis modern: dia tidak lagi menulis lagu dan
naratif untuk dipertunjukkan melainkan menulis cerita untuk dibaca. Syair-
syair heroik dulu ditampilkan bagi kaum bangsawan dari militer; epos-epos
kerajaan masih dibacakan untuk kelompok bangsawan, termasuk para
pendeta/menteri; di sisi lain, cerita-cerita cinta dan petualangan yang saat
itu mulai muncul ditujukan secara khusus untuk hiburan dan terutama
untuk wanita. Albert Thibaudet, yang dianggap sebagai pengaruh paling
kuat dalam fungsi baru sastra naratif baru tersebut, menyatakan bahwa
perubahan pada susunan masyarakat pembaca, terutama penambahan
kaum perempuan, merupakan penyebab utama perubahan-perubahan
bentuk yang terjadi pada sastra Barat. Dia berpendapat bahwa hanya
sekarang, ketika sastra menjadi bahan bacaan, kesenangan berubah
menjadi kegemaran, di mana sejak saat itu kita tidak pernah berhenti
terpikat. Kebiasaan membaca sudah berubah menjadi kebutuhan sehari-
hari dan kegemaran yang tidak lagi dikaitkan dengan festival melainkan
kegiatan yang dapat dilakukan setiap saat. Dengan demikian, sastra
kehilangan sisa-sisa terakhir sifatnya yang sakral dan penuh mitos, dan
tidak lagi membutuhkan secara mutlak penipuan diri yang sadar: sastra
menjadi “fiksi” yang murni dan tanpa perhiasan, suatu ciptaan yang tidak
harus kita percayai untuk merasa terpikat.
Berbeda dengan resitasi, membaca mengkondisikan teknik naratif
yang baru dan mengizinkan penggunaan efek-efek khusus yang
sebelumnya bisa dikatakan belum dikenal. Karya-karya yang dimaksudkan
untuk dinyanyikan atau dideklamasikan biasanya menggunakan penjajaran
sebagai cara komposisi; tersusun dari bagian-bagian dan episode-episode
terpisah yang kurang lebih bersifat independen. Suatu pertunjukan dapat
16
Tunjangan yang diterima oleh Louis XIV mulai menyusut menjelang akhir
dari kekuasaan sang raja, dan akademi terpaksa menggantikan
kekurangan dukungan sang raja dengan cara menarik perhatian
masyarakat yang lebih luas. Du Bos menyimpulkan, berdasarkan pikiran
Roger de Piles, bahwa seni perlu “menggerakkan”, bukan “mengajari”, dan
bahwa perasaan bukan akal sehat yang memiliki kemampuan untuk
menilai seni. Namun, tidak terelakkan bahwa perasaan menjadi tumpul
pada orang-orang yang selalu peduli tentang hal-hal yang sama,
sedangkan perasaan orang-orang awam dan para amatir tetap segar dan
spontan. Namun, perubahan pada susunan masyarakat seni tidak terjadi
dalam waktu singkat, walaupun sudut pandang pre-romantik didominasi
oleh “perasaan naïf”. Karena pemahaman yang naïf dan terkondisikan
secara emosional pun, atau rasa tertarik terhadap seni pun, mengandung
praanggapan kultural tertentu yang tidak mungkin dipenuhi tanpa
keributan. Walaupun demikian, masyarakat seni semakin luas, merangkul
berbagai unsur yang semakin beragam, dan akhirnya membentuk – pada
akhir grand siècle – suatu stratum yang tidak bersatu dalam pemikirannya
dan tidak serta merta berhasil dipimpin seperti masyarakat budaya pada
jaman Le Brun. Ini bukan berarti masyarakat seni klasik yang tinggi
sepenuhnya bersifat homogen dan terbatas pada lingkungan istana.
Ketegasan bentuk yang kuno/kolot, tipologi yang tidak personal, dan
kesetiaan terhadap berbagai aturan dan tradisi sudah tentu merupakan
karakteristik-karateristik yang pada dasarnya mampu menyesuaikan
dengan pandangan hidup aristokratis dengan cara yang lebih baik dan
secara ideologis lebih alami daripada kemampuan menyesuaikan dengan
pandangan hidup yang didukung oleh kaum borjuis liberal baru yang sama
sekali tidak menaati norma-norma yang kaku. Bagi suatu golongan
masyarakat yang mendasarkan hak istimewanya pada umur, kelahiran, dan
19
tingkah laku, masa lalu lebih nyata daripada masa sekarang. Pembibitan
dan keluarga lebih nyata daripada subjek dan individu; sikap sederhana
dan bibit yang bagus lebih mulia daripada perasaan dan jiwa. Namun,
mengenai rasionalisme yang diakui oleh paham klasisisme, kita tidak boleh
lupa bahwa pandangan hidup kaum borjuis terikat lebih kuat pada akal
sehat daripada pandangan hidup aristokratis. Kaum bangsawan barangkali
belum pernah dengan begitu tegas menyatakan dukungannya pada
pemikiran yang jernih dan logis, bebas dari sentimen, kepuasan, dan
kebodohan emosional; adalah kaum borjuis - yang menentang segala
bentuk teatrikalitas atau retorika – yang pertama kali mengembangkan
pemikiran rasional tentang eksistensi, prinsip-prinsip tentang gaya hidup
yang bersahaja, wajar, dan hemat yang memperhitungkan sarana yang
tersedia. Kaum borjuis yang terdiri dari pekerja-pekerja keras menyadari
keterbatasan sarana dan kekuatannya sehingga menyesuaikan diri lebih
cepat dengan rancangan hidup yang rasionalistis, dapat dicapai, dan dapat
dipertahankan, dibandingkan dengan kaum aristokratis yang selalu
berbicara banyak tentang hak istimewanya yang semakin hari semakin
problematik. Oleh karena itu, kaum borjuis lebih responsif terhadap
kejernihan, objektivitas, dan kesederhanaan klasisisme, yang terbebas dari
ornamentasi jaman baroque, dibandingkan dengan kaum aristokratis yang
penuh keangkuhan dan kemegahan dan hanya berkeinginan untuk
mempengaruhi/mengesankan orang lain. Kaum aristokrasi masih di bawah
pengaruh orang Spanyol yang penuh angan-angan dan sangat mewah,
sedangkan kaum borjuis dan para kolektor antusiastis tentang kejernihan
serta kenormatifan Poussin, di mana karya-karyanya – yang sebagian
besar dilukis pada jaman Richelieu dan Mazarin – dibeli dan dikoleksi oleh
anggota-anggota borjuis, pegawai negeri sipil, pedagang, dan ahli
keuangan. Penting untuk dicatat bahwa Poussin tidak menerima komisi
20
untuk lukisan dekoratif yang berskala monumental. Dan karena dia tidak
mampu mencocokkan seni yang resmi pada jamannya dengan ideal gaya
klasik yang masih diingat, dia jarang menerima komisi gerejawi.
Bagaimana asal usul dan pengesahan standar nilai yang digunakan
sebagai dasar oleh Poussin dan sebagian besar seniman-seniman pada
jaman itu ketika menciptakan lukisan mereka, di mana tradisi ini terbukti
begitu penting sehingga bahkan diakui oleh Cezanne? Poussin sendiri tidak
bertanggungjawab atas standar-standar nilai tersebut, sama seperti kaum
borjuis tidak bertanggungjawab atas penghasilan prinsip-prinsip bentuk
dalam karya drama Corneille – sang pengacara Rouen – walaupun
klasisisme rasionalistis tidak akan terbayangkan tanpa percampuran kaum
borjuis dengan masyarakat umum atau teatrikalitas yang bergaya di
lingkungan istana. Baik la cour maupun la ville ikut berperan dalam asal
usul antagonisme gaya baroque klasik. Walaupun tampak jelas bahwa para
wakil dari suatu perkembangan kultural pada umumnya merupakan salah
satu golongan tertentu atau kalangan kultural tertentu, namun
pemahaman yang terlalu sederhana tentang fungsi ini, dan terutama
pandangan homogen terhadap para arbiter/pendamai selera, memberikan
gambaran yang salah tentang proses yang sebenarnya.
Seorang seniman bisa menciptakan karya-karyanya dengan
kalangan atau pihak-pihak tertentu dalam benaknya, tetapi dia tidak
menciptakan karya-karyanya itu sepenuhnya dan hanya berdasarkan
kriteria selera kalangan tersebut. Di samping itu, karya-karyanya itu tidak
selalu jatuh ke dalam tangan orang-orang yang dimaksud tersebut, dan
sangat jarang menjadi milik orang-orang tersebut secara tetap. Setiap
seniman tentu saja berkeinginan bahwa hasil karyanya bisa dimiliki oleh
para pengikutnya dan cenderung menganggap orang-orang yang membeli
karyanya sebagai “teman”nya. Namun, dalam arti kata sebenarnya orang-
21
penulis drama atau komponis tidak bisa memilih siapa yang akan hadir
ketika drama atau komposisinya dipertunjukkan. Pada umumnya, lebih sulit
untuk mengusir mereka daripada menangkap mereka. Seringkali serangan
paling tajam terhadap salah satu lapisan masyarakat tidak akan mencegah
masyarakat tersebut dari mengagumi sang penyerang. Tetapi penghinaan
tidak menjamin sukses yang lebih baik daripada sanjungan.
Konsumsi seni untuk alasan gengsi selalu terjadi; tetapi semakin
hari semakin meningkat dan menjadi lebih sulit dihitung jumlahnya karena
ekonomi yang bersifat fluktuatif. Dalam hal kualitatif pun, perkembangan
pasar seni memiliki efek yang berbeda pada kasus-kasus berbeda, dan
pengaruhnya terhadap pembentukan selera artistik tidak menentu. Dengan
peningkatan minat terhadap seni, kemampuan menilai kualitas biasanya
semakin halus dan kekuatan kritis masyarakat semakin kuat. Peningkatan
pada jumlah orang yang tertarik dengan seni bisa berkaitan dengan
standar yang semakin menurun dan bahkan tidak ada. Tentu saja tidak
banyak manfaat apabila, ketika karya-karya seni ditampilkan, semakin
banyak orang siap untuk merasa bosan bersedia atau mengurangi tuntutan
mereka supaya terhibur.
Bagaimanapun, prinsip dari perkembangan ketertarikan pada seni
masih tetap – tanpa mempermasalahkan seberapa jauh perubahan pada
susunan masyarakat seni – yaitu bahwa orang-orang yang bersifat
progresif hari ini akan menjadi orang konservatif pada masa yang akan
datang. Keprogresifan dan konservatisme terkondisikan bukan oleh sifat
dan temperamen para representatif, melainkan oleh konstelasi historis
tertentu pada jamannya. Ketika Matisse memamerkan karyanya yang
menandai sebuah jaman – yaitu La joie de vivre pada tahun 1906, Paul
Signac, salah satu pelukis penting dan progresif dan pada saat itu juga
wakil presiden Salon des independents, merupakan salah satu orang yang
23
protesnya paling keras tentang lukisan yang “gila” tersebut. Satu tahun
kemudian, Matisse bereaksi dengan cara serupa dan sikap tidak sabar
terhadap lukisan Picasso berjudul Les demoiselles d’Avignon. Dia
menggambarkan lukisan itu sebagai suatu penyerangan terhadap seluruh
gerakan seni modern. Dengan demikian, pada umumnya adalah para
seniman yang dulu menjadi anggota dari kelompok avant-garde, bukan
para filistin reaksioner yang bermusuhan dengan seni, yang menghalangi
jalan sukses bagi para seniman modern yang revolusioner. Pada tahun
1908, ketika menjadi salah satu anggota dari juri Salon d’automne, Matisse
menolak dengan sikap sangat jahat dan tegas karya-karya Braque, sama
seperti para pengikut “cubism” menolak karya-karya Duchamp pada tahun
1912. “Borjuisifikasi” para revolusioner dan pengerasan terhadap para
seniman avant-garde merupakan proses tanpa henti di mana bukan hanya
seniman dan orang awam, melainkan tahap-tahap perkembangan yang
berbeda – biasanya dalam generasi yang sama – saling bertentangan dan
menolak dengan cara yang paling keras. Para seniman berubah menjadi
masyarakat kritis, yang berprasangka dan seringkali berpikiran sempit,
ketika menghadapi generasi seniman yang lebih muda dan berusaha
melebihi pencapaian para pendahulunya. Dengan demikian, kita peduli
dengan masyarakat bukan sebagai suatu kategori ontologisme melainkan
kategori fungsional. Dengan kata lain, orang-orang tidak merupakan
melainkan menjadi “masyarakat” dengan berbagai syarat tertentu.
Namun, seni bukan ditujukan pertama dan terutama bagi para
seniman melainkan bagi orang awam, bagi orang-orang yang pertama
tidak ada hubungan dengan seni, walaupun pada akhirnya mereka banyak
belajar untuk berurusan dengannya. Seni seharusnya dalam jangkauan
setiap orang yang membutuhkannya, tetapi tidak bisa dipaksakan pada
24