Anda di halaman 1dari 25

Arnold Hauser

The Sociology of Art


translated by Kenneth J. Northcott

14. The Consumers of Art (447-460)

The University of Chicago Press


Chicago and London
1974
1

Bab 14. Konsumen Seni

Di antara organisasi-organisasi sosial, seniman, dan pihak lain yang tertarik


dengan seni, terdapat suatu bentuk koordinasi yang berkesesuaian dengan
keadaan atau waktu tertentu dan berubah sesuai dengan keadaan/waktu
tersebut. Masyarakat pemburu primitif mewakili basis sosial era Paleolitik;
para produser/penghasil karya seni merupakan pesulap dan dukun, dan
para konsumen seni tersebut merupakan parasit yang percaya akan sulap
tiruan dan mengeksploitasi karunia-karunia alam. Pada era Neolitik, baru
mulai berkembang suatu masyarakat agraris yang secara ekonomi bersifat
produktif, dengan tuntutan kesenian yang bersifat kolektif dan juga
individu, produksi yang sesuai dengan ritus-ritus animistis bagi masyarakat
dan juga untuk penggunaan pribadi, bergantung pada rumah tangga
pribadi dan terbatas pada karya-karya dekoratif. Despotisme Oriental Kuno
selanjutnya menghasilkan sejenis patron/pelindung yang memiliki
kepentingan religius dan politis dan menciptakan dasar bagi munculnya
seniman-seniman yang hidupnya bergantung pada ekonomi di tempat
ibadah dan istana. Para rohaniwan dari abad pertengahan menggunakan
seni sebagai alat dalam budaya Kristiani yang bersifat otoritatif, dengan
cara mengikat seorang seniman pada salah satu biara, keuskupan, atau
suatu perkumpulan rahasia. Para penduduk pedesaan, yang membebaskan
diri dari ikatan feudalisme dan mengemansipasikan diri dari gereja yang
otoritarian, pertama mengembangkan dan selanjutnya menghancurkan
serikat-serikat buruh yang bersifat otonom, meletakkan fondasi bagi
kebebasan untuk menghasilkan karya seni, melakukan kegiatan kesenian
yang independen, dan mempersiapkan bentuk-bentuk di mana minat
perorangan terhadap seni dapat berfungsi. Dengan demikian, konsumsi
kesenian yang bersifat pribadi mulai muncul, dan tercipta pasar kesenian
2

yang tidak terhalang oleh ikatan-ikatan institusional namun tergantung


pada masyarakat yang konstan walaupun fluktuatif.
Pembubaran secara bertahap rumah-tangga kerajaan dalam rezim
lama serta perkembangan pusat finansial yang baru membuka jalan bagi
seorang kolektor, dalam arti modern – yaitu orang yang tidak lagi
mengoleksi seni sepenuhnya, atau hampir sepenuhnya, demi kepentingan
gengsi saja, melainkan merupakan suatu prototip bagi seorang ahli seni
(connoisseur), yang secara pribadi tetap di belakang kegiatan perdagangan
karya-karya seni. Memang benar bahwa ahli seni tersebut mampu
menyembunyikan diri untuk beberapa waktu, namun jenis-jenis karya yang
disukainya segera menjadi otoritatif, dan minat untuk berkoleksi – yang
mulai berkembang – menyediakan cara mediasi yang baru dan efektif di
antara seniman dan masyarakat umum. Sang kolektor mengadopsi ciri-ciri
sang ahli seni atau menggunakan ahli seni tersebut sebagai seorang
penasehat, dengan demikian memberikan penghargaan dan imbalan
kepada sang ahli tersebut. Konsumsi seni semakin “diobjektivisasikan” dan
dikondisikan menurut bentuk dan teknik. Ketika hubungan antara produser
dan konsumen menjadi semakin longgar, maka minat dan tujuan umum
dari penciptaan dan penerimaan/penikmatan seni justru semakin erat.
Penikmat seni semakin mengasingkan diri dari produser; sementara itu, dia
semakin akrab dengan karya-karya yang tidak lagi personal
(depersonalized).
Perubahan-perubahan tegas dalam hubungan antara seniman dan
peminat/penikmat seni terletak pada jalan yang beralih dari majikan
permanen, pemilik budak, dan tuan feudal, menuju ke patron/pelindung,
pelanggan, dan pembeli, ahli dan teman seni, peserta lelang dan kolektor.
Tahap-tahap paling jelas dalam perkembangan dari pembudakan,
feudalisme, bimbingan gerejawi, dan disiplin perserikatan buruh menuju
3

kaum borjuis yang teremansipasi dan pusat finansial yang utama – yang
diekspresikan dalam kategori-kategori produksi dan resepsi seni – adalah
seniman yang membuang karyanya sendiri, pasar seni yang bebas,
produser yang tidak lagi terpaksa melaksanakan komisi-komisi langsung,
serta kolektor yang memilih secara spontan dari apa yang tersedia pada
saat tertentu.
Kita tidak bisa membicarakan masyarakat umum sebagai suatu
subjek reseptif yang bersifat kolektif, sama seperti kita tidak bisa
membicarakan sekelompok orang kreatif sebagai kelompok yang bersifat
kolektif. Seperti selalu terjadi, hanya orang-orang produktif tertentu yang
dapat dikenali, begitu juga hanya orang-orang secara terpisah yang dapat
mengalami (merasakan) karya-karya seni, tanpa menghiraukan seberapa
erat mereka terikat, seberapa cepat mereka saling menstimulasi,
menyisihkan inisiatif orang lain, atau saling mewakili dan menggantikan
satu sama lain. Dengan kata lain, sebuah karya seni dirasakan oleh setiap
orang dengan caranya sendiri, walaupun pengumpulan banyak orang
sebagai penonton yang padat bisa menghasilkan semacam infeksi
psikologis dan reaksi yang kurang lebih sama. Penyangkalan terhadap
prinsip inisiatif kolektif belum tentu berarti bahwa reaksi seseorang
terhadap pengaruh seni tidak dipengaruhi oleh sifat dasar kelompok di
mana ia merupakan salah satu anggotanya. Konsep mengenai masyarakat
umum sebagai suatu kesatuan yang aktif secara intelektual memang hanya
merupakan suatu hipotesa, yang tidak menyatakan diri secara jelas dan
tetap menjadi cara berpikir yang fiktif dan dapat direduksi menjadi kategori
numerik; walaupun demikian, terdapat kelompok-kelompok masyarakat
berdasarkan konstitusi di mana pengalaman artistik seseorang bisa
berbeda atau sama dengan orang lain. Tidak masalah betapa tidak jelas
konsep “masyarakat umum”, setiap kategori masyarakat memiliki
4

perbedaan yang tajam. Pada jaman dulu, tidak pernah ada seni yang
terpadu karena tidak pernah ada masyarakat yang terpadu, dan karena
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda mengkondisikan bentuk-
bentuk seni tertentu yang secara idologis dan secara sengaja tidak dapat
dipertemukan dan memiliki perbedaan makna dan nilai, kompleksitas dan
kehalusan.
Kelompok-kelompok masyarakat yang dapat diuraikan secara tidak
ambigu berhubungan dengan strata budaya tertentu dan di dalam strata
tersebut berhubungan dengan kelompok-kelompok yang berbeda dan
memiliki ideologi yang berbeda. Namun, tidak ada satu jenis kesenian, baik
kesenian tinggi, populer, atau populis, yang memiliki pengikut yang
bersifat homogen. Seperti kesenian tinggi milik kelompok budaya yang elit,
yang sampai tingkat tertentu dan dalam arti tertentu bersifat “tinggi”, dan
kesenian popular, yang dalam cara berbeda bersifat “rata-rata”, maka
masyarakat di setiap tingkat/strata terdiri dari unsur-unsur yang tidak
hanya secara individu cukup jauh dari ideal artistik strata budaya mereka,
melainkan juga secara keseluruhan terpisah dari masyarakat pendukung
seni dalam strata lain oleh batas-batas yang tidak pasti. Garis besar yang
bersifat fleksibel adalah ciri khas dari semua kelompok sosial dan juga
merupakan ciri khas setiap masyarakat yang terstratifikasi dan tersusun
berdasarkan golongan dan tingkat. Mobilitas sosial, kenaikan dari strata
tertentu ke strata yang lebih tinggi, tidak menghadapi perlawanan yang
besar dalam bidang budaya, dibandingkan dengan bidang ekonomi dan
politik, meskipun kenaikan tersebut, pada tangga budaya pun, tetap
memiliki prasyarat dan kondisi ekonomis dan politis. Walaupun demikian,
strata budaya tertentu beserta masyarakat seninya seringkali
mempersatukan individu-individu yang memiliki latarbelakang sosial dan
ekonomi yang cukup berbeda. Sastra dari era Pencerahan Prancis,
5

misalnya, ternyata ditujukan kepada masyarakat yang berpendidikan dan


berpikiran progresif/maju, tetapi apabila diasumsikan bahwa karya-karya
Voltaire dan Rousseau, misalnya, dibaca oleh orang-orang yang sama, atau
menerima pengakuan dan pemahaman yang sama, ini merupakan
penyederhaan terhadap konsep Pencerahan dan pemahaman skematik
terhadap para representatif dari era tersebut yang kurang dapat dipercaya.
Apabila benar, seperti disebutkan oleh beberapa pihak, bahwa kita
tidak bisa memahami penduduk desa Prancis kalau kita tidak mengenal
Voltaire, maka juga benar bahwa kita tidak bisa memahami Voltaire kalau
kita tidak memahami betapa kuat akarnya dalam masyarakat golongan
menengah, meskipun dia memiliki daya pikat sebagai bangsawan, dengan
kekayaan dan teman-teman dari kalangan istana. Simpati dan
prasangkanya sepenuhnya bersifat borjuis, begitu juga paham
klasisismenya yang sederhana, ketidaktertarikannya terhadap masalah-
masalah metafisik, religiositasnya yang anti-klerkal (pendeta) dan
menentang semua bentuk mistisisme, ketidaksukaannya terhadap segala
sesuatu yang romantik, sulit dipahami, tidak jelas, dan tidak dapat
dijelaskan, kepercayaannya terhadap akal sehat, keyakinannya bahwa kita
bisa memahami dan menilai segala sesuatu yang pantas diketahui melalui
akal sehat, skeptisisme yang pintar, dan kesenangan rasional terhadap apa
yang paling dekat dengannya, terhadap apa yang mudah diakses, terhadap
apa yang ditawarkan dan dituntut oleh setiap hari baru. Semuanya bersifat
borjuis, walaupun tidak menguras konsep dan walaupun subjektivisme dan
emosionalisme yang diajarkan oleh Rousseau merupakan sisi lain, yang
sama relevan, dari jiwa borjuis.
Semakin kecil kelompok masyarakat, semakin akrab dan intens
apresiasinya terhadap seni yang dikembangkannya. Salah satu contoh
paling ekstrim tentang hal ini adalah pembacaan karya-karya puisi secara
6

diam dan sendiri, jauh dari dunia luar. Dalam genre-genre kesenian lain,
terutama teater dan konser, kekuatan pengaruh semakin berkembang
sesuai dengan jumlah penonton. Drama liris (lyrical) karya Hoffmannsthal
atau Maeterlinck, misalnya, yang ditujukan untuk “teater intim” modern,
menimbulkan efek yang mirip dengan membaca secara mendalam, tetapi
aturannya adalah bahwa sugesti/usulan emosional – sebagai salah satu ciri
dari efek massal – menyatakan diri dalam setiap jenis teater dan gedung
konser. Fenomenon yang luar biasa, yaitu bahwa seni teater – dengan
sifatnya yang “demokratis” dan bersandar pada pemerataan emosional
para penonton – menemukan respon semacam ini dalam kalangan istana
pada era “absolutis”, dapat dijelaskan karena persetujuan penonton sudah
ada sejak awal dan tidak perlu diciptakan melalui sugesti/usulan massal.
Perasaan umum yang tumbuh di antara para penonton di Versailles dan
terutama di Atena, dengan meningkatnya jumlah penonton, merupakan
semacam reaksi yang menyertai suatu upacara yang dihadiri oleh banyak
orang, bukan reaksi terhadap sebuah pengalaman artistik. Kekuatan
kohesif dari suatu efek/pengaruh artistik semakin gamblang ketika para
penonton terdiri dari bermacam-macam jenis orang, ketika kondisi semakin
mendekati kondisi yang berlaku di Inggris pada abad Pertengahan atau
jaman Elizabeth. Di sana, penonton sebenarnya merupakan suatu tempat
pencampuran (melting pot) di mana perbedaan-perbedaan golongan dan
tuntutan dari strata-strata budaya yang berbeda cukup mudah dijaga
keseimbangannya dan kriteria selera nampaknya sama, berdasarkan
penyederhanaan dengan mencari “kelipatan persekutuan terkecil” –
seringkali angka yang sangat kecil (*artinya mencari persamaan). Namun,
kemiripan efek/pengaruh tidak pernah berlaku dalam kondisi sosial yang
lebih terdiferensiasi berhubungan dengan seluruh faktor pengalaman, dan
7

cara artistik yang efektif secara universal pun tidak memiliki pengaruh yang
sama kuat bagi semua partisipan.
Penciptaan seni yang otentik dan bermutu selalu hanya bisa
mengandalkan dukungan dari strata masyarakat yang relatif sempit. Dalam
hal ini, karya-karya Shakespeare tidak merupakan pengecualian yang
fundamental, karena efek/pengaruh yang menarik perhatian massa pada
karya-karyanya bukan merupakan bagian karyanya paling berharga. Karya-
karya tersebut memperoleh pengakuan secara universal bukan karena
kualitas artistiknya melainkan justru terlepas dari kualitas artistiknya.
Walaupun demikian, kita boleh mengajukan keberatan dengan
mengatakan bahwa ada beberapa komponen artistik yang menjadikan apa
yang ditawarkan – walaupun secara tidak sadar dan tanpa motivasi –
menarik dan efektif. Karena bukanlah saat-saat di mana kita sadar ketika
menikmati seni yang memainkan peran paling menentukan dalam penilaian
kita terhadap suatu karya. Kesadaran terhadap faktor-faktor efek/pengaruh
artistik hanya memiliki relevansi psikologis. Bagi seorang penikmat seni
yang “naïf” (yaitu normatif), yang mengapresiasi sebuah karya seni dalam
konteks praktis di luar seni, nilai artistik bisa tersembunyi dan tidak terasa
penting: dia bahkan tidak perlu tahu bahwa dia berurusan dengan seni
ketika di bawah pengaruh badan/instansi artistik.
Setiap pengalaman artistik – baik kreatif maupun reseptif – berakar
pada tempat asalnya dan pengaruhnya dalam suatu masyarakat, walaupun
belum tentu dalam kesadaran masyarakat. Sifat-sifat umum pengalaman
seni oleh orang-orang yang berbeda bisa saja tidak ada kaitan dengan
keyakinan bahwa orang-orang tersebut merupakan anggota dari tatanan
sosial atau kelompok sosial yang sama. Dalam masyarakat primitif yang
diatur oleh pemahaman magis atau animism, batasan sosial dari suatu
pengalaman artistik bisa lebih kuat daripada dalam struktur sosial yang
8

lebih membingungkan pada jaman selanjutnya. Namun, sifat solidaritas


efek pada jaman “atomisasi” yang jauh lebih luas – di mana suatu
pengalaman komunal, yang mengingatkan kita pada reaksi dari
masyarakat yang lebih tertutup dan lebih kompak pada jaman dahulu,
paling sering terjadi dalam pertunjukan-pertunjukan berskala besar,
terutama teater – tidak hanya tergantung pada jumlah penonton. Di ruang
konser, di mana kriteria numerik seperti kebiasaan bertepuk tangan juga
berlaku, efek massal seperti ini lebih jarang terjadi, dan selalu dalam
bentuk yang lebih kecil, walaupun tepukan dari penonton muda yang baru
terpikat mungkin sangat keras. Di teater ternyata ada saat-saat tertentu
dalam drama yang ikut berperan menghasilkan kontak yang bersifat magis
di antara panggung dan penonton, sedangkan ini tidak terjadi dalam
sebuah konser. Perwujudan dan kehadiran secara langsung para aktor
tentu saja berpengaruh. Kontak antara aktor dan penonton dalam
pertunjukan teater sampai tingkat tertentu bersifat somatik dan sensual,
yaitu dalam arti harfiah, intra-personal dan bukan supra-personal atau
acuh tak acuh secara fisik, seperti kontak yang terjadi antara pemain dan
penonton dalam sebuah konser.
Kenyataan bahwa seorang seniman bermaksud menyampaikan
karyanya bagi pembaca, pendengar, atau penonton tertentu, bukan hanya
pembaca/pendengar/penonton imajiner, tidak banyak mengkondisikan
implikasi sosial dari tindakannya. Hanya ketika dia tidak lagi menyapa
“anda” sebagai orang tunggal dan mulai menyapa “kalian” dalam bentuk
jamak, dia mulai bergerak ke dalam lingkungan sosial. Karena sama seperti
pengakuan dosa tidak menciptakan suatu hubungan antara pendeta dan
orang yang bertobat yang dapat disebut “sosial”, melainkan hanya
hubungan yang sama sekali tidak personal, bebas dari segala sesuatu yang
interpersonal, begitu juga bentuk tunggal dari kata “anda” tidak
9

memindahkan pengakuan seorang seniman dari dunia pribadi. Proses


sosial hanya dimulai ketika suatu kelompok terlibat dalam proses tersebut.
Partisipasi kelompok dalam suatu ucapan dimulai dari mana? Kesepian
yang dirasakan seorang individu yang terisolir dan mencari
kontak/hubungan tentu saja berakhir dengan kehadiran orang kedua,
tetapi sebuah kelompok, dalam arti penonton, tidak terwujud dengan cara
ini saja, atau dengan lingkungan di mana para anggotanya begitu akrab
satu sama lain sehingga tidak mungkin akan muncul suatu bentuk
ketegangan, perlawanan, konflik, atau antagonism bersifat dialektis yang
perlu diperdamaikan.
Hubungan antara dua orang, baik dalam bentuk perkawinan,
pertemanan, atau perekanan bisnis, tidak menghasilkan suatu dialektika
sosial atau dinamis sama sekali. Untuk suatu dialektika yang
bermanfaat/berhasil secara artistik, dibutuhkan paling tidak pihak ketiga.
Di mana ada suatu hubungan antara tiga orang, “setiap unsur”, kata Georg
Simmel, “bekerja sebagai otoritas menengah bagi kedua orang lain, dan
menunjukkan dwifungsi seorang penengah, yaitu kemampuan untuk
memisahkan dan mempersatukan. Ketika tiga unsur, A, B, dan C,
membentuk suatu komunitas, di samping hubungan langsung yang sudah
ada, misalnya, di antara A dan B, juga ada hubungan ketiga, yang berada
di tengah-tengah, yaitu hubungan yang sama di antara A dan B dengan
C… Perselisihan yang tidak mampu diselesaikan sendiri oleh para antagonis
dapat diselesaikan melalui keterlibatan mereka dalam suatu totalitas yang
merangkul semua pihak. Hubungan langsung tidak hanya diperkuat oleh
hubungan tidak langsung; tetapi juga terganggu. Tidak ada hubungan
antara tiga pihak yang begitu akrab sehingga meniadakan kenyataan
bahwa pihak ketiga pada saat-saat tertentu selalu dirasakan oleh kedua
pihak lain sebagai seorang penyusup/pengganggu… Struktur sosiologis
10

pada hubungan antara dua orang ditandai dengan kenyataan bahwa dua
hal tidak ada: yaitu ikatan penguat yang dihasilkan oleh pihak ketiga atau
suatu kerangka social yang melampaui kedua-duanya, dan kekacauan
serta pengalihan dari hubungan timbal balik yang bersifat dewasa dan
langsung.”
Hubungan di antara “saya” dan “anda,” kecuali kedua belah pihak
saling acuh tak acuh, dicirikan dengan suatu jurang perbedaan yang tidak
dapat dijembatani atau suatu kedekatan yang sama sekali tanpa
ketegangan. Hubungan ini hanya semakin ramai/hidup ketik pihak ketiga
diperkenalkan, karena jarak di antara masing-masing pihak bisa semakin
besar atau semakin kecil. Dalam hubungannya dengan masyarakat umum,
seorang seniman selalu mencari tepukan tangan dan pengakuan, terutama
dukungan oleh unsur-unsur bebas yang pada awalnya tidak mengambil
posisi tertentu dan memainkan peran sebagai pihak ketiga dalam
persekutuan ini dan persetujuan/restu mereka dapat dimenangkan atau
justru dapat hilang. Peran ini yang tanpa komitmen pribadi namun harus
dimainkan, walaupun bisa mengandung berbagai asumsi individu,
mencirikan sifat dari seorang penerima/penikmat mandiri untuk membuat
pilihan yang bebas dan keputusan tanpa berprasangka/berpihak.
Tentu saja, tiga orang saja tidak membentuk suatu kelompok social
yang praktis dan dapat disebut sebagai penonton (audience). Tetapi
perbedaan antara dua orang dan tiga orang menyangkut perubahan paling
esensial dalam susunan mereka dan dalam hubungan internal para
anggota. Orang ketiga bisa membentuk suatu ikatan yang menguatkan,
atau pembatas yang menyebabkan jarak di antara kedua orang lain. Ini
bisa mengancam keakraban dalam hubungan ini tetapi juga bisa
mengakibatkan suatu pengertian ketika ada ancaman perselisihan.
Bagaimanapun, sekelompok penonton yang akan menghasilkan suatu
11

pandangan kritis dan objektif terhadap sebuah penampilan artistik dan


menghadapi perlawanan dalam prosesnya hanya mulai terbentuk dengan
kehadiran orang ketiga.
Memang benar, sebuah buku selalu dibaca secara individu, begitu
juga – pada jaman kolektor dan patron/pelindung perorangan – lukisan
dan patung dinikmati secara individu. Namun, sebuah buku tidak ditulis
berdasarkan suatu tujuan awal penulis bagi pembaca-pembaca secara
individu, begitu juga lukisan dan patung – walaupun diciptakan untuk
kolektor atau ahli tertentu – tidak ditujukan untuk mereka. Ketika kita
berusaha mendefinisikan masyarakat seni pun, seperti dalam banyak
kategori sosiologis lain, kita berurusan dengan perubahan kuantitas
menjadi kualitas baru. Kapan “butir-butiran” mulai membentuk suatu
“tumpukan”? Pertanyaan terkenal ini belum tentu berhubungan dengan
angka dan tidak menyangkut jumlah minimal unsur-unsur yang terlibat,
melainkan merupakan suatu pertanyaan kualitatif dan hanya dapat dijawab
apabila kita berbicara dari segi pandang sebuah lompatan di mana orang-
orang terpisah yang tertarik dengan seni bergabung dengan sebuah
kelompok terpadu, di mana dalam prosesnya, hubungan pribadi di antara
patron atau donor dan seniman sudah tidak ada lagi dan memberi jalan
untuk suatu hubungan yang lebih objektif antara produser dan konsumen
yang bebas. Majikan dan patron, pelanggan permanen dan pelanggan
tetap tidak membentuk masyarakat seni dalam arti sebenarnya, karena
masyarakat seni tersebut tidak ada ketika suatu hubungan tidak
aman/kukuh dan sering berubah, walaupun tidak selalu dalam keadaan
berbahaya. Terkandung dalam konsep masyarakat seni ini adalah mobilitas
strata yang menentukan/mengatur mode, rasa aman seniman-seniman
secara perorangan yang mulai menurun, dan kesempatan yang semakin
meningkat bagi para seniman secara keseluruhan serta partisipasi kedua
12

belah pihak – produser dan konsumen – dalam ekonomi pasar yang


fluktuatif.
Sebagai akibat dari berakhirnya sistem patronase, yang memberikan
para seniman – atau paling tidak banyak di antara mereka – keamanan
secara materi, dan juga sebagai akibat dari meningkatnya pasar bebas,
yang memungkinkan kompetisi bebas mulai eksis, termasuk juga dalam
dunia seni, maka muncul kaum proletariat artistik dengan berbagai
kebutuhan yang belum pernah terlihat sebelumnya. Pendirian negara-
negara yang mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya di negara-
negara barat serta keinginan secara universal untuk pendidikan bagi
masyarakat menengah, yang semakin kaya, dalam waktu singkat
mengurangi kerasnya proses proletarianisasi. Faktor-faktor ini bahkan
menciptakan kondisi di mana eksperimen-eksperimen seni disambut
dengan baik dan didukung, sehingga kita dapat menyatakan dengan tegas
bahwa patronase masyarakat terhadap perdagangan karya-karya seni yang
semakin berkembang mampu menggantikan patronase individu yang
sudah hilang, walaupun terjadi tanpa pandang bulu dan tidak selaras
dengan nilai-nilai yang benar. Masyarakat yang tidak kritis, takut dengan
seniman-seniman progresif, juga bereaksi terhadap penghinaan paling
jahat pun dengan tepukan tangan. Semakin berani/kurang ajar para
pemberontak, semakin yakin mereka akan efek/pengaruh yang sangat
mengejutkan. Pembelaan satu-satunya kaum borjuis adalah bahwa mereka
sama sekali tidak merasa terpengaruh dan hanya ikut dalam
pelecehan/pelanggaran para seniman. Kesadaran bahwa toleransi kaum
borjuis terhadap revolusi seni yang sedang terjadi tidak melakukan apapun
untuk mengubah kurangnya pengaruh praktis dari para seniman militan,
hampir membuat para seniman tersebut putus asa tetapi mengizinkan
13

mereka yang diserang untuk bertepuk tangan, asalkan mereka merasa


aman dalam hal lain.
Masyarakat terdiri dari berbagai macam, di mana semuanya diwakili
dalam jenis-jenis seni yang berbeda, tetapi paling mudah dikenal dalam
sastra. Dalam sastra, orang-orang yang mengaku sebagai pembaca setia
pun tidak bisa mengaku sebagai seorang intelektual sastra melainkan
hanya ingin dihibur oleh sastra, walaupun mereka tidak sepenuhnya tanpa
diskriminasi dalam pemilihan bacaan. Mayoritas masyarakat pembaca
termasuk dalam jenis ini, terutama pada jaman-jaman di mana kesadaran
ideologis terbatas pada stratum sosial-budaya yang tipis dan kesadaran
golongan menjadi kabur sebagai akibat dari keragaman factor yang
menentukan status. Berbeda dengan jenis-jenis representatif ini, yang bisa
lebih bisa kurang sadar secara ideologis, terdapat kelompok pembaca yang
terkait dengan penulis melalui kecenderungan personal, emosional, atau
intelektual, atau sebagai sastrawan profesional, kritikus, dan sejarahwan
sastra, membentuk bagian dari penonton/penikmat sang penulis yang
menasehati dan memimpin pembaca-pembaca lain melalui kemampuan
mereka untuk merasakan kualitas, sensibilitas mereka, atau pengetahuan
sejarah mereka.
Namun, tipologi ini pun, seperti semua tipologi historis, cacat dan
tidak lengkap; jenis-jenis yang baru muncul ketika tugas-tugas baru dan
kemungkinan keberhasilan muncul, dan tetap bertahan dalam sistem
terbuka yang semakin berbeda. Penonton/penikmat pujangga-pujangga
yang sebelum era Homer tidak sopan berubah menjadi masyarakat yang
banyak menuntut pada jaman para penulis rapsodi yang berusaha
memuaskan penonton yang lebih beragam dan tidak hanya ingin
menyenangkan para tamu kerajaan melainkan juga masyarakat di pasar
malam dan festival rakyat. Sang sastrawan – yaitu orang yang tertarik
14

dengan gaya, mengenal sejarah, dan mampu membuat penilaian estetis –


dengan orientasi internasional, pusat-pusat budaya, dan tugas-tugas
khususnya, pertama kali dimunculkan oleh Hellenisme. Pembagian tenaga
kerja secara ekonomis dan prinsip baru yang supra-nasional dalam paham
kapitalisme Hellenci, yaitu akumulasi kekayaan, merupakan dasar dari
asosiasi kaum sastrawan, yang bukan suatu serikat kerja yang professional
tetapi juga bukan kelompok pembaca yang selalu berubah dan sekadar
mencari hiburan.
Abad pertengahan, sesuai dengan budaya spiritual yang otoritarian,
tidak hanya membatasi kebiasaan menulis tetapi juga kebiasaan membaca
pada strata tertentu: yaitu kaum pendeta yang bertanggungjawab
terhadap propaganda gerejawi dan perkembangan ideolog feudal-gerejawi.
Epos-epos heroik, karya liris dengan tema kesatriaan, serta teater popular
berkembang dalam bayangan sastra yang bersifat spiritual otoriarian, atau
kadang-kadang dikesampingkan oleh sastra tersebut. Namun demikian,
seorang ahli menulis yang dididik di lingkungan gereja dan berpihak pada
gereja tetap saja sama sekali berbeda dengan pembaca yang terlatih dan
kritis pada jaman modern. Baru pada jaman humanisme Renaissance suatu
konsep masyarakat pembaca mulai berkembang, berbeda dengan
pemahaman dari abad pertengahan, didasarkan atas contoh kaum
intelektual elit, yaitu mahasiswa sastra Hellenistic, dan tergantung pada
ideologinya sendiri yang bersifat rumit, antara lain berdasarkan
ketrampilan dan budaya sekuler. Salah satu prasangkaan humanisme
adalah suatu masyarakat yang belum dikenal pada awal abad pertengahan
dan muncul pada paroh kedua jaman pertengahan. Masyarakat tersebut
tidak lagi merupakan bagian dari kelompok-kelompok luas yang
mendengarkan pertunjukan lisan syair heroik, legenda, peristiwa dalam
alkitab, dan cerita tentang kehidupan para santa, melainkan mulai
15

membaca buku secara pribadi ketika ada kesempatan. Pada awal abad ke-
12, jenis penulis muncul di wilayah Perancis utara yang dalam banyak hal
sangat mirip dengan penulis modern: dia tidak lagi menulis lagu dan
naratif untuk dipertunjukkan melainkan menulis cerita untuk dibaca. Syair-
syair heroik dulu ditampilkan bagi kaum bangsawan dari militer; epos-epos
kerajaan masih dibacakan untuk kelompok bangsawan, termasuk para
pendeta/menteri; di sisi lain, cerita-cerita cinta dan petualangan yang saat
itu mulai muncul ditujukan secara khusus untuk hiburan dan terutama
untuk wanita. Albert Thibaudet, yang dianggap sebagai pengaruh paling
kuat dalam fungsi baru sastra naratif baru tersebut, menyatakan bahwa
perubahan pada susunan masyarakat pembaca, terutama penambahan
kaum perempuan, merupakan penyebab utama perubahan-perubahan
bentuk yang terjadi pada sastra Barat. Dia berpendapat bahwa hanya
sekarang, ketika sastra menjadi bahan bacaan, kesenangan berubah
menjadi kegemaran, di mana sejak saat itu kita tidak pernah berhenti
terpikat. Kebiasaan membaca sudah berubah menjadi kebutuhan sehari-
hari dan kegemaran yang tidak lagi dikaitkan dengan festival melainkan
kegiatan yang dapat dilakukan setiap saat. Dengan demikian, sastra
kehilangan sisa-sisa terakhir sifatnya yang sakral dan penuh mitos, dan
tidak lagi membutuhkan secara mutlak penipuan diri yang sadar: sastra
menjadi “fiksi” yang murni dan tanpa perhiasan, suatu ciptaan yang tidak
harus kita percayai untuk merasa terpikat.
Berbeda dengan resitasi, membaca mengkondisikan teknik naratif
yang baru dan mengizinkan penggunaan efek-efek khusus yang
sebelumnya bisa dikatakan belum dikenal. Karya-karya yang dimaksudkan
untuk dinyanyikan atau dideklamasikan biasanya menggunakan penjajaran
sebagai cara komposisi; tersusun dari bagian-bagian dan episode-episode
terpisah yang kurang lebih bersifat independen. Suatu pertunjukan dapat
16

dihentikan hampir pada setiap saat tanpa merusak keseluruhan karya


tersebut. Chanson de Roland masih disusun dengan cara ini, seperti
diungkapkan oleh Karl Vossler. Di sisi lain, Chretien de Troyes sudah
berkarya dengan menggunakan efek-efek khusus yang menimbulkan
ketegangan, juga perlambatan, serta interpolasi yang tidak lagi dihasilkan
oleh bagian-bagian terpisah dari karya puisi melainkan dari hubungan
antara unsur satu dengan unsur yang lain. Seorang penyair dapat
menggunakan alat/perlengkapan artistik semacam ini – yang hampir
mustahil dalam pertunjukan skala kecil dengan banyak interupsi – hanya
ketika menulis bagi seorang pembaca, bukan seorang pendengar. Novel
seperti ini, yang dimaksudkan untuk dibaca, menandai awal dari sastra
naratif baru, bukan hanya karena merupakan cerita cinta romantik pertama
di dunia Barat di mana lirisisme dan emosionalisme lebih penting dari
apapun, melainkan karena merupakan recits bien faits pertama – untuk
mengurai dengan kata-kata sendiri suatu konsep dramaturgi terkenal yang
menunjuk efek-efek teatris yang mengejutkan.
Sebagai akibat dari bahan bacaan yang sekarang sudah menjadi
suatu kebutuhan yang konstan dan kebiasaan semata, sang pendengar
yang taat dan serius menjadi seorang pembaca yang cuek, cenderung
kepada formalisme dari keahlian stilistik, atau kepada konsumsi massal
yang tidak memilih-milih. Meskipun banyak pertentangan/antitesis antara
kedua sikap tersebut, namun kedua-duanya terasing dari prinsip-prinsip
kebiasaan. Baik sastra yang sarat dengan kata-kata dan frase-frase
berharga maupun tulisan yang dilahap secara besar-besaran terpisah dari
hidup dan tidak peduli tentang keberadaan yang sejati. Masing-masing bisa
memenuhi sebagian dari fungsi-fungsi yang selalu melekat pada seni,
tetapi proses pennyapihan seorang pembaca dari kebiasaannya selalu
terjadi dalam dua-duanya.
17

Seni belum pernah menikmati kemudahan seperti saat ini, atau


mengalami pengakuan dan dukungan yang begitu luas dan hampir tanpa
perlawanan, tetapi juga belum pernah sejelas ini bahwa produk-produk
terbaiknya bertentangan dengan naluri/insting sebagian besar orang.
Toleransi yang menjemukan terhadap kecenderungan artistik modern,
seberapapun agresifnya, dan sukses yang murah dari karya-karya terlaris
dan paling sukses, bukan merupakan jawaban yang memadai bagi
pertanyaan yang terkandung dalam eksistensi dan fungsi seni. Makna seni
bagi masyarakat tidak tergantung pada jumlah penggemar seni dan jumlah
uang yang diberikan kepada seniman sebagai hadiah/penghargaan dan
beasiswa. Saat ini, perkembangan orang-orang yang tertarik dengan seni
tidak berhubungan – meskipun kita menyumbar tentang hal ini dengan
sangat semangat – dengan kecenderungan liberal yang bertentangan
dengan paham konservatisme Le Brun, yang sangat kaku dan berlanjut
dengan demokratisasi partisipasi pada abad berikutnya. Pada jaman
Enlightenment, kita melihat pembentukan kelompok penikmat seni yang
semakin berkembang dan tidak hanya terdiri dari para ahli, seniman,
patron, dan kolektor melainkan juga orang-orang biasa yang merasa
tergerak untuk membuat penilaian kritis sendiri. Sebelumnya, sebuah
akademi hanya mengizinkan orang-orang professional untuk ikut dalam
diskusi tentang masalah-masalah seni. Namun, selanjutnya, semakin diakui
hak orang-orang biasa untuk menilai seni, dan terutama, seperti diakui
oleh Roger de Piles, karena orang-orang sudah mulai yakin bahwa selera
yang kasar dan naïf pun dapat dibenarkan, dan pada satu sisi akal sehat
dan di sisi lain mata yang tidak berprasangka dapat memihak pada
kebenaran dengan kemampuan menilai seni yang sudah dipelajari.
Perubahan pada penilaian dari masyarakat awam dan susunan dari
masyarakat yang otoritatif tentu saja memiliki beberapa asumsi ekonomis.
18

Tunjangan yang diterima oleh Louis XIV mulai menyusut menjelang akhir
dari kekuasaan sang raja, dan akademi terpaksa menggantikan
kekurangan dukungan sang raja dengan cara menarik perhatian
masyarakat yang lebih luas. Du Bos menyimpulkan, berdasarkan pikiran
Roger de Piles, bahwa seni perlu “menggerakkan”, bukan “mengajari”, dan
bahwa perasaan bukan akal sehat yang memiliki kemampuan untuk
menilai seni. Namun, tidak terelakkan bahwa perasaan menjadi tumpul
pada orang-orang yang selalu peduli tentang hal-hal yang sama,
sedangkan perasaan orang-orang awam dan para amatir tetap segar dan
spontan. Namun, perubahan pada susunan masyarakat seni tidak terjadi
dalam waktu singkat, walaupun sudut pandang pre-romantik didominasi
oleh “perasaan naïf”. Karena pemahaman yang naïf dan terkondisikan
secara emosional pun, atau rasa tertarik terhadap seni pun, mengandung
praanggapan kultural tertentu yang tidak mungkin dipenuhi tanpa
keributan. Walaupun demikian, masyarakat seni semakin luas, merangkul
berbagai unsur yang semakin beragam, dan akhirnya membentuk – pada
akhir grand siècle – suatu stratum yang tidak bersatu dalam pemikirannya
dan tidak serta merta berhasil dipimpin seperti masyarakat budaya pada
jaman Le Brun. Ini bukan berarti masyarakat seni klasik yang tinggi
sepenuhnya bersifat homogen dan terbatas pada lingkungan istana.
Ketegasan bentuk yang kuno/kolot, tipologi yang tidak personal, dan
kesetiaan terhadap berbagai aturan dan tradisi sudah tentu merupakan
karakteristik-karateristik yang pada dasarnya mampu menyesuaikan
dengan pandangan hidup aristokratis dengan cara yang lebih baik dan
secara ideologis lebih alami daripada kemampuan menyesuaikan dengan
pandangan hidup yang didukung oleh kaum borjuis liberal baru yang sama
sekali tidak menaati norma-norma yang kaku. Bagi suatu golongan
masyarakat yang mendasarkan hak istimewanya pada umur, kelahiran, dan
19

tingkah laku, masa lalu lebih nyata daripada masa sekarang. Pembibitan
dan keluarga lebih nyata daripada subjek dan individu; sikap sederhana
dan bibit yang bagus lebih mulia daripada perasaan dan jiwa. Namun,
mengenai rasionalisme yang diakui oleh paham klasisisme, kita tidak boleh
lupa bahwa pandangan hidup kaum borjuis terikat lebih kuat pada akal
sehat daripada pandangan hidup aristokratis. Kaum bangsawan barangkali
belum pernah dengan begitu tegas menyatakan dukungannya pada
pemikiran yang jernih dan logis, bebas dari sentimen, kepuasan, dan
kebodohan emosional; adalah kaum borjuis - yang menentang segala
bentuk teatrikalitas atau retorika – yang pertama kali mengembangkan
pemikiran rasional tentang eksistensi, prinsip-prinsip tentang gaya hidup
yang bersahaja, wajar, dan hemat yang memperhitungkan sarana yang
tersedia. Kaum borjuis yang terdiri dari pekerja-pekerja keras menyadari
keterbatasan sarana dan kekuatannya sehingga menyesuaikan diri lebih
cepat dengan rancangan hidup yang rasionalistis, dapat dicapai, dan dapat
dipertahankan, dibandingkan dengan kaum aristokratis yang selalu
berbicara banyak tentang hak istimewanya yang semakin hari semakin
problematik. Oleh karena itu, kaum borjuis lebih responsif terhadap
kejernihan, objektivitas, dan kesederhanaan klasisisme, yang terbebas dari
ornamentasi jaman baroque, dibandingkan dengan kaum aristokratis yang
penuh keangkuhan dan kemegahan dan hanya berkeinginan untuk
mempengaruhi/mengesankan orang lain. Kaum aristokrasi masih di bawah
pengaruh orang Spanyol yang penuh angan-angan dan sangat mewah,
sedangkan kaum borjuis dan para kolektor antusiastis tentang kejernihan
serta kenormatifan Poussin, di mana karya-karyanya – yang sebagian
besar dilukis pada jaman Richelieu dan Mazarin – dibeli dan dikoleksi oleh
anggota-anggota borjuis, pegawai negeri sipil, pedagang, dan ahli
keuangan. Penting untuk dicatat bahwa Poussin tidak menerima komisi
20

untuk lukisan dekoratif yang berskala monumental. Dan karena dia tidak
mampu mencocokkan seni yang resmi pada jamannya dengan ideal gaya
klasik yang masih diingat, dia jarang menerima komisi gerejawi.
Bagaimana asal usul dan pengesahan standar nilai yang digunakan
sebagai dasar oleh Poussin dan sebagian besar seniman-seniman pada
jaman itu ketika menciptakan lukisan mereka, di mana tradisi ini terbukti
begitu penting sehingga bahkan diakui oleh Cezanne? Poussin sendiri tidak
bertanggungjawab atas standar-standar nilai tersebut, sama seperti kaum
borjuis tidak bertanggungjawab atas penghasilan prinsip-prinsip bentuk
dalam karya drama Corneille – sang pengacara Rouen – walaupun
klasisisme rasionalistis tidak akan terbayangkan tanpa percampuran kaum
borjuis dengan masyarakat umum atau teatrikalitas yang bergaya di
lingkungan istana. Baik la cour maupun la ville ikut berperan dalam asal
usul antagonisme gaya baroque klasik. Walaupun tampak jelas bahwa para
wakil dari suatu perkembangan kultural pada umumnya merupakan salah
satu golongan tertentu atau kalangan kultural tertentu, namun
pemahaman yang terlalu sederhana tentang fungsi ini, dan terutama
pandangan homogen terhadap para arbiter/pendamai selera, memberikan
gambaran yang salah tentang proses yang sebenarnya.
Seorang seniman bisa menciptakan karya-karyanya dengan
kalangan atau pihak-pihak tertentu dalam benaknya, tetapi dia tidak
menciptakan karya-karyanya itu sepenuhnya dan hanya berdasarkan
kriteria selera kalangan tersebut. Di samping itu, karya-karyanya itu tidak
selalu jatuh ke dalam tangan orang-orang yang dimaksud tersebut, dan
sangat jarang menjadi milik orang-orang tersebut secara tetap. Setiap
seniman tentu saja berkeinginan bahwa hasil karyanya bisa dimiliki oleh
para pengikutnya dan cenderung menganggap orang-orang yang membeli
karyanya sebagai “teman”nya. Namun, dalam arti kata sebenarnya orang-
21

orang ini tidak merupakan anggota dari masyarakat pendukungnya yang


sebenarnya, dan seringkali mereka tidak sepenuhnya mengerti apa yang
sang seniman ingin mencapai ketika menciptakan karyanya. Walaupun
demikian, masyarakat seni merupakan kelompok yang sangat beragam di
mana setiap stratanya terpisah satu sama yang lain oleh batasan-batasan
yang bersifat cair (tidak pasti). Apabila sebuah lukisan tidak jatuh ke dalam
tangan yang tepat – yaitu tangan yang akan menjamin kenikmatan yang
sebenarnya bagi sang pemilik dan kemungkinannya untuk dinikmati oleh
orang-orang lain yang mampu mengapresiasinya – maka keadaan yang
terjadi sama seperti ketika sebuah buku “sudah tidak dicetak lagi” atau
disebut “hilang” oleh perpustakaan. Untuk bisa mendapatkan suatu
“masyarakat” (pendukung), karya-karya seni tidak hanya perlu dipisahkan
dari sang penciptanya melainkan juga harus dipindahkan dari satu pihak ke
pihak lain dan dari mulut ke mulut. Tetapi sang seniman sendiri belum
tentu harus tahu tentang peredaran ini. Setelah keruntuhan sistem
patronase lama, yang mengakibatkan hilangnya keamanan materi bagi
sang seniman, setelah karya-karya seni mulai diperdagangkan dalam arti
modern, yang mengakibatkan anonimitas dalam hubungan antara sang
produser seni dan sang konsumen, maka situasi baru mulai berkembang di
mana sang seniman bukan hanya jarang mengetahui siapa pemilik karya-
karyanya melainkan juga semakin tidak peduli terhadap hal tersebut. Dia
sudah tidak lagi menghadapi orang-orang individu melainkan suatu massa
yang besar, tidak dikenal, dan sulit dipahamai, yang disebut “masyarakat
seni”. Dia mungkin merasa tersanjung jika lukisannya menjadi bagian dari
koleksi terkenal, tetapi para agen dan penasehat dari para kolektor ikut
berperan dalam hal itu, sama seperti peringkatnya sebagai seorang
seniman dan kualitas artistik lukisannya juga ikut berperan. Dia tidak
dalam posisi untuk mencari pembeli bagi karyanya, sama seperti seorang
22

penulis drama atau komponis tidak bisa memilih siapa yang akan hadir
ketika drama atau komposisinya dipertunjukkan. Pada umumnya, lebih sulit
untuk mengusir mereka daripada menangkap mereka. Seringkali serangan
paling tajam terhadap salah satu lapisan masyarakat tidak akan mencegah
masyarakat tersebut dari mengagumi sang penyerang. Tetapi penghinaan
tidak menjamin sukses yang lebih baik daripada sanjungan.
Konsumsi seni untuk alasan gengsi selalu terjadi; tetapi semakin
hari semakin meningkat dan menjadi lebih sulit dihitung jumlahnya karena
ekonomi yang bersifat fluktuatif. Dalam hal kualitatif pun, perkembangan
pasar seni memiliki efek yang berbeda pada kasus-kasus berbeda, dan
pengaruhnya terhadap pembentukan selera artistik tidak menentu. Dengan
peningkatan minat terhadap seni, kemampuan menilai kualitas biasanya
semakin halus dan kekuatan kritis masyarakat semakin kuat. Peningkatan
pada jumlah orang yang tertarik dengan seni bisa berkaitan dengan
standar yang semakin menurun dan bahkan tidak ada. Tentu saja tidak
banyak manfaat apabila, ketika karya-karya seni ditampilkan, semakin
banyak orang siap untuk merasa bosan bersedia atau mengurangi tuntutan
mereka supaya terhibur.
Bagaimanapun, prinsip dari perkembangan ketertarikan pada seni
masih tetap – tanpa mempermasalahkan seberapa jauh perubahan pada
susunan masyarakat seni – yaitu bahwa orang-orang yang bersifat
progresif hari ini akan menjadi orang konservatif pada masa yang akan
datang. Keprogresifan dan konservatisme terkondisikan bukan oleh sifat
dan temperamen para representatif, melainkan oleh konstelasi historis
tertentu pada jamannya. Ketika Matisse memamerkan karyanya yang
menandai sebuah jaman – yaitu La joie de vivre pada tahun 1906, Paul
Signac, salah satu pelukis penting dan progresif dan pada saat itu juga
wakil presiden Salon des independents, merupakan salah satu orang yang
23

protesnya paling keras tentang lukisan yang “gila” tersebut. Satu tahun
kemudian, Matisse bereaksi dengan cara serupa dan sikap tidak sabar
terhadap lukisan Picasso berjudul Les demoiselles d’Avignon. Dia
menggambarkan lukisan itu sebagai suatu penyerangan terhadap seluruh
gerakan seni modern. Dengan demikian, pada umumnya adalah para
seniman yang dulu menjadi anggota dari kelompok avant-garde, bukan
para filistin reaksioner yang bermusuhan dengan seni, yang menghalangi
jalan sukses bagi para seniman modern yang revolusioner. Pada tahun
1908, ketika menjadi salah satu anggota dari juri Salon d’automne, Matisse
menolak dengan sikap sangat jahat dan tegas karya-karya Braque, sama
seperti para pengikut “cubism” menolak karya-karya Duchamp pada tahun
1912. “Borjuisifikasi” para revolusioner dan pengerasan terhadap para
seniman avant-garde merupakan proses tanpa henti di mana bukan hanya
seniman dan orang awam, melainkan tahap-tahap perkembangan yang
berbeda – biasanya dalam generasi yang sama – saling bertentangan dan
menolak dengan cara yang paling keras. Para seniman berubah menjadi
masyarakat kritis, yang berprasangka dan seringkali berpikiran sempit,
ketika menghadapi generasi seniman yang lebih muda dan berusaha
melebihi pencapaian para pendahulunya. Dengan demikian, kita peduli
dengan masyarakat bukan sebagai suatu kategori ontologisme melainkan
kategori fungsional. Dengan kata lain, orang-orang tidak merupakan
melainkan menjadi “masyarakat” dengan berbagai syarat tertentu.
Namun, seni bukan ditujukan pertama dan terutama bagi para
seniman melainkan bagi orang awam, bagi orang-orang yang pertama
tidak ada hubungan dengan seni, walaupun pada akhirnya mereka banyak
belajar untuk berurusan dengannya. Seni seharusnya dalam jangkauan
setiap orang yang membutuhkannya, tetapi tidak bisa dipaksakan pada
24

siapapun. Bukan suatu kewajiban atau suatu kebaikan untuk mencintai


seni, melainkan suatu ujian kekuatan dan suatu kemenangan.

Anda mungkin juga menyukai