Anda di halaman 1dari 36

Pengertian Hukum Pidana, Macam-macam Hukum Pidana, Sifat Hukum

Pidana, Fungsi Hukum Pidana, Sumber Hukum Pidana, Ruang lingkup Hukum
Pidana

Nama : Shitta Nabila

Npm : 183112330050310

Universitas National Jakarta

2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji Syukur dan terima kasih atas berkah dan rahmat Tuhan Yang Maha
Esa. Sehingga penullis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “MAKALAH
Pengertian Hukum Pidana, Macam-macam Hukum Pidana, Sifat Hukum Pidana,
Fungsi Hukum Pidana, Sumber Hukum Pidana, Ruang lingkup Hukum Pidana ”
sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyelesaikan Mata Kuliah Hukum
Pidana Universitas Nasional.
Pada kesempatan yang sangat berharga ini, Penulis ini mengucapkan Terima kasih yang
sebesar-besarnya atas bantuan serta bimbingan selama ini dalam menyelesaikan makalah ini,
kepada:
1. Bapak M. Arief B, SH.MH dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional.

2. Samuel Kevin John.SH. yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini

3. Seluruh dosen Fakultas Hukum beserta Civitas Akademika Universitas Nasional yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis di dalam kegiatan
akademik maupun non akademik.

4. Orang tua tercinta dan tersayang, Papa Dr Eddy John.SE.MM dan Mama serta adik dan
saudara-saudara saya yang begitu membantu dan selalu mendoakan serta mendukung penulis
demi cepat terselesaikan makalah ini dan selalu memberikan semangat, keceriaan, perhatian
dan kasih sayangnya.

5. Teman-teman seperjuangan dan sahabat-sahabat saya yang memberikan dukungan dan


semangat.

Usaha yang maksimal telah dilakukan oleh Penulis, untuk menyelesaikan makalah ini namun
mengingat masih terbatasnya pengetahuan dan kemampuan Penulis, maka penulis menyadari
bahwa didalam penyusunan proposal skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai masukan bagi
Penulis.

Jakarta, 1 Mei 2019

Shitta Nabila
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan


yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan
atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia
itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya. dalam keadaan yang tidak
memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak
pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa
pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain.

Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan
suasana darikehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan
kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang
berbuat sampai ada ketidakseimbangan. Dan pertanggung jawaban yang wajib
dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya
dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami.

Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang
untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima
limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman
yang disebut “dipidanakan”.

Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk
mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan
kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh kehidupan sosial dan
agama. Kalau ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan ucapan maupun
dengan kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat
dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan
pertanggung jawaban dari kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu
sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pengertian hukum pidana ?

2. Apa saja macam-macam hukum pidana ?

3. Bagaimana sifat hukum pidana ?

4. Apakah fungsi dari hukum pidana ?

5. Apa saja sumber hukum pidana ?

6. Apa saja ruang lingkup hukum pidana ?

7. Bagaimana sistem hukuman pidana ?

8. Apa yang dimaksud hukum acara pidana ?

9. Apa saja yang termasuk dalam tindak pidana umum dan contoh kasusnya?
1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH

Pembuatan makalah ini bertujuan agar pembaca mengetahui tentang hukum


pidana.Selain itu agar pembaca dapat membedakan antara pelanggaran dan
kejahatan,sehingga dapat diterapkan di masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat memberikan


sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana
adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi
sebuah penger-tian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang
hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli
hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut :

W.L.G. Lemaire
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan
dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan
suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan
demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem
norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan
untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat
dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-
tindakan tersebut.

Simons
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam
arti objek tif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif
atau strafrecht in subjectieve zin.
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga
disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.Simons merumuskan hukum pidana
dalam arti objektif sebagai:

1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu
suatu pidana apabila tidak ditaati
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana dan;
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk pen-jatuhan dan penerapan
pidana.

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan
sempit, yaitu sebagai berikut :

1. Dalam arti luas


Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau
mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;

2. Dalam arti sempit


Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana
terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh
badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum
pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur
hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan
melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah
yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan
yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan
kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.

W.F.C. van Hattum


Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan
yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka
itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya
tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran
terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus
berupa hukuman.

Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Van Kan
Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbul-kan
kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada
saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan.
Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya
norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum
pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).

Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap
perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.

Hazewinkel-Suringa
Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan
dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana
(sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.

Adami Chazawi
Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi
ketentuan-ketentuan tentang:
1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan
melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang
disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan
itu.
2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar
untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan
yang dilanggarnya;
3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-
alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan
didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan,
menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya serta tindakan dan
upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum
tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara
dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi


bahwa hukum pidana adat pun yang tidak dibuat oleh negara atau political authority masih
mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar
dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum
adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka
perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara
dengan memper-hatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar
dan ketentuan- ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keha-rusan dan
kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam hal
apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan, serta ketentuan-ketentuan
mengenai hak dan cara penyi-dikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan
pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini men-
cakup juga hukum (pidana) adat, serta bertujuan mengadakan keseim-bangan di
antara pelbagai kepentingan atau keadilan.

Sejauh mana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan mempe-ngaruhi hukum
pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung kepada
penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat (setempat),
masih/tidaknya hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh
mana hukum (pidana) adat masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah Pancasila
dan undang-undang yang berlaku.
Ketergantungan yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap
penerapan hukum (pidana) adat. Dengan demikian sebenarnya asas legalitas masih tetap
dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal
terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat dengan undang-undang yang berlaku,
maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan suatu pertikaian/perkara banyak
memegang peranan.

Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib mencari dan menemu-kan hukum. Hakim
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyara-kat, karena itu hakim sebagai manusia
yang arif dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak
boleh meno-lak memberi keadilan.

Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil gambaran tentang
hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya meru-pakan hukum yang mengatur
tentang:
1. Untuk melakukan suatu perbuatan;
2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu
perbuatan yang dilarang (delik);
4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.

2.2 PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut :
1. Hukum pidana dalam arti objek tif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil

Menurut van Hattum:

1. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang
dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan ter-hadap
tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang dapat dijatuhkan
terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
2. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang
bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara
konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara
pidana.
3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan (niet gecodificeerd) :

A. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum


Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP);
B. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang
tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di
Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21
Tahun 2007 ten-tang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan
peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.

4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus
(bijzonder deel)

A, Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang
diatur di dalam Buku I KUHP yang menga-tur tentang Ketentuan Umum;
B. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan
dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak
terkodifikasi.

5. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus bijzonder
strafrecht)
van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum
adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi
setiap orang (umum), sedang-kan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang
dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang ter-tentu saja
misalnya bagi anggota Angkatan Besenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang
mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.

6. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis Hukum adat yang beraneka
ragam di Indonesia masih diakui ber-laku sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum
adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut
Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-
sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit,
mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.
Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951,
ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti
yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni
1971, Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar kawin.
Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di
kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan
persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya menyebabkan E tersebut hamil
dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah mela-kukan delik kesusilaan
berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284
KUHP.
Dengan demikian sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum
pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak
mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai
akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa
hukum adat.

Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum
pidana nasional. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh
Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat
melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan
hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang
berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal
dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun
Pemerintahan Kota.
Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam
peraturan daerah itu secara mutlak harus dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan
penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat
kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum AcaraPidana.

Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga dapat
dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional (hukum pidana
supranasional). Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat, diakui dan
diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu
konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui dan
diberlaku-kan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

A. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetu-juan London (8-8-1945)


yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk
mengadili pen-jahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;

B.Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang
luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.
2.3 SIFAT HUKUM PIDANA

Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi, dengan
fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup
bermasyarakat dan untuk menjamin ke-tertiban hukum, maka hubungan hukum yang ada
dititikberatkan kepada kepentingan umum.

Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum pidana dalam


pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan
masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan
pula dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang
bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang
bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan
rakyat.

Hazewinkel-Suringa tegas mengatakan bahwa hukum pidana itu termasuk hukum publik.
Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah
tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama. Di situ terjadi
hubungan antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal dapatnya dipidana
(strafbaarheid) suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan
persetujuan orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak tergantung
kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan yang dapat dipidana itu.

Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang
pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana
khususnya dalam hal ganti kerugian.

Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat dike-tahui berdasarkan:
1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari korbannya;

2.Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan kepada keinginan dari
orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang
lain.
3.Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan
barang menjadi menjadi penghasilan negara.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum


publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan hukum yang diatur di dalam hukum pidana
titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-
kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan
hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang individu,
yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserah-kan kepada pemerintah sebagai
wakil dari kepentinan umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan,
penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu,

melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai
kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas
pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepen-tingannya, misalnya tindak pidana
penghinaan dan perzinahan.

Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat
hukum publik, seperti Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli
ini berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan kaedah-kaidah (norma)
baru, melain-kan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum
lainnya dan juga sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan ter-tentu, sanksi
tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan
lebih berat yang disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana.
Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah, bahwa
justru tidak selalu penguasa wajib menuntut suatu tindak pidana tertentu karena
dipersyaratkan harus ada "penga-duan" dari pihak yang dirugikan atau yang terkena
tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.

Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum
pidana nasional. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh
Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat
melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan
hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang
berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal
dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun
Pemerintahan Kota.
Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam
peraturan daerah itu secara mutlak harus dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan
penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat
kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum AcaraPidana.

Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga dapat
dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional (hukum pidana
supranasional). Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat, diakui dan
diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu
konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui dan
diberlaku-kan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

A. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetu-juan London (8-8-1945)


yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk
mengadili pen-jahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;

B.Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang
luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.
2.4 FUNGSI/TUJUAN HUKUM PIDANA

Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk


melindungi masyarakat.Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan
masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam
usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda
terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat
menimbulkankerugian atau mengganggu kepentingan orang lain.
Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang lain dalam usaha
memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum memberikan aturan-aturan yang
membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya

Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (Strafrechtscholen) dikenal dua aliran tujuan
dibentuknya peraturan hukum pidana, yaitu:

1. Aliran klasik
Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan
hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa (Negara).
Peletak dasarnya adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang "Dei delitte
edelle pene" (1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur
dengan undang-undang yang harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan
Beccaria itu, hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu
kekuasaan Raja Absolute dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-
wenang dengan menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk
tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan beratnya pidana yang diancamkan
karena hukumnya tidak tertulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai terjadi
peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di Perancis dengan kasus Jean Calas te
Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine
Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan
Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas, yang
menganggap Jean Calas tidak ber-salah membunuh anaknya, sehingga Voltaire
mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali
perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyata-kan Mauriac mati
dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan selanjutnya
pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J. Rousseau dan Montesquieu turut menuntut
agar kekuasaan Raja dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum tertulis
atau undang-undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu adalah usaha untuk
melindungi individu guna kepentingan hukum perseorangan.
Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu pera-turan tertulis
supaya setiap orang mengetahui tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak,
apa ancaman hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diharapkan akan
terjamin hak-hakmanusia dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan tertulis itu
akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan melahirkan kepas-tian hukum serta dapat
menghindarkan masyarakat dari kese-wenang-wenangan. Pengikut-pengikut ajaran ini
menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin kepentingan hukum
individu. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh sese-orang (individu) yang oleh
undang-undang hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana harus dijatuhkan
pidana. Menurut aliran klasik, penjatuhan pidana dikenakan tanpa memperhatikan
keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang
mendorong dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik
bagi orang yang me-lakukan kejahatan maupun bagi masyarakat sendiri (politik
kriminil).

2. Aliran modern
Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) menga-jarkan tujuan
susunan hukum pidana itu untuk melindungi masya-rakat terhadap kejahatan. Sejalan
dengan tujuan tersebut, perkem-bangan hukum pidana harus memperhatikan
kejahatan serta kea-daan penjahat. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain
adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat ada-lah salah satu ilmu
yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh kriminologi sebagai
bagian dari social science menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap bahwa
tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar ter-lindungi
kepentingan hukum masyarakat.

Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemuka-kan tentang fungsi/tujuan
hukum pidana:

Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Fungsi yang umum
Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi
hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur
hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat;

2. Fungsi yang khusus


Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum
terhadap perbuatan yang hendak memper-kosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi
yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang
terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragic
(suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai „mengiris
dagingnya sendiri‟ atau seba gai “pedang bermata dua‟, yang bermakna bahwa
hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum
(misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan, kehormatan), namun jika terjadi
pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan perlukaan
(menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum
pidana itu memberi aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini
perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah
subsidair, artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila
usaha-usaha lain kurang memadai.

Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik hukum
pidana berfungsi:

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang


menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebutKepentingan hukum yang
wajib dilindungi itu ada tiga macam, yaitu:

A. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen), misalnya kepentingan


hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan
hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama
baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain sebagainya;

B. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke belangen),


misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban
berlalu-lintas di jalan raya, dan lain sebagainya;

C. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya ke-pentingan hukum


terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-
negara saha-bat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan
wakilnya, dan sebagainya.

2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi
perlindungan atas berbagai kepentingan hukum
Dalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh
negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang
justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang
bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan, pemerik-saan
sampai kepada penjatuhan sanksi pidana kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat
besar ini, yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan
menjatuhkan pidana yang menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya ini
hanya dimiliki oleh negara dan diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di
dalam hukum acara pidana, agar negara dapat men-jalankan fungsi menegakkan dan
melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-
baiknya.

3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan


fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.
Kekuasaan negara yang sangat besar dalam rangka menegakkan dan melindungi
kepentingan hukum itu dapat membahayakan dan menjadi bumerang bagi warganya,
negara bisa bertindak sewe-nang-wenang jika tidak diatur dan dibatasi sedemikian
rupa, sehingga pengaturan hak dan kewajiban negara mutlak diperlukan.
Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan
tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat
saling bergantung, kepen-tingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan
dilindungi olehnorma-norma.

Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika
norma-norma tidak diataati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal,
misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun
jika me-nyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara
yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar
norma tersebut.
Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan pidana dalam prakteknya
masih juga merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dike-nakan
kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan
merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi
sosial.

Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan


pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah
laku para pelaku yang dapat dipidana. Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana
itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan
peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam
satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum
pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana,
walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan.
Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan,
kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan
penderitaan. Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu
merupakan ultimum remidium (obat terakhir). Sedapat mungkin diba-tasi, artinya kalau
bagian lain dari hukum itu sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui
oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman
Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap
merupakan suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana ada keberatannya, namun ini
tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus
mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan
sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.
2.5 SUMBER HUKUM PIDANA

Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata dan untuk keperluan itu,
para ahli hukum pidana telah memikirkan agar hukum pidana dapat “pasti” dan “adil”
sehingga timbullah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam undang-undang
dan atau kitab undang-undang (kodifikasi). Namun hal ini tidak berarti hukum pidana
yang ada di setiap negara di dunia, berbentuk undang-undang dan kodi-fikasi. Negara-
negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon hampir seluruhnya tidak mengenal
hukum pidana dalam bentuk kodifikasi dan hanya sebagian kecil negara-negara itu yang
mempunyai kodifikasi hukum pidana.

Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum.
Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil.
Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis


Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya adalah
Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch indie (W.v.S), sebuah Titah Raja
(Koninklijk Besluit) tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal
1 Januari 1918. KUHP atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie (turunan) dari Wetboek
van Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada
tahun 1886 tidak seratus persen sama, melainkan diadakan penyimpangan-
penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dulu,
akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya tetap sama.

KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal


17-8-1945 mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-undang
No. 1 Tahun 1942 (Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi:

“Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober


1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah
peraturan-
peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.

Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa Belanda.
Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945 kembali lagi ke
Indonesia, setelah mengungsi selama zaman pen-dudukan Jepang (1942-1945) juga
mengadakan perubahan-peru-bahan terhadap W.v.S. v.N.I. (KUHP), misalnya dengan
Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa
mengenai hukum pidana Pasal 570.

Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan yang


saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya
telah menimbulkan dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai ruang
berlakunya sendiri-sendiri.
Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam KUHP (peraturan hukum pidana). Guna
melenyapkan keadaan yang ganjil ini, maka dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 (L.N.
1958 No. 127) yang antara lain menyatakan bahwa UU R.I. No. 1 Tahun 1946 itu berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-perubahan yang diadakan
oleh Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap tidak ada.
KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua
golongan penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada
unifikasi. Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan
pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan pidana yang tidak
dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana
lainnya.

2. Hukum pidana adat


Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang
tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih
hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum
pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N.
1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat (meskipun
untuk orang dan daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun
masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap
mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas
legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.

3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)


M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan
oleh Menteri Kehakiman Belanda bersamadengan Rencana Undang-undang itu
kepada Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada
tanggal 1 September 1886 mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut dalam
pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia
Belanda. W.v.S. Hindia Belanda (W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari
1918 itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena itu M.v.T. dari
W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari
pasal-pasal yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.

Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu


perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang
utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam
pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1ayat (1) Konsep. Namun
berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini,
Konsep memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa
ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya "hukum yang
hidup" di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis
(UU) sebagai kriteria/patokan formal yang utama, Konsep juga masih memberi
tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai
dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan.
Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak
ada bandingnya (persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam undang-undang.

Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau
yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat adalah untuk lebih memenuhi
rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di
beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak
ter-tulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersang-kutan, yang
menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipi-dana. Dalam hal ini hakim
dapat meneta pkan sanksi yang berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat” setempat yang
harus dilaksanakan oleh pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai
dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih
memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat ter-tentu. Keadaan seperti
ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menja-min pelaksanaan asas legalitas serta
larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa menurut Konsep KUHP Baru
sumber hukum pidana itu adalah sumber hukum tertulis (undang-undang) dan sumber
hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat. Penjelasan Pasal 1 ayat (3) Konsep
KUHP Baru menyebut-kan, untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai
berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan ini meru-pakan
pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan
yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa embrio atau cikal-bakal dari pokok
pemikiran tetap diakuinya eksistensi/berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup di
dalam masyarakat sebagai salah satu sumber hukum pidana itu sebenarnya sudah
cukup lama dan tersebar di beberapa produk legislatif, antara lain dapat dilihat
sebagai berikut:

1. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang No. 1 Drt. 1951


" ... bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…..…
Bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim
melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,maka….....
terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang…..... tidak selaras lagi dengan zaman
senantiasa diganti seperti tersebut di atas."

2. UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1)


Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;

Pasal 25 ayat (1)


Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan per-undang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili;

Pasal 28 ayat (1)


Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya disebutkan, bahwa dengan bertolak dari kebijakan perundang-undangan
nasional seperti dikemukakan di atas (Undang-undang No. 1 /Drt/ 1951 dan Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman), dapat dikatakan bahwa perluasan asas legalitas secara
materiil di dalam konsep sebenarnya bukanlah hal baru, tetapi hanya melanjutkan dan
mengimplementasikan kebijakan/ide yang sudah ada. Bahkan kebijakan/ ide perumusan
asas legalitas secara material pernah pula dirumuskan sebagai "kebijakan konstitusional"
di dalam Pasal 14 ayat (2) UUDS'50 yang berbunyi: "Tiada seorang jua pun boleh
dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena aturan hukum yang sudah
ada dan berlaku terhadapnya."
Dalam pasal tersebut digunakan istilah "aturan hukum" (RECHT) yang tentunya lebih
luas pengertiannya dari sekadar aturan "undang-undang" (WET), karena dapat berbentuk
"hukum tertulis" maupun "hukum tidak tertulis
2.6 RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang
lingkup berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :

1. Asas Teritorialiteit (teritorialite its beginsel)atau asas wilayah negara.


2. Asas Personaliteit (personalite its beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan,
asas national itetakitif atau asas subjektif (subjektion sprinsip).
3. Asas Perlindungan (bescbermingsbeginsel) atau disebut juga asas nasionalitas pasif
(pasief nationalite its beginsel).
4. Asas Universaliteit (universalite its beginsel) atau asas persamaan.

2.7 SISTEM HUKUMAN HUKUM PIDANA


Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan bahwa hukuman
yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :

A. Hukuman Pokok (hoofd straffen)

1. Hukuman Mati
Tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan
bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati
ini kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih
banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.

2. Hukuman Penjara
Hukuman penjara sendiri dibedakan ke dalam hukuman penjara seumur hidup dan
penjara sementara.Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20
tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib
melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana
tidak mempunyai Hak Vistol

3. Hukuman Kurungan
hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena
kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.Biasanya terhukum dapat memilih
antara hukuman kurungan atau hukuman denda.Bedanya hukuman kurungan
dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat
ditahan di luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada
hukuman penjara dapat dipenjarakan di mana saja, pekerjaan paksa yang
dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan
yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan
mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman
penjara tidak demikian.

4. Hukuman Denda
Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan maksimum
kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.

5. HukumanTutupan
Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang
yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh
KUHP

B. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)


Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus
disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain:

1. Pencabutan beberapa hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim.


2.8 HUKUM ACARA PIDANA
Hukum acara Pidana yang disebut juga hukum Pidana formal mengatur cara
bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material.
Penyelenggaraannya berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang hukum
acara pidana.
Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu ditulis secara sistematik dan
teratur dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti dikodifikasikan dalam kitab
undang-undang hukum acara Pidana (KUHAP), KUHAP itu diundangkan berlakunya
sejak tanggal 31 Desember 1981 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76,
tambahan lembaran Negara No. 3209.

Tujuan pengkodifikasian hukum acara pidana itu terutama sebagai pengganti


Regleemen Indonesia (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan kepada hak-hak asasi
manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan
kepentingan umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal, menurut
pasal 2-nya menyatakan bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan
dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya, ruang lingkup berlakunya KUHAP ini
mengikuti asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak-tindak pidana
berdasarkan KUHAP hanya peradilan Umum, kecuali ditentukan lain oleh Undang-
Undang itu. Untuk melaksanakan KUHAP perlu diketahi beberapa hal penting antara lain
ialah :

A. Asas praduga tidak Bersalah (presumption of innacence)


Dalam pasal 8 Undang-
undang No. 14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa “ setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang mengatakan
kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap” berdasarkan asas praduga
tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana
tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dari hakim
Pengadilan, maka ia masih tetap memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara.

B. Koneksitas
Perkara Koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara seorang
atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang
hanya dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89 ayat 1 dinyatakan bahwa
“ Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan-peradilan umum, kecuali jika menurut
keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri Kehakiman
perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka kewenangan dalam mengadili perkara
koneksitas ada pada peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan umum tidak
mutlak tergantung kepada kerugian yang ditimbulkan dari adanya tindak pidana itu.

C. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan


Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa dalam melaksanakan putusan (eksekusi)
itu ketua pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan. Dalam pasal 277
ayat 1 KUHAP dinyat akan bahwa “ pada setiap pengadilan harus ada hakim yang
diberi tugas khusus untuk membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan
pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan Pidana perampasan
kemerdekaan”.
2.9 TINDAK PIDANA UMUM DAN CONTOH KASUSNYA
Tindak Pidana Umum merupakan keseluruhan tindakpidana yang termasuk dan diatur
dalam KUHP dan belum diatur secara tersendiri dalam Undang-undang khusus, seperti :

1.Makar

2. Kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden

3. Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya

4. Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan

5. Kejahatan terhadap ketertiban umum

6. Perkelahian tanding

7. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang

8. Kejahatan terhadap penguasa umum

9. Pemalsuan

10. Kejahatan terhadap asal-usul perkawinan

11. Kejahatan kesusilaan (Pemerkosaan, Pelecehanseksualdanpencabulan)

12. Meninggalkan orang yang perluditolong

13. Penghinaan

14. Membukarahasia

15. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang

16. Pembunuhan, dll.


BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam
masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan
terjaminnya kedamaian dan ketertiban.Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini,
dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu :
1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 –9 KUHP)
Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan
saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana
menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.

Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai


arti penting bagi pe-nentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu
negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut
tempat ini dapat dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas
personaliteit, asas perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit.
Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 9 KUHP.

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber
hukum yang tidak tertulis. ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana
khusus yang dibuat setelah kemerdekaan.
3.2 SARAN
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi.Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsure atau syarat
yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat
dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada
sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.
DAFTAR PUSTAKA

J.M. van Bemmelen.1979


. Hukum Pidana 1
, Bandung: Binacipta
P.A.F. Lamintang. 1990.
Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
, Bandung: Sinar Baru
http://aslanilmukuliah.blogspot.com/2010/01/pendahuluan-hukum-pidana.html
http://akfiniaditias.blogspot.com/2013/05/tugas-makalah-hukum-pidana.html

Anda mungkin juga menyukai