Anda di halaman 1dari 21

Analisis Perumusan dan Pemberlakuan Parliamentary Threshold (Ambang Batas

Parlemen) pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017


Tentang Pemilihan Umum

Abstrak

Penyelenggaraan pemilu secara demokratis adalah metode utama dalam menentukan pemimpin
dan wakil rakyat yang sesuai dengan kemauan rakyat. Penentuan wakil rakyat melalui
pengusulan partai politik menjadi syarat utama dalam demokrasi elektoral. Kewajiban partai
politik untuk memenuhi standar ambang batas parlemen telah diberlakukan sejak Pemilu
Legislatif 2009, dan kini tata pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 melalui RUU
Penyelenggaraan Pemilu telah selesai dibahas dan menjadi UU No. 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu. Parliamentary threshold menjadi salah satu isu utama yang dibahas. Makalah ini
melihat kepentingan dalam perumusan ambang batas parlemen dalam UU No. 7 Tahun 2017,
serta potensi implikasinya terhadap tingkat partisipasi partai politik, persentasi jumlah suara
hangus (tanpa perwakilan), dan peluang partai baru dan kecil.

Kata Kunci: Pemilu, Parlemen, Threshold, Persentase, Rancangan Undang-Undang.

Pendahuluan
Penerapan demokrasi pada suatu negara ditandai dengan dilaksanakannya pemilu.
Samuel P Huntington mendefinisikan pemilihan umum yang terbuka, bebas dan adil sebagai
esensi dari demokrasi - suatu sine qua non yang tidak dapat dielakkan (Huntington, 2001: 8—
9). Dalam pandangannya, Huntington mengartikan Pemilu sebagai metode yang paling baik
agar rakyat dapat secara langsung menentukan pemimpinnya melalui demokrasi. Legitimasi
rakyat terhadap pemimpin yang saat ini dianggap paling efektif yaitu melalui penyelenggaraan
pemilu yang menjadi syarat mendasar dari demokrasi. Menurut Schumpeter, demokrasi
minimalis menjelaskan bahwa pemilu merupakan hal yang minimal sebagai sesuatu yang
mendasar sebagai arena bebas dan fair bagi setiap orang untuk mendapatkan kekuasaan.
Demokrasi ini biasa disebut dengan demokrasi elektoral.
Juan Linz dan Alfred Stepan menyebutkan bahwa demokrasi dalam suatu negara dapat
dikatakan telah terkonsolidasi dengan baik apabila telah memenuhi tiga syarat. Salah satu syarat
tersebut adalah bahwa negara mampu melaksanakan suksesi kepemimpinan dengan menggelar
pemilihan umum yang bebas dan mendapatkan legitimasi rakyat, dimana warga negara secara
efektif menggunakan hak untuk memilih dan dipilih yang dilindungi oleh hukum dan negara
(Suswantoro, 2015: 2). Selain itu, negara mampu melalui transisi demokrasi dan negara mampu
menjalankan pemerintahan secara demokratis.
Senada dengan Suswantoro, menurut G. Sorensen, dalam negara demokrasi, pemilu
merupakan salah satu unsur vital. Salah satu parameter untuk mengukur demokratis atau
tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan
oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat (Sorensen,
2003: 1).
Penyelenggaraan pemilu akan sangat bergantung dari sistem yang berlaku pada suatu
negara. Pada umumnya, terdapat dua sistem yang diberlakukan negara-negara dunia, yaitu
sistem proporsional terbuka dan sistem electoral college. Sistem proporsional akan melihat
aspek perolehan suara yang diperoleh oleh kandidat secara keseluruhan, sedangkan electoral
college akan melihat pada aspek suara yang diperoleh berdasarkan perwakilan melalui partai
politik tertentu. Indonesia dalam sistem penyelenggaraan pemilunya menggunakan sistem
proporsional, sehingga setiap suara yang diperoleh akan sangat berpengaruh pada keterpilihan
dari kandidat yang diusung.
Dalam konteks pemilihan legislatif juga dikenal aturan pemilihan seperti sistem
pemilihan proporsional terbuka dan proporsional tertutup. Bahkan pada beberapa negara ada
yang menerapkan gabungan dari keduanya. Indonesia pernah menerapkannya pada pemilihan
umum legislatif yang dilaksanakan pada masa Orde Baru. Namun terlepas dari sistem apapun
yang diberlakukan pada sistem pemilihan umum legislatif, yang juga sangat menentukan suatu
partai politik dapat masuk ke parlemen adalah dalam hal penentuan ambang batas parlemen
(parliamentary threshold).
Parliamentary threshold merupakan batasan jumlah suara yang harus diperoleh partai
politik dalam pemilihan umum legislatif untuk bisa masuk ke parlemen. Perkembangan ambang
batas parlemen (parliamentary threshold) telah diberlakukan sebelumnya pada tahun 2014
dengan persentase sebesar 3,5%, mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. Pada tahun 2019, Indonesia akan melaksanakan
pemilihan umum serentak. Hal ini didasarkan pada keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 januari 2014 yang mengatakan pemisahan penyelenggaraan
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai
inkonstitusional. Yang kemudian dimaknai bahwa penyelenggaraan dua Pemilu tersebut harus
dilakukan secara serentak dalam satu hari Pemilihan Umum. Dalam mempersiapkan
pelaksanaan pemilihan umum 2019 tersebut, Pemerintah Indonesia dan DPR mempersiapkan
aturan hukum sebagai landasan pelaksanaan Pemilihan Umum.
Penyusunan kembali Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu 2019 pada awal tahun
2017 menjadi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 merupakan penyatuan (kodifikasi)
Undang-Undang yang sebelumnya telah ada, diantaranya Undang-Undang nomor 42 tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang nomor 8 tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang nomor
15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dari pembahasan yang dilakukan
selama perumusan RUU Penyelenggaraan Pemilu ini di DPR, terdapat beberapa isu krusial
yang menjadi pembahasan utama. Tiga diantaranya adalah parliamentary threshold,
presidential threshold, dan sistem pemilihan legislatif.
UU Nomor 7 tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum memutuskan
diberlakukannya parliamentary threshold sebesar 4 %. Hal ini dijelaskan pada pasal 414 ayat
(1) UU Nomor 7 Tahun 2017; ―Partai politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara paling sedikit 4 % (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk
diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR‖.

Parliamentary threshold menjadi permasalahan penting karena ambang batas ini akan
menentukan jumlah partai politik yang bisa masuk ke dalam parlemen nantinya. Parliamentary
threshold juga menentukan arah partisipasi partai politik pada pemilihan umum 2019. Untuk
itu, pada makalah ini kami berfokus untuk menganalisis tarik ulur kepentingan politik (power
interplay) dalam penentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), mengkaji
dampak parliamentary threshold yang pernah diterapkan di Indonesia sebelumnya, serta

2
melihat sejauhmana parliamentary threshold dapat mendorong peluang partisipasi demokrasi
di Indonesia.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analisis.
Metode kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada
metodologi yang menyelidiki duatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan
ini, peneliti membuat suatu gambaran komplek, meneliti kata-kata, laporan terinci dan
pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 2008: 15).
Penulis mengumpulkan data dari dokumen-dokumen maupun literatur terkait yang merupakan
data sekunder dalam penelitian. Data tersebut kemudian diolah dan dianalis langsung oleh
penulis. Dengan demikian, data yang diperoleh memberikan gambaran yang jelas terkait
permasalahan yang diteliti.

Landasan Teoritis
Penyelenggaraan Pemilu Demokratis
Inti dari demokrasi adalah pelibatan rakyat dalam pembentukan dan penyelenggaraan
pemerintahan melalui partisipasi, representasi, dan pengawasan (Gaffar, 2013: 35). N.D. Arora
dan S.S. Awasthy menyebutkan salah satu ciri demokrasi adalah pemerintah harus
bertanggungjawab kepada yang diperintah, pemerintah harus dipilih yang diperintah atau
setidaknya oleh wakil yang diperintah (Aurora and Awasthy, 2008: 308—309). Dengan
demikian, pemilu yang demokratis dapat menjadi mekanisme bagi masyarakat untuk
memastikan wakilnya yang dipilih melalui partai politik dapat masuk ke dalam parlemen dalam
hal mengartikulasikan kepentingan pemilih sebagai konstituen.
Menurut Gerald Pomper, ada beberapa manfaat pemilu bagi kelangsungan demokrasi di
suatu komunitas politik. Pertama adalah sebagai sarana bagi apa yang disebut Rousseau sebagai
―general will‖. Melalui pemilu, kinerja politik secara keseluruhan dapat dibenahi. Kedua,
alasan seluruh proses pemilu dilakukan terutama adalah untuk menghasilkan pemerintahan
yang memiliki legitimasi. Ketiga, melalui partisipasi dalam pemilu, para pemikir politik seperti
John Locke meyakini bahwa para pemilih (warga) dapat mempraktekkan prinsip self-
determination secara konkret, yang kemudian akan meningkatkan kualitasnya sebagai makhluk
politik. Dan keempat, pemilu dilakukan sebagai kontrol secara berkala atas kekuasaan. Para
pemilih memerlukan pemilu untuk memastikan agar pemimpin yang berkuasa dapat secara
berkala diganti untuk meminimalisir potensi munculnya tirani (Pomper, 1967: 478-491). Lebih
lanjut Sigit Pamungkas menjelaskan bahwa agar kredibilitas pemilu dapat terjamin, maka
pemilu harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut (Suswantoro, 2015: 22—23):
1. Independensi dan ketidakberpihakan, artinya lembaga pemilu tidak boleh tunduk pada
arahan dari pihak manapun.
2. Penyelenggara pemilu harus bekerja secara efektif dan efisien. Efisiensi dan efektivitas
bergantung pada beberapa faktor termasuk profesionalisme staf, sumber daya, dan yang
paling penting adalah waktu yang memadai untuk menyelenggarakan pemilu.
3. Penyelenggara pemilu harus bekerja berdasarkan prinsip profesionalisme 4. Penyelenggara
pemilu harus cepat membuat keputusan dan lagi tidak berpihak.
5. Adanya transparansi.

3
Teori Elite
Peran aktor (fraksi-fraksi di DPR RI) dalam perumusan ambang batas parlemen dalam
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga akan dijelaskan dengan teori elite. Adapun teori
elite yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori elite sebagaimana yang diungkapkan
oleh Mills, Keller, Mosca, dan Pareto, yang pada intinya menyatakan bahwa elite masih sangat
berperan dalam pengambilan keputusan penting. Dalam memahami tarikmenarik dalam
perumusan ambang batas parlemen maka tidak dapat lepas dari adanya peran elite dalam
prosesnya. Sebab, para elite-lah yang sesungguhnya berperan dalam memutuskan sebuah
kebijakan apa yang hendak digunakan atau diusulkan, seperti halnya dalam perumusan ambang
batas parlemen. Para elite tersebut adalah elite fraksi DPR RI yang merupakan kepanjangan
tangan dari partai politik serta para pimpinan dan anggota pansus yang ikut membahas terkait
ambang batas parlemen tersebut. Oleh karena itu, perlu kiranya kita memahami bagaimana
interaksi politik yang terjadi antar-elite tersebut secara konseptual.
Interaksi politik atau adanya tarik-menarik kepentingan antar-kekuatan politik dapat
diketahui melalui bagaimana sikap politik dan perilaku politik dari para elite yang memegang
kekuasaan, baik di level suprastruktur kekuasaan (lembaga negara) maupun infrastruktur
kekuasaan (partai politik). Hal itu disebabkan sikap dan perilaku politik elite merupakan tanda
yang dominan dan menjadi indikator untuk menentukan dalam sistem politik apa sebuah proses
komunikasi politik berlangsung. Interaksi politik yang merupakan konsekuensi dari adanya
interaksi politik adalah suatu proses komunikasi politik dan dapat ditelaah berdasarkan teori
elite politik. Maknanya, suatu interaksi politik akan senantiasa terkait dengan motif dasar yang
dimiliki oleh para elite politik, khususnya dalam pembuatan suatu kebijakan atau pengambilan
keputusan, perlu dilihat apa latar belakang atau motif dasar para elite politik dalam menentukan
suatu keputusan bagi kebijakan politik, termasuk dalam proses pembahasan sebuah susbtansi
dalam rancangan undang-undang.1
C. Wright Mills mengartikan elite sebagai suatu kelompok dalam masyarakat yang
menduduki posisi komando pada puncak pranata utama masyarakatnya. Mereka adalah
orangorang terpilih yang menduduki posisi terdepan dilihat dari kekuatan, kekayaan, dan
kemashuran. Mereka adalah anggota masyarakat lapisan atas yang memiliki kelebihan
psikologis dan moral tertentu. Elite adalah orang-orang yang memiliki karakter dan energi
superior.2
Menurut Suzanne Keller, 3 terdapat konsep bahwa elite adalah sekelompok individu
yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Di sinilah peran elite
menentukan sebuah keputusan politik itu lahir atau tidak dan akan seperti apa bentuknya.
Sementara, Gaetano Mosca melihat elite sebagai sebuah kelompok politik.4 Dalam proses
interaksi politik, elite berkuasa merupakan aktor utama yang mengelola dan mengendalikan
sumber-sumber komunikasi. Elite selalu menjalin komunikasi (interaksi) dengan elite

1
Rochajat Harun dan Sumarno, Komunikasi Politik sebagai Suatu Pengantar, (Bandung: CV Mandar Maju, 2006),
hlm. 20.
2
C. Wright Mills, The Power of Elite, (Oxford: Oxford University Press Inc., 1956), sebagaimana dikutip oleh
Valina Singka Subekti, ―Proses Perubahan UUD 1945 di MPR RI 1999-2002 Dalam Transisi Demokrasi di
Indonesia‖, Disertasi, (Jakarta: Departemen Ilmu Politik, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, 2006), hlm. 33.
3
Sebagaimana dikutip oleh Jayadi Nas, Konflik Elit di Sulawesi Selatan: Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal,
(Makassar: Lephas dan Yayasan Massaile, 2007), hlm. 33. 4 Rochajat Harun dan Sumarno, Op.cit, hlm. 20.
4
masyarakat untuk mendapatkan legitimasi dan memperkuat kedudukan sekaligus
mempertahankan status quo.4
Kekuasaan politik selalu dijalankan oleh elite yang sesungguhnya merupakan kelompok
minoritas. Mannheim sebagaimana dikutip oleh Rochajat dan Sumarno menyatakan bahwa
pembentukan kebijakan sebetulnya ada di tangan para elite, tetapi hal ini bukan berarti
masyarakat tidak demokratis. Selanjutnya menyatakan bahwa dalam negara terdapat
kesempatan bagi setiap individu untuk menjalankan pemerintahan atau setidaknya menyalurkan
aspirasinya. Hal ini berarti bahwa kelompok masyarakat yang sedang tidak memegang
kekuasaan (menjadi elite) dapat menggeser elite yang sedang berkuasa selama mendapat
dukungan masyarakat. Kelompok ini akan menjadi elite baru yang memegang kekuasaan.6
Gaetano Mosca menyatakan bahwa:
―Dalam seluruh masyarakat—dari masyarakat yang demikian kurang terbangun dan sedikit
sekali mengalami peradaban, hingga ke masyarakat yang paling maju dan penuh kekuatan—
muncul dua kelas manusia—sebuah kelas yang berkuasa dan sebuah kelas yang dikuasai‖. 5
Selanjutnya, ditegaskan oleh Mosca bahwa kelas pertama (yang menguasai) yang
jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan
menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua (yang
dikuasai) yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama.6 Adapun
asumsi yang pertama yang mendasarinya bahwa dalam setiap masyarakat itu tidak pernah
terdapat distribusi kekuasaan yang secara merata. Mereka yang memiliki sumber daya
kekuasaan, memiliki kekuasaan politik dan jumlah yang memiliki kekuasaan politik yang
sedikit sekali, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam masyarakat-negara. Asumsi
yang kedua, jumlah orang yang memerintah suatu masyarakat selalu lebih sedikit daripada yang
diperintah. Itulah sebabnya, mengapa elite politik dirumuskan sebagai sekelompok kecil orang
yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Asumsi
yang ketiga, di antara elite politik, terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-
nilai, yang berarti, mempertahankan status sebagai elite politik.7
Teori elite lainnya sebagaimana diungkapkan oleh Vilfredo Pareto yang menyampaikan
teori tentang pertukaran dan mobilitas kelas. Dalam konteks peran elite dikenal oleh Pareto
sebagai sirkulasi elite (elite circulation). Menurut Pareto, elite adalah minoritas yang
menentukan nasib kaum mayoritas yang dapat disebut sebagai the rulling elite. Dalam konteks
inilah Pareto menyebutnya dengan pergantian elite dan sirkulasi elite. Menurutnya, yang
disebut dengan kaum (kelompok) elite adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas
terbaik serta memiliki kemampuan untuk mencapai kekuasaan sosial politik. Elite juga
merupakan individu yang mampu menduduki jabatan tinggi di masyarakat. Kaum elite ini
diyakini oleh Pareto berasal dari kelompok yang sama, yaitu individu yang kaya dan pandai.
Dalam gagasannya, Pareto tidak menyatakan bahwa elite pengatur berasal dari kelas ekonomi
tertentu, seperti yang dikemukakan oleh Marx. Pareto menyebut individuindividu yang

4
Ibid., hlm. 21. 6
Ibid., hlm. 22.
5
Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm.
447. Lihat juga Michael G. Raskin, dkk., Political Science: An Introduction, Ninth Edition, (New Jersey:
Prentice Hall, Upper Saddle River, 2006), hlm. 78.
6
Gaetano Mosca, The Rulling Class, (New York: McGraw-Hill, 1939), hlm. 50, sebagaimana dikutip oleh Mochtar
Masóed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993), hlm. 77.
7
P. Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 56–57.
5
bersirkulasi di antara elite yang tinggi dan strata non-elite yang rendah. Pada strata elite yang
tinggi terdapat kelompok yang memerintah dan elite yang tidak memerintah (non-pemerintah).8
Selanjutnya, Robert Michel, dalam teorinya iron law of oligarcy (hukum besi oligarki)
menjelaskan bahwa peran partai politik khususnya pimpinan partai politik menjadi sangat
dominan. Selain itu, pada tubuh partai politik (fraksi), sebagaimana yang diungkapkan oleh
Robert Michels, maka tidak mungkin terhindar dari munculnya fenomena oligarki. Menurutnya,
partai sebagai suatu entitas dan bagian dari mekanisme tidak selalu dapat diidentifikasikan
dengan totalitas anggotanya dan juga dengan kelas yang memiliki partai itu. Penyebab utama
oligarki dalam partai-partai demokratis adalah kebutuhan teknis yang mendesak akan
kepemimpinan. 9 Melalui proses dalam partai tersebut dan dengan adanya hal-hal kompleks
yang ada di dalamnya, para pemimpin menemukan dirinya terpisah dari massanya.
Pembentukan oligarki di dalam berbagai bentuk organisasi adalah akibat kebutuhan organis.
Dengan demikian, fraksi yang merupakan suatu entitas yang terorganisir dan mempunyai
hierarki, tidak tertutup kemungkinan terjebak dalam hukum besi oligarki, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Robert Michels.
Sementara itu, partai-partai yang mendapat kursi melalui pemilihan umum
menempatkan wakil-wakilnya di DPR dan tergabung dalam fraksi-fraksi. Fraksi dasar
pijakannya adalah partai. Segi positif dari adanya fraksi adalah ada yang memberi arahan.
Dalam konteks kepartaian dan keparlemenan di Indonesia maka sebagai konsekuensi sistem
proporsional maka anggota DPR tidak mungkin meninggalkan fraksi karena mereka menjadi
anggota DPR adalah melalui partai politik.
Berdasarkan uraian teori elite di atas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pareto,
Mosca, Mills, Keller, dan Michel, dapat disimpulkan bahwa elite politik adalah sekumpulan
orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan politik tertentu yang mempunyai kekuasaan
untuk memengaruhi atau bahkan menentukan keputusan-keputusan politik, baik terkait dengan
substansi kebijakan maupun dalam pengambilan keputusan terhadap suatu kebijakan yang akan
berdampak pada kehidupan masyarakat luas. Elite dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada
elite yang memerintah saja atau yang menduduki jabatan tinggi dalam lembagalembaga politik
formal, seperti lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja, tetapi juga mereka yang
memegang posisi penting dalam partai politik, kelompok kepentingan maupun kekuatan sosial
ekonomi lainnya. Elite politik menurut Michel perannya sangat menentukan dalam
memutuskan keputusan politik strategis yang akan berdampak pada masyarakat luas.

• Teori Kepentingan Politik


Menurut Blair King dalam lembaga perwakilan terdapat peran dari interest
(kepentingan), yaitu (1) interest yang bersifat personal ekonomi; (2) interest yang dipengaruhi
oleh kepentingan konstituen; (3) interest dari lembaga perwakilan itu sendiri; dan (4) interest
dari partai-partai politik.10 Hal ini sebagaimana dipertegas oleh Valina Singka bahwa dalam diri

8
Ronald H. Chilcote, op.cit., hlm. 476. Lihat juga, S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press,
1990), hlm. 202.
9
Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), hlm. 60.
10
Blair King, Empowering The Presidency: Interests And Perceptions In Indonesia’s Constitutional Reforms
1999-2002, (Ohio: Ohio State University, 2004), sebagaimana dikutip oleh Valina Singka Subekti, op.cit., hlm.
39.
6
partai politik selalu melekat tiga hal, yaitu ideologi, kepentingan, dan kekuasaan. 11 Dengan
demikian, kepentingan fraksi-fraksi (partai politik) atas kekuasaan atau posisi merupakan
kepentingan yang bersifat alamiah berdasarkan oreintasi dan nilai-nilai tertentu. 12 Dalam
konteks ini, hubungan antarfraksi dalam Pansus RUU tentang Penyelenggara Pemilu
merupakan sebuah interaksi politik yang memperlihatkan adanya kepentingan politik. Oleh
karena itu, menjadi penting untuk mengetahui apa kepentingan fraksi-fraksi dalam proses
perumusan ambang batas parlemen dalam Pansus RUU tentang Penyelenggara Pemilu yang
menjadi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

• Konsep Parliamentary Threshold


Election threshold adalah hasil minimum yang harus diperoleh oleh sebuah partai politik
untuk bisa mendapatkan perolehan kursi di parlemen. Salah satu tujuan dari penerapan election
threshold adalah untuk menghambat representasi dari partai kecil atau untuk memaksanya
bergabung dengan koalisi. Dengan demikian, sistem pemilihan dapat lebih stabil karena partai-
partai gurem selalu terhalangi oleh aturan ini. Adapun penerapan threshold juga kerap dikritik
karena dianggap terlalu memihak partai-partai besar, dan merugikan partaipartai dengan basis
massa yang kecil (Lijphart, 1994: 25).
Parliamentary threshold menurut kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary, terdiri
dari kata parliament yang berarti sekumpulan orang yang terpilih untuk membuat dan
mengubah hukum di suatu negara (the group of people who are elected to make and change the
laws of a country) (Homby, 2003: 959), an threshold yang berarti batasan tertentu untuk
memulai sesuatu (the level at which something starts to happen) (Homby, 2003: 1408). Dengan
demikian, parliamentary threshold dapat diartikan sebagai batasan yang harus dipenuhi oleh
sekumpulan orang untuk bisa membuat dan mengubah hukum yang ada pada suatu negara.
Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold merupakan salah satu instrumen
teknis pemilu yang ditemui dalam negara-negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional
(Al-Fatih, dkk, 2015). Dalam hal ini, Indonesia termasuk negara yang menerapkan sistem
pemilihan umum proporsional. Menurut August Mellaz, baik threshold, electoral threshold,
ataupun parliamentary threshold pada dasarnya sama, yakni ambang batas (syarat) yang harus
dilampaui oleh partai politik, untuk dapat mengirimkan wakilnya ke lembaga perwakilan
(Mellaz, rumahpemilu.org).
Kebijakan threshold juga bisa digunakan sebagai parameter untuk menentukan kondisi
demokrasi di suatu negara. Terdapat dua karakter negara demokrasi, yaitu negara demokrasi
transisi dan negara demokrasi mapan. Biasanya, negara demokrasi transisi, terutama yang
sedang berada dalam situasi dan gejolak konflik yang mendalam, lebih memerlukan keterikatan
diantara semua pihak. Dengan demikian, dibutuhkan threshold yang rendah bagi partai peserta
pemilu agar bisa menyuarakan aspirasinya. Sementara untuk negara demokrasi mapan, biasanya
lebih memilih threshold yang lebih tinggi (Reilly dan Reynolds, 1998: 16).
Ketentuan tentang parliamentary threshold di masing-masing negara umumnya
dipengaruhi oleh keberadaan kultural dan historis negara tersebut berdiri. Tidak ada besaran

11
Ibid., hlm. 35.
12
Hal ini sebagaimana terlihat dalam definisi partai politik yang dijelaskan oleh Miriam Budiardjo bahwa partai
politik ialah kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita
sama yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik agar dapat
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Lihat Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 403–404.
7
resmi bagi suatu negara mengenai penerapan parliamentary threshold. Beberapa referensi
mengenai parliamentary threshold dibeberapa negara menunjukkan variabel yang berbeda.
Negara-negara di dunia yang menerapkan parliamentary threshold, tidak ada batas mutlak bagi
setiap negara. Batas mutlak ini tidak membubuhkan adanya suatu keharusan bagi setiap negara
untuk menerapkannya. Hal yang lazim ada adalah terdapat pengecualian dari mekanisme
parliamentary threshold (Ummul Firdaus, 2010: 95—96). Di Indonesia parliamentary
threshold merupakan syarat ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk di
parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya,
lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Ketentuan tersebut diterapkan dalam
Pemilihan Umum 2009, ketentuan tersebut dirumuskan secara implisit dalam Pasal 202
Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Ummul Firdaus,
2010: 96). Pada Pemilihan Umum 2014, ketentuan mengenai parliamentary threshold diatur
pada pasal 208 Undang-Undang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Perkembangan Parliamentary Threshold di Indonesia


Pemilihan Umum 2009
Pemilihan umum legislatif di Indonesia yang pertama kali menerapkan aturan terkait
parliamentary threshold terjadi pada Pemilihan Umum 2009. Pemberlakuan parliamentary
threshold ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat itu yaitu pasal
202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bunyi
Pasal tersebut adalah:
―(1) Partai politik peserta Pemilihan Umum harus memenuhi ambang batas perolehan
suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan kursi DPR. (2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi
DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.‖

Pasal tersebut menunjukkan bagi partai politik yang tidak memperoleh suara diatas 2,5
% maka akan tereliminasi dari perolehan suara di parlemen. Dari 38 partai politik yang ikut
dalam Pemilihan Umum legislatif tahun 2009, hanya 9 yang lolos parliamentary threshold.
Berikut hasil perolehan suara dan kursi yang diperoleh masing-masing partai politik tersebut.

Tabel 1. Perolehan Suara dan Kursi Partai Politik pada Pemilu 2009

No. Nama Partai Politik Perolehan Suara Perolehan Kursi


1. Partai Hati Nurani Rakyat 3.922.870 18
2. Partai Gerakan Indonesia Raya 4.646.406 26
3. Partai Keadilan Sejahtera 8.206.955 57
4. Partai Amanat Nasional 6.254.580 43
5. Partai Kebangkitan Bangsa 5.146.122 27
6. Partai Golongan Karya 15.037.757 107
7. Partai Persatuan Pembangunan 5.533.214 37
8. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 14.600.091 95
9. Partai Demokrat 21.703.137 150

8
Total 85.051.132 560
Sumber: Gaffar, 2013: 149—151.

Perolehan suara diatas menunjukkan bahwa Parliamentary threshold yang hanya 2,5 %
pada Pemilihan Umum pada tahun 2009 telah mengeliminir 29 partai politik dari parlemen.
Pada pemilihan umum 2009, dilihat dari konteks perolehan jumlah secara keseluruhan, dari
total 171 juta pemilih, pemilih yang memberikan hak suara sebesar 121.588.366 (17.488.581
suara tidak sah). Dengan demikian terlihat tingkat partisipasi sebesar 71 % dengan jumlah suara
sah sebesar 104.099.785 suara. Sementara total suara sah yang akhirnya terhitung (terwakilkan)
di dalam parlemen sebesar 85.051.132 suara. Dengan kata lain terdapat 19.048.653 suara
pemilih yang tidak mendapatkan tempat perwakilannya di parlemen. Padahal secara partisipatif,
pemilih tersebut telah ikut berpartisipasi pada Pemilihan Umum legislatif.

Perbandingan juga bisa dilihat pada pemilihan umum legislatif tahun 2004 yang tidak
memberlakukan parliamentary threshold. Jumlah suara sah yang dihitung adalah 113.462.414.
Partai politik peserta Pemilu Legislatif 2004 sebanyak 24 partai politik dan hanya meloloskan
16 partai politik yang masuk ke dalam parlemen. Berikut ini urutan perolehan suara 16 parpol
yang lolos:

Tabel 2. Perolehan Suara dan Kursi Partai Politik pada Pemilu 2004
No. Nama Partai Politik Perolehan Suara Perolehan Kursi
1. Partai Golkar 24.480.757 128
2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 109
3. Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 52
4. Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 58
5. Partai Demokrat 8.455.225 55
6. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 45
7. Partai Amanat Nasional 7.303.324 53
8. Partai Bulan Bintang 2.970.487 11
9. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 14
10. Partai Damai Sejahtera 2.414.254 13
11. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 2.399.290 1
13. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 4
14. Partai Nasional Indonesia Marhaaenisme 923.159 1
15. Partai Pelopor 878.932 3
16. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 1
Total 107.749.158 550
Sumber: Diolah oleh penulis dari berbagai sumber.

Kurniawan dan Saraswati, pada artikelnya yang dimuat The Jakarta Post pada tanggal 6
Mei 2004 menyatakan, pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2004, dari 148.000.369 pemilih
terdaftar, terdapat 124.420.339 pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Dengan kata lain
persentasi pemilih sebesar 84,06 %. Dari total jumlah suara yang masuk, 113.462.414 suara
(91,19%) dinyatakan sah dan 10.957.925 tidak sah. Dari 113.462.414 suara sah, terdapat
107.749.158 suara yang lolos mengirimkan perwakilannya untuk masuk pada parlemen.
Dengan demikian suara yang biasa dikatakan hangus setelah mengikuti pemilihan umum dan
suara sah adalah 5.713.256 suara. Hal ini menunjukkan pada Pemilihan Umum Legislatif 2004
suara sah pemilih yang hangus lebih kecil dibandingkan Pemilihan Umum Legislatif 2009.

9
Peningkatannya cukup signifikan dari 5.713.256 suara menjadi 19.048.653 suara. Hal ini
disebabkan pemberlakuan parliamentary threshold yang pertama kali pada tahun 2009.

Pemilihan Umum 2014

Pemberlakuan parliamentary threshold kemudian dilanjutkan pada Pemilihan Umum


Legislatif 2014 sebesar 3,5%. Pada Pemilihan Umum Legislatif 2014, parliamentary threshold
didasarkan pada peraturan perundang-undangan pasal 208 dan pasal 209 UndangUndang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bunyi pasal 208 tersebut yaitu:

―Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional
untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.‖

Ambang batas ini meningkat dari pemilihan umum 2009 yang hanya 2,5% menjadi
3,5%. Maka partai politik yang hanya mendapatkan perolehan suara dibawah 3,5 % dari jumlah
suara sah yang masuk akan tereliminasi dan tidak diikutkan dalam perhitungan kursi di
parlemen.

Pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 terdapat 15 Partai politik yang ikut berpartisipasi
dalam kontestasi politik (3 diantaranya adalah partai politik lokal), sehingga hanya 12 partai
politik yang ikut dalam pemilihan umum secara nasional. Dari 12 partai politik tersebut terdapat
dua partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Tabel 3. Perolehan Suara dan Kursi Partai Politik pada Pemilu 2014.

No. Nama Partai Politik Perolehan Suara Perolehan Kursi


1. Partai NasDem 8.402.812 35
2. Partai Kebangkitan Bangsa 11.298.957 47
3. Partai Keadilan Sejahtera 8.480.204 40
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 23.681.471 109
5. Partai Golongan Karya 18.432.312 91
6. Partai Gerakan Indonesia Raya 14.760.371 73
7. Partai Demokrat 12.728.913 61
8. Partai Amanat Nasional 9.481.621 49
9. Partai Persatuan Pembangunan 8.157.488 39
10. Partai Hati Nurani Rakyat 6.579.498 16
Total 122.003.647 560
Sumber: KPU RI, 2014: 42.

Pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 jumlah suara sah adalah sebesar 124.972.491.
Sedangkan jumlah suara tidak sah sejumlah 15.076.606. Jumlah Pemilih hadir dan memberikan
suara di TPS adalah sejumlah 140.049.097, dan bila dibandingkan dengan jumlah Pemilih
dalam DPT sejumlah 187.852.992, maka dapat diukur tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu
2014 adalah sebesar 74,55%. Dari hasil perhitungan suara yang dilakukan, Partai Bulan Bintang
memperoleh suara 1.825.750 suara, sedangkan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
10
1.143.094 suara (KPU, 2014: 42). Dengan kata lain, terdapat 2.968.844 suara pemilih yang
partai pilihannya tidak lolos mengirimkan perwakilannya untuk duduk di Parlemen.

Secara kuantitas, jumlah 2.968.844 suara pada Pemilu Legislatif 2014 mengalami
penurunan yang sangat signifikan jika dibandingkan pada Pemilu Legislatif 2009 yang
mencapai 19.048.653 suara hangus tanpa mendapatkan hak sebagai warga negara untuk
menentukan wakilnya di Parlemen sebagai Perwakilan Rakyat. Penurunan ini juga dipengaruhi
jumlah partai politik yang mendaftarkan diri dan lolos sebagai peserta Pemilu Legislatif 2014
yang lebih kecil dibandingkan 2009.

Analisis Permasalahan

Dalam analisis permasalahan di sini akan dibahas dua hal, yaitu bagaimana tarik
menarik kepentingan politik (power interplay) dalam penentuan Parliamentary Threshold dan
bagaimana implikasi dari pemberlakuan Parliamentary Threshold itu sendiri?

Kepentingan Politik dalam Penentuan Parliamentary Threshold

Penerapan parliamentary threshold pada Pemilihan Umum 2019 akan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Pada saat perumusan UU Nomor 7 Tahun 2017,
parliamentary threshold menjadi salah satu isu krusial dalam pembahasan aturan pelaksanaan
Pemilu Serentak 2019. Pada akhirnya, Pemerintah dan DPR memutuskan ambang batas
parlemen menjadi 4%. Perbedaan pandangan dan kepentingan terhadap persentase ini akan
dibahas dalam bagian ini.
Parliamentary threshold menjadi permasalahan penting yang akan berpengaruh pada
hasil yang akan dicapai oleh partai politik pada Pemilu 2019. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, partai-partai besar lazimnya mendukung penerapan parliamentary threshold yang
besar, sedangkan partai-partai kecil, terutama yang baru berdiri, akan menentang penetapan
parliamentary threshold, dengan alasan sebagai penghambat demokrasi. Oleh karena itu, guna
memuluskan pengesahan parliamentary threshold, kali ini DPR turut melibatkan partai politik
baru untuk diminta pendapatnya terkait parliamentary threshold. Seperti yang diberitakan
News detik.com pada tanggal 9 Februari 2017 bahwa partai baru yang diundang antara lain
Partau Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Islam Damai Aman (Idaman), Partai Persatuan
Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya. Hal ini bertujuan untuk menjaring pandangan dari
partai politik baru yang kemungkinan besar parliamentary threshold akan sangat berimbas pada
partai politik baru.
Dinamika pandangan terkait parliamentary threshold ini menjadi kepentingan setiap
partai politik yang ada di parlemen. Secara internal DPR dan Pemerintah, pembahasan
parliamentary threshold mengalami tolak tarik yang menimbulkan perdebatan antar fraksi
partai politik. Semua fraksi menyetujui penetapan parliamentary threshold, perbedaan yang
mengemuka biasanya lebih terletak pada angka batas yang kira-kira akan diterapkan: 3,5%,
5%, 7%, atau bahkan 10%. Berbeda halnya dengan wacana penetapan presidential threshold
yang lebih menimbulkan pro-kontra di parlemen. Berdasarkan pandangan fraksi di DPR,
berikut pilihan yang menjadi usulan masing-masing partai politik.
Perumusan ambang batas parlemen tersebut pertama kali dilakukan dalam rapat kerja
(raker) antara Pansus RUU tentang Penyelenggara Pemilu dengan Pemerintah dan DPD tanggal

11
30 November 2016. Terkait ambang batas parlemen, Pemerintah dan DPD menyampaikan
pandangan sebesar 3,5%, sementara fraksi-fraksi DPR menyampaikan beragam pandangan,
bahkan ada yang belum menyampaikan pandangan sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.
Tabel
Pandangan Fraksi-Fraksi DPR RI terkait Ambang Batas Parlemen dalam Rapat Kerja Pansus RUU
tentang Penyelenggara Pemilu dengan Pemerintah dan DPD
PANDANGAN
NO. FRAKSI
TERKAIT AMBANG BATAS PARLEMEN
1. Fraksi PDIP Ambang batas perolehan suara sah secara nasional Partai Politik untuk diikutkan
dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR perlu mendapat perhatian dan skala
prioritas dalam pembahasan.
2. Fraksi Partai Ambang batas parlemen merupakan salah satu isu penting yang patut menjadi
Golkar perhatian.
3. Fraksi Partai -
Gerindra
4. Fraksi Partai -
Demokrat
5. Fraksi PAN Alasan penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dengan menerapkan
kenaikan besaran Parlementary Threshold adalah kurang tepat, karena justru akan
meminggirkan keberadaan partai-partai kecil dan menengah yang juga
mendapatkan suara sah dari rakyat.
6. Fraksi PKB Parliamentary threshold, meliputi besaran PT dan apakah Parliamentary Threshold
tersebut berlaku nasional atau tidak?
7. Fraksi PKS Electoral Threshold 3,5% yang diusulkan pemerintah sudah sesuai dengan nilai
multipartai dan meminimalisir suara masyarakat yang tidak representasikan.
8. Fraksi PPP -
9. Fraksi Partai Usulan PT 3,5% dari Pemerintah untuk penguatan sistem Presidensial dalam sistem
Nasdem kepartaian yang multipartai perlu dilakukan peninjauan lagi, karena dalam hal
penguatan sistem Presidensial agar terciptanya Pemerintahan yang kuat dan
berwibawa dengan multi Partai, maka perlu dinaikan jumlah prosentase ambang
batas semaksimal mungkin.

10. Fraksi Partai Apakah masih tetap diperlukan Parliamentary Treshold. Pertanyaan tersebut, perlu
Hanura memerlukan kajian dan jawaban yang komprehensif, karena bersifat substansial.

Sumber: Diolah dari Laporan Singkat Rapat Kerja Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu tanggal 30
November 2016.
Berdasarkan tabel tersebut terlihat ada lima kelompok pandangan fraksi. Pertama, fraksi
yang menyampaikan pandangan berupa pentingnya adanya ambang batas parlemen, yaitu
FPDIP dan FPG. Kedua, fraksi yang menyampaikan pandangan berupa penolakan adanya
ambang batas parlemen, yaitu FPAN. Ketiga, fraksi yang menyampaikan pandangan berupa
perlunya ambang batas dikaji lagi, yaitu FPKB, FP-Nasdem, dan FP-Hanura. Keempat, fraksi
yang menyampaikan pandangan bahwa ambang batas parlemen 3,5% adalah sudah sesuai, yaitu
FPKS. Kelima, fraksi yang belum menyampaikan pandangan, yaitu FPGerindra, FPD, dan
FPPP. Dengan demikian, terkait ambang batas parlemen pada awal pengusulan, fraksi-fraksi
menyampaikan pandangan yang tidak sama atau beragam.
Namun, berdasarkan hasil rapat Pansus tanggal 16 Februari 2017, memunculkan juga
beragam pandangan ambang batas parlemen yang disepakati sebagai berikut:
Tabel Usulan Ambang Batas Parlemen dari Fraksi-Fraksi

12
Nama
No. Usulan Besaran Ambang Batas Parlemen
Fraksi
1. FPDIP 5%
2. FPG 10%
3. FPGerindra 3,5% (tetap)
4. FPD Belum menentukan (meminta penjelasan pemerintah)
5. FPAN Tidak menentukan besaran.
Partai Politik peserta pemilu yang memperoleh jumlah suara sah secara nasional
diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
6. FPKB 5%
7. FPKS 3,5% (tetap)
8. FPPP 3,5% (tetap)
9. FPNasdem 7%
10. FPHanura 3,5% (tetap)
Sumber: Diolah dari Laporan Singkat Rapat Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu tanggal 16 16 Februari
2017.

Selanjutnya, ambang batas tersebut akhirnya mengerucut menjadi empat pilihan,


sebagaimana terlihat dari hasil Raker Pansus tanggal 17 Februari 2017, sebagai berikut:
Tabel Pandangan Fraksi-Fraksi tentang Ambang Batas Parlemen

No. Pilihan Pandangan Fraksi


1. 3,5 % PAN, Gerindra, PPP, Hanura, PKS, PKB, Demokrat
2. 4,5 % PKS, PKB
3. 5% PDIP, PKB
4. 7% Golkar, Nasdem, PKB
Sumber: Diolah dari Laporan Singkat Rapat Kerja Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu tanggal 16 17
Februari 2017.
Meskipun demikian, pandangan terkait dengan ambang batas parlemen pun berubah
juga. Hal ini sebagaimana terlihat dari hasil lobby rapat Pimpinan Pansus RUU tentang
Penyelenggara Pemilu dengan Perwakilan Fraksi-Fraksi yang ada di DPR tanggal 12 April
2017, ambang batas parlemen disepakati, sebagai berikut:
Tabel Pandangan Fraksi-Fraksi tentang Ambang Batas Parlemen
No. Pilihan Fraksi
1. 3,5 % PAN, Gerindra, PPP, Hanura, PKS, PKB, Demokrat
2. 5% PDIP, PKB, Golkar, PKS, Demokrat
3. 7% Nasdem
Sumber: Diolah dari Laporan Singkat Hasil Lobi Pimpinan Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu dengan
Pimpinan Fraksi-fraksi tanggal 12 April 2017.
Berdasarkan hasil lobi tersebut, kemudian dibawa ke dalam forum Rapat Kerja Pansus
dengan Pemerintah tanggal 8 Juni 2017, yang pada akhirnya fraksi-fraksi menyepakati
pembahasan ditunda dan menyepakati ada empat pilihan terkait ambang batas parlemen, yaitu
3,5%; 4%; 5%; dan 7%. Namun, berdasarkan hasil lobi-lobi antara fraksi-fraksi dan Pemerintah
dalam Rapat Kerja Pansus tanggal 14 Juni 2017, ambang batas parlemen disepakati menjadi
dua pilihan, yaitu 4% dan 5%. Selanjutnya, berdasarkan hasil Rapat Pansus tanggal 12 Juli
2017, ambang batas parlemen pun memunculkan pilihan yang berbeda pula, yang sebelumnya
dua pilihan akhirnya menjadi tiga pilihan, yaitu 3,5%; 4%; dan 5%. Hal ini berlanjut hingga

13
pengambilan keputusan dalam Pembicaraan Tingkat I dalam Rapat Kerja Pansus tanggal 13 Juli
2017, yang tetap menghasilkan tiga pilihan, yaitu 3,5%; 4%; dan 5%.
Perumusan ambang batas parlemen dari Pembicaraan Tingkat I yang tidak mencapai
konsensus tersebut, kemudian dibawa ke dalam Pembicaraan Tingkat II, yaitu forum Rapat
Paripurna yang merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan
publik yang akan diputuskan oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR. Namun, dalam Rapat
Paripurna DPR yang diselenggarakan tanggal 20 Juli 2017 pukul 09.00 WIB hingga pukul 14.00
WIB, ambang batas parlemen juga belum mencapai mufakat sehingga Rapat Paripurna di skors
dan disepakati untuk dilakukan lobi-lobi terlebih dahulu di antara fraksi-fraksi yang ada di DPR.
Rapat Paripurna pun akhirnya dibuka kembali pada 19.30 WIB, untuk menyampaikan hasil dari
lobi-lobi. Hasil dari lobi-lobi tersebut, akhirnya ambang batas parlemen disepakati menjadi 4%
tanggal 21 Juli 2017 pukul 00.20 WIB dini hari. Namun, pada saat akan dilakukan pengambilan
keputusan ambang batas tersebut, ada empat fraksi (FP-Gerindra, FPD, FPAN, dan FPKS
dengan jumlah 216 anggota) yang melakukan walkout dan menyatakan tidak ikut bertanggung
jawab atas pengambilan keputusan tersebut. Dengan demikian, ambang batas parlemen hanya
disepakati oleh enam fraksi (FPDIP, FPG, FPKB, FPPP, FP-Nasdem, dan FP-Hanura dengan
jumlah 322 anggota) yang dilakukan secara aklamasi.13

Dalam sebuah perumusan kebijakan yang berbentuk undang-undang di DPR selalu


menyertakan aspek politik di dalamnya karena melibatkan fraksi-fraksi yang merupakan
kepanjangan tangan partai politik, baik secara institusi maupun non-institusi. Merujuk pada
teori elite yang digagas oleh Mills (1956),14 misalnya, fraksi DPR (yang terdiri dari anggota
DPR) dianggap sebagai power elite yang memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi, politik,
dan militer. Melalui aktivitasnya dalam fraksi DPR, mereka kemudian masuk ke dalam the
rulling class dan selanjutnya menjadi elite yang mampu memengaruhi kebijakan publik yang
sedang atau telah dibuat. Jika elite politik dalam gagasan Mills mengacu kepada individu, atau
kelompok orang yang memiliki dan menggunakan pengaruh dalam segala aktivitasnya maka
fraksi DPR bisa dikatakan termasuk ke dalam kelompok elite. Kelompok ini menjadi kelompok
minoritas jika dilihat dari segi jumlah, tetapi pengaruhnya mampu mengalahkan kelompok yang
lebih mayoritas. Mosca melihat bahwa elitisme tidak dapat dihindari, masyarakat tanpa kelas
adalah mitos dan demokrasi tidak lebih dari sekadar pura-pura.15
Setiap perumusan kebijakan pada sektor yang strategis, terutama yang berkenaan
dengan kepentingan politik, seperti dalam perumusan UU Pemilu, rasanya sulit untuk
menghindarkan dari intervensi dan kepentingan kelompok, terutama para elite politik, yaitu
fraksi-fraksi di DPR. Tidak jarang kebijakan yang dirumuskan dan disepakati oleh para elite
politik sebagai upaya untuk memberikan keuntungan bagi kelompok-kelompok tersebut.
Selama kebijakan yang dirumuskan dianggap belum mengakomodir kepentingan kelompok
tersebut, di situ pulalah kesempatan para pembuat kebijakan untuk menunda atau membiarkan

13
Lihat Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR RI tanggal 21 Juli 2017, hlm. 2.
14
C. Wright Mills mengartikan elite sebagai suatu kelompok dalam masyarakat yang menduduki posisi komando
pada puncak pranata utama masyarakatnya. Mereka adalah orang-orang terpilih yang menduduki posisi
terdepan dilihat dari kekuatan, kekayaan, dan kemashuran. Mereka adalah anggota masyarakat lapisan atas
yang memiliki kelebihan psikologis dan moral tertentu. Elite adalah orang-orang yang memiliki karakter dan
energi superior. Lihat C. Wright Mills, The Power of Elite, (Oxford: Oxford University Press Inc., 1956).
15
Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, diterjemahkan oleh Tri
Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 251.
14
proses kebijakan menjadi terhambat. Hal ini sebagaimana terlihat dalam perumusan ambang
batas parlemen, yang selalu menghadirkan beragam pandangan dari fraksi-fraksi yang
mempunyai kepentingan.16
Oleh karena itu, elite politik, yaitu fraksi DPR yang merupakan pembuat kebijakan
publik berperan sangat penting dalam menentukan proses perumusan kebijakan secara politik.
Tidak menutup kemungkinan bahwa para elite politik menjadi aktor penentu apakah sebuah
proses perumusan kebijakan publik dapat diselesaikan dengan cepat, lambat atau justru ditolak
sama sekali. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Anderson (2006) bahwa dalam sebuah
proses perumusan kebijakan, tidak semua berakhir dengan dikeluarkannya sebuah produk
peraturan perundang-undangan. Dalam proses ini, bisa juga pembuat kebijakan mengambil
sikap untuk tidak mengambil tindakan terhadap suatu masalah atau kebijakan yang sedang
dibahasnya. Masalah yang muncul dibiarkan selesai dengan sendirinya atau bisa juga pembuat
kebijakan tidak mencapai kata sepakat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap suatu
masalah tertentu. 17 Ketidaksepakatan yang terjadi dapat diakibatkan oleh berbagai faktor,
misalnya deadlock pada sebuah isu krusial, kelompok-kelompok yang terlibat sama-sama tidak
mau melakukan kompromi dan melakukan distribusi kepentingan, beragamnya kepentingan
sehingga tidak mampu diselesaikan melalui mekanisme politik yang biasa.
Dalam perumusan ambang batas tersebut terlihat bahwa kewenangan fraksi begitu kuat
dan dominan dalam menentukan pandangan/sikapnya ataupun dalam pengambilan keputusan.
Hal ini mencerminkan hukum besi oligarki, sebagaimana diungkapkan oleh Robert Michels
bahwa pada tubuh partai politik (fraksi) tidak mungkin terhindar dari kemungkinan munculnya
fenomena oligarki. Menurutnya, ―Partai, sebagai suatu entitas dan bagian dari mekanisme
tidak selalu dapat diidentifikasikan dengan totalitas anggotanya dan juga dengan kelas yang
memiliki partai itu.‖ Penyebab utama oligarkhi dalam partai-partai demokratis adalah kebutuhan
teknis yang mendesak akan kepemimpinan.18 Melalui proses dalam partai tersebut dan dengan
adanya hal-hal kompleks yang ada di dalamnya, para pemimpin menemukan dirinya terpisah
dari massanya. Pembentukan oligarki di dalam berbagai bentuk organisasi adalah akibat
kebutuhan organis. Fraksi yang merupakan suatu unit kerja yang terorganisir dan mempunyai
hierarkhi tidak tertutup kemungkinan terjebak dalam hukum besi oligarki.
Selain itu, terlihat juga adanya perdebatan alot dalam menentukan besaran ambang batas
parlemen sehingga aturan main politik tidak menentu bahkan konsensus pun sulit dicapai. Di
dalam era transisi menuju demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Guillermo O’Donnell dan
Philippe C. Schmitter bahwa:
―Aturan main politik sama sekali tidak menentu. Tidak hanya karena aturan main tersebut bekerja dalam
perubahan yang terus-menerus terjadi, tapi juga karena biasanya aturan tersebut dipertarungkan dengan
sengit. Para pelaku politik tidak hanya berjuang untuk sekedar memuaskan kepentingankepentingan
pribadi sesaat dan atau kepentingan orang lain yang mereka wakili, namun juga berjuang untuk

16
Menurut Blair King dalam lembaga perwakilan terdapat peran dari interest (kepentingan), yaitu (1) interest yang
bersifat personal ekonomi; (2) interest yang dipengaruhi oleh kepentingan konstituen; (3) interest dari lembaga
perwakilan itu sendiri; dan (4) interest dari partai-partai politik. Lihat Blair King, Empowering The
Presidency: Interests And Perceptions In Indonesia’s Constitutional Reforms 1999-2002, (Ohio: Ohio State
University, 2004).
17
Teguh Kurniawan, ―Perumusan Kebijakan: Sumbang Saran pemikiran dari Berbagai Perspektif Teori yang
ada‖, dalam Makalah yang disampaikan dalam Penyusunan Pedoman Perumusan Kebijakan Lembaga
Administrasi Negara (LAN), Jakarta, 2010.
18
Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), hlm. 60.
15
menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang konfigurasinya dapat menentukan siapa
yang mungkin akan menang atau kalah di masa mendatang‖.19
Selain itu, mengingat Indonesia mengadopsi sistem multipartai maka menjadikan politik
Indonesia bagai kembali pada suasana perpolitikan pada demokrasi parlementer pada era 1950-
an. Dalam perkembangannya, pada masyarakat Indonesia diduga ada fakta bahwa sejak
kemerdekaan dan sekarang, sulit untuk mencapai konsensus dalam berbagai hal, sebagaimana
diungkapkan oleh Alfian bahwa:
―Mereka mudah berkonflik tetapi sulit untuk mencapai konsensus. Salah satu alasan yang diberikan pada
zaman demokrasi liberal, ialah karena kelompok-kelompok masyarakat atau anggota-anggota masyarakat
ketika itu mau benar sendiri, mau menang sendiri. Mereka menganggap pendapatnya atau pandangan
mereka saja yang benar. Pandangan orang atau kelompok lain, tentu tidak benar. Dalam suasana seperti
itu, dimana masing-masing kelompok menganggap dirinya saja yang benar—jadi orientasi politiknya
selalu mengandung sifat selfrighteousness atau kebenaran diri sendiri—maka dengan sendirinya tidak
mungkin terdapat titik-titik temu atau konsensus. Keasyikan dengan paham dan pandangan sendiri serta
sikap apriori menolak ide atau pendapat golongan lain dalam suasana liberal itu ternyata menjurus kepada
apa yang disebut anarkhisme dalam politik.‖20
Jika ditinjau dari teori Elite Mills tentang Power Elite maka kebijakan yang diambil
cenderung hanya diputuskan oleh segelintir elite menjadi fakta empiris dalam perumusan
ambang batas parlemen. Meskipun secara prosedural menjadi sebuah keputusan yang
demokratis dalam forum rapat-rapat panitia khusus. Perumusan ambang batas parlemen yang
terjadi di Pansus, tidak terlepas dari adanya barter atau tukar-menukar kepentingan dan
diarahkan guna meraih kekuasaan pada Pemilu 2019 khususnya dari setiap partai politik melalui
fraksinya yang ada di DPR. Selain itu, proses penentuan ambang batas parlemen harus
didasarkan pada adanya kesadaran dari setiap fraksi bahwa keputusan yang diambil bermanfaat
untuk semua pihak, terutama kepada rakyat sebagai pihak yang dikuasai sebagaimana teori elite
Mosca.
Apabila melihat teori elite sebagaimana dijelaskan oleh Mosca, 21 Pareto,22 dan Mills
serta Michel bahwa dalam pengambilan keputusan di lembaga perwakilan (lembaga legislatif),
terlihat sangat berperannya para aktor pembuat kebijakan (para elite) dalam proses pengambilan
keputusan, khususnya dalam perumusan ambang batas parlemen. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa para aktor pembuat kebijakan publik, dalam hal ini perumusan kebijakan
ambang batas parlemen, sangat menentukan, baik terkait dengan substansi kebijakan maupun
terkait dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut. Dari uraian di atas terlihat
bahwa model aktor dalam pembuatan kebijakan publik, ambang batas parlemen merupakan
model aktor politik. Hal ini ditandai dengan pengambilan keputusan yang lebih pada tarik-
menarik dalam perebutan kekuasaan untuk Pemilu 2019 dan keputusan tersebut muncul sebagai
bentuk political interplay.
Dalam artikel Pikiran Rakyat mengenai penjelasan pemerintah perihal presidential
threshold dan parliamentary threshold, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa penetapan

19
Guillermo O’Donnell dan Philipe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan
Ketidakpastian, Jilid IV, Penerjemah Nurul Agustina, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 2.
20
Alfian dalam Ismid Hadad (ed.), Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 120.
21
Gaetano Mosca, The Rulling Class, (New York: McGraw-Hill, 1939), hlm. 50, sebagaimana dikutip oleh
Mochtar Masóed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993), hlm. 77.
22
Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm.
476. Lihat juga, S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 202.
16
parliamentary threshold sebesar 4% sejalan dengan upaya pemerintah untuk membangun sistem
multipartai sederhana. Menurut Tjahjo, parliamentary threshold bertujuan untuk mencapai
sistem parlemen yang efektif dan pelembagaan sistem perwakilan. Argumen Tjahjo mengenai
pemberlakuan ambang batas parlemen ini memang sejalan dengan kepentingan pemerintahan
Joko Widodo – Jusuf Kalla untuk menciptakan hubungan eksekutif-legislatif yang lebih efisien
seandainya mereka terpilih lagi pada Pemilu 2019. Dengan demikian, pada periode
kepemimpinan yang kedua, kekuatan sistem presidensial dan keleluasaan pihak eksekutif dapat
lebih besar dalam menjalankan programnya.

Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa partai pemerintah yakni PDIP turut
mendukung parliamentary threshold sebesar 5%. Tentu ini bertolak belakang dengan sikap
mereka yang ingin mempertahankan parliamentary threshold di angka 2,5% saat pemerintah
SBY menggulirkan wacana parliamentary threshold 5% pada tahun 2010. Bisa dibilang salah
satu alasan PDIP menolak parliamentary threshold pada 2010 adalah peluang menjadikan
Partai Demokrat sebagai partai yang kelewat dominan di dalam parlemen. Kondisi ini tentunya
telah berubah di tahun 2017.

Argumen pro-parliamentary threshold yang paling sering hadir memang kerap berkisar
pada penyederhanaan jumlah partai yang masuk ke parlemen. Meski demikian, banyak juga
yang sanksi terhadap solusi ini. Perludem menyebutkan bahwa menaikkan parliamentary
threshold tak otomatis dapat mengurangi jumlah partai parlemen. Buktinya, pada pemilu 2009
dengan angka threshold sebesar 2,5%, tercatat ada 9 partai di parlemen. Sedangkan pada pemilu
2014 dengan angka 3,5%, malah ada 10 partai yang masuk parlemen.

Implikasi Pemberlakuan Parliemantary Threshold

Secara umum, makalah ini melihat ada tiga implikasi utama dalam pemberlakuan
ambang batas parlemen yaitu tingkat partisipasi partai politik, persentasi jumlah suara hangus
(tanpa perwakilan), dan peluang partai baru dan kecil.

Partisipasi Partai Politik

38
40
35
30 24
25
Peserta Pemilu
20 16
12 Partai Lolos
15 9 10
10
5
0
Pemilu 2004 Pemilu 2009 Pemilu 2014

Grafik diatas menunjukkan tingkat partisipasi partai politik yang mengikuti kontestasi
Pemilihan Umum sejak tahun 2004. Secara jumlah, partai politik yang mengikuti Pemilihan
umum mengalami penurunan signifikan pada tahun 2009-2014. Ditambah lagi jumlah partai
17
politik yang lolos masuk ke parlemen berbanding jauh dengan jumlah partai politik yang
mendaftar. Ini disebabkan oleh pemberlakuan parliamentary threshold dan pemberlakuan
electoral threshold dalam hal partai yang mengikuti Pemilu 2014.

Partai politik sebagai sarana masyarakat untuk mengartikulasikan kepentingan kepada


pemerintah yang berkuasa menjadi sangat penting. Jika partai politik tidak bisa lagi menjadi
sarana bagi rakyat, maka penerapan demokrasi akan terhambat. Penyederhanaan jumlah partai
politik pernah dilakukan pada masa Orde Baru oleh Pemerintahan Presiden Suharto. Presiden
Suharto mereduksi jumlah partai politik menjadi dua partai politik dan satu golongan karya.
Partai politik yang berideologi islam dipusatkan pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
yang berideologi nasionalis di pusatkan pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Hal ini menimbulkan masalah apabila kita mengingat Indonesia yang multikultural.

Tuntutan untuk melahirkan partai berdasarkan kepentingan kelompoknya masingmasing


sangat besar di Indonesia. Bahkan dalam konteks multipartai sejarah Indonesia pada masa Orde
Lama memperlihatkan peserta pemilu yang begitu banyak pada Pemilu 1955. Pemilu 1955
diikuti lebih dari 118 peserta pemilu. Yang kemudian menghasilkan 27 partai politik yang
memperoleh kursi di DPR (Gaffar, 2013: 109). Namun permasalahan yang kemudian muncul
adalah kegaduhan politik yang mengemuka di parlemen yang sangat multikultur. Ditambah lagi
dengan sistem pemerintahan parlementer yang dipimpin Perdana Menteri. Sehingga dalam hal
parliamentary threshold, DPR juga harus mempertimbangkan tingkat partisipasi partai politik
yang stabil.

Suara Tidak Terwakilkan (Unrepresentative Vote)

Suara Hangus (Juta Suara)


19.05
20

15
Suara Hangus (Juta
10 5.71 Suara)
3
5

0
Pemilu 2004 Pemilu 2009 Pemilu 2014

Permasalahan kedua adalah presentasi jumlah suara hangus atau tidak mendapatkan
perwakilan di parlemen. Ini menjadi permasalahan penting dalam membangun budaya
demokrasi yang partisipatoris. Grafik diatas menunjukkan suara yang tidak terwakilkan di
parlemen pada setiap Pemilu Legislatif. Angka tertinggi ada pada Pemilu 2009 yang
menghilangkan hak suara pemilih hingga mencapai 19 juta suara. Hal ini sangat mempengaruhi
perilaku pemilih untuk berpartisipasi secara aktif pada pemilihan umum yang akan
diselenggarakan selanjutnya. Pemilih sebagai warga negara yang demokratis dipangkas haknya
untuk menentukan wakilnya sebagai representatif kedaulatan rakyat. Bahkan jika dibandingkan
dengan perhitungan jumlah suara pada penentuan kursi, jumlah tersebut harus direpresentasikan
dengan keberadaan wakil rakyat yang mewakili 19 juta orang.
18
Permasalahan ini penulis lihat sebagai akibat dari pemberlakuan parliamentary threshold pada
tahun 2009. Namun harus diakui, pada tahun 2014 persentasi jumlah suara hangus turun hingga
3 juta suara. Hal ini cukup signifikan dengan melihat tujuan dari pemberlakuan parliamentary
threshold sebagai upaya monitoring pada bertumbuhnya partai politik baru.

Partai Politik Baru

Peluang partai politik baru dan kecil untuk bersaing pada pemilihan umum juga semakin
kecil. Pemberlakuan parliamentary threshold sangat menguntungkan bagi partai politik besar
dan sudah memiliki basis massa yang tetap. Sementara partai politik baru dan kecil tidak mampu
bersaing. Ditambah lagi dengan kemampuan sumberdaya ekonomi dan sosial yang begitu besar
pada partai politik besar, menjadikan partai kecil dan baru semakin sulit saja bertahan hidup.
Untuk itu diperlukan pertimbangan yang lebih melihat peran partai politik dalam memberikan
alternatif bagi masyarakat. Parliamentary threshold memang menjadi metode yang sangat
mutakhir dalam upaya menyederhanakan jumlah partai politik yang ada, namun latar belakang
negara Republik Indonesia yang multikultur dan multi interest harus menjadi pertimbangan
utama dalam menentukan persentasi ambang batas parlemen. Sehingga peluang untuk
menjadikan demokrasi sebagai alternatif sistem pemerintahan yang dipegang oleh rakyat
sepenuhnya tidak menjadi oligarki yang hanya dikuasai oleh sekelompok elit tertentu. Seperti
diketahui, di era reformasi, oligarki mampu melanggengkan akses terhadap sumber daya publik
melalui intervensi pembuatan Undangundang. Ini didukung oleh UU Parpol, yang awalnya
diharapkan dapat mengerem dominasi oligarki dalam politik tetapi terbukti malah menunjukkan
keberpihakannya kepada oligarki. Misalnya pasal 3 poin (c) UU Parpol Nomor 20 tahun 2001
yang mensyaratkan kepengurusan partai pada setiap provinsi, dengan minimal 75% dari jumlah
kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan
pada kabupaten/kota. Ini menyebabkan pembentukan partai hanya mungkin apabila para
petingginya memiliki dana besar.

Kesimpulan

Dari penjelasan dan analisis yang dilakukan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
• Parliamentary threshold merupakan salah satu isu krusial yang telah dibahas pada
perumusan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu 2019. Dalam
pembahasannya terdapat perdebatan antar-fraksi yang ada di DPR dalam melihat
kebutuhan persentasi angka yang harus disepakati pada Pemilihan Umum Legislatif 2019,
diantaranya 0%, 3,5 %, 4%, 4,5%, 5 %, 7 %, dan 10%, yang pada akhirnya diputuskan
menjadi 4%. Hal ini terlihat ada kepentingan politik dari pembuat kebijakan, yaitu aktor
politik, fraksi-fraksi yang ada di DPR.
• Perkembangan penerapan parliamentary threshold pertama kali diberlakukan pada
Pemilihan Umum Legislatif 2009 sebesar 2,5 %. Hingga akhirnya pada Pemilihan Umum
Legislatif 2014 sebesar 3,5%. Sementara untuk Pemilu 2019 disepakati 4%.
• Dalam melihat parliamentary threshold, penulis melihat ada tiga pengaruh utama dalam
pemberlakuan dan penentuan ambang batas parlemen, yaitu tingkat partisipasi partai
politik, persentasi jumlah suara hangus (tanpa perwakilan), dan peluang partai baru dan

19
kecil. Pertimbangan tersebut penting untuk melihat kemungkinan yang dimiliki Indonesia
yang multikultur dan multi interest.
• Dalam hal ini penulis merekomendasikan bahwa sebaiknya pemberlakuan ambang batas
parlemen di Indonesia harus memperhatikan partisipasi dari pemilih dan partai politik,
keterwakilan kelompok mayoritas maupun minoritas serta mengedepankan perspektiif
Indonesia yang multikultur. Sehingga demokrasi bisa menjadi peluang bagi siapapun untuk
terlibat tidak hanya kelompok penguasa yang telah lama menjadi elit politik. Upaya untuk
mendorong partisipasi hanya akan terwujud dengan memberikan peluang bagi siapapun
dengan pembatasan yang lebih sesuai. Hal ini mengingat Indonesia masuk dalam kategori
demokrasi transisi sebagaimana diungkapkan oleh Reilly dan Reynolds.

Daftar Pustaka
Buku
Arora, N.D. and Awasthy, S.S. (2008). Political Theory. New Delhi: Har-Anand.
Gaffar, Janedjri M. (2013). Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Jakarta:Konstitusi Press.
Homby, AS. (2003). Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 6th edition. Oxford: Oxford
University Press.
Huntington, Samuel P. (2001). Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: PT. Pustaka Utama
Grafiti.
Pamungkas, Sigit. (2009). Perihal Pemilu. Jogjakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan dan Ilmu Politik Universitas Gajah mada.
Reilly, Ben dan Reynolds. Andrew. (1998). Electoral System, Sistem Pemilu, Terjemahan oleh
Tim IFES Indonesia, 2001. Jakarta: IFES Indonesia.
Sorensen, G. (2003). Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suswantoro, Gunawan. (2015). Pengawasan Pemilu Partisipatif; Gerakan Masyarakat Sipil
untuk Demokrasi Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Jurnal
Al-Fatih, Sholahuddin, dkk. Reformulasi Parliamentary Threshold yang Berkeadilan Dalam
Pemilu Legislatif di Indonesia. Jurnal. Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Ummul Firdaus, Sunny. (2010). Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan
Pemilu yang Demokratis. Jurnal Konstitusi, Volume 8, nomor 2. Surakarta: Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret.
Yustingrum, RR Emilia dan Ichwanuddin, Wawan. (2015).Partisipasi Politik dan Perilaku
Memilih Pada Pemilu 2014. Jakarta: LIPI.

Media Massa dan Website


Iqbal, Muhammad. (2017, January 18). Memahami Isu RUU Pemilu dengan Sederhana.
Kumparan. Diakses dari https://kumparan.com/muhamad-iqbal/memahami-isu-
ruupemilu-dengan-sederhana.
Mustaqim, Ahmad. (2017, February 9). Pandangan 4 Partai Baru terkait Ambang Batas

20
Parlemen. Detik News. Diakses dari
https://news.detik.com/berita/d3417475/pandangan-4-partai-baru-terkait-
ambang-batas-parlemen.
Mellaz, August. (2017, Perludem, Ambang Batas Tanpa Batas: Praktek Penerapan
Keberlakuan 3,5% Persen Ambang Batas Parlemen Secara Nasional Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu (online). Perkumpulan Untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem). Diakses dari http://rumahpemilu.org.
Kurniawan, Moch. N. dan Saraswati, Muninggar Sri. (2004, May 6). "Golkar back in power at
House". The Jakarta Post. Diakses dari http://www.thejakartapost.com.

Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR,
DPD, dan DPRD..
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
KPU Republik Indonesia. (2014). Laporan Tahapan: Pemungutan, Penghitungan dan
Rekapitulasi Suara Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014. Jakarta:
Komisi Pemilihan Umum.

21

Anda mungkin juga menyukai