Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Price dan Wilson (1995) Hemodialisa adalah suatu proses dimana
solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membrane berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai
respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal
ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).hemodialisa
memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dialyzer
(suatu membrane semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah
dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh.
Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan
buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF,
2006). Pasien hemodialisa sangatlah tergantung dengan mesin semasa sisa umurnya.
Dalam pelaksanaan hemodialisa sangatlah banyak komplikasi dan kemungkinan yang
terjadi, sehingga diperlukan asuhan keperawatan untuk membantu pasien menjalani
hemodialisa dengan komplikasi yang minimal.
Kateter Suprapubik (SP) adalah salah satu jenis kateter urine yang dipasang
secara menetap / indwelling pada kandung kemih pasien untuk durasi jangka panjang.
Kateter suprapubik tersedia dalam bentuk seperti selang elastic berbahan silicon atau
lateks dengan ukuran 8F-10F untuk pediatric dan 12F-18F untuk dewasa. Prosedur
pemasangan kateter suprapubik merupakan prosedur paling invasive dibandingkan
jenis kateter lainnya karena memerlukan insisi dinding abdomen hingga ke dalam
vesika urinaria. Pemasangan kateter suprapubik dilakukan apabila kateterisasi via
uretra gagal atau tidak dapat dilakukan. Pemasangan kateter suprapubik dapat
dilakukan di UGD untuk kasus-kasus emergensi ataupun secara elektif oleh dokter
spesialis urologi ataupun dokter yang memiliki keterampilan untuk melakukan
kateterisasi suprapubik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hemodialisa ?
2. Apa yang dimaksud dengan Kateter Suprapubik ?
3. Bagaimana Asuhan Keperawatan Hemodialisa ?
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Hemodialisa
2. Untuk Mengetahui Kateter Suprapubik
3. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Hemodialisa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hemodialisa
A. Definisi
Dialysis merupakan suatu proses yang di gunakan untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses
tersebut. Tujuan dialysis adalah untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan
pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis,
hemofiltrasi dan peritoneal dialysis.
Pada dialysis molekul solute berdifusi lewat membrane semipermeabel dengan
cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solute lebih tinggi) ke
cairan yang lebih encer (kondisi solute yang lebih rendah). Cairan mengalir lewat
membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekanan
external pada membran) pada hemodialisis membran merupakan bagian dari dialeser
atau ginjal artificial. Pada peritoneal dialysis, merupakan peritoneum atau lapisan
dinding abdomen berfungsi sebagai membrane semipermeabel.
Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan
larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke
dalam dialisat. Dialyzer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar
volume cairan.
Hemodialisa adalah menggerakkan cairan dari partikel-partikel lewat
membran semi permeable yang mempunyai pengobatan yang bisa membantu
mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit yang normal, mengendalikan
asam dan basa, dan membuang zat-zat toksis dari tubuh. (Long, C.B. : 381)
Membrane selaput semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori, terbuat
dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat
dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul
air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein
plasma, bakteri dan sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran.
Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradian konsentrasi.
B. Epidemiologi
Hemodialisis di Indonesia mulai tahun 1970 dan sampai sekarang telah dapat
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Kualitas hidup yang diperoleh cukup
baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Indonesia termasuk
Negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Saat ini jumlah
penderita gagal ginjal mencapai 4500 orang. Dari jumlah itu banyak penderita yang
meninggal dunia akibat tidak mampu berobat atau cuci darah (hemodialisis) karena
biaya yang sangat mahal.
C. Etiologi
Hemodialisa dilakukan karena pasien menderita gagal ginjal akut dan kronik
akibat dari : azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis, uremia,
hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang tidak responsive dengan diuretic, asidosis
yang tidak bisa diatasi, batu ginjal, dan sindrom hepatorenal
D. Patofisiologi
Ginjal adalah organ penting bagi hidup manusia yang mempunyai fungsi utama
untuk menyaring / membersihkan darah. Gangguan pada ginjal bisa terjadi karena
sebab primer ataupun sebab sekunder dari penyakit lain. Gangguan pada ginjal dapat
menyebabkan terjadinya gagal ginjal atau kegagalan fungsi ginjal dalam menyaring /
membersihkan darah. Penyebab gagal ginjal dapat dibedakan menjadi gagal ginjal
akut maupun gagal ginjal kronik. Dialysis merupakan salah satu modalitas pada
penanganan pasien dengan gagal ginjal, namun tidak semua gagal ginjal memerlukan
dialysis. Dialysis sering tidak diperlukan pada pasien dengan gagal ginjal akut yang
tidak terkomplikasi, atau bisa juga dilakukan hanya untuk indikasi tunggal seperti
hiperkalemia. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum melalui
hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik terdiri dari keadaan penyakit penyerta
dan kebiasaan pasien. Waktu untuk terapi ditentukan oleh kadar kimia serum dan
gejala-gejala. Hemodialisis biasanya dimulai ketika bersihan keratin menurun
dibawah 10 ml/mnt, yang biasanya sebanding dengan kadar kreatinin serum 8-10
mge/dL, namun demikian yang lebih penting dari nilai laboratorium absolute adalah
terdapatnya gejala-gejala uremia.
Pathway

Fungsi Ginjal Memburuk

Tidak mampu di tingkatkan dengan pengobatan


(Obat-obatan, diet, pembatasan minum)

Gagal ginjal terminal

Tubulus renalis tidak mampu melakukan sekresi dengan selektif

Toksin uremia menumpuk di dalam darah

Diperlukan terapi fungsi ginjal

Terapi pengganti Ginjal

Transplantasi Ginjal Dialysis

Hemodialisis Peritoneal dialysis

Pre-Hemodialisis Intra-Hemodialisis Post-Hemodialisis

Kurang Pengetahuan prosedur pemasangan Terpasang set


set dialysis Dialysis

Ansietas Iritasi mukosa kulit, Klien nampak Luka Aktivitas


fisik
Terputusnya jaringan gelisah
terbatas
Tempat masuknya
Rangsangan saraf diameter kecil Mikroorganisme

Resiko
Gate Kontrol Terbuka Resiko
Cidera Intoleransi
Infeksi aktivitas
Nyeri Akut
E. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolism dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolism yang lain.
2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal
4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
5. Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali
seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10-15 jam/minggu dengan Blood flow
(QB) 200-300 Ml/menit. Sedangkan menurut Corvin (2000) hemodialisa
memerlukan waktu 3-5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2-
3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal
lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah
merah rusak dalam proses hemodialisa.
F. Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisis
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen toksik dari dalam
darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada Hemodialisis aliran darah yang
penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke tempat darah
tersebut dibersihkan dan kemudian di kembalikan lagi ke tubuh pasien. Ada tiga
prinsip yang mendasar kerja hemodialisis yaitu :
1. Difusi
2. Osmosis
3. Filtrasi

Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan
cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke cairan dialysis
dengan konsentrasi yang lebih rendah.

Air yang berlebihan di keluarkan dari dalam tubuh, dikeluarkan melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan,
dengan kata lain bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialist).
Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang
dikenal sebagai ultrafiltasi pada mesin dialis. Tekanan negative diterapkan pada alat
fasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengeksresikan air, kekuatan ini
diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (Keseimbangan
Cairan).

G. Indikasi
1. Gagal ginjal akut
2. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi glomelurus kurang dari 5 ml/menit
3. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
4. Ureum lebih dari 200 mg/dl
5. pH darah kurang dari 7,1
6. anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
7. intoksikasi obat dan zat kimia
8. Sindrom Hepatorenal
9. Fluid overload

The National Kidney Foundation USA menyarankan apabila : LFG ≤ 10


ml/menit/1,73m2 Indikasi absolute untuk dimulainya hemodialisis :

1. Perikarditis
2. Keadaan overload sampai menimbulkan gejala-gejala oedem paru
3. Hipertensi berat dan progresif
4. Uremic Bleeding
5. Mual muntah yang persisten
6. Kreatinin serum ≥ 10 mg%
H. Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsive terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses
vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit Alzheimer, demensia multi infark, sindrom
hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI,
2003)
Tidak dilakukan pada pasien yang mengalami suhu yang tinggi. Cairan
dialysis pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu
tinggi menyebabkan hemodialisis sel-sel darah merah sehingga kemungkinan
penderita akan meninggal.
I. Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisis Jangka Panjang
1. Diet dan masalah cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu
mengeksresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksik. Gejala
yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala
uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang
menumpuk, lebih berat gejala yang timbul. Diet rendah protein akan mengurangi
penumpukan limbah nitrogendan dengan demikian meminimalkan gejala.
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian, pembatasan cairan juga merupakan
bagian dengan resep diet untuk pasien ini.
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat
diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. Berkaitan dengan
pembatasan protein, maka protein dari makanan harus memiliki nilai biologis
yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial untuk mencegah penggunaan
proteinyang buruk serta mempertahankan keseimbangan nitrogen yang positif.
Contoh protein dengan nilai biologis yang tinggi adalah telur, daging, susu dan
ikan.
2. Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotic,
antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar
kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik.
Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialysis. Oleh karena itu,
penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang terikat dengan
protein tidak akan dikeluarkan selama dialysis. Pengeluaran metabolit obat yang
lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya. Apabila seorang pasien
menjalani dialysis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat.
Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai
contoh, jika obat antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat
menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan
menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.
J. Komplikasi Hemodialisis
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama
tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1. Kram Otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot sering kali terjadi
pada ultra filtrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
2. Hipotensi
Terjadinya hipotensi di mungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik,
dan kelebihan tambahan berat cairan.
3. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradient osmotic diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan
air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan
biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
5. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardio pulmonary
6. Perdarahan
Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7. Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai engan sakit
kepala.
8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler
9. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
K. Persiapan Sebelum Hemodialisa
1. Persiapan Pasien
a. Surat dari dokter penanggungjawab Ruang HD untuk tindakan HD (instruksi
dokter)
b. Apabila dokter penanggung jawab HD tidak berada ditempat atau tidak bisa
dihubungi, surat permintaan tindakan hemodialisa diberikan oleh dokter
spesialis penyakit dalam yang diberi delegasi oleh dokter penanggung jawab
HD
c. Apabila pasien berasal dari luar RS (traveling) disertai dengan surat traveling
dari RS asal
d. Identitas pasien dan surat persetujuan tindakan HD
e. Riwayat penyakit yang pernah diderita (penyakit lain)
f. Keadaan umum pasien
g. Keadaan psikososial
h. Keadaan fisik (ukur TTV, BB, Warna kulit, extremitas edema +/-)
i. Data laboratorium : darah rutin, GDS, ureum, creatinin, HBsAg, HCV, HIV,
CT, BT
j. Pastikan bahwa pasien benar-benar siap untuk dilakukan HD
2. Persiapan Mesin
a. Listrik
b. Air yang sudah diubah dengan cara :
1) Filtrasi
2) Softening
3) Deionisasi
4) Reverse osmosis
c. Sistem sirkulasi dialisat
1) Sistem proporsioning
2) Acetate / bicarbonate
d. Sirkulasi darah
1) Dialyzer / hollow fiber
2) Priming
3. Persiapan alat
1) Dialyzer
2) Transfuse set
3) Normal saline 0,9%
4) AV fistula
5) AV blood line
6) Spuit
7) Heparin
8) Lidocain
9) Kassa steril
10) Duk
11) Handscoon
12) Mangkok kecil / cucing
13) Desinfektan (alcohol / betadine)
14) Klem arteri
15) Timbangan
16) Tensimeter
17) Thermometer
18) Plastic
19) Perlak kecil
4. Langkah-langkah
a. Setting dan priming
1) Mesin dihidupkan
2) Lakukan setting dengan cara : keluarkan dialyzer dan AV blood line dari
bungkusnya, juga selang infuse / transfuse set dan NaCl (perhatikan
sterilisasinya)
3) Sambungkan normal saline dengan set infuse, set infuse dengan selang
arteri, selang darah arteri dengan dialyzer, dialyzer dengan selang darah
venous
4) Masukkan selang segmen ke dalam pompa darah, putarlah pump dengan
menekan tombol tanda V atau Λ (pompa akan otomatis berputar sesuai
arah jarum jam)
5) Bukalah klem pada set infuse, alirkan normal saline ke selang darah arteri,
tamping cairan ke dalam gelas ukur
6) Setelah selang arteri terisi normal saline, selang arteri di klem
b. Lakukan priming dengan posisi dialyzer biru (outlet) di atas dan merah (inlet)
di bawah
1) Tekan tombol start pada pompa darah, tekan tombol V atau Λ untuk
menentukan angka yang diinginkan (dalam posisi priming sebaiknya
kecepatan aliran darah 100 rpm)
2) Setelah selang darah dan dialyzer terisi semua dengan normal saline,
habiskan cairan normal sebanyak 500 cc
3) Lanjutkan priming dengan normal saline sebanyak 1000 cc. putarlah Qb
dan rpm
4) Sambungkan ujung selang darah arteri dan ujung selang darah venous
5) Semua klem dibuka kecuali klem heparin
6) Setelah priming, mesin akan ke posisi dialysis, start layar menunjukkan
“preparation”, artinya : consentrate dan RO telah tercampur dengan
melihat petunjuk conductivity telah mencapai (normal : 13,8 – 14,2). Pada
keadaan “preparation”, selang concentrate boleh disambung ke dialyzer.
7) Lakukan sirkulasi dalam. Caranya : sambung ujung blood line arteri vena
a) Ganti cairan normal saline dengan yang baru 500 cc
b) Tekan tombol UFG 500 dan time life 10 menit
c) Putarlah kecepatan aliran darah (pump) 350 rpm
d) Hidupkan tombol UF ke posisi “on” mesin akan otomatis melakukan
ultrafiltrasi (cairan normal saline akan berkurang sebanyak 500 cc
dalam waktu 10 menit)
e) Setelah UV mencapai 500 cc, akan muncul pada layar “UFG reached”
f) Artinya UFG sudah tercapai
8) Pemberian Heparin pada selang arteri
Berikan heparin sebanyak 1500 unit sampai 2000 unit pada selang arteri.
Lakukan sirkulasi selama 5 menit agar heparin mengisi ke seluruh selang
darah dan dialyzer, berikan kecepatan 100 rpm
c. Dialyzer siap pakai ke pasien

2.2 Kateterisasi Suprapubik


A. Pengertian
Kateter Suprapubik (SP) adalah salah satu jenis kateter urine yang dipasang
secara menetap / indwelling pada kandung kemih pasien untuk durasi jangka panjang.
Kateter suprapubik tersedia dalam bentuk seperti selang elastic berbahan silicon atau
lateks dengan ukuran 8F-10F untuk pediatric dan 12F-18F untuk dewasa. Prosedur
pemasangan kateter suprapubik merupakan prosedur paling invasive dibandingkan
jenis kateter lainnya karena memerlukan insisi dinding abdomen hingga ke dalam
vesika urinaria. Pemasangan kateter suprapubik dilakukan apabila kateterisasi via
uretra gagal atau tidak dapat dilakukan. Pemasangan kateter suprapubik dapat
dilakukan di UGD untuk kasus-kasus emergensi ataupun secara elektif oleh dokter
spesialis urologi ataupun dokter yang memiliki keterampilan untuk melakukan
kateterisasi suprapubik.
Iindikasi pemasangan kateter suprapubik adalah retensi urine atau resiko
retensi urine yang diantaranya dapat disebabkan oleh striktur uretra, perbesaran
prostat, trauma uretra, karsinoma prostat. Sebelum dilakukan pemasangan kateter
suprapubik, harus dilakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak adanya
kontaindikasi dan ultrasonografi (USG) serta melakukan informed consent.
Kateterisasi suprapubik bertujuan untuk membantu mengatasi retensi urine pada
pasien. Namun pemasangan kateterisasi suprapubik memiliki resiko, yaitu
perdarahan, infeksi, migrasi kateter, rupture buli, peritonitis, obstruksi usus, alergi,
dan sebagainya.
B. Kontra Indikasi Kateterisasi Suprapubik
Kontraindikasi pemasangan kateter suprapubik terbagi menjadi kontraindikasi
absolute dan relatif. Kontraindikasi absolute pemasangan kateter suprapubik adalah
tidak adanya distensi vesika urinaria baik melalui palpasi atau pemeriksaan
ultrasonografi. Riwayat karsinoma buli juga merupakan kontraindikasi absolute
tindakan ini.
Selain kontraindikasi absolute, terdapat juga kontraindikasi relatif sebagai berikut :
1. Koagulopati yang belum terkoreksi
2. Kanker pelvis dengan atau tanpa radiasi
3. Riwayat operasi abdomen bagian bawah atau operasi pelvis
4. Pasien dalam pengobatan antiplatet dan antikoagulan
5. Sepsis dinding abdomen
6. Graft vascular subtukan pada region suprapubik.
C. Komplikasi
Komplikasi pemasangan kateter suprapubik hampir sama dengan kateter Foley
biasa. Komplikasi yang paling umum terjadi adalah hematuria yang umumnya bersifat
transien. Beberapa komplikasi lain yang harus diwaspadai pada pasien dengan kateter
suprapuik adalah :
1. Masalah mekanik seperti produksi urine berlebih pasca retensi atau spasme vesika
urinaria
2. Masalah infeksi berupa infeksi saluran kemih atau selulitis
3. Masalah kateter seperti migrasi kateter ke dalam rongga intraabdomen, lepasnya
kateter, atau retensi kateter.
4. Perforasi usus atau cidera intaabdomen
D. Prosedur Pemasangan Kateterisasi Suprapubik
1. Persiapan Alat
 Kain kassa steril
 Alat dan obat untuk disinfeksi (yodium povidon)
 Kain steril untuk mempersempit lapangan operasi
 Seprit beserta jarum suntik untuk pembiusan lokal dan jarum yang telah
diisi dengan aquadest steril untuk fiksasi balon kateter
 Obat anestesi lokal
 Alat pembedahan minor antara lain pisau, jarum jahit kulit, benang sutra
(zeyde), dan pemegang jarum
 Alat trokar dari Campbel atau trokar konvensional
 Kateter Foley (yang ukurannya tergantung pada alat trokar yang
digunakan). Jika mempergunakan alat trokar konvensional harus
disediakan kateter nasogastrik (NG tube) no. 12
 Urine bag
2. Langkah-langkah sistostomi trokar
 Disinfeksi area operasi
 Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril
 Injeksi (infitrasi) anestesi lokal dengan lidokain 2% mulai dari kulit,
subkutis hingga ke fasia
 Insisi kulit suprapubik di garis tangan pada tempat yang paling cembung ±
1 cm kemudian diperdalam sampai ke fasia
 Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan spuit 10 cc
untuk memastikan tempat kedudukan vesika urinaria
 Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya
tahanan dari fasia dan otot-otot detrusor
 Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam vesika
urinaria akan keluar urine memancar melalui sheath trokar
 Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator (penusuk)
dan sheath dikeluarkan dari vesika urinaria sedangkan bagian slot kateter
setengah lingkaran tetap ditinggalkan
 Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah
lingkaran, kemudian balon dikembangkan dengan memakai aquadest 10
cc. setelah diyakinkan balon berada di vesika urinaria, slot kateter setengah
lingkaran dikeluarkan dari vesika urinaria dan kateter dihubungkan dengan
kantong penampung atau urobag
 Kateter difiksasikan pada kulit dengan bennag sutra dan luka operasi
ditutup dengan kain kassa steril
E. Perawatan Luka Sistostomi / Kateterisasi Suprapubik
 Pelepasan benang jahitan keseluruhan 10 hari pasca operasi
 Pelepasan kateter sesuai indikasi
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien hemodialisa adalah
a. Sindrom uremia
b. Mual, muntah, perdarahan GI.
c. Pusing, nafas kusmaul, koma
d. Perikarditis, cardiar aritmia
e. Edema, gagal jantung, edema paru
f. Hipertensi

Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual, muntah,
anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum yang
meningkat. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)

2. Riwayat penyakit sekarang’


Pada pasien penderita gagal ginjal kronis (stadium terminal). (Brunner &
Suddarth, 2001 : 1398)
3. Riwayat Obat-obatan
Pasien yang menjalani dialysis, semua jenis obat dan dosisnya harus
dievaluasi dengan cermat. Tetapi antihipertensi, yang sering merupakan bagian
dari susunan terapi dialysis, merupakan salah satu contoh dimana komunikasi,
pendidikan dan evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda. pasien harus
mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, obat
antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis,
efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah
rendah yang berbahaya. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1401)
4. Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi
penyakitnya yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi masalah
finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang
menghilang serta impotensi, depresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan
terhadap kematian. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1402)
Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang
pertama kali dilakukan hemodialisis. (Muttaqin, 2011 : 267)
5. ADL (Activity Day Life)
1) Nutrisi
Pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan cairan
masuk untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang dapat
mengakibatkan gagal jantung kongesti serta edema paru, pembatasan pada
asupan protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan
demikian meminimalkan gejala, mual, muntah. (Brunner & Suddarth, 2001 :
1400)
2) Eliminasi : Oliguri dan anuria untuk gagal ginjal
3) Aktivitas
Dialysis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang
diperlukan untuk terapi dialysis akan mengurangi waktu yang tersedia untuk
melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi. Karena
waktu yang terbatas dalam menjalani aktivitas sehari-hari
6. Pemeriksaan Fisik
1) BB : setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun
2) TTV : sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan
tekanan darah diatas rentang normal. Kondisi ini harus diukur kembali pada
saat prosedur selesai dengan membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur.
(Muttaqin, 2011 : 268)
3) Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus atau
gatal-gatal
4) Kuku : kuku tipis dan rapuh
5) Rambut : kering dan rapuh
6) Oral : halitosis / faktor uremik, perdarahan gusi
7) Lambung : mual, muntah, anoreksia, gastritis ulceration
8) Neurologic : letih, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan otot : pegal
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Pre HD
a. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang HD
2. Intra HD
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik oleh karena punksi selama
HD
b. Resiko cidera berhubungan dengan gelisah akibat prosedur HD
3. Post HD
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pemasangan alat dyalisis
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
3.3 Intervensi
1. Pre HD

No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


1. Ansietas b.d kurangnya Tujuan : 1. Evaluasi respon
informasi tentang HD Setelah dilakukan Asuhan verbal dan non
Keperawatan selama 1x24 verbal pasien
jam diharapkan kesadaran 2. Berikan penjelasan
pasien terhadap perasaan dan hubungan antara
cara yang sehat untuk proses penyakit
menghadapi masalah dan gejalanya
3. Berikan
Kriteria Hasil : kesempatan pasien
1. Melaporkan ansietas untuk
menurun sampai tingkat mengungkapkan isi
dapat ditangani pikiran dan
2. Tampak rileks perasaan takutnya
4. Catat perilaku daro
orang terdekat /
keluarga yang
meningkatkan
peran sakit pasien
5. Identifikasi sumber
yang mampu
menolong
6. Bantu pasien
mengenal situasi
yang menimbulkan
kecemasan
7. Instruksikan pasien
menggunakan
teknik relaksasi
8. Bantu obat untuk
mengurangi
kecemasan.

2. Intra HD

No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


1. Nyeri akut b.d agen Tujuan : 1. Lakukan pengkajian
cidera fisik oleh karena Setelah dilakukan asuhan nyeri, secara
punksi selama HD keperawatan selama 1x24 jam konprehensif
diharapkan nyeri hilang dan termasuk lokasi,
terkontrol karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan
Kriteria Hasil : faktor presipitasi
1. Klien melaporkan nyeri 2. Observasi reaksi non
hilang / terkontrol verbal dari
2. Menunjukkan ketidaknyamanan
keterampilan relaksasi dan 3. Gunakan teknik
aktivitas terapeutik sesuai komunikasi terapeutik
indikasi untuk situasi untuk mengetahui
3. Klien tampak rileks, tidur / pengalaman nyeri
istirahat dengan tepat pasien
4. Kaji kultur yang
mempengaruhi respon
nyeri
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologi
6. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
7. Tingkatkan istirahat
8. Monitor penerimaan
pasien terhadap nyeri.
2. Resiko cidera b.d gelisah Tujuan : 1. Observasi kepatenan
akibat prosedur HD Setelah dilakukan asuhan AV shunt sebelum
keperawatan selama 1x24 jam HD
diharapkan pasien tidak 2. Monitor kepatenan
mengalami cidera. kateter sedikitnya
setiap 2 jam
Kriteria Hasil : 3. Observasi warna kulit,
1. Kulit pada sekitar AV keutuhan kulit, sensasi
shunt utuh / tidak rusak sekitar shunt
2. Pasien tidak mengalami 4. Monitor TD setelah
komplikasi HD HD
5. Lakukan heparinisasi
pada shunt / kateter
pasca HD
6. Cegah terjadinya
infeksi pada area
shunt / penusukan
kateter
7. Menyediakan tempat
tidur yang aman dan
bersih
8. Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
3. Post HD

No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


1. Intoleransi aktivitas b.d Tujuan : 1. Monitor kadar Hb dan
pemasangan alat dialysis Setelah dilakukan tindakan Het sebagai indicator
keperawatan & HD selama suplai oksigen pada
1x24 jam diharapkan klien klien
mampu berpartisipasi dalam 2. Berikan zat besi dan
aktivitas yang dapat EPO sesuai anjuran
ditoleransi 3. Berikan folic acid
sesudah dialysis
Kriteria Hasil : 4. Berikan istirahat yang
1. Berpartisipasi dalam cukup
aktivitas perawatan 5. Ajarkan klien untuk
mandiri yang dipilih merencanakan
2. Berpartisipasi dalam kegiatan dan
peningkatan aktivitas dan menghindari
latihan kelelahan
3. Istirahat & aktivitas 6. Usahakan
seimbang / bergantian meminimalkan
kehilangan darah
selama dialysis
7. Observasi adanya
perdarahan pada
daerah penusukan
8. Modifikasi heparin
untuk mencegah
adanya resiko
perdarahan.
2. Resiko infeksi b.d Tujuan : 1. Pertahankan area steril
prosedur prosedur Setelah dilakukan asuhan selama penusukan
invasive keperawatan selama 3x24 jam kateter
diharapkan pasien tidak 2. Pertahankan teknik
mengalami infeksi steril selama kontak
dengan akses vaskuler
Kriteria Hasil : : penusukan.
1. Suhu tubuh normal (36,5 Pelepasan kateter
– 37,5 C) 3. Gunakan sabun
2. Tak ada kemerahan antimikrobia untuk
sekitar shunt cuci tangan
3. Area shunt tidak nyeri / 4. Cuci tangan setiap
bengkak sebelum dan sesudah
tindakan keperawatan
5. Monitor area akses
HD terhadap
kemerahan, bengkak,
nyeri
6. Beri penjelasan pada
pasien pentingnya
peningkatan status
gizi
7. Kolaborasi pemberian
antibiotik

Anda mungkin juga menyukai