Anda di halaman 1dari 13

MIKOLOGI MEDIK

TINEA PEDIS

Oleh :
Kelompok 3

Raras Woro Suryandari L 173112620120139


Munib Musthofa 173112620140020
Karina Afni Prabandini 173112620140077
Hana Fristiana Abdul Halim 173112620140079
Sara Eka Wanti 183112620120003

UNIVERSITA NASIONAL
FAKULTAS BIOLOGI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

System integument adalah suatu sistem yang vital bagi kehidupan seluruh manusia,
yang terletak pada organ tubuh terluar, melindungi bagian dalam tubuh, yang merupakan
cermin kehidupan, dapat dilihat, diraba, dan hidup, sebagai penampilan & kepribadian. Salah
satu dari penyakit yang menyerang sistem integumen yang disebabkan oleh infeksi mikotik.

Jamur merupakan salah satu mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia.


Penyakit yang disebabkan jamur pada manusia disebut mikosis, yaitu mikosis superfisial dan
mikosis systemik. Mikosis superfisial merupakan mikosis yang menyerang kulit, kuku, dan
rambut terutama disebabkan oleh 3 genera jamur, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton. Sedangkan mikosis sistemik merupakan mikosis yang menyerang alat-alat
dalam, seperti jaringan sub-cutan, paru-paru, ginjal, jantung, mukosa mulut, usus, dan
vagina.Contoh jamur yang sering menyerang manusia adalah dermatofit. Jamur ini dapat
menyebabkan kelainan sistemik. Mikosis superfisial adalah salah satu jenis infeksi terbanyak
pada manusia, diperkirakan mempengaruhi lebih dari 20-25% populasi dunia, dan
insidensinya terus meningkat. Mikosis superfisial terutama disebabkan oleh dermatofita,
sekelompok jamur keratinofilik yang dapat menginfeksi kulit, rambut dan kuku. Ada
beberapa penyakit yang penting diketahui yang diakibatkan oleh infeksi jamur superfisial,
antara lain Tinea pedis yang paling umum disebabkan oleh Tricophyton rubrum, T.
interdigitale, Epidermophyton floccosum, Tinea versicolor yang disebabkan karena
pertumbuhan Malassezia furfur yang berlebihan, Tinea nigra yang disebabkan oleh
pertumbuhan Exophillia werneckii, Piedra hitam yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur
Hortae piedra dan Piedra putih yang disebabkan pertumbuhan jamur jenis Tricosporon
beigelii.

Distribusi dermatosis dan agen penyebabnya sangat bervariasi untuk tiap daerah
geografis yang berbeda dan dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor, seperti tipe populasi,
faktor iklim, gaya hidup, migrasi penduduk, budaya setempat, kondisi sosioekonomi
penduduk, penyakit komorbid pada suatu populasi dan penatalaksanaan
BAB II
TINEA PEDIS

1. Definisi
Tinea pedis atau athelete foot adalah infeksi jamur yang paling sering terjadi
pada sela jari dan telapak kaki. Penggunaan istilah athlete foot dikarenakan tingginya
angka kejadian pada kaki para atlit, hal ini dihubungkan dengan pemakaian sepatu yang
tertutup pada kaki yang berkeringat sehingga menimbulkan lingkungan yang lembab
dan memudahkan pertumbuhan jamur. Jamur dapat tumbuh akibat berbagai faktor,
terutama faktor kelembapan seperti kaki lebih mudah berkeringat, pemakaian sepatu
tertutup, dan kaos kaki yang kurang dijaga kebersihannya.
Tinea pedis adalah infeksi dermatofita yang menular, Dermatofita merupakan
golongan jamur yang membutuhkan keratin untuk pertumbuhannya, sehingga infeksi
yang disebabkan oleh dermatofita akan menyerang jaringan yang mengandung keratin
seperti kulit, rambut dan kuku.
Tinea pedis dapat ditemukan di seluruh dunia dan merupakan dermatosis yang
paling sering terjadi. Prevalensi tinea pedis di negara maju ditemukan sebanyak 10%
dari total populasi. Laki-laki dewasa memiliki risiko 20% lebih tinggi terkena tinea
pedis, sementara perempuan hanya 5%.

2. Epidemiologi
Tinea pedis merupakan infeksi jamur yang mudah menular melalui kontak
langsung pada kulit terinfeksi maupun kontak tidak langsung pada permukaan yang
sudah terkontaminasi dengan jamur penyebab. Diperkirakan sekitar 70% dari populasi
akan mengalami tinea pedis dalam suatu titik dalam hidupnya. Prevalensi tertinggi dari
tinea pedis terdapat pada usia 31-60 tahun dengan tingkat kejadian lebih tinggi pada
pria dibanding wanita.
Pada suatu penelitian retrospektif yang diadakan di Italia dari tahun 2005
sampai 2010 dengan total sampel 6133 pasien mendapatkan bahwa tinea pedis memiliki
insidensi sebesar 20,4% dari seluruh kasus dermatosis yang ada dan lebih sering terjadi
pada dewasa muda dan dewasa dengan umur 18-40 tahun serta jenis kelamin laki-laki.
Agen kausatif tinea pedis yang paling sering ditemukan adalah T. Rubrum, T.
mentagrophytes dan E. floccosum.
3. Etiologi
Tinea pedis umumnya disebabkan Trichophyton rubrum (T.rubrum),
Trichophyton mentagrophytes (T.mentagrophytes), Epidermophyton floccosum
(E.floccosum). Trichophyton rubrum menimbulkan lesi hiperkeratotik dan kering
menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada kaki; T. mentagrophyte
seringkali menimbulkan lesi yang vesikuler dan lebih meradang, sedangkan E.
floccosum bisa menimbulkan salah satu diantara dua morfologi di atas.

4. Patogenesis
Individu dengan imun rendah seperti HIV/AIDS, kemoterapi, steroid dan nutrisi
parenteral dapat menurunkan resistensi pasien terhadap dermatofitosis. Faktor seperti
umur, obesitas, diabetes melitus juga dapat menurunkan imunitas dan meningkatkan
kejadian tinea pedis. Diabetes melitus merupakan penyebab infeksi tersering, pasien
dengan penyakit ini 50% akan terkena infeksi jamur. Patogenesis dermatofita memiliki
3 cara, yaitu adherence/ pengikatan, penetrasi setelah fase adherence, dan respon host.
Jamur selalu mempunyai hambatan dalam proses infeksinya, jamur harus
resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap berbagai temperatur dan kelembaban,
berkompetisi dengan flora normal kulit, spingosin yang di hasilkan oleh keratinosit.
Asam lemak yg diproduksi oleh glandula sebasea bersifat fungistatik (menghambat
pertumbuhan jamur). Produksi asam lemak pada anak pasca pubertas menerangkan
menurunnya kejadian tinea kapitis secara drastis.
Penetrasi setelah fase adherence, spora akan tumbuh dan memasuki stratum
korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu deskuamasi epidermis.
Penetrasi juga didukung dengan keluarnya enzim proteinase, lipase dan musinolitik
yang juga membantu dalam pembuatan nutrisi jamur. Trauma dan maserasi merupakan
faktor penting dalam memudahkan penetrasi jamur terutama pada kasus tinea pedis.

5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis tinea pedis dibedakan berdasarkan tipe, antara lain Moccasin,
Interdigitalis, Vesikobulosa dan Ulseratif.

• Moccasin
Tinea pedis dengan tipe moccasin memliki gejala klinis berupa hiperkeratosis
difus, eritem, fisura, dan skuama pada permukaan plantar kaki dan sela-sela jari kaki.
Pada umumnya tinea pedis tipe mocassin bersifat kronik dan sulit untuk disembuhkan.
Beberapa penelitian menghubungkan defisiensi Cell Mediated Immunity (CMI)
terhadap jamur dengan tinea pedis tipe ini.

Gambar 1. Tinea pedis Moccasin

• Interdigital
Tinea pedis tipe interdigital merupakan jenis tinea pedis yang sering terjadi.
Gejala klinisnya berupa eritem, skuama, maserasi, dan fisura terjadi pada sela-sela jari
kaki terutama pada dua sela jari kaki bagian lateral. Lesi juga dapat mengalami
perluasan ke arah dorsum ataupun plantar. Keluhan pasien yang paling dominan
biasanya adalah gatal. Pada tinea pedis tipe interdigital dapat terjadi infeksi sekunder
bakteri biasa dikenal dengan sebutan dermatofitosis kompleks.

Gambar 2. Tinea pedis Interdigitalis.


• Inflamasi / Vesikobulosa
Tinea pedis tipe Inflamasi/ vesikobulosa memiliki gejala klinis berupa vesikel
dan bula pada bagian medial kaki. Hal ini sering dikaitkan dengan reaksi dermatofid.

Gambar 3. Tinea pedis Vesikobulosa

• Ulseratif
Tinea pedis tipe ulseratif merupakan eksaserbasi tipe interdigital yang lebih
parah. Biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. Gejala klinis yang dapat
diobservasi adalah terbentuknya erosi dan ulkus pada daerah sela jari kaki. Tipe
ulseratif sering ditemukan pada pasien dengan penurunan sistem imun dan diabetes.

Gambar 4. Tinea pedis Ulseratif.


6. Pemeriksaaan Penunjang
Diagnosis tinea pedis biasanya dilakukan secara klinis, dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis seperti kerokan kulit pada daerah
lesi dengan penambahan KOH dan biakan jamur dari daerah yang terinfeksi.

• Pemeriksaan kerokan kulit dengan penambahan KOH 10%


Hasil preparat KOH biasanya positif di beberapa kasus dengan maserasi pada
kulit. Pemeriksaan sediaan dilakukan langsung menggunakan mikroskop, mula-mula
dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pada pemeriksaan
mikroskop KOH dapat ditemukan hifa bersepta atau bercabang, artrospora
membuktikan infeksi jamur.

Gambar 5.Tampak hifa bersepta

Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada
sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchoom blue black. Pada sediaan kulit dan
kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan/atau
sudah diobati.

• Biakan jamur
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan, yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dextrosa sabouraud. Pada agar
sabouraud dapat ditambahkan antibiotik (kloramfenikol) atau ditambah pula
klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi
bakterial maupun jamur kontaminan. Diperlukan waktu yang berbeda-beda bagi jamur
untuk mengembangkan koloninya. Setelah dapat diobservasi, topografi permukaan
dan pigmentasi dinilai. Sampel juga dapat diambil dari kultur untuk diperiksa di
bawah mikroskop.
E. floccosum memiliki bentuk koloni yang datar dan tampak berbulu
(feathery) yang memiliki lipatan tengah dengan pewarnaan pigmen kuning hingga abu
kehijauan. T. Rubrum memiliki bagian tengah koloni yang meninggi berwarna putih
dengan warna maroon pada bagian perifernya. Tes ureasenya negatif. T.
mentagrophytes tampa memiliki permukaan yang lembut seperti kapas dan meninggi
dengan warna putih hingga cream. Tes ureasenya positif.

7. Diagnosis
Athlete’s foot biasanya dapat didiagnosis dengan inspeksi dari kulit, tetapi jika
diagnosis tidak pasti, maka dilakukan pemeriksaan kalium hidroksida dari kerokan kulit
dan diperiksa menggunakan mikroskop (dikenal sebagai tes KOH). Tes ini dapat
membantu penegakan diagnosis dari Athlete’s foot dan membantu menyingkirkan
kemungkinan penyebab yang lain, seperti kandidiasis, keratolisis, erithrasma,
dermatitis kontak, eksim, atau psoriasis. Dermatofitosis diketahui menyebabkan
Athlete’s foot dan akan menunjukkan beberapa hifa bersepta dan bercabang pada
mikroskop.

• Diagnosis Banding
Tinea pedis harus dibedakan dari beberapa penyakit lain di kaki sebagai
diagnosis banding diantaranya adalah dermatitis kontak alergi, psoriasis pustulosa,
dan eritrasma.
Dermatitis kontak alergi, dermatitis dengan gejala gatal disertai eritema,
vesikel, skuama terutama pada jari-jari, punggung, dan kaki, diakibatkan oleh kontak
dengan zat yang menyebabkan alergi.
Psoriasis pustulosa, kelainan kulit berupa plak bersisik putih yang terdapat
pada daerah lutut, siku, dan kulit kepala. Selain itu, terdapat pada jari tangan dan jari
kaki dengan penampakan plak-plak yang licin dan merah dan permukaan yang
mengalami maserasi.
Eritrasma, memiliki manifestasi lesi patch berbatas tegas berwarna merah
muda hingga merah yang dilapisi dengan skuama. Seiring dengan waktu, warna lesi
yang kemerahan akan berubah menjadi kecoklatan. Daerah predileksinya adalah area-
area lipatan tubuh, seperti lipat paha, aksila, umbilikus, sela jari dan lain-lain. Keluhan
gatal minimal.

8. Komplikasi
Tinea pedis yang tidak diobati atau diobati dengan tidak benar akan
menyebabkan berbagai komplikasi seperti selulitis, tinea unguium serta dermatofid.

• Selulitis
Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis.
Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi
bakteri pada daerah subkutaneus sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka.
Faktor predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah
perifer. Pada keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fisura, akibatnya
pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri patogen
seperti β-hemolytic streptococci (grup A, B C, F, dan G), Staphylcoccus aureus,
Streptococcus pneumoniae, dan basil gram negatif. Apabila terjadi selulitis maka
diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi gejala yang sifatnya sistemik seperti
demam dan menggigil, maka digunakan antibiotik intravena. Antibiotik yang dapat
digunakan ampisillin, golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon.

• Tinea Unguium
Tinea unguium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya
dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum
merupakan jamur penyebab tinea unguium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-
pecah, dan tidak berwarna.

• Dermatofid
Dermatofid merupakan suatu penyakit imunologik sekunder tinea pedis dan
juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di
daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul
asimptomatis dari infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan
terapi antifungal. Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik,
imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan diabetes. Tanpa perawatan profilaksis
penyakit ini dapat kambuh kembali.
9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tinea pedis dapat berupa farmakologi dan non-farmakologi.


Terapi non-farmakologi dengan memberi edukasi berupa penjelasan kepada pasien
mengenai pentingnya kebersihan kaki, menjaga kaki tetap kering, membersikan kuku
kaki, menggunakan sepatu yang pas dan kaos kaki kering dan bersih, serta
menggunakan sandal pada tempat mandi umum atau kolam renang dapat mencegah
terjadinya tinea pedis.

Untuk intervensi farmakologis umumnya digunakan agen anti jamur topikal


sebagai pengobatan pilihan tinea pedis. Agen topikal yang digunakan seperti obat
golongan alilamin, imidazol, siklopiroks, benzilamin dan tolnaftat. Bentuk sediaan
topikal yang optimal digunakan untuk pengobatan adalah krim atau solusio karena
setelah obat diaplikasikan pada daerah lesi, bisa dilakukan pemijatan untuk
meningkatkan kontak obat dengan jamur. Pada beberapa kasus, pengobatan tinea pedis
membutuhkan obat-obatan oral anti jamur. Pada orang dewasa, beberapa pilihannya
adalah flukonazol oral dengan dosis 150-200 mg/pekan selama 4-6 pekan, griseofulvin
500-1000 mg/hari selama 4 pekan, itrakonazol 200-400 mg/hari selama 1 pekan, atau
terbinafin 250 mg/hari selama 2 pekan. Sedangkan pada anak-anak, dosis yang
digunakan adalah flukonazol 6 mg/kgBB/pekan selama 4-6 pekan, griseofulvin 15-20
mg/kgBB/hari selama 4 pekan, dan itrakonazol 3-5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan.

Antibiotik topikal maupun oral juga dapat ditambahkan ke dalam regimen terapi
pasien tinea pedis sesuai dengan indikasi. Agen anti bakteri topikal yang umumnya
digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi bakteri superfisial adalah mupirosin,
retapamulin, neomisin, gentamisin, basitrasin dan polimiksin B. Untuk agen anti
bakterial sistemik dapat digunakan hampir semua jenis golongan antibiotik dengan
golongan penisilin dan sefalosporin sebagai pilihan pertama. Kortikosteroid seperti
betametason juga mungkin diberikan.

Tinea pedis tipe interdigital ringan tanpa adanya keterlibatan infeksi bakteri
ditatalaksana dengan menggunakan agen anti jamur topikal. Jika sudah terdapat infeksi
sekunder bakteri dapat diberikan antibiotik preparat topikal ataupun oral.

Tinea pedis tipe moccasin diterapi dengan menggunakan obat-obatan anti jamur
topikal dan bisa ditambahkan obat-obatan keratolitik, seperti asam salisilat, urea dan
asam laktat. Pada beberapa kasus tertentu, yang tidak respon terhadap pengobatan
konvensional ataupun memiliki gejala klinis yang berat, obat-obatan anti jamur
sistemik diperlukan.

Tinea pedis tipe vesikobulosa biasa cukup untuk ditatalaksana dengan


menggunakan agen anti jamur topikal. Kortikosteroid topikal ataupun sistemik dapat
juga diberikan pada periode awal pengobatan untuk meringankan gejala simtomatik.

Tinea pedis tipe ulseratif ditatalaksana dengan kombinasi agen topikal anti
jamur dengan antibiotik topikal ataupun oral karena umumnya tinea pedis tipe ulseratif
selalu disertai dengan infeksi sekunder bakteri.

10. Prognosis
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa pekan
setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis. Kasus yang lebih berat dapat
diobati dengan pengobatan oral. Pencegahan harus dilakukan pada pasien tinea pedis,
karena bila tidak dilakukan pencegahan dapat terjadi reinfeksi.
BAB III
KESIMPULAN

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan
telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan lebih jarang
pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena
bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang lembab mengakibatkan
pertumbuhan jamur makin subur. Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah
Trichophyton rubrum (paling sering), T. mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum.
Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasin, vesikobulosa, dan
ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH dan biakan
jamur, pada tinea pedis ditemukan adanya hifa bersepta. Penatalaksanaan disesuaikan
berdasarkan tipe tinea pedis, baik berupa terapi farmakologi dan non-farmakologi. Tinea
pedis yang ditatalaksana dengan baik akan memberi prognosis yang baik.
REFERENSI

Barankin Banjamin, Freiman Anatoli. Derm Notes. Clinical Dermatology Pocket Guide.
Tinea pedis. Philadelphia; Davis Company 2003;p.160-1

Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed 6th. Jakarta;
Fk-UI,2011;p 93

Bolognia JL, Jorizzo L, Rapini RP. Dermatology. Tinea Pedis. 3rd ed.British Library;
2012;p19-21

Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. Fitzpatrick’s Atlas. Tinea Pedis. Ed 7th. New York;
McGraw-Hill Medicine 2013; 709-712

Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Tinea


Pedis. Ed 8th. New York; McGraw-Hill Medicine 2012; 709-712

James WD, Elston DM & Berger TG. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical Dermatology,
ed 11th. Spain: Saunders Elsevier. 2011

Kumar V, Tilak R, Prakash P,Nigam C, Gupta R. Asian journal of medical science. Tinea
Pedis, 2011. p. 134- 135

Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Dermatology. Tinea Pedis. Thieme Clinical Companions,


2006. p. 109-110

Tainwala, Ram dan YK Sharma. Pathogenesis of Dermatophytoses. Indian J Dermatol. 2011;


56(3):259-261.

Vena, Gino A, Paolo C, Filomena P, Annarita G, Anna B, Nicoletta C. 2012. Epidemiology


of Dermatophytoses: Retrospective Analysis from 2005 to 2010 and Comparison
with Previous Data from 1975. New Microbiologica, 35:207-213.

Anda mungkin juga menyukai