Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MENINGIOMA DI


RUANG BEDAH 2 RSUD BLAMBANGAN KABUPATEN BANYUWANGI

1. Konsep Penyakit
1.1 Pengertian
Meningioma adalah tumor yang berasal dari sel pembentuk meningen
dan arakhnoid yang umumnya berada di ekstrameduler dimana secara
histologi jenis sel meningioma yang banyak dijumpai adalah tipe
meningotelial dan psammomatous yang secara umum membentuk lesi
tunggal (Satyanegara, 2010)
Meningioma adalah sebuah tumor yang tumbuh pada lapisan meninges
yang menutupi dan atau melindungi otak dan spinal. Tumor ini berasal dari
sel arachnoid, salah satu dari lapisan meninges, yang menutupi otak dan
spinal cord, sehingga tumor disebut dengan istilah meningioma. Hampir
sebagian besar meningiomas dikategorikan sebagai tumor yang jinak atau
tidak bermestatase, namun tumor ini dapat tumbuh dengan lambat sampai
ukurannya menjadi sangat besar jika tidak terdiagnosa sejak dini. Kondisi
tersebut seringkali menyebabkan efek yang parah atau bahkan mengancam
nyawa bagi individu yang memiliki meningioma. Sebagian besar pasien
dengan meningioma hanya memiliki satu tumor, tetapi ada juga pasien
yang memiliki beberapa tumor yang secara simultan tumbuh di bagian lain
otak atau spinal cord. Meskipun tumor ini dapat diangkat, namun
recurrence perlu menjadi perhatian khusus oleh setiap individu yang
memiliki riwayat meningioma (Black & Hawks, 2009).
Merupakan tumor jinak tersering yang berasal dari arachnoid cap cells
duramater dan umumnya tumbuh lambat. Lesi Meningioma umumnya
memiliki batas yang jelas, tapi dapat saja memberikan gambaran lesi yang
difus, sebagai contoh adalah meningioma yang tumbuh di sphenoid ridge
dan disebut meningioma en plaque. Meningioma dapat tumbuh
intrakranial maupun pada kanalis spinalis (Aman et al, 2017)

1.2 Etiologi
Sebab pasti dari meningioma tidak diketahui. Insiden meningkat
dengan kelainan genetik (kehilangan kromosom 22 dan dengan
neurofibromatosis tipe 2). Faktor risiko lain termasuk radiasi kranial,
trauma kepala, kanker payudara walaupun tidak menentukan. Petanda
proliferasi memberikan informasi mengenai kemungkinan rekurensi dari
tumor. Sebagai contoh adalah MIB-1 dan Ki 67, yang ditemukan pada
tumor dengan derajat lebih tinggi dan cenderung akan mengalami
rekurensi. Walaupun begitu masih diperlukan penelitian lanjutan mengenai
petanda proliferasi tersebut. Angka reseptor progesteron yang tinggi telah
dilaporkan berhubungan dengan angka frekuensi rekurensi yang lebih
rendah dan prognosis yang lebih baik. 70% dari meningioma
mengekspresikan reseptor somatostatin yang dapat digunakan dengan
imaging radiologi, terutama bila mencari rekurensi lokal (Aman et al,
2017).
American Brain Tumor Assosiation (2012) dalam Merduaty (2014)
menyebutkan bahwa sekitar 40-80% meningioma berisi kRPSosom 22
yang abnormal. Secara normal, kRPSosom ini seharusnya berfungsi untuk
menekan pertumbuhan tumor. Namun, hasil pemeriksaan patologi anatomi
dari jaringan tumor yang diangkat belum dapat menjawab mekanisme
yang menyebabkan sel pada meninges tumbuh secara abnormal pada
meningioma. Selain itu, meningioma seringkali memiliki duplikasi
tambahan dari platelet-derived growth factor (PDFGR) dan epidermal
growth factor receptors (EGFR) yang kemungkinan besar berkontribusi
terhadap pertumbuhan tumor
1.3 Klasifikasi
WHO (2007) dalam Juanita (2017) mengklasifikasikan dalam grading
system meningioma sebagai berikut:
Grade Gambaran Histopatologi
Grade I Meningothelial, fibrous, fibroblastic,
transisional (mixed), psammomatous,
angiomatous, microcytic, secretory,
lymphoplasmacyte-rich metaplastic
Grade II Chordoid, clear cell, atipikal
Grade III Papillary, rhabdoid, anaplastik

1.4 Patofisiologi
Meningioma merupakan tumor syaraf jenis neoplasma benigna.
Neoplasma bengna terdiri dari sel- sel yang serupa dengan struktur sel
asalnya. Sel- sel neoplasma benigna lebih kohesif dari pada neoplasma
maligna. Pertumbuhan yang terjadi pada bagian tengah masa benigna
mengakibatkan batas tegas. Hal yang ditimbulkan oleh neoplasma benigna
adalah efek – ekeknya berupa obstruksi, tekanan dan sekresi (Tambayong,
2009).
Mitosis pada meningioma diperkirakan distimulus oleh beberapa jenis
protein growth factors. Beberapa jenis growth factors yang berpengaruh
reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived
Growth Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF),
Insulin Growth Factor (IGF), Fibroblast Growth factor (FGF), hormon
progesteron dan estrogen. Hormon EGF adalah hormon polipeptida yang
bekerja melalui aktivasi reseptor EGF dan stimulus proliferasi yang
bervariasi baik secara in vivo dan in vitro. Reseptor EGF merupakan
glikoprotein yang terletak ekstraselular. Reseptor ini diperkirakan
memiliki peranan dalam regulasi pembelahan sel dan pertumbuhan tumor.
Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah terbukti menstimulasi
angiogenesis, proliferasi metastase, dan kelangsungan hidup sel. Peptida
lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan dan
tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida dari
leukosit yang berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian sel
epitel dan mesenkim. Kadar granulin berhubungan dengan ukuran tumor
dan perkembagan edema peritumoral dari meningioma intrakranial adanya
kemungkinan granulin mempengaruhi pertumbuhan meningioma seperti
pada glioma
Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel adalah FGF yaitu
berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis. Mekanisme
pemicu mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa kaskade
cytoplasmic serine/ threonine kinase. Mekanisme ini mempengaruhi
proliferasi sel dan apoptosis dari banyak tumor ganas solid termasuk
meningioma. Namun ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan kegunaan kemoterapi terhadap reseptor ini dan regulasinya
dalam pertumbuhan meningioma. Telah diketahui bahwa IGF-II berperan
dalam pertumbuhan dan perkembangan normal fetus adanya hubungan
antara ekspresi IGF-II dengan agresivitas dari pertumbuhan meningioma.
Protein dan mRNA dari PDGF-B diekspresikan secara luas oleh jaringan
meningioma secara luas, namun peranan fungsionalnya belum dapat
dijelaskan secara mendetail
VEGF berfungsi memediasi angiogenesis pada tumor otak. Hubungan
yang kuat antara ekspresi VEGF dan neovaskularisasi pada meningioma.
Pada prinsipnya VEGF diatur oleh faktor transkripsi hypoxia inducible
factor-1 (HIF-1). Tampak bahwa HIF-1 dan VEGF meningkat pada emboli
meningioma. Data memberi kesan bahwa VEGF memiliki fungsi lain
selain angiogenesis pada meningioma, seperti merangsang pertumbuhan
tumor. PDGF-Bmemicu produksi VEGF dalama meningkatkan proliferasi
pembuluh darah dan pertumbuhan tumor (fister, 2012).
Tumor otak mengakibatkan gangguan neurologis progresif yang
disebabkan oleh dua faktor yaitu gangguan fokal oleh tumor dan kenaikan
tekanan intrakranial (TIK). Gangguan fokal terjadi apabila terdapat
penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada
parenkim orak dengan kerusakan jaringan neuron. Perubahan suplai darah
akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang tumbuh menyebabkan
nekrosis jaringan otak. Akibatnya terjadi kehilangan fungsi secara akut dan
dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi sebagai manifestasi perubahan
kepekaan neuron akibat kompresi, invasi dan perubahan suplai darah
kedalam jaringan otak. Peningkatan tekanan intrakranial membahayakan
jiwa jika terjadi dengan cepat. Mekanisme kompensasi memerlukan waktu
berhari- hari atau berbulan bulan. Peningkatan tekanan intrakranial yang
tidak teratasi mengakibatkan kenaikan herniasi unkus serebellum.
Herniasi unkus serebellum yang mengakibatkan girus medialis lobus
temporalis bergeser ke inferior melalui insura tentorial, heriniasi ini akan
menekan mensensefalon dan berakibat pada hilangnya kesadaran.
Kompresi pada medulla oblongata akan mengakibatkan terhentinya pusat
napas dan terjadi proses lainya seperti bradikardi progresif, hipertensi
sistemik, dan gangguan pernapasan.
1.5 Pathway/ Web Of Causa
Terlampir
1.6 Manifestasi Klinik
Black & Hawks (2009) menyebutkan bahwa manifestasi klinis umum
yang muncul sebagai gejala pada meningioma diantaranya yaitu:
a. Sakit atau Nyeri Kepala
Gejala ini merupakan gejala umum pada individu dengan meningioma.
Nyeri yang dirasakan dapat terlokalisasi pada satu titik tertentu di
kepala atau bahkan secara umum. Sakit kepala ini biasanya bertahan
selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Gejala ini
muncul sebagai akibat dari penekanan pada bagian tertentu dari
jaringan otak yang memicu terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial.
b. Mual dan muntah
Penekanan massa tumor pada area medulla yang dikenal sebagai pusat
muntah mengakibatkan individu dengan meningioma akan mengalami
mual dan muntah. Awalnya, individu akan mengeluhkan nyeri kepala
yang berat, lalu ketika berubah posisi rasa mual muncul dan secara
spontan akan memicu proses muntah. Selama proses muntah tersebut,
klien akan mengalami hiperventilasi yang akan mengurangi edema
pada otak dan menurunkan intensitas nyeri kepala
c. Edema Pupil
Penekanan pada saraf cranial II atau saraf optic membuat individu
dengan meningioma mengalami edema pupil. Tidak diketahui secara
jelas mekanisme yang melatarbelakangi terjadinya edema pupil pada
meningioma. Adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
memblokade aliran balik vena dari mata dan mengaliri vena sentral
retina diyakini proses penyebab pupil edema. Kondisi edema pupil
yang parah akan mengakibatkan penurunan aktivitas visual
d. Kejang
Kejang menjadi manifestasi klinis dari proses iritasi massa tumor pada
lapisan dasar jaringan otak. Proses iritasi tersebut memicu terjadinya
aktivitas elektik yang abnormal pada otak. Secara umum, kejang
dibedakan menjadi dua jenis. Kejang fokal merupakan kejang yang
terjadi pada salah satu bagian otak, sedangkan kejang general terjadi
pada kedua bagian otak
e. Perubahan status mental
Pada kondisi tertentu, jika penekanan massa tumor sudah semakin
besar nantinya akan memicu perubahan status mental dari individu
Selain manifestasi klinik umum sebagaimana disebutkan diatas
terdapat pula manifestasi klinis dengan gejala spesifik. UCLA
Neurosurgery (2013) dalam Merduaty (2014) menjelaskan manifestasi
klinis dengan gejala spesifik sebagai berikut:
Lokasi Gejala Klinis
Convexity Kejang, sakit kepala, kelemahan ekstermitas,
(pada permukaan otak, kesulitan bicara, gangguan penglihatan
jauh dari garis tengah)
Parafalcine Kejang, kelemahan ekstermitas bawah, sakit
(tumbuh pada lapisan kepala, perunahan personalitas, dimensia,
meningens yang terletak apatis, afek datar, tremor
antara hemisfer otak)
Sphenoid Ridge Mata menonjol, penurunan penglihatan,
paralisis pada pergerakan mata, kejang,
kesulitan mengingat, perubahan personalitas,
sakit kepala
Posterior fossa Ketidakstabilan dan inkordinasi, hidrosefalus,
(area cerrebellum) kesulitan bicara dan menelan
Cerebellopontineangle Hilamngnya pendengaran, kelemahan otot
(disisi batang otak) wajah, pusing, ketidakstabilan dan
inkoordinasi, hidrosefalus, kesulitan bicara dan
menelan
Olfacto groove dan sella Hilangnya penciuman (anosmia) perubahan
(ruang tulang tempat personalitas, kesulitan mengingat ringan,
kelenjar hipofisis) euforia, konsentrasi menurun, inkontinensia
urin, kerusakan penglihatan pada satu mata

1.7 Diagnosa Banding / Deferensial Diagnosis


Aman et al (2017) menyebutkan bahwa terdapat beberapa diagnosis
banding untuk meningioma diantaranya yaitu:
a. Glioma
Klasifikasi lesi primer susunan saraf pusat dilakukan berdasarkan
derajat keganasan (grading). WHO derajat I untuk tumor dengan
potensi proliferasi rendah, kurabilitas pasca reseksi cukup baik. WHO
derajat II untuk tumor bersifat infiltratif, aktivitas mitosis rendah,
namun sering timbul rekurensi. Jenis tertentu cenderung untuk bersifat
progresif ke arah derajat keganasan yang lebih tinggi. Pada WHO
derajat III didapatkan gambaran aktivitas mitosis jelas, kemampuan
infiltrasi tinggi, dan terdapat anaplasia. Sementara, pada WHO derajat
IV terlihat mitosis aktif, cenderung nekrosis, pada umumnya
berhubungan dengan progresivitas penyakit yang cepat pada pra/
pascaoperasi.
b. Schwannoma
Sinonim dari schwannoma adalah neurilemoma akustik, neurinoma
akustik, atau schwannoma vestibular. Neuroma akustik (AN) adalah
tumor saraf vestibulokohlearis (N. VIII) yang berasal dari selubung
saraf sel Schwann. Sebagian besar berasal dari bagian vestibuler dan
kurang dari 5% berasal dari divisi kohlearis (pendengaran). Biasanya
schwannoma termasuk tumor jinak dan tumbuh lambat, tapi dapat
menimbulkan gejala efek desak ruang dan tekanan pada struktur lokal
yang akhirnya mengancam kehidupan
c. Tumor hipofisis
Tumor hipofisis biasanya jinak dan dapat disembuhkan. Tumor
hipofisis dapat menyebabkan masalah akibat produksi hormon yang
berlebihan, efek lokal dari tumor, dan produksi hormon yang inadekuat
dari kelenjar hipofisis yang tersisa.

d. Meduloblastoma
Tumor yang berasal dari sel embrional. Muncul dari vermis serebellum
di daerah apex dinding ventrikel IV (fastigium). Lebih dari 70%
meduloblastoma terjadi pada anak-anak.

1.8 Penatalaksanaan
Terapi tergantung dari gejala klinis yang ditimbulkan, usia pasien, dan
ukuran serta letak lesi tumor. Sebagai contoh, pasien usia tua dengan
banyak masalah kesehatan lain yang memperberat, dengan lesi tumor yang
kecil dan tidak memberikan gejala dari menigioma dapat dilakukan terapi
konservatif. Pasien tersebut memerlukan pemantauan MRI setiap tahunnya
selama 3 tahun dan dapat dilanjutkan dengan follow-up secara klinis saja,
bila tidak ada hal baru (Aman et al, 2017). Adapun penatalaksanaan terapi
sebagai berikut:

a. Embolisasi Endovaskular
Embolisasi terhadap pembuluh darah yang mensuplai tumor, dapat
menggunakan coil atau glue. Embolisasi endovasular biasanya
dilakukan sebelum tindakan pembedahan, dengan tujuan mengurangi
resiko perdarahan yang banyak saat operasi. Embolisasi dapat
menyebabkan nekrosis dari lesi meningioma, yang dapat meragukan
dalam pemeriksaan patologi anatomi dari spesimen tumor setelah
operasi.
b. Pembedahan
Tumor dan dura pada tumor direseksi. Tujuan pembedahan adalah
reseksi total, tapi dapat saja tidak tercapai, seperti bila meningioma
dekat dengan struktur yang penting, atau pada meningioma en plaque.
Pembedahan dapat memberikan komplikasi berupa invasi massa tumor
ke struktur di sekitarnya, seperti pada meningioma parasagital, yang
dapat menginvasi ke dalam sinus dura. Stereotactic radiosurgery dapat
memberikan kontrol lokal tumor yang sangat baik. Kortikosteroid
preoperatif dan pascaoperatif signifikan dalam menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas terkait dengan reseksi dari tumor. Obat
antiepilepsi seharusnya dimulai sebelum operasi untuk operasi
pembedahan supratentorial dan diteruskan paling tidak selama 3 bulan.
Tindakan ini merupakan pilihan tindakan yang paling efektif untuk
mengatasi meningioma. Pada beberapa kasus, pembedahan saraf dapat
dilakukan dengan menggunakan prosedur invasif yang minimal.
Tindakan tersebut meliputi image guided imagery, transphenoidal
surgery, dan prosedur endoskopi. Pada image guided imagery, selama
operasi berlangsung, ahli bedah saraf dapat dengan akurat menavigasi
sehingga lokasi tumor dapat teridentifikasi dengan tepat. Bergantung
pada kondisi kesehatan pasien secara umum, masa perawatan
memungkinkan untuk melibatkan proses rehabilitasi. Selain itu,
tindakan pembedahan ini menjadi inisiasi awal untuk menentukan
terapi yang tepat bagi meningioma. Tindakan pembedahan saraf untuk
mengatasi meningioma juga seringkali dikaitkan dengan istilah
kraniotomi. Dalam prosesnya, kraniotomi bertujuan untuk mengangkat
massa tumor yang menekan bagian otak dengan membuka tulang
tengkorak. Embolisasi juga dapat dilakukan sebagai langkah awal
untuk mengurangi suplai darah ke tumor sebelum dilakukan
pembedahan untuk mengangkat tumor.
c. Radioterapi
Radioterapi digunakan pada reseksi tumor incomplete, meningioma
rekuren, dan meningioma derajat tinggi dengan sel atipikal dan sel
yang anaplastik. Penggunaan radioterapi dikaitkan dengan luaran yang
lebih baik. Sebuah penelitian didapatkan stereotactic radiosurgery
dihubungkan dengan kontrol tumor yang lebih baik (mencapai 10%)
dan komplikasi yang lebih kecil. Stereotactic radiosurgery dalam
meningioma termasuk berhasil, dapat digunakan sebagai terapi primer,
terutama pada meningioma dengan akses sulit untuk dilakukan reseksi,
seperti pada meningioma saraf optikus. Meningioma WHO derajat I
diterapi dengan radiasi konformal terfraksinasi, dosis 45-54 Gy.21
Meningioma WHO derajat II yang diradiasi, terapi langsung pada
gross tumor (jika ada) atau pada tumor bed dengan margin 1-2 cm,
dosis 54- 60 Gy dalam fraksi 1,8-2 Gy. Pertimbangkan pembatasan
ekspansi margin pada parenkim otak jika tidak ada bukti adanya invasi
otak. Meningioma WHO derajat III diterapi seperti tumor ganas,
langsung pada gross tumor (jika ada) dan surgical bed dengan margin
2-3 cm, dosis 59,4 Gy dalam 1,8-2 Gy/fraksi. Meningioma WHO
derajat I juga dapat diterapi dengan SRS dosis 12- 16 Gy dalam fraksi
tunggal
d. Kemoterapi
Kemoterapi sejauh ini memberikan hasil yang kurang memuaskan,
dipertimbangkan hanya bila tindakan operasi dan radioterapi gagal
dalam mengontrol kelainan. Agen kemoterapi termasuk hidroksiurea
telah digunakan tapi dengan angka keberhasilan yang kecil. Obat lain
yang sedang dalam penelitian termasuk temozolamid, RU-468 dan alfa
interferon, juga memberikan hasil yang kurang memuaskan.

1.9 Komplikasi
Aman et al (2017) menguraikan bahwa terdapat beberapa komplikasi yang
terjadi akibat penyakit meningioma diantaranya yaitu:
a. Peningkatan tekanan intrakranial
b. Perdarahan intracerebral
c. Invasi masa tumor kestruktur disekitarnya
2. Proses Keperawatan
2.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada klien dengan meningioma didasarkan pada
model pengkajian keperawatan gangguan sistem persarafan. Muttaqin
(2008) menguraikan bahwa fokus pengkajian pada klien dengan gangguan
sistem persyarafan meliputi:
a. Keluhan Utama
Keluhan utama pada klien dengan gangguan sistem persyarafan
biasanya akan terlihat bila sudah menunjukkan disfungsi neurologis.
Keluhan tersering didapatkan meliputi kelemahan anggota gerak,
bicara pelo, tidak dapat bekomunikasi, konvulsi atau kejang, sakit
kepala, nyeri otot, kesadaran menurun, serta ekspresi emosional
abnormal
b. Pemeriksaan Neurologi
Secara umum pemeriksaan fisik pada sistem persyarafan ditujukan
untuk menilai area fungsi mayor neurologi meliputi:
1) Tingkat kesadaran
Beberapa keadaan tingkat kesadaran berbeda- beda dapat
ditemukan pada setiap klien dari keadaan letargi, stupor hingga
semikoma dapat ditemukan. Secara kuantitatif pengukuran umum
yang digunakan sebagai fokus pengkajian adalah glasglow coma
scale
2) Fungsi serebri
a) Status mental
Adanya penurunan daya ingat, ketidak stabilan suasanan hati
(perasaan) gangguan bahasa, adanya gangguan persepsi.
b) Fungsi intelektual
Lesi serebri bilateral dan difuse sangat menentukan
pelaksanaan intelektual umum sedangkan pada lesi yang
bersifat fokal lebih menimbulkan aktivitas intelektual yang
paling khusus. Masalah intelektual yang umum terjadi pada
klien dengan tumor cerebal adalah menurunya daya ingat dan
memori, gangguan pengetahuan umum, gangguan berhitung,
adanya gangguan bahasa berupa disfasia atau afasia.
c) Daya pikir
Pada tumor otak kemungkinan terjadi adanya gangguan pada
daya pikir klien hal ini dapat dijumpai dengan tanda adanya
halusinasi namun jarang terjadi.
d) Status emosional
Adanya lesi organik yang difuse menggangu otak maka secara
umum menimbulkan berkurangnya fungsi mental dimana
kewaspadaan klien menjadi berkurang. Kengganan untuk
melakukan sesuatu, emosional yang hilang. Apabila difuse
serebri berlangsung ringan akan menimbulkan daya adaptasi
menjadi kurang sehingga mudah cemas, adanya reaksi
konversi, depresi maupun kegiatan kompulsif lainya.
e) Kemampuan bahasa
Pada klien dengan penurunan fungsi neurologis umumnya
dijumpai adanya penurunan fungsi bahasa seperti kesulitan
berkomunikasi dalam pembicaraan maupun bahasa tulisan.
3) Saraf kranial
Ganguan sistem kranial terjadi tergantung pada letak lesi yang
ditimbulkan umumnya terjadi pada Sphenoid Ridge dan Olfacto
groove yang bermanifestasi klinis pada gangguan penglihatan dan
penciuman. Serta tidak menutup kemungkinan pada nervus lainya.
4) Sistem motorik
Gangguan pada area Convexity dan Parafalcine bermanifestasi
pada gangguan gerak ekstermitas
2.2 Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan yang umumnya muncul pada klien dengan
meningioma diantaranya yaitu (Carpenito, 2013):
a. Nyeri akut
b. Hambatan mobilitas fisik
c. Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif
d. Potensial komplikasi : peningkatan tekanan intrakranial
e. Perubahan persepsi sensori
f. Syndrome perawatan diri
g. Gangguan komunikasi verbal
h. Hipertermi
i. Pola napas tak efektif

2.3 Perencanaan / Intervensi


American Association of Neuroscience Nurse/ AANN (2016) menyebutkan
bahwa fokus intervensi keperawatan utama pada klien tumor otak
meningioma meliputi:
a. Intervensi preoperatif
Selain berfokus pada perubahan fisik, dalam fase penerimaan,
perawat diharapkan dapat membantu pemenuhan aspel psikososial
pasien dan keluarga. Perawat berperan dalam mengakomodir ekspresi
rasa takut dan cemas yang dimiliki pasien beserta keluarga. Dalam hal
ini, perawat dituntut untuk mampu menjadi informan yang
menjelaskan prosedur dengan jelas dan menjawab kekhawatiran
pasien dan keluarga. Selain itu, perawat juga dianjurkan untuk
memberikan perhatian lebih terhadap efek yang ditimbulkan paska
operasi, seperti disabilitas, kehilangan kemandirian, perubahan
personalitas, dan ketakutan akan perubahan penampilan fisik. Hal
penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam fase preoperatif adalah
memperoleh informed consent dari pihak pasien dan keluarga. Dalam
proses memperoleh bukti legal persetujuan tindakan ini, perawat harus
memastikan bahwa dokter penanggung jawab sudah menjelaskan
tujuan, resiko, manfaat, komplikasi, serta hasil yang diharapkan dari
tindakan kraniotomi.
Selain itu, pasien dan keluarga sudah diinformasikan dengan
alternatif tindakan lain. Kehadiran perawat selama diskusi mengenai
informed consent akan sangat membantu keluarga pasien yang
membutuhkan klarifikasi atau penguatan informasi yang diberikan.
Aspek penting lainnya adalah instruksi persiapan operasi. Perawat
harus memastikan pasien mendapatkan cairan intravena yang isotonik
untuk menjaga status cairan pasien. Selain itu, perawat harus
mengontrol tekanan darah dan tanda vital lainnya agar tetap dalam
rentang normal. Perawat juga harus memastikan pemberian pre
medikasi untuk kraniotomi, seperti kortikosteroid untuk mengurangi
edema peritumoral, antikolvusan untuk mengurangi kejang selama dan
sesudah operasi, antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi setelah
operasi. Jika memadai, perawat perlu mempersiapkan profilaksis
untuk deep vein thrombosis dengan memberikan sequential
compression device, pneumatic compression boots, dan trombosis
stockings. Terakhir, perawat perlu memastikan adanya hasil
pemeriksaan diagnostik, seperti gambaran MRI atau CT Scan,
sebelum mengantarkan klien ke ruang operasi.
b. Intervensi pascaioperatif
Komplikasi setelah kraniotomi mungkin tidak jauh berbeda dengan
komplikasi yang disebabkan prosedur operasi lainnya. Ekimosis dan
edema periorbital biasanya akan timbul sementara paska operasi.
Dalam fase ini dibutuhkan peran maksimal perawat untuk
mengantisipasi munculnya komplikasi yang khas paska pembedahan
saraf. Peningkatan tekanan intra kranial paska operasi menjadi hal
yang perlu diperhatikan perawat untuk mencegah prognosis pasien
yang semakin buruk. Hal yang pertama dilakukan perawat terhadap
pasien post-kraniotomi adalah melakukan observasi dan monitoring
yang ketat terhadap resiko munculnya komplikasi. Sebagian besar
komplikasi akan muncul pada 6 jam pertama setelah kraniotomi
dilakukan. Namun, observasi tidak hanya dilakukan dalam rentang 6
jam saja. Perawat juga perlu melakukan obeservasi pada 12-24 jam
setelah prosedur dilakukan. Berdasarkan lokasi dan tujuan operasinya,
status neurologis merupakan aspek penting pengkajian paska operasi.
Perawat harus memperhatikan kemungkinan adanya defisit
neurologis paska operasi. Beberapa bentuk defisit mungkin memang
menjadi hal yang normal sebagai akibat dari kraniotomi, akan tetapi
perawat juga harus mengetahui perubahan yang bersifat abnormal.
Pengkajian terhadap tanda-tanda vital juga diperhatikan paska operasi
Selain observasi dan monitoring, pasien paska kraniotomi biasanya
dianjurkan untuk menaikkan tinggi kepala pada saat tidur untuk
mengurangi edema otak. Perawat juga dianjurkan untuk memotivasi
pasien agar tetap aktif beraktivitas jika kondisi sudah mulai stabil
untuk mengembalikan fungsi motoriknya. Pasien diperbolehkan
berjalan dan mengangkat beban sesuai batas kemampuannya

Daftar Pustaka
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Black & Hawks. 2009. Medical Surgical Nursing: Clinical Management For
Possitive Outcome 8th edition. Elsevier: Singapore

Aman et al. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokeran: Tumor Otak.


Komite Penanggulangan Kanker Nasional Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia: Jakarta.

Tambayong. 2009. Patofisiologi untuk Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran


EGC: Jakarta

Muttaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Salemba Medika: Jakarta
American Association of Neuroscience Nurse. 2016. Guide To The Care Of The
Patien With Craniotomy Post-Brain Tumor Resection. Comitte on Reference
Series For Clinical Practice: Glenview America

Merduaty. 2014. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan pada Pasien Meningioma di Ruang Rawat Bedah Irna Teratai
RSUP Fatmawati Jakarta. Karya Ilmiah Akhir Fakultas Ilmu Keperawatan
Program Pendidikan Profesi Ners: Depok

Anda mungkin juga menyukai