Gas Elpiji 2
Gas Elpiji 2
untuk melakukan pengawasan terkait pendistribusian gas elpiji 3 kg, atau biasa
disebut gas melon. Hal ini bertujuan untuk menjamin peruntukannya tepat pada
sasaran.
"Gas LPG 3 kg itu khusus warga kategori kurang mampu. Jika ada warga di luar
itu yang masih menggunakan, laporkan ke kami," ujar Anne dalam pertemuan
untuk koordinasi dan penataan pendistribusian gas LPG di Aula Yudistira,
perkantoran Pemkab Purwakarta, Senin (21/10/19).
Anne menjelaskan, jumlah warga miskin di wilayahnya sekitar 180 ribu kepala
keluarga (KK). Jika merujuk pada kuota gas LPG 3 kg yang mencapai 650 ribu
tabung per bulan, seharusnya itu mencukupi untuk kebutuhan gas warga kurang
mampu.
"Kalau melihat data, asumsinya kan harusnya cukup. Tapi kenapa selama ini sering
terdengar ada warga miskin tak kebagian gas bersubsidi," ujarnya.
Ia mengakui, jika dalam hal pendistribusian gas melon ini kerap salah sasaran.
Sehingga, tak jarang masyarakat miskin tidak bisa menikmati barang subsidi
tersebut. Menurutnya, selama pengawasannya tidak tegas, persoalan ini tak
kunjung selesai.
"Manurut saya, masalahnya satu. Selama ini, agen dan pangkalan tak memiliki data
warga miskin. Sehingga, gas bersubsidi ini bisa seenaknya dijual secara terbuka,"
ucapnya.
Dalam hal ini, Anne menegaskan, pihaknya akan menindak tegas oknum
pangkalan, agen dan pengecer yang selama ini melakukan praktik nakal. Misalnya,
masih menjual gas subsidi kepada bukan peruntukannya.
"Praktik nakal itu, misalnya seperti tidak mendistribusikan gas kepada yang berhak
dan malah mengalokasikan kepada yang lain. Maka, agen dan pengecer seperti ini
izinnya akan kami cabut," ujarnya.
Itu alasannya, kenapa hari ini pemkab mengumpulkan ratusan pemilik pangkalan
gas elpiji 3 kg yang ada di wilayah ini. Tujuannya, tak lain untuk mengadakan
kesepakatan. Kedepan, jika pangkalan menjual gas tersebut ke oknum pedagang
atau pengusaha, maka izin usahanya akan dicabut.
Anne juga mensinyalir, kerap terdengar kasus warga miskin yang susah mencari
gas LPG untuk kebutuhan sehari-hari itu akibat masih banyaknya oknum
masyarakat yang membeli gas melon dalam skala besar. Sehingga, untuk keperluan
warga miskin justru tak terpenuhi.
"Kalaupun ada, warga harus membeli dengan harga mahal. Yakni hingga Rp 25
ribu pertabung. Padahal, jika merujuk pada HET, harga gas melon itu hanya Rp 16
ribu. Makanya, kami bersama pertamina dan Hiswana akan melakukan evaluasi,”
jelas dia.
Menurut Anne, dalam aturannya rantai distibusi gas melon ini hanya sampai
tingkat pengecer. Namun, pada kenyataannya banyak oknum masyarakat dan
pedagang yang sengaja membeli dengan skala besar untuk dijual ke masyarakat.
"Ya jelas harganya jadi mahal. Sayangnya, sampai saat ini belum ada aturannya
apakah warung bisa menjual secara bebas. Jika merujuk pada aturan, distribusi itu
dari Pertamina hanya sampai tingkat pengecer," ujarnya.
Terkait hal itu, Bupati Purwakarta mengatakan, akan menelusuri dari mana
perusahaan itu memperoleh gas bersubsidi tersebut, jika telah diketahui maka
sanksi tegas akan dilayangkan kepada yang bersangkutan.
"Kita tegas, kalau ada pangkalan atau agen menjual gas bersubsidi di luar daftaran
penerima, izinnya akan kita cabut," ujarnya.
Masalah yang menyangkut Gas Elpiji 3 Kg dan yang seharusnya disediakan untuk konsumen
yang tergolong masyarakat kurang mampu atau prasejahtera dan usaha ekonomi mikro kecil
ternyata penggunaannya banyak dikonsumsi oleh mereka yang tergolong mampu atau mereka
yang tidak berhak membelinya.
Masalah yang disebut salah sasaran ini sesungguhnya bukan hanya terjadi sekarang, namun
di waktu-waktu sebelumnya sudah lama ditemui. Oleh sebab itu sebutan yang lebih tepat
untuk gejala ini menurut penulis yaitu selalu salah sasaran, karena sudah berlangsung
berulang-ulang tanpa ada penyelesaian atau solusi untuk mengatasinya.
Dampak atas masalah demikian sudah barang tentu yang paling dirugikan adalah masyarakat
miskin atau kurang mampu atau prasejahtera dan usaha ekonomi mikro kecil yang selayaknya
sebagai pengguna sesuai aturan yang telah ditetapkan -- menjadi terganggu mengingat jatah
Gas Elpiji 3 Kg peruntukan mereka "diserobot" oleh orang lain.
Demikian halnya bagi rakyat yang memiliki usaha kecil menjadi terhambat pertumbuhannya
mengingat kebutuhan energi berupas gas melon atau elpiji 3 kg yang sedianya diperoleh --
menjadi kesulitan untuk mendapatkannya. Paling tidak, untuk memenuhi kebutuhan tersebut
harus mau mengeluarkan uang lebih dari harga eceran tertinggi (HET) karena jatahnya
"sudah berpindah tangan".
Berkait masalah ini, Gubernur DIY Sri Sultan HB X (28/8) lalu ikut menanggapinya.
Dalam headline berjudul Pemanfaatan Elpiji 3 Kg Salah Sasaran terpetik berita bahwa
"Seharusnya elpiji 3 kg itu diperuntukkan bagi keluarga kurang mampu atau mereka yang
secara ekonomi tidak mampu.
Bagi rumah makan besar, seharusnya tidak menggunakan elpiji bersubsidi. Untuk
memastikan supaya elpiji bersubsidi dinikmati mereka yang berhak, saya minta distribusinya
diawasi agar tidak salah sasaran" (Kedaulatan Rakyat, 29/8/2018, halaman 2).
Munculnya respon dari petinggi di DIY tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan elpiji 3 kg
yang tidak sesuai peruntukannya atau salah sasaran perlu segera dibenahi, dicarikan solusinya
terutama dalam hal pendistribusiannya perlu dikontrol, diawasi, sehingga kawula alit atau
rakyat yang berada di golongan ekonomi lemah bisa menikmati haknya.
Adanya perhatian dari Sri Sultan HB X juga mengindikasikan bahwa rakyat kecil perlu
dilindungi, difasilitasi untuk memenuhi kepentingan sesuai kebijakan pemerintah yang telah
ditetapkan. Kebutuhan pokok mereka, termasuk hak untuk memperoleh gas elpiji bersubsidi
ukuran 3 kg jangan sampai diganggu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tentunya apa yang telah yang diungkapkan di atas menjadi "PR" bagi kalangan yang
berkompeten, terutama di jajaran pemerintahan di bawahnya untuk menindaklanjuti sehingga
harapan untuk memberdayakan keluarga kurang mampu atau pengusaha ekonomi mikro kecil
tidak mengalami berbagai hambatan.
Untuk mengurai masalah salah sasaran terhadap penggunaan elpiji 3 kg, perlu terlebih dahulu
kita pahami aliran elpiji itu sendiri yaitu aliran barang dimulai dari produsen hingga
konsumen akhir.
Secara umum, dapat disebut bahwa produsen gas elpiji adalah Pertamina, kemudian
disalurkan ke distributor atau agen yaitu Hiswanamigas, dari sini kemudian dibagikan ke
beberapa Pangkalan resmi yang sudah ditunjuk dan sah terdaftar.
Di pangkalan resmi inilah sesungguhnya sudah tercatat konsumen yang tergolong warga
miskin atau pengusaha ekonomi mikro kecil sehingga merekalah yang berhak memperoleh
atau membeli gas elpiji 3 kg dengan harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan
yaitu Rp 15.500 per tabung.
Penulis pun yang sudah sejak lama, yaitu sejak penggunaan BBM minyak tanah hingga
sekarang (pengkalan gas elpiji) masih terdaftar sah sebagai pengelola pangkalan dan
melayani masyarakat atau konsumen tidaklah banyak direpotkan oleh permintaan, karena
semua konsumen sudah tercatat siapa-siapa yang berhak menerimanya sesuai kebijakan
pemerintah yang berlaku.
Menurut amatan dan pengalaman langsung di lapangan, pada saat situasi dan kondisi normal,
terlebih awal-awal konversi minyak tanah ke gas elpiji tidaklah banyak masalah menyelimuti
dunia jual beli gas elpiji terutama untuk ukuran 3 kg per gas melon. Semua jatah bagi warga
miskin atau kurang mampu dan usaha ekonomi mikro kecil yang sudah tercatat di beberapa
pangkalan resmi tersalurkan secara apa adanya.
Namun seiring dengan perkembangan waktu, terjadinya pergeseran perilaku dan anggapan
konsumen bahwa "semua orang boleh menggunakan gas elpiji 3 kg" maka sejak itulah mulai
merebak pangkalan-pangkalan tidak resmi di hampir semua tempat tanpa mempertimbangkan
wilayah jangkauan konsumennya. Bahkan di beberapa SPBU kini tersedia gas elpiji serupa
turut dipasarkan. Bukankah hal ini semakin membebaskan bahwa semua orang yang
"mengaku dirinya miskin" sangat mudah untuk memperolehnya?
Masalah elpiji 3 kg atau gas melon sering kali mencuat ke permukaan manakala berlangsung
momen-momen tertentu. Terutama di saat memasuki hari besar atau Hari Raya atau Lebaran,
menjelang Natal dan Tahun Baru, maupun perayaan Agustusan seperti bulan lalu --gejalanya
ditandai mulai dari kelangkaan disusul harganya yang terus naik seolah tak terkendali
(mengikuti hukum pasar).
Dalam kondisi demikian yang jelas masyarakat miskin atau usaha ekonomi mikro kecil yang
seharusnya mendapatkan jatah elpiji 3 kg per gas melon sangat dirugikan. Mereka terpaksa
harus ikutan mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh haknya.
Untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan gas elpiji, kerap kali pemerintah bersama
Pertamina mengeluarkan keputusan menambah kuota atau sering disebut kuota fakultatif
(pada momen tertentu).
Tetapi hal ini tidak mengubah keadaan secara signifikan, justru "para pemain baru" yang
tidak terdaftar sebagai penjual atau penyalur resmi yang menikmati keuntungan. Mereka bisa
mempermainkan barang dengan harga sesuai hukum permintaan dan penawaran, di samping
itu mereka lebih leluasa melakukan jual beli gas karena tidak terikat ketentuan atau aturan
harga resmi yang ditetapkan pemerintah.
Nah untuk mengatasi persoalan tersebut, memang pengawasan atau kontrol terhadap
distribusi gas elpiji secara umum harus dilakukan. Demikian halnya khusus elpiji 3 kg
(bersubsidi) sudah mendesak dilakukan. Caranya yaitu pertama memeriksa dokumentasi
aliran penjualan apakah sesuai peruntukannya. Kedua, melakukan sidak terhadap semua
pembeli atau konsumen sehingga dapat diketahui apakah elpiji 3 kg benar-benar bisa
dinikmati rakyat miskin atau usaha ekonomi mikro kecil (sesuai data terkini).
Yang tak kalah pentingnya yaitu penertiban terhadap "pangkalan-pangkalan tidak resmi" atau
para pengecer yang tidak memiki ijin sah untuk ikut menyalurkan jual beli gas elpiji
khususnya yang berukuran 3 kg.
Sekali lagi ini mendesak dilakukan bilamana kita hendak konsisten memberdayakan si miskin
dan golongan ekonomi lemah. Jangan sampai kita hanya terus menerus berwacana tanpa
memberikan solusi sehingga selalu dan selalu mengumbar perkataan "salah sasaran" tanpa
menyentuh pemecahan masalah secara nyata.
Tambahan Kuota Gas Melon 3 Kg, Tidak Mampu Membendung Kenaikan Harga
Jelang Natal dan Tahun Baru 2018, Gas "Melon" Kembali Langka?
Dia meminta ada sanksi tegas yang diberikan kepada agen dan pangkalan
yang menjual gas bersubsidi bukan kepada masyarakat miskin. Ini
diharapnya dapat menjadi upaya menekan penyalahgunaan gas bersubsidi
tiga kilogram.
“Kalau ada yang menjual di luar data penerima maka kita cabut izin
pangkalan tersebut. Kita evaluasi terus,” ujarnya.
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Soal Distribusi Gas Subsidi, Pemkab Purwakarta
Diminta Evaluasi Kategori Warga Miskin, Termasuk
PNS, https://jabar.tribunnews.com/2019/10/25/soal-distribusi-gas-subsidi-pemkab-purwakarta-
diminta-evaluasi-kategori-warga-miskin-termasuk-pns.
Penulis: Ery Chandra
Editor: Tarsisius Sutomonaio
Kalau melihat data, asumsinya kan harusnya cukup. Tapi kenapa selama ini sering
terdengar ada warga miskin tak kebagian gas bersubsidi,” sesalnya.
Ia mengatakan, dalam hal pendistribusian gas melon ini kerap salah sasaran.
Sehingga, tak jarang masyarakat miskin tidak bisa menikmati barang subsidi
tersebut.
“Manurut saya, masalahnya satu. Selama ini, agen dan pangkalan tak memiliki data
warga miskin. Sehingga, gas bersubsidi ini bisa seenaknya dijual secara terbuka,”
ujarmya.
Anne mengancam, akan menindak tegas oknum pangkalan, agen dan pengecer
yang selama ini melakukan praktik nakal. Misalnya, masih menjual gas subsidi
kepada bukan peruntukannya.
“Praktik nakal itu, misalnya seperti tidak mendistribusikan gas kepada yang berhak
dan malah mengalokasikan kepada yang lain. Maka, agen dan pengecer seperti ini
izinnya akan kami cabut,” ujarnya.
Anne juga mensinyalir, kerap terdengar kasus warga miskin yang susah mencari gas
elpiji untuk kebutuhan sehari-hari itu akibat masih banyaknya oknum masyarakat
yang membeli gas melon dalam skala besar. Sehingga, untuk keperluan warga
miskin justru tak terpenuhi.
“Kalaupun ada, warga harus membeli dengan harga mahal. Yakni hingga Rp 25 ribu
pertabung. Padahal, jika merujuk pada HET, harga gas melon itu hanya Rp 16 ribu.
Makanya, kami bersama Pertamina dan Hiswana akan melakukan evaluasi,” jelas
dia.
Ditempat terpisah, Ketua DPC Hiswana Migas Purwakarta Karawang Ary Syafrudin
memastikan tidak ada kelangkaan elpiji 3 kg di wilayah kerjanya. Distribusi gas
bersubsidi dalam beberapa bulan ini lancar dan aman terkendali.
“Laporan kelangkaan pernah ada tapi sudah lama sekali. Itu pun saat bulan puasa
lalu. Setelah itu sampai saat ini belum ada laporan kelangkaan lagi. Mudah
mudahan tidak ada masalah lagi, karena semua sudah diantisipasi,” kelit dia
menjawab pernyataan kelangkaan dilontarkan Bupati Anne.
“Kalau bisa regulasi itu ada sanksi. Jangan sebatas imbauan saja. Karena kalau
tidak begitu yang akan berbenturan adalah warga dengan pemilik pangkalan,”
jelasnya. (dadan/win)
“Harga di masyarakat lebih tinggi dari HET masih ditemukan. Tapi apabila ada berita
kelangkaan biasanya terjadi manakala penertiban tepat sasaran diperketat sehingga
para pengecer tidak kebagian tabung untuk diperjualbelikan lagi,” jelas Ketua
Hiswana Migas DPC Purwakarta Ary Syafrudin, Rabu (23/10/2019).
Para pengecer yang disebut mafia gas karena sering minta jatah ke pangkalan atau
potong jalur distribusi dari agen ke pangkalan. Pengalaman sebelumnya yang berani
dan berkepentingan langsung dengan usaha ilegalnya dengan melapor ke Pemda
atau ke pusat pengaduan adalah para pengecer.
“Bupati Purwakarta pantas dan wajar kesal dengan keadaan ini mengingat sampai
hari ini belum keluar data siapa yang berhak menerima subsidi,”kata Ary.
“Solusinya harus ada regulasi yang tegas dari pemerintah untuk penjual dan pembeli
yang melanggar. Kalau bisa ada sanksi pidana, termasuk untuk pembeli perorangan
yang secara ekonomi adalah kalangan mampu,”ujar Ary.
Selain warga kurang mampu atau miskin, pengguna yang berhak menggunakan gas
bersubsidi adalah usaha mikro. Masalahnya serupa, sampai hari ini belum ada data
atau labelisasi pelaku usaha mikro yang berhak menggunakan Elpiji 3Kg. Misalnya
dengan sticker yang ber ID dan barcode.
“Jalan terbaik yang ditempuh adalah Pemda segera menerapkan verifikasi KTP
dengan daftar penerima rastra sebagai daftar konsumen subsidi. Juga usaha mikro
bisa segera didata dan dibuatkan sticker berbarcode agar bisa dijadikan dasar
penyaluran. Selebihnya hanya faktor kemanusiaan dengan tetap memasukan buruh
pabrik dan penduduk urban sebagai penerima subaidi,” ujar Ary.
Pasalnya, lanjut dia, sampai hari ini belum ada daftar penerima subsidi Elpiji
tertentu. Jika diterapkan sesuai aturan berdasar angka kemiskinan, merunut dalam
web resmi Pemda Purwakarta ditambah perkiraan jumlah usaha mikro sama dengan
kebutuhan keluarga miskin, maka kebutuhan gas subsidi di Purwakarta berkisar
30% dari alokasi sekarang.
“Jika ini diterapkan akan terjadi kelangkaan nyata. Apabila buruh pabrik yang
berpenghasilan di atas Rp1.5 juta sebagai batas maksimal penghasilan penerima
subsidi maka dipastikan alokasinya akan berkurang lagi sebanyak jumlah buruh di
Purwakarta dengan jatah 3 tabung sebulan perkepala keluarga,” pungkasnya.
(dadan/tri)
Sejak awal Januari 2015, Pertamina memang menaikan harga elpiji 12 kg, dengan
tujuan mengurangi kerugian di bisnis elpiji, karena selama ini menjual elpiji 12 kg di
bawah harga keekonomian.
"Akibatnya disparitas harga makin lebar antara elpiji 12 kg dengan elpiji 3 kg. Karena
elpiji 3 kg ini sejak 2007 tidak pernah naik. Makanya terjadi migrasi, sehingga
pembelian elpiji 3 kg meningkat," kata Bambang, ditemui di kantor SKK Migas,
Jakarta, Kamis (26/2/2015).
Penyebab kedua kata Bambang, terjadi pembelian panik (panic buying), sehingga
masyarakat membeli elpiji melebihi kebutuhannya sehari-hari. "Ini akibat kabar elpiji
langka," ucapnya.
Penyebab terakhir, ujar Bambang, karena ada permainan baik itu di agen maupun di
pangkalan elpiji, yang sengaja menahan penjualan elpiji 3 kg. Kabar kelangkaan
dibuat agen dan pangkalan nakal, supaya bisa menaikkan harga jualnya.
"Agen, pangkalan, dan pengecer elpiji ini bermain. Mengundang wartawan untuk foto
ibu-ibu yang buang elpiji karena kesal kesulitan dapat elpiji, ramai diberitakan, jadi
isu nasional. Ini isu 3-4 tahun lalu sudah sering muncul, kan masyarakat jadi korban.
Makanya kita minta masyarakat kalau menemukan agen dan pangkalan yang nakal,
laporkan ke kami (021) 500 000, kami langsung respons cepat, kalau benar bermain
kita sikat agen dan pangkalannya," tutup Bambang.
(rrd/dnl)