Anda di halaman 1dari 13

Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika mengajak seluruh pihak lebih proaktif lagi

untuk melakukan pengawasan terkait pendistribusian gas elpiji 3 kg, atau biasa
disebut gas melon. Hal ini bertujuan untuk menjamin peruntukannya tepat pada
sasaran.

"Gas LPG 3 kg itu khusus warga kategori kurang mampu. Jika ada warga di luar
itu yang masih menggunakan, laporkan ke kami," ujar Anne dalam pertemuan
untuk koordinasi dan penataan pendistribusian gas LPG di Aula Yudistira,
perkantoran Pemkab Purwakarta, Senin (21/10/19).

Anne menjelaskan, jumlah warga miskin di wilayahnya sekitar 180 ribu kepala
keluarga (KK). Jika merujuk pada kuota gas LPG 3 kg yang mencapai 650 ribu
tabung per bulan, seharusnya itu mencukupi untuk kebutuhan gas warga kurang
mampu.

"Kalau melihat data, asumsinya kan harusnya cukup. Tapi kenapa selama ini sering
terdengar ada warga miskin tak kebagian gas bersubsidi," ujarnya.

Ia mengakui, jika dalam hal pendistribusian gas melon ini kerap salah sasaran.
Sehingga, tak jarang masyarakat miskin tidak bisa menikmati barang subsidi
tersebut. Menurutnya, selama pengawasannya tidak tegas, persoalan ini tak
kunjung selesai.

"Manurut saya, masalahnya satu. Selama ini, agen dan pangkalan tak memiliki data
warga miskin. Sehingga, gas bersubsidi ini bisa seenaknya dijual secara terbuka,"
ucapnya.

Dalam hal ini, Anne menegaskan, pihaknya akan menindak tegas oknum
pangkalan, agen dan pengecer yang selama ini melakukan praktik nakal. Misalnya,
masih menjual gas subsidi kepada bukan peruntukannya.
"Praktik nakal itu, misalnya seperti tidak mendistribusikan gas kepada yang berhak
dan malah mengalokasikan kepada yang lain. Maka, agen dan pengecer seperti ini
izinnya akan kami cabut," ujarnya.

Itu alasannya, kenapa hari ini pemkab mengumpulkan ratusan pemilik pangkalan
gas elpiji 3 kg yang ada di wilayah ini. Tujuannya, tak lain untuk mengadakan
kesepakatan. Kedepan, jika pangkalan menjual gas tersebut ke oknum pedagang
atau pengusaha, maka izin usahanya akan dicabut.

Anne juga mensinyalir, kerap terdengar kasus warga miskin yang susah mencari
gas LPG untuk kebutuhan sehari-hari itu akibat masih banyaknya oknum
masyarakat yang membeli gas melon dalam skala besar. Sehingga, untuk keperluan
warga miskin justru tak terpenuhi.

"Kalaupun ada, warga harus membeli dengan harga mahal. Yakni hingga Rp 25
ribu pertabung. Padahal, jika merujuk pada HET, harga gas melon itu hanya Rp 16
ribu. Makanya, kami bersama pertamina dan Hiswana akan melakukan evaluasi,”
jelas dia.

Menurut Anne, dalam aturannya rantai distibusi gas melon ini hanya sampai
tingkat pengecer. Namun, pada kenyataannya banyak oknum masyarakat dan
pedagang yang sengaja membeli dengan skala besar untuk dijual ke masyarakat.

"Ya jelas harganya jadi mahal. Sayangnya, sampai saat ini belum ada aturannya
apakah warung bisa menjual secara bebas. Jika merujuk pada aturan, distribusi itu
dari Pertamina hanya sampai tingkat pengecer," ujarnya.

Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta dan jajaran Polres setempat juga


menyoroti kasus penyalahgunaan gas elpiji berukuran 3 kg digunakan untuk
keperluan industri.
Sebelumnya, Polres Purwakarta berhasil mengungkap dugaan kasus praktik
penyalahgunaan gas elpiji bersubsidi tersebut di salah satu perusahaan cat
berlokasi di Kecamatan Campaka, Kabupaten Purwakarta, beberapa waktu lalu.
Gas melon itu digunakan untuk memanaskan moulding yang mampet.

Terkait hal itu, Bupati Purwakarta mengatakan, akan menelusuri dari mana
perusahaan itu memperoleh gas bersubsidi tersebut, jika telah diketahui maka
sanksi tegas akan dilayangkan kepada yang bersangkutan.

"Kita tegas, kalau ada pangkalan atau agen menjual gas bersubsidi di luar daftaran
penerima, izinnya akan kita cabut," ujarnya.

Menurutnya, gas elpiji berukuran 3 kg diperuntukan bagi masyarakat menengah ke


bawah atau kurang mampu. Artinya pendistribusian juga harus tepat sasaran tidak
bisa dijual sembarang, apalagi dijual ke perusahaan tentu itu tidak boleh.

"Pengawasan gas elpiji berukuran 3 kg tentu melibatkan semua elemen


masyarakat, terutama lurah atau kepala desa harus benar-benar melakukan
pengawasan terhadap distribusi gas tersebut, jangan sampai tidak tepat sasaran,"
tutup Anne. (*)
pemerintah RI pada awal tahun 2007 meluncurkan kebijakan konversi
minyak tanah ke gas LPG (Liquid Petroleum Gas) yang selanjutnya disebut
elpiji. Meskipun banyak pro dan kontra karena terkesan terburu-buru,
kebijakan pemerintah tersebut tetap dijalankan. Dari berbagai perspektif,
kebijakan pemerintah ini sangat logis, mengingat harga minyak mentah
internasional cenderung melonjak sangat tajam. Apabila harga minyak
tanah dalam negeri dipertahankan, pemerintah harus mengeluarkan dana
APBN yang sangat besar untuk mensubsidi. Sementara itu cadangan
minyak bumi di Indonesia saat ini sudah semakin menipis. Isu cadangan
bahan bakar minyak dunia yang semakin menipis menjadi alasan kuat bagi
pemerintah untuk melakukan konversi terhadap bahan bakar gas yang
masih tersedia dalam jumlah besar. Pada tahap awal konversi pembagian
tabung gas gratis difokuskan pada kota-kota besar yang relatif mudah dari
segi transportasi dengan target rumah tangga pemakai yang berbeda-
beda. Namun demikian dalam pembagian gratis ke masyarakat masih saja
menimbulkan masalah. Karena banyak wilayah atau daerah yang tidak
tersentuh pembagian tabung, selain itu dirasakan ada sisi ketidakadilan
dalam pembagian ini. Pembagian tabung seringkali salah sasaran.
Masyarakat yang sebetulnya mampu, bahkan sudah memiliki kompor gas
malahan mendapatkan pembagian gratis sedangkan masyarakat yang
membutuhkan atau relatif miskin malahan tidak mendapatkan pembagian.
Padahal sebetulnya tidak susah untuk mendata warga yang relatif miskin
dan membutuhkan yakni melalui RT / kelurahan setempat.
Masalah terus berlanjut seakan enggan menjauhi gas elpiji. Setelah
pembagian gratis kompor dan tabung gas, banyak media masa baik cetak
maupun elektronik yang memberitakan kecelakaan yang ditimbulkan oleh
tabung gas yang meledak dan menimbulkan kebakaran. Opini tergiring
seakan banyak tabung gas yang tidak memenuhi standar keselamatan.
Tapi seiring waktu hal-hal seperti itu mulai mereda. Tetapi bukan karena
tidak ada masalah. Setelah gas elpiji sudah terasa manfaatnya dan
masyarakat sudah menikmatinya, masalah kembali mendera. Yakni
kelangkaan gas elpiji 3 kilogram (kg). Sebagaimana yang diberitakan
Tribun Jabar edisi Kamis, 7 Desember 2017, kelangkaan elpiji ukuran tiga
kilogram terjadi di sejumlah wilayah di Jawa Barat. Rata-rata kelangkaan
terjadi sejak satu pekan yang lalu. Tapi ada juga beberapa daerah yang
sudah satu bulan mengalami kelangkaan gas. Bahkan dibeberapa daerah
seperti di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, kelangkaan gas bahkan
telah membuat sejumlah warga beralih kembali ke kayu bakar. Dibanding
pakai gas pakai kayu bakar sebenarnya lebih mahal dan lebih ribet. Tapi
untuk sementara mereka menggunakan kayu bakar sampai tabung gas
elpiji tersedia kembali. Kelangkaan elpiji 3 kg terjadi karena beberapa hal.
Pertama karena migrasi dari pengguna elpiji 12 kg ke Elpiji 3 kg. Sejak
awal Januari 2015, Pertamina memang menaikan harga elpiji 12 kg,
dengan tujuan mengurangi kerugian di bisnis elpiji. Karena selama ini
menjual elpiji 12 kg di bawah harga keekonomian. Terjadinya migrasi dari
elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg karena mempunyai disparitas harga yang sangat
lebar. Banyaknya konsumen yang beralih ke elpiji 3 kg, bila dibiarkan terus
menerus, maka konsumen elpiji 3 kg akan semakin mem¬bludak. Padahal,
alokasi elpiji 3 kg di tiap daerah, mengacu pada data rakyat miskin di
wilayah tersebut. Karena elpiji 3 kg juga dikonsumsi kalangan menegah,
maka kelangkaan sering terjadi. Jadi, bukan karena kurangnya distribusi.
Penyebab kedua, terjadinya pembelian panik (panic buying), sehingga
masyarakat membeli elpiji melebihi kebutuhannya sehari-hari. Apalagi
sebentar lagi akan libur panjang, baik itu libur anak sekolah maupun libur
natal dan tahun baru. Hal ini diprediksi meningkatkan konsumsi gas elpiji.
Ketiga, diduga ada beberapa pihak yang menahan, menimbun
pendistribusian gas elpiji 3 kg untuk kepentingan pribadi. Setelah berhasil
ditimbun, kemudian dikeluarkan ketika tabung gas elpiji 3 kg langka,
sehingga harga jual semakin menjulang. Penyaluran gas elpiji 3 kg yang
tidak tepat sasaran dapat berdampak besarnya subsidi. Bila hal ini terus
terjadi secara berkelanjutan, tekanan akan berujung kepada pemerintah.
Sebab subsidi membutuhkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Mungkin nilainya baru Rp 20 triliun, namun tidak tertutup kemungkinan bisa
naik signifikan beberapa tahun mendatang akibat makin tingginya
konsumsi elpiji 3 kg. Selain tekanan pada anggaran, penya¬luran subsidi
ini jauh dari kata keadilan. Subsidi dalam definisinya adalah insentif yang
diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat golongan miskin agar
mampu menjaga daya belinya. Kondisi sekarang, penerima elpiji 3 kg
adalah orang yang termasuk kelompok tidak miskin. Beberapa tindakan
yang dapat diambil untuk menanggulangi kelangkaan gas elpiji 3 kg
diantaranya pertama, menambah pasokan. Bila keadaan normal pertamina
misalnya menyuplai 100.000 tabung maka ketika terjadi kelangkaan bisa
menambah hingga 60% gas elpiji. Kedua, pihak yang berwenang (polisi)
harus tegas memberantas, menangkap dan memberi sanksi terhadap
pelaku penimbun gas elpiji 3 kg. Karena walaupun pasokan gas ditambah
hingga 60% dari pasokan normal, akan tetap terjadi kelangkaan, apabila
oknum atau pihak-pihak penimbun gas elpiji 3 kg tidak ditangkap.
Kelangkaan gas elpiji 3 kg semoga bisa segera ditanggulangi. Karena
masyarakat sudah terbiasa, sudah merasa nyaman menggunakan gas
elpiji. Kelangkaan ini akan segera bisa ditanggulangi apabila semua pihak
(bukan hanya pemerintah) bekerja sama dengan baik.
Penjualan dan peruntukan Gas Elpiji 3 Kg atau sering disebut Gas Melon kini kembali
mengundang masalah. Penggunaan yang tidak sesuai peruntukannya atau sering disebut
"salah sasaran" kembali terjadi di sejumlah daerah. Di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) atau mungkin di wilayah lain gejala serupa masih juga terjadi.

Masalah yang menyangkut Gas Elpiji 3 Kg dan yang seharusnya disediakan untuk konsumen
yang tergolong masyarakat kurang mampu atau prasejahtera dan usaha ekonomi mikro kecil
ternyata penggunaannya banyak dikonsumsi oleh mereka yang tergolong mampu atau mereka
yang tidak berhak membelinya.

Masalah yang disebut salah sasaran ini sesungguhnya bukan hanya terjadi sekarang, namun
di waktu-waktu sebelumnya sudah lama ditemui. Oleh sebab itu sebutan yang lebih tepat
untuk gejala ini menurut penulis yaitu selalu salah sasaran, karena sudah berlangsung
berulang-ulang tanpa ada penyelesaian atau solusi untuk mengatasinya.

Dampak atas masalah demikian sudah barang tentu yang paling dirugikan adalah masyarakat
miskin atau kurang mampu atau prasejahtera dan usaha ekonomi mikro kecil yang selayaknya
sebagai pengguna sesuai aturan yang telah ditetapkan -- menjadi terganggu mengingat jatah
Gas Elpiji 3 Kg peruntukan mereka "diserobot" oleh orang lain.

Demikian halnya bagi rakyat yang memiliki usaha kecil menjadi terhambat pertumbuhannya
mengingat kebutuhan energi berupas gas melon atau elpiji 3 kg yang sedianya diperoleh --
menjadi kesulitan untuk mendapatkannya. Paling tidak, untuk memenuhi kebutuhan tersebut
harus mau mengeluarkan uang lebih dari harga eceran tertinggi (HET) karena jatahnya
"sudah berpindah tangan".

Berkait masalah ini, Gubernur DIY Sri Sultan HB X (28/8) lalu ikut menanggapinya.
Dalam headline berjudul Pemanfaatan Elpiji 3 Kg Salah Sasaran terpetik berita bahwa
"Seharusnya elpiji 3 kg itu diperuntukkan bagi keluarga kurang mampu atau mereka yang
secara ekonomi tidak mampu.

Bagi rumah makan besar, seharusnya tidak menggunakan elpiji bersubsidi. Untuk
memastikan supaya elpiji bersubsidi dinikmati mereka yang berhak, saya minta distribusinya
diawasi agar tidak salah sasaran" (Kedaulatan Rakyat, 29/8/2018, halaman 2).

Munculnya respon dari petinggi di DIY tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan elpiji 3 kg
yang tidak sesuai peruntukannya atau salah sasaran perlu segera dibenahi, dicarikan solusinya
terutama dalam hal pendistribusiannya perlu dikontrol, diawasi, sehingga kawula alit atau
rakyat yang berada di golongan ekonomi lemah bisa menikmati haknya.

Adanya perhatian dari Sri Sultan HB X juga mengindikasikan bahwa rakyat kecil perlu
dilindungi, difasilitasi untuk memenuhi kepentingan sesuai kebijakan pemerintah yang telah
ditetapkan. Kebutuhan pokok mereka, termasuk hak untuk memperoleh gas elpiji bersubsidi
ukuran 3 kg jangan sampai diganggu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tentunya apa yang telah yang diungkapkan di atas menjadi "PR" bagi kalangan yang
berkompeten, terutama di jajaran pemerintahan di bawahnya untuk menindaklanjuti sehingga
harapan untuk memberdayakan keluarga kurang mampu atau pengusaha ekonomi mikro kecil
tidak mengalami berbagai hambatan.

Untuk mengurai masalah salah sasaran terhadap penggunaan elpiji 3 kg, perlu terlebih dahulu
kita pahami aliran elpiji itu sendiri yaitu aliran barang dimulai dari produsen hingga
konsumen akhir.

Secara umum, dapat disebut bahwa produsen gas elpiji adalah Pertamina, kemudian
disalurkan ke distributor atau agen yaitu Hiswanamigas, dari sini kemudian dibagikan ke
beberapa Pangkalan resmi yang sudah ditunjuk dan sah terdaftar.

Di pangkalan resmi inilah sesungguhnya sudah tercatat konsumen yang tergolong warga
miskin atau pengusaha ekonomi mikro kecil sehingga merekalah yang berhak memperoleh
atau membeli gas elpiji 3 kg dengan harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan
yaitu Rp 15.500 per tabung.

Penulis pun yang sudah sejak lama, yaitu sejak penggunaan BBM minyak tanah hingga
sekarang (pengkalan gas elpiji) masih terdaftar sah sebagai pengelola pangkalan dan
melayani masyarakat atau konsumen tidaklah banyak direpotkan oleh permintaan, karena
semua konsumen sudah tercatat siapa-siapa yang berhak menerimanya sesuai kebijakan
pemerintah yang berlaku.

Menurut amatan dan pengalaman langsung di lapangan, pada saat situasi dan kondisi normal,
terlebih awal-awal konversi minyak tanah ke gas elpiji tidaklah banyak masalah menyelimuti
dunia jual beli gas elpiji terutama untuk ukuran 3 kg per gas melon. Semua jatah bagi warga
miskin atau kurang mampu dan usaha ekonomi mikro kecil yang sudah tercatat di beberapa
pangkalan resmi tersalurkan secara apa adanya.

Namun seiring dengan perkembangan waktu, terjadinya pergeseran perilaku dan anggapan
konsumen bahwa "semua orang boleh menggunakan gas elpiji 3 kg" maka sejak itulah mulai
merebak pangkalan-pangkalan tidak resmi di hampir semua tempat tanpa mempertimbangkan
wilayah jangkauan konsumennya. Bahkan di beberapa SPBU kini tersedia gas elpiji serupa
turut dipasarkan. Bukankah hal ini semakin membebaskan bahwa semua orang yang
"mengaku dirinya miskin" sangat mudah untuk memperolehnya?

Masalah elpiji 3 kg atau gas melon sering kali mencuat ke permukaan manakala berlangsung
momen-momen tertentu. Terutama di saat memasuki hari besar atau Hari Raya atau Lebaran,
menjelang Natal dan Tahun Baru, maupun perayaan Agustusan seperti bulan lalu --gejalanya
ditandai mulai dari kelangkaan disusul harganya yang terus naik seolah tak terkendali
(mengikuti hukum pasar).

Dalam kondisi demikian yang jelas masyarakat miskin atau usaha ekonomi mikro kecil yang
seharusnya mendapatkan jatah elpiji 3 kg per gas melon sangat dirugikan. Mereka terpaksa
harus ikutan mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh haknya.
Untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan gas elpiji, kerap kali pemerintah bersama
Pertamina mengeluarkan keputusan menambah kuota atau sering disebut kuota fakultatif
(pada momen tertentu).

Tetapi hal ini tidak mengubah keadaan secara signifikan, justru "para pemain baru" yang
tidak terdaftar sebagai penjual atau penyalur resmi yang menikmati keuntungan. Mereka bisa
mempermainkan barang dengan harga sesuai hukum permintaan dan penawaran, di samping
itu mereka lebih leluasa melakukan jual beli gas karena tidak terikat ketentuan atau aturan
harga resmi yang ditetapkan pemerintah.

Nah untuk mengatasi persoalan tersebut, memang pengawasan atau kontrol terhadap
distribusi gas elpiji secara umum harus dilakukan. Demikian halnya khusus elpiji 3 kg
(bersubsidi) sudah mendesak dilakukan. Caranya yaitu pertama memeriksa dokumentasi
aliran penjualan apakah sesuai peruntukannya. Kedua, melakukan sidak terhadap semua
pembeli atau konsumen sehingga dapat diketahui apakah elpiji 3 kg benar-benar bisa
dinikmati rakyat miskin atau usaha ekonomi mikro kecil (sesuai data terkini).

Yang tak kalah pentingnya yaitu penertiban terhadap "pangkalan-pangkalan tidak resmi" atau
para pengecer yang tidak memiki ijin sah untuk ikut menyalurkan jual beli gas elpiji
khususnya yang berukuran 3 kg.

Sekali lagi ini mendesak dilakukan bilamana kita hendak konsisten memberdayakan si miskin
dan golongan ekonomi lemah. Jangan sampai kita hanya terus menerus berwacana tanpa
memberikan solusi sehingga selalu dan selalu mengumbar perkataan "salah sasaran" tanpa
menyentuh pemecahan masalah secara nyata.

Baca juga tulisan terkait:

Tambahan Kuota Gas Melon 3 Kg, Tidak Mampu Membendung Kenaikan Harga

Jelang Natal dan Tahun Baru 2018, Gas "Melon" Kembali Langka?

Subsidi Elpiji 3 Kg Masih Menyisakan Persoalan

Pemerintah Kabupaten Purwakarta menggelar pertemuan dengan ratusan


agen dan pangkalan gas untuk meningkatkan pengawasan terhadap
peredaran gas bersubisi tiga kilogram. Hal ini menyusul masih adanya
penyalahgunaan gas bersubsidi yang digunakan pelaku industri berskala
besar.

Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika mengatakan pihaknya bertemu


dengan Pertamina dan para agen tabung gas. Bupati membahas mengenai
pengawasan peredaran gas bersubsidi.
“Kita kumpulkan pangkalan dan agen Pertamina dan Hiswana Migas juga
akan kita hadirkan (membahas peningkatan pengawasan),” kata Anne di
Kantor Pemkab Purwakarta, Senin (21/10).

Anne mengatakan gas bersubsidi ini diperuntukkan bagi masyarakat


miskin. Warga mampu bahkan pelaku industri dilarang menggunakan
tabung gas melon ini untuk kebutuhan sendiri-sendiri.

Dia meminta ada sanksi tegas yang diberikan kepada agen dan pangkalan
yang menjual gas bersubsidi bukan kepada masyarakat miskin. Ini
diharapnya dapat menjadi upaya menekan penyalahgunaan gas bersubsidi
tiga kilogram.

“Kalau ada yang menjual di luar data penerima maka kita cabut izin
pangkalan tersebut. Kita evaluasi terus,” ujarnya.

Ia menyebutkan, jumlah warga miskin di wilayahnya sekitar 75 ribu kepala


keluarga (KK). Jika merujuk pada kuota gas LPG 3 kg yang mencapai 650
ribu tabung per bulan, seharusnya itu mencukupi untuk kebutuhan gas
warga kurang mampu. Namun faktanya masih ada keluhan warga miskin
yang kekurangan tabung gas bersubsidi ini.

Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta mengumpulkan pemilik pangkalan gas elpiji


berukuran 3 kilogram (Kg) di Aula Yudistira Lingkungan Pemkab Purwakarta, Senin (21/10/2019
untuk mengadakan kesepakatan penjualan harus tepat sasaran yaitu kepada warga kurang
mampu. "Gas elpiji 3 kg itu khusus warga kategori kurang mampu. Jika ada warga di luar itu
yang masih menggunakan, laporkan ke kami," ujar Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika
dalam pertemuan koordinasi dan penataan pendistribusian gas elpiji. Sejauh ini sistem
pengawasan pendistribusian tetap dilakukan dengan melibatkan semua elemen masyarakat.
Jika ditemukan kejanggalan langsung laporkan untuk kemudian ditindaklanjuti. "Alasannya hari
ini mengumpulkan ratusan pemilik pangkalan gas elpiji 3 kg untuk mengadakan kesepakatan. Ke
depan, jika pangkalan menjual gas tersebut ke oknum pedagang atau pengusaha, maka izin
usahanya akan dicabut," ujar Anne menegaskan. Menurutnya, jumlah warga miskin di wilayah
Purwakarta sekitar 75 ribu kepala keluarga (KK). Jika merujuk pada kuota gas elpiji 3 kg yang
mencapai 650 ribu tabung per bulan, seharusnya itu mencukupi untuk kebutuhan warga kurang
mampu. Namun fakta di lapangan warga kurang mampu sulit memperoleh gas bersubsidi untuk
mempenuhi kebutuhan sehari-harinya. Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan agar dalam
pendistribusian gas melon tepat sasaran. "Manurut saya, masalahnya satu. Selama ini, agen
dan pangkalan tak memiliki data warga miskin. Sehingga, gas bersubsidi ini bisa seenaknya
dijual secara terbuka," ucapnya. Selain itu, Anne juga mengaku di berbagai wilayah sering kali
terjadi gas melon dijual di atas harga eceran tertinggi (HET). "Harganya Rp25.000 padahal HET
kita Rp16.000. Kami bersama Pertamina dan Hiswana akan melakukan evaluasi,” ujar Anne.
---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoPurwakarta.com, dengan Judul Pemkab Kumpulkan Pemilik
Pangkalan Gas Melon, pada URL
http://www.ayopurwakarta.com/read/2019/10/21/3459/pemkab-kumpulkan-pemilik-pangkalan-
gas-melon

Penulis: Dede Nurhasanudin


Editor : Andres Fatubun

Pemerintah Kabupaten Purwakarta diminta untuk membuat langkah strategis menyelesaikan


persoalan distribusi gas elpiji 3 kg atau gas subsidi.
Satu di antaranya meredefinisi warga miskin yang tidak hanya menekankan pada total penghasilan
melainkan pada besaran take home pay.
Ketua Gerakan Masyarakat Moral Purwakarta (GMMP), Hikmat Ibnu Aril, menyebut perlu
menempatkan pengecer pada mata rantai distribusi secara legal gas elpiji 3 kg.
Karena itu, ucapnya, sehingga diperlukan harga eceran tertinggi (HET) warung.
Saat ini, HET gas bersubsidi diatur hanya pada tingkat pangkalan. Sesuai peraturan
Bupati Purwakarta Surat Keputusan (SK) bupati nomor 500/kep.374-perek/2019 HET ditetapkan
Rp16.000 per tabung untuk tingkat pangkalan.
"Pemerintah juga harus menyiapkan data masyarakat miskin dan pelaku usaha mikro yang berhak
mendapatkan gas bersubsidi. Termasuk masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp 1,5 juta per
bulan. Saat ini para penyalur kesulitan dalam mengidentifikasi pembeli gas bersubsidi," ujar Hikmat di
Kabupaten Purwakarta, Jumat (25/10/2019).

Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Soal Distribusi Gas Subsidi, Pemkab Purwakarta
Diminta Evaluasi Kategori Warga Miskin, Termasuk
PNS, https://jabar.tribunnews.com/2019/10/25/soal-distribusi-gas-subsidi-pemkab-purwakarta-
diminta-evaluasi-kategori-warga-miskin-termasuk-pns.
Penulis: Ery Chandra
Editor: Tarsisius Sutomonaio

Kalau melihat data, asumsinya kan harusnya cukup. Tapi kenapa selama ini sering
terdengar ada warga miskin tak kebagian gas bersubsidi,” sesalnya.

Ia mengatakan, dalam hal pendistribusian gas melon ini kerap salah sasaran.
Sehingga, tak jarang masyarakat miskin tidak bisa menikmati barang subsidi
tersebut.

“Manurut saya, masalahnya satu. Selama ini, agen dan pangkalan tak memiliki data
warga miskin. Sehingga, gas bersubsidi ini bisa seenaknya dijual secara terbuka,”
ujarmya.

Anne mengancam, akan menindak tegas oknum pangkalan, agen dan pengecer
yang selama ini melakukan praktik nakal. Misalnya, masih menjual gas subsidi
kepada bukan peruntukannya.

“Praktik nakal itu, misalnya seperti tidak mendistribusikan gas kepada yang berhak
dan malah mengalokasikan kepada yang lain. Maka, agen dan pengecer seperti ini
izinnya akan kami cabut,” ujarnya.
Anne juga mensinyalir, kerap terdengar kasus warga miskin yang susah mencari gas
elpiji untuk kebutuhan sehari-hari itu akibat masih banyaknya oknum masyarakat
yang membeli gas melon dalam skala besar. Sehingga, untuk keperluan warga
miskin justru tak terpenuhi.

“Kalaupun ada, warga harus membeli dengan harga mahal. Yakni hingga Rp 25 ribu
pertabung. Padahal, jika merujuk pada HET, harga gas melon itu hanya Rp 16 ribu.
Makanya, kami bersama Pertamina dan Hiswana akan melakukan evaluasi,” jelas
dia.

Ditempat terpisah, Ketua DPC Hiswana Migas Purwakarta Karawang Ary Syafrudin
memastikan tidak ada kelangkaan elpiji 3 kg di wilayah kerjanya. Distribusi gas
bersubsidi dalam beberapa bulan ini lancar dan aman terkendali.

“Laporan kelangkaan pernah ada tapi sudah lama sekali. Itu pun saat bulan puasa
lalu. Setelah itu sampai saat ini belum ada laporan kelangkaan lagi. Mudah
mudahan tidak ada masalah lagi, karena semua sudah diantisipasi,” kelit dia
menjawab pernyataan kelangkaan dilontarkan Bupati Anne.

Ary meminta Pemkab membuat regulasi yang tegas soal masyarakat


berpenghasilan diatas Rp 1,5 juta agar tidak membeli gas bersubsidi. Persoalan
yang terjadi, kata Ary, saat ini lebih pada sistem. Bahkan, sekelas PNS pun yang
jelas jelas dilarang tidak jarang masih banyak menggunakan gas melon.

“Kalau bisa regulasi itu ada sanksi. Jangan sebatas imbauan saja. Karena kalau
tidak begitu yang akan berbenturan adalah warga dengan pemilik pangkalan,”
jelasnya. (dadan/win)

Hiswana Migas DPC Purwakarta Karawang mengumpulkan kembali seluruh Agen


Elpiji 3 Kg untuk menindaklanjuti arahan Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika
yang meminta ada perbaikan jalur distribusi gas bersubsidi di Purwakarta.

Pasalnya, bupati masih menemukan adanya keluhan masyarakat yang tidak


kebagian gas melon dan harganya yang melebihi harga eceran tertinggi (HET).

“Harga di masyarakat lebih tinggi dari HET masih ditemukan. Tapi apabila ada berita
kelangkaan biasanya terjadi manakala penertiban tepat sasaran diperketat sehingga
para pengecer tidak kebagian tabung untuk diperjualbelikan lagi,” jelas Ketua
Hiswana Migas DPC Purwakarta Ary Syafrudin, Rabu (23/10/2019).

Para pengecer yang disebut mafia gas karena sering minta jatah ke pangkalan atau
potong jalur distribusi dari agen ke pangkalan. Pengalaman sebelumnya yang berani
dan berkepentingan langsung dengan usaha ilegalnya dengan melapor ke Pemda
atau ke pusat pengaduan adalah para pengecer.

“Bupati Purwakarta pantas dan wajar kesal dengan keadaan ini mengingat sampai
hari ini belum keluar data siapa yang berhak menerima subsidi,”kata Ary.

Seperti diketahui, syarat pembelian gas subsidi di pangkalan harus menyerahkan


KTP. Namun, masalahnya belum ada tanda spesifik KTP mana yang menunjukan
rakyat miskin. Kesadaran masyarakat mampu untuk tidak menggunakan gas subsidi
masih kurang. Tentunya kondisi ini bukan hanya terjadi di Purwakarta.

“Solusinya harus ada regulasi yang tegas dari pemerintah untuk penjual dan pembeli
yang melanggar. Kalau bisa ada sanksi pidana, termasuk untuk pembeli perorangan
yang secara ekonomi adalah kalangan mampu,”ujar Ary.

Selain warga kurang mampu atau miskin, pengguna yang berhak menggunakan gas
bersubsidi adalah usaha mikro. Masalahnya serupa, sampai hari ini belum ada data
atau labelisasi pelaku usaha mikro yang berhak menggunakan Elpiji 3Kg. Misalnya
dengan sticker yang ber ID dan barcode.

Masyarakat masuk katagori miskin versi Pemerintah Daerah Purwakarta adalah


mereka yang berpenghasilan di bawah Rp1.5 juta/bulan. Mereka adalah masyarakat
sasaran gas bersubsidi. Masyarakat berpenghasilan di atas Rp1.5juta/bulan dilarang
menggunakan gas bersubsidi. “Lalu bagaimana buruh pabrik?,” tanya dia.

Menurutnya,saat ini buruh pabrik di Purwakarta sudah berpenghasilan Rp3, 7


juta/perbulan sesuai dengan UMK Purwakarta. Juga pembeli yang ber KTP di luar
Purwakarta karena ketentuan subsidi dipantau per kabupaten.

“Jalan terbaik yang ditempuh adalah Pemda segera menerapkan verifikasi KTP
dengan daftar penerima rastra sebagai daftar konsumen subsidi. Juga usaha mikro
bisa segera didata dan dibuatkan sticker berbarcode agar bisa dijadikan dasar
penyaluran. Selebihnya hanya faktor kemanusiaan dengan tetap memasukan buruh
pabrik dan penduduk urban sebagai penerima subaidi,” ujar Ary.

Pasalnya, lanjut dia, sampai hari ini belum ada daftar penerima subsidi Elpiji
tertentu. Jika diterapkan sesuai aturan berdasar angka kemiskinan, merunut dalam
web resmi Pemda Purwakarta ditambah perkiraan jumlah usaha mikro sama dengan
kebutuhan keluarga miskin, maka kebutuhan gas subsidi di Purwakarta berkisar
30% dari alokasi sekarang.

“Jika ini diterapkan akan terjadi kelangkaan nyata. Apabila buruh pabrik yang
berpenghasilan di atas Rp1.5 juta sebagai batas maksimal penghasilan penerima
subsidi maka dipastikan alokasinya akan berkurang lagi sebanyak jumlah buruh di
Purwakarta dengan jatah 3 tabung sebulan perkepala keluarga,” pungkasnya.
(dadan/tri)

Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat di sejumlah daerah kesulitan


mendapatkan elpji 3 kg, bahkan harganya melambung tinggi. PT Pertamina
(Persero) mengungkapkan, ada 4 penyebab yang membuat kondisi tersebut terjadi.

Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang mengungkapkan, penyebab


pertama adalah karena migrasi dari pengguna elpiji 12 kg ke 3 kg.

Sejak awal Januari 2015, Pertamina memang menaikan harga elpiji 12 kg, dengan
tujuan mengurangi kerugian di bisnis elpiji, karena selama ini menjual elpiji 12 kg di
bawah harga keekonomian.
"Akibatnya disparitas harga makin lebar antara elpiji 12 kg dengan elpiji 3 kg. Karena
elpiji 3 kg ini sejak 2007 tidak pernah naik. Makanya terjadi migrasi, sehingga
pembelian elpiji 3 kg meningkat," kata Bambang, ditemui di kantor SKK Migas,
Jakarta, Kamis (26/2/2015).

Penyebab kedua kata Bambang, terjadi pembelian panik (panic buying), sehingga
masyarakat membeli elpiji melebihi kebutuhannya sehari-hari. "Ini akibat kabar elpiji
langka," ucapnya.

"Penyebab ketiga, ada pemberitaan di media massa kalau pengusaha SPPBE


menuntut kenaikan margin usaha, ini juga berdampak loh," katanya.

Penyebab terakhir, ujar Bambang, karena ada permainan baik itu di agen maupun di
pangkalan elpiji, yang sengaja menahan penjualan elpiji 3 kg. Kabar kelangkaan
dibuat agen dan pangkalan nakal, supaya bisa menaikkan harga jualnya.

"Agen, pangkalan, dan pengecer elpiji ini bermain. Mengundang wartawan untuk foto
ibu-ibu yang buang elpiji karena kesal kesulitan dapat elpiji, ramai diberitakan, jadi
isu nasional. Ini isu 3-4 tahun lalu sudah sering muncul, kan masyarakat jadi korban.
Makanya kita minta masyarakat kalau menemukan agen dan pangkalan yang nakal,
laporkan ke kami (021) 500 000, kami langsung respons cepat, kalau benar bermain
kita sikat agen dan pangkalannya," tutup Bambang.

(rrd/dnl)

Anda mungkin juga menyukai