Anda di halaman 1dari 8

BAB I : PENDAHULUAN

A. Manusia sebagai Makhluk Sosial dan Makhluk Budaya


Secara hakiki, manusia dalam hidupnya memiliki kodrat (given) sebagai makhluk
yang senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya (homo socius). Pewarisan nilai-
nilai kebudayaan manusia hanya dapat dilakukan melalui proses belajar, karena hanya
manusialah yang memiliki kemampuan utuk mengembangkan kebudayaan. Para filosof
berpendapat bahwa, manusia adalah “hewan yang rasional”artinya manusia memiliki daya
nalar, manusia dapat berpikir dan menghubungkan ide-ide secara sadar dan memiliki tujuan
tentang apa yang dilakukannya.
Agar manusia dapat beradaptasi dan mengembangkan kehidupannya, manusia
dilengkapi dengan akal budi dan norma atau nilai yang lazim diwariskan secara turun-
temurun melalui pendidikan. Karena pendidikan adalah proses pembudayaan, maka proses ini
akan berlangsung sepanjang hayat. Dalam masyarakat yang berbudaya, diperlukan tingkat
pendidikan yang memadai karena manusia yang berbudaya adalah manusia yang
berpendidikan dan menguasai ilmu pengetahuan serta berperilaku sesuai dengan etika,
moral, dan nilai-nilai budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat yang modern.

B. Pendidikan, Masyarakat, dan Kebudayaan

Sekolah adalah miniatur dari sebuah sitem pendidikan nasiuonal, tetapi sekaligus
potret dari perkembangan masyarakat. Namun ada kalanya sekolah jauh meninggalkan
masyarakat dan tidak sedikit pula perkembangan masyarakat yang begitu cepat tidak diikuti
oleh perubahan kurikulum sekolah dengan penyelenggaraan yang baik dan memadai.

Sementara kebuyaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Meville J. Herskovit


dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimilki oleh masyarakat itu sendiri. Masalah
kebudayaan bagi suatu negara dapat dijadikan sisi positif dalam mendorong terjadinya
kemajuan. Namun disisi lain faktor bidaya juga sering dituding sebagai penyebab kemiskinan
dari suatu komunitas. Theodore Brameld (dalam Tilaar, 1999) melihat keterkaitan yang
sangat erat antara pendidikan, masyarakat, dan kebudayaan. Antara pendidikan dan
kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat karena keduanya berkaitan dengan nilai-
nilai. Itulah sebabnya pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan, dan akan terwujud
manakala ada masyarakat yang mendukungnya.
C. Kajian Hakikat Manusia dalam Perspektif Pendidikan

Ada 4 perspektif yang dapat mempengaruhi perkembangan anak, yaitu:

1. Naturalisme, berpandangan bahwa perkembangan ditentukan oleh faktor yang dibawa


sejak lahir.
2. Naturalisme, berpandangan bahwa semua manusia lahir dalam keadaan baik. Anak yang
awalnya baik akan rusak karena pengaruh lingkungan.
3. Environtalisme, berpandangan bahwa perkembangan anak bergantungan pada
lingkungan.
4. konvergensi, perpandangan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor bawaan
dan lingkungan.

Aliran dalam filosofi yang dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan unsur-
unsur pendidikan dan tujuan pendidikan yang hendak diruuskan oleh negara:

1. Idealisme, memandang bahwa sebuah realitas adalah roh. Hakikat roh adalah ide, pikiran,
atau suatu gagasan. Tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam aliran ini adalah
membentuk karakter dan mengembangkan akal budi sesuai dengan bakat dan
kemampuannya serta kebaikan sosial.
2. Materialisme, hakikat dlam pandangan ini adlah materi.
3. Pragmatis, istilah pragmatis berasal dari ‘pragma” yang berarti praktik. Dalam dunia
pendidikan, pragmatis memiliki keyakinan bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin
meneliti, tidak dapat menerima begitu saja peendapat tertentu sebelum dibuktikan
kebenarannya secara empirik.
4. Eksistensi, berpendapat bahwa aliran ini hanya berfokus pada pengalaman yang bersifat
individual. Sumbangan eksistensialisme dalam dunia pendidikan adalah setiap ndividu
dipandnag unik, dan bertanggungjawab dalam setiap nasibnya.
5. Progresivisme, dalam bidang pendidikan filsafat meniali bahwa pendidikan adalah hidup
itu sendiri, karena pendidikan harus terkait langsung dengan minat, bakat, dan kemampuan
anak.
6. Rekonstruksionalisme, tujuan yang hendakdicapai dalam aliran ini adlah menumbuhkan
keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk memecahan masalah.
7. Perenialisme, tujuan pendidikan menurut aliran ini adlah membangun kebudayaan yang
idela, stabil, harmonis, penuh cinta kasih, dan mendapatkan anugerah dari Yang Maha
Kuasa.
BAB II : SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU
TERAPAN
1. Ruang Lingkup dan Kajian Sosiologi Pendidikan
Berdasrkan kajian Brookover, ruang lingkup sosiologi pendidikan secara terperinci
dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
1) Hubungan sistem pendidikan dengan sitem sosial yang lain;
2) Hubungan sekolah dengan komunitas sekitarnya;
3) Hubungan antarmanusia dalam sistem persekolahan; dan
4) Perilaku sekolah terhadap perilaku anak didik.
Sementarruang lingkup sosiologi pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi
Indonesia, yaitu:
1) Hubungan antar sisitem pendidikan nasional dengan prooses sosial dan peruubahan
kebudayaan untuk memahami perkembangan masyarakat masa kini;
2) Fungsi pendidikan sekolah dalam mencermati perubahan dan perkembangan sosial serta
masalah sosial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia;
3) Fungsi sistem pendidikan dengan pengendalian sosial;
4) Hubungan antara sistem pendidikan dengan opini publik;
5) Hubungan pendidikan dengan kelas sosial, sistem sosial, dan struktur sosial;
6) Keterkaitan sistem pendidikan dengan perubahan sosial; dan
7) Keberartian pendidikan sebagai moral sosial.

B. Ruang Lingkup dan Kajian Antropologi Pendidikan

Ruang lingkup dan kajian antropologi pendidikan lebih terfokus pada bidang:

1) Enkulturasi, akulturasi, sosialisasi, dan transmisi kebudayaan;


2) Studitentang cross culture dan pola pengasuhan anak;
3) Pola ppewarisan nilai-nilai sosial budaya;
4) Sistem religi dan masyarakat beragama;
5) Hungan timbal bail antara pendidikansekolah dengan perubahan sosial budaya;
6) Budaya belajar dalam mengembangkan kehidupan;
7) Multikulturalisme dan pendidikan multikulturalisme;
8) Ideologi dan pemdidikan karakter; dan
9) Pluralisme dan masyarakat majemuk.
Sementara itu, metodologi yang digunakan antropologi pendidikan biasanya
menggunakan metode etnografi, etnometodologi, fenomenologi, case study, grounded
research, dan lain-lain.

C. Model-Model Pembelajaran yang Dapat Dikembangkan dalam Pembelajaran Sosiologi


Antropologi Pendidikan

Model pembelajaran yang dapat ditransformasikan dalam sosiologi dan antropologi


pemdidikan:

a. Pembelajaran Sosial, hakikat pembelajaran sosial adalah model pembelajaran yang


menitikberatkan pada interaksi sosial agar pengetahuan menjadi terbuka, proses berpikir
lebih berkembang, dan dapat memecahkan masalah yang sulit.
b. Pembelajaran Kooperatif, hakikat dari pembelajaran ini adalah siswa dapat belajar
dengan cara bekerja sama dengan teman. Ada beberapa tipe pembelajaran kooperatif,
yaitu: tipe STAD (Student Team Achievement Division), tipe Jigsaw, dan tipe Investigasi
Kelompok.
c. Pembelajaran Langsung, hakikat pembelajaran ini adalah siswa mengamati secara
selektif, menginat, dan menirukan tingkah laku gurunya.
d. Pembelajaran Kontekstual, hakikat pembalajaran ini adalah memadukan materi
pelajaran dengan konteks keseharian siswa dan mendorong siswa membentuk hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB III : KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
ANTOPOLOGI
A. Batasan dan Hakikat Pendidikan
Hakikat pendidikan dapat dilihat dari beberap komponen berikut ini:
1. Proses yang berkesinambungan, maksudnya bahwa pendidikan berlangsung selama
seseorang masih hidup.
2. Menumbuhkembangkan eksistensi manusia, maksudnya pendidikan merupakan proses
interaksi sosial, baik yang berskala lokal, nasional, maupun global.
3. Eksistensi manusia adalah yang bermasyarakat, maksudnya yaitu bermanfaat bagi
masyarakatnya dan mampu mengembangkan kebudayaannya.
4. Proses pendidikan ddalam masyarakat yang membudaya, artinya masyarakat tidak hanya
menciptakan kebudyaan maelainkan juga membudaya, maksudnya selama masyarakat
tetap eksis selama itu pula kebudayaan akan terus berkembang.
5. Proses bermasyarakat yang membudaya memiliki dimensi ruang dan waktu.
Terdapat berbagai pendekatan untuk menjelaskan berbagai fenomena pendidikan dan
masalah-masalah pendidikan:
1. Pedagogis, pendekatan ini memandang bahwa anak sebagai pribadii yang akan menjadi
dewasa.
2. Filosofis, pendekatan ini memandang bahwa aanak memiliki duanianya sendiri dan
memiliki niali sendiri yang akan berkembang menjadi orang dewasa.
3. Religius, tugas pendidikan muenurut pendekatan ini adlah menghantarkan peserta didik
sebagai manusia yang religius, karena ia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ia
harus dapat hidup sesuai dengan harkatnya.
4. Psikologi
5. Sosiologis, pandangan ini beranggapan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat
yang proses pendidikannya terjadi dalam masyarakat dimana masyarakat adalah tempat
untuk proses adaptasi, indoktrinasi, dan sosialisasi.
B. Pergeseran Paradigma Pendidikan

Teori pendidikan dan teori belajar telah mengalami pergesera dan


perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir, dari mementingkan dan
mengutamakan keterampilan kognitif kepada perkembangan pribadi anak yang lebih
komprehensif. Perkembangan proses pembelajaran dalama saat ini memiliki kecenderungan
sebagaibeerikut:
1. Berlangsung dalam 2 arahsehingga terjadi interaksi yang intens antara pendidik dengan
peserta didik.
2. Guru lebih bervariasi dalam menyampaikan materi yang akan diajarkan kepada peserta
didik.
3. Baik siswa maupun guru dapat membuat kontrak belajar sehingga suasana belajar akan
semakin kondusif.
C. Pendidikan Sepanjang Hayat
Jika pendidikan diartikan secara luas, maka pendidikan sama halnya dengan hidup.
Jadi, pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan, artinya pendidikan dilakukan
sejak kita lahir sampai menjelang hayat. Pndidikan tidak dibatasi oleh umur, semua berhak
menerima pendidikan yang layak bagi dirinya.
Definisi pendidikan secara luas mengandung kelemahan bahwa pendidikan tidak
dapat menggambarkan dengan tegas batas-batas pengaruh pendidikan dan bukan pendidikan
terhadap pertumbuhan individu. Sedangkan kekuatannya terletak pada penempatan kegiatan
dan pengalaman belajar sebagai inti dalam proses pendidikan, sehingga proses pendidikan
lebih merupakan kegiatan mengajar daripada kegiatan belajar yang mengandung makna
miliki otoritas yang sangat kuat.
BAB IV : KONSEP SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN
A. Multikulturalisme dalam Perspektif Pendidikan
Menurut Parsudi Suparlan (2002) multikulturalisme merupakan paham yang
mendasarkan pada asas keragaman sosial budaya yang dianut oleh suatu bangsa sehingga
istilah multikulturalime dapat disamakan dengan kemajemukan dalam konteks kebudayaan.
Sikap multikulturalisme sangat ditentukan oleh sikap toleransi dan empati terhadap
keberagaman, menghargai hak asasi manusia, menjunjung tinggi nilai demokrasi, dan
bersikap cultural relativism, yaitu sikap tidak menilai kebudayaan lain dari persepsi budaya
sendiri.
B. Pluralisme dalam Perspektif Pendidikan
Menurut JS. Furnivall (dalam M Setiadi, 2011) pluralisme adalah kemajemukan yang
terdiri dari beberapa golongan etnis, agama, paham politik,maupun bahasa yang hidup secara
terfragmentasi dan masing-masing tidak memiliki kehendak bersama untuk bersatu.
Sementara menurut Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern yang diedit oleh William
Outwaite (2008), menyatakan bahwa pluralisme hampir selalu berarti teori demokrasi politik
pluralis Amerika, oleh sebab itu pluralisme sangat menjunjung tinggi nilai demokratisasi.
Dalam memahami konsep pluralisme seringkali menimbulkan pro-kontra karena
selalu dikaitkan dengan pluralisme dalam konteks agama, sehingga terjadi ‘penyempiyan’
makna. Pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama benar dan semua agama adalah
sama. Hal ini yang menyebabkan MUI mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, liberalisme,
dan sekularisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Menurut Cecelia Lynch (dalam Muhammad Ali, 2003) ada beberapa sikap yang
ditunjukkan oleh seseorang atau kelompok terhadap pluralisme agama:
1. Eksklusivisme, yaitu sikap yang mengagungkan superioritas sistem kepercayaan sendiri
dan menonjolkan hak untuk menyebarkan sistem itu seluas mungkin. Sikap ini dapat
menimbulkan konflik karena merasa kelompoknya yang terbaik.
2. Inklusivisme, yaitu sikap yang menerima validitas atau hak sistem-sistem kepercayaan
lainnya untuk eksis, meskipun sistem kepercayaan lain dianggap kurang sempurna atau
kurang benar.
3. Sinkretis, yaitu sikap yang mengakui beragamnya tradisi keagamaan yang ada, tidak
hanya di dalam masyarakat yang multibudaya, tetapi juga di dalam pribadi.
4. Pluralis, yaitu sikapyang mengakui bahwa kebenaran itu beragam dan bersikap positif
akan kesamaan dan fungsi agama.
C. Ras dan Gender dalam Perspektif Pendidikan
a. Ras
Menurut Dunn dan Dobzhanky (dalam bukunya: Heredity, Race, and Societ), ras
adalah populasi yang dapat dibedakan berdasarkan persamaan gen atau kategori individu
secara turun temurun memiliki ciri-ciri fisik dan biologis tertentu.
Klasifikasi ras menurut AL. Krober: Ras Caucasoid, Ras Mongoloid, Ras Negroid,
dan Ras-Ras Khusus. Sementara JF. Blumenbach mengklasifikasikan ras menjadi 5
golongan, yaitu : Ras Caucasion, Ras Mongolian, Ras Ethiopian, Ras American, dan
Ras Malayan. Ciri-ciri morfologi orang Indnesia terbagimenjadi 4 ogolongan, yaitu:
Papua Melanesoid, Negroid, Weddoid, dan Melayu Mongoloid.
b. Gender
Konsep gender menurut Faik, 2003, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-
laki atau perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalkan kaum laki-
laki selalu dipersepsikan memiliki sifat yang tegas,kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Sementara kaum perempuan memiliki sifat yang lemah lebut, emosional, cantik, dan
keibuan.
Dampak yang ditimbulkan dari adanya perbedaan gender, yaitu:
1. Gender dan marginalisasi perempuan;
2. Gender dan subordinasi;
3. Gender dan stereotipe;
4. Gender dan kekerasan; dan
5. Gender dan beban kerja.

Anda mungkin juga menyukai