Terapi pengobatan terhadap penyalahgunaan Napza haruslah rasional dan
dapat dipertanggungjawabkan dari segi medik, psikiatrik, sosial dan agama. Terapi Pengobatan terdiri dari 2 tahapan yaitu detoksifikasi dan pasca detoksifikasi (pemantapan) yang mencangkup komponen-komponen sebagai berikut : 1. Terapi Medik-Psikiatrik (Detoksifikasi) Menurut prof. Dadang Hawari adalah terapi untuk menghilangkan racun (toksin) Napza dari tubuh pasien penyalahgunaan Napza. Sebagaiman diketahui bahwa penyalahgnaan Napza adalah termasuk bidang psikiatri (kedokteran jiwa), karena akibat penyalahgunaan Napza ini dapat menggangu system neurotransmitter dalam susunan saraf pusat (otak). Selain dari pada itu pada pasien penyalahguna Napza sering pula di jumpai komplikasi medik, misalnay kelainan pada paru, lever, jantung, dan organ tubuh lainnya. Dalam terapi detoksifikasi inidigunakan jenis obat-obatan yang tergolong major tran-quilizer yang ditujukan terhadap gangguan system neuro-tansmitter susunan saraf pusat (otak). Selain dari pada itu diberikan pula analgetik non opiate, yaitu jenis obat anti nyeri (pain killer) yang potensi dan efektivitasnya setara dengan opiat tetapi tidak mengandung opiat dan turunanya serta tidak menimbulkan adiksi dan dependensi (tidak menimbulkan ketagihan dan ketergantungan). Pada peroses detoksifikasi ini juga diberikan obat anti depresi yang tidak menimbulkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan). Alasan rasional diberikan obat ini karena pada penyalahguna Napza akan mengalami depresi karena bersangkutan akan mengalami euphoria pada saat Napza dibersihkan dri tubuhnya. Sesuai dengan hasil penelitiaan Hawari (1990) yang menyatakan 88% penyalahguna Napza mengalami depresi dan 86,6% mengalami kecemasan. Metode detoksifikasi ini memakai sistem blok total (abstinentia totalis), artinya pasien penyalahguna Napza tidak boleh lagi menggunakan Napza atau turunanya (derivates), dan juga tidak menggunakan obat-obatan sebagai pengganti/substitusi (substitution). 2. Terapi Medik- Psikiatrik (Psikofarmaka) Seperti yang telah diteliti, dampak dari Napza dapat mengakibatkan terganggunya neuro-transmitter pada susunan saraf pusat otak yang menimbulkan gangguan mental dan perilaku. Gangguan mental dan perilaku masih dapat berlanjut meskipun Napza sudah hilang dari tubuh setelah menjalani terapi detoksifikasi. Selain dari pada itu pada pasien penyalahguna Napza peroses mental adiktif masih berjalan : artinya rasa ingin (craving) masih belum hilang, sehingga kekambuhan dapat terulang kembali. Untuk mengatasi gangguan Universitas Sumatera Utara 34 tersebut, digunakan obat-obatan yang berkhasiat memperbaiki gangguan dan memulihkan fungsi neuro-transmitter pada susunan saraf pusat (otak), yaitu yang dinamakan psikofarmaka golongan major tranquilizer yang tidak menimbulkan adiksi dan dependensi (tidak berakibat ketagihan dan ketergantungan). Selain psikofarmaka golongan major tranquilizer tadi pada pasien penyalahguna Napza juga diberikan jenis obat anti-depressant. Obat anti-depresi perlu diberikan karena dengan diputuskanya Napza seringkali pada pasien penyalahguna Napza akan timbul gejala depresi. Dengan terapi psikofarmaka baik dari golongan major tranquilizer maupun anti-deperssant tadi, maka gangguan mental dan perilaku dapat diatasi. 3. Terapi Medik-Psikiatrik (Psikotrapi) Pada pasien penyalahguna Napza selain terapi dengan obat (psikofarmaka) juga diberikan terapi kejiwaan (psikologik) yang dinamakan psikotrapi. Psikotrapi ini banyak ragamnya tergantung dari kebutuhan, misalnya : psikotrapi suportif, psikotrapi re-eduktif, psikotrapi rekonstruktif, psikotrapi kognitif, psikotrapi perilaku, psikotrapi keluarga. Secara umum tujuan dari psikotrapi adalah untuk memperkuat struktur kepribadian mantan penyalahguna Napza, misalnya meningkatkan citra diri (self esteem), mematangkan keperibadian (maturing personality), memperkuat ego (ego streght), mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life), memulihkan kepercayaan diri (self confidence), mengembankan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) dan lain sebagainnya. Keberhasilan psikotrapi dapat dilihat apabila mantan penyalahguna Napza tadi mampu mengatasi problem kehidupan tanpa Universitas Sumatera Utara 35 harus melarikan diri ke Napza. Selama terapi psikofarmaka berlangung, terapi psikofarmaka dan terapi psikoreligius dapat diintergrasikan secara bersamaan. 4. Terapi Medik-Somatik Terapi medik-somatik adalah pengguanaan obat-obatan yang berkhasiat terhadap kelainan-kelainan fisik baik sebagai akibat dilepaskanya Napza dari tubuh (detoksifikasi) yaitu putus Napza (with-drawal symptoms) maupun komplikasi medik berupa kelainan organ tubuh akibat penyalahguna Napza. Pada umumnya pasien penyalahgunaan Napza kondisi fisiknya/gizi tidak baik, oleh karena itu perlu diberikan makanan dan minuman yang berkalori dan bergizi tinggi juga terapi fisik misalnya olahraga untuk memulihkan daya tahan (stamina) yang bersangkutan. Yang termasuk terapi medik-somatik ini adalah larangan merokok bagi pasien penyalahguna Napza. Karena tembakau memperburuk kelainan paru. 5. Terapi Psikososial Terapi psikososial adalah upaya untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi penyalahguna/ketergantungan Napza ke dalam kehidupanya sehari-hari. Sebagimana yang telah diketahui akibat penyalahgunaan/ketergantungan Napza gangguan mental dan perilaku yang bercorak antisosial. Dengan terapi psikososial ini dapat berubah menjadi perilaku yang secara sosial dapat diterima (adaptive behavior). Universitas Sumatera Utara 36 6. Psikorelegius Terapi keagamaan (psikorelegius) terhadap pasien penyalahguna/ketergantunan Napza ternyata memang peranan penting, baik dari segi pencegahan (prevensi), maupun rehabilitasi. Di dalam konferensi tahunan The American Psychiatric Associatin, Chicago (2000), Sierra dan Vex mengemukakan hasil penelitiannya yang menginteregasikan unsur agama dalam terapi penyalahguna/ketergantungan Napza. Dikemukakan bahwa efektivitas terapi hasilnya lebih baik dari pada hanya menggunakan terapi medik-psikiatri saja. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Synder-man (1996) yang berkesimpulan bahwa terapi medik saja tanpa agama, tidaklah lengkap sebaliknya terapi agama saja tanpa medik tidak akan efektif. Unsur agama dalam terapi bagi para pasien penyalahguna/ketergantungan Napza mempunyai arti penting dalam mencapai keberhasilan penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima akan memperkuat dan memulihkan rasa percaya diri, harapan, dan keimanan. Unsur agama ini tidak hanya penting bagi pasien penyalahguna/ketergantungan Napza saja tapi juga penting bagi keluarganya dalam menciptakan suasana rumah tangga yang religious. 2.11. Rehabilitasi Rehabilitas adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna/ketergantungan Napza kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial dan spiritual/agama (keimanan). Dengan kondisi sehat tersebut Universitas Sumatera Utara 37 diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupanya sehari-hari baik dirumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya. Program rehabilitasi lamanya tergantung dari metode dan perogranm dari lembaga bersangkutan biasanya lamanya program rehabilitasi antara 3-6 bulan. Tujuan dari rehabilitasi tersebut yaitu: beriman dan bertaqwa, kepada Tuhan YME, memiliki kekebalan fisik maupun mental terhadap Napza, memiliki keterampilan, dapat berfungsi secara wajar (layak) dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah (keluarga), di sekolah/kampus, di tempat kerja maupun masyarakat (Martono dkk, 2006).