Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini jumlah industri/perusahan di Indonesia semakin

bertambah sehingga mengakibatkan situasi yang semakin kompetitif.

Situasi yang semakin kompetitif mengakibatkan timbulnya persaingan

yang semakin ketat, dan pada akhirnya menuntut industri/perusahaan

harus mempunyai SDM yang berkualitas. Begitu juga dengan industri

kesehatan, yaitu salah satunya rumah sakit. Rumah sakit adalah institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,

rawat jalan dan gawat darurat (UU RI No.44, 2009).

Perkembangan bisnis rumah sakit yang sangat pesat saat ini

menyebabkan persaingan bisnis rumah sakit menjadi sangat tajam,

sehingga diperlukan pengelolaan yang maksimal. Faktor yang perlu

menjadi perhatian bagi pihak manajemen rumah sakit adalah peran sumber

daya manusia dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu

kepada para pasien. Pelayanan kesehatan yang bermutu berarti

memberikan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan individu atupun

masyarakat sehingga pelayanan kesehatan harus secara serius dilakukan

agar dapat meningkatkan mutu layanan sehingga masyarakat terpuaskan

akan pelayanan yang didapatkan.


Rumah sakit USU sebagai salah satu rumah sakit yang berada di

bawah pemerintahan Sumatra Utara, memiliki fungsi untuk memberikan

pelayanan kesehatan yang optimal terhadap masyarakat ataupun pasien

yang ada. Hal ini juga berarti bahwa sebagai salah satu instansi

penyedia jasa, maka dituntut untuk memiliki kecepatan pelayanan,

keramahan, efektifitas tindakan serta kenyamanan bagi pasien dan

pengunjung yang menjadi faktor keberhasilan dalam pengelolaan

rumah sakit.

Saat ini, tidak hanya kehadiran ataupun penanganan dari dokter

saja yang paling diutamakan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang

ada di dalam rumah sakit. Namun, pelayanan asuhan keperawatan juga

sekarang tidak kalah diutamakan karena perawat yang berhadapan

langsung selama 24 jam dengan pasien (Karch, 2011). Dalam hal ini,

perawat merupakan ujung tombak rumah sakit yang menjadi salah satu

kunci pelayanan dari rumah sakit. Hal tersebut menjadikan

perilaku perawat memainkan peranan penting dalam pelayanan.

Perawat dituntut harus bisa memberikan pertolongan pertama kepada

pasien dengan responsif tanpa mengeluhkan bagaimana pun situasi dan

kondisi pekerjaan.

Phaneuf (Ibrahim, 2013) menjelaskan bahwa selain menjalankan

instruksi yang diberikan oleh dokter, perawat juga memiliki beberapa

tugas yang umum dilakukan seperti mengobservasi gejala dan respon

pasien berkaitan dengan penyakit yang diderita pasien dan gejalanya,

2
menyusun dan memperbaiki rencana perawatan yang berdasarkan kondisi

dan kemampuan pasien, mencatat dan melaporkan keadaan pasien,

melaksanakan prosedur dan teknik keperawatan, melakukan pengarahan

dan penyuluhan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental pasien.

Selain itu, perawat juga memperhatikan kondisi emosional pasien dan non-

fisik pasien, dan lain sebagainya.

Jumlah pasien yang dimonitor ataupun ditangani oleh seorang

perawat dapat bervariasi, yaitu berdasarkan jumlah pasien per ruangan

dalam suatu kurun waktu tertentu. Seorang pasien yang baru masuk untuk

dirawat langsung dibebankan pada seorang perawat yang harus

bertanggung jawab sampai pasien tersebut keluar dari rumah sakit. Begitu

juga seterusnya dengan pembagian yang diusahakan merata bagi masing-

masing perawat yang ada dalam suatu ruangan. Dengan adanya tugas-

tugas lain yang harus dikerjakan serta jumlah pasien yang tidak menentu

tersebut, memungkinkan pula terjadinya ledakan pasien (overload)

sehingga akan memengaruhi perilaku ataupun kinerja para perawat.

Selama melakukan magang di rumah sakit USU, peneliti

mendapati suatu fenomena terkait dengan perilaku-perilaku kerja pada

perawat. Dalam hal ini, peneliti melakukan observasi dan wawancara.

Adapun wawancara yang dilakukan peneliti adalah terhadap pasien

maupun keluarga pasien terkait dengan pelayanan yang diterima dari

rumah sakit USU. Peneliti mendapati keluhan-keluhan daripada

pasien maupun keluarga pasien yang melakukan pengobatan selama

3
di rumah sakit USU seperti sikap perawat yang kurang ramah,

kurang sigap dan lama dalam melayani pasien. Selain itu, terdapat

juga pasien yang merasa bahwa perawat kurang dapat berempati

dengan keadaan pasien serta pasien juga merasa tidak diperlakukan

perawat dengan sabar. Terdapat juga pasien yang mengeluhkan

perawat karena perawat kurang terampil dalam melakukan

perawatan kepada pasien seperti perawat yang tidak dapat memasang

infus pada pasien. Adanya hal tersebut, membuat pasien merasa

bahwa sesama perawat yang bekerja di RS USU tidak dapat

bekerjasama dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien.

Atas hal tersebut, sesuai dengan apa yang ditemukan peneliti

pada saat dilapangan. Sebelumnya peneliti juga telah melakukan

observasi dan wawancara pada pegawai rumah sakit USU seperti

para perawat, dan juga pada pegawai non-kesehatan lainnya.

Perilaku kerja yang ditemukan oleh peneliti yaitu seperti perawat

yang kurang berinisiatif dalam membantu perawat lainnya ketika

sedang menghadapi jumlah pasien yang banyak. Terdapat juga

perawat yang menganggap bahwa apabila ia sudah melakukan

tanggungjawabnya dalam melayani pasien maka perawat tersebut

enggan untuk membantu sesama rekan kerjanya yaitu perawat

lainnya sehingga lebih memilih untuk meninggalkan ruangan kerja

tersebut. Hal tersebut juga pada akhirnya berdampak pada relasi

yang kurang baik diantara sesama rekan perawat sehingga membuat

4
tim menjadi kurang efektif dalam bekerja dan hal ini juga

berdampak secara tidak langsung akan pelayanan yang kurang

maksimal yang dirasakan oleh pasien. Selain itu, terdapat juga

perilaku perawat yang menghasut perawat lainnya untuk tidak turut

membantu rekan kerjanya. Terdapat juga perawat yang kurang mau

mendampingi ataupun membantu para mahasiswa keperawatan yang

melakukan magang di RS USU dalam memberikan pelayanan seperti

memasang infus pada pasien. Dimana, hal ini berkaitan dengan

keluhan pasien akan perawat yang kurang terampil dalam melakukan

pelayanan.

Hal lain yang ditemukan peneliti adalah adanya sikap kerja

perawat yang mengeluhkan atasannya karena kurang peduli dalam

menyelesaikan suatu konflik diantara sesama perawat sebagai

bawahannya. Selain itu, perawat juga mengeluhkan tentang pasien

terkait dengan jumlah dan keluhan-keluhan yang diterima dari

pasien. Peneliti juga menemukan bahwa masih kurangnya kesadaran

perawat untuk menghadiri suatu pelatihan tertentu yang disediakan

oleh pihak rumah sakit dalam rangka memberikan informasi terbaru

ataupun meningkatkan kemampuan maupun kompetensi yang harus

dimiliki sebagai seorang perawat.

Perilaku-perilaku kerja para perawat yang ada pada rumah sakit

USU tersebut mengindikasikan perilaku yang kurang mencerminkan

organization citizenship behavior (OCB). Konsep OCB sendiri pertama

5
kali dikemukakan oleh Dennis Organ (1988). Organ (2006)

mendefinisikan OCB sebagai sebagai perilaku individu yang bebas untuk

ditentukan, tidak berkaitan secara langsung dengan sistem reward formal

dan secara keseluruhan dapat mendukung fungsi organisasi secara efektif

dan efisien. Dengan kata lain OCB merupakan perilaku sukarela di luar

deskripsi pekerjaan yang tidak secara langsung atau eksplisit diakui dalam

sistem penghargaan formal dan secara agregat perilaku tersebut dapat

meningkatkan fungsi efektivitas organisasi. Perilaku OCB tidak terdapat

pada deskripsi pekerjaan tetapi sangat dibutuhkan karena dapat

meningkatkan efektivitas dan kelangsungan hidup sebuah organisasi

dalam lingkungan bisnis yang kian kompetitif.

Akira dan Jatmika (2015) menjelaskan bahwa perawat memiliki

tugas yang padat dan beresiko tinggi, sehingga perawat diharapkan tidak

hanya menjalankan tugas berdasarkan SOP (standard operational

procedure) saja, namun juga melakukan organizational citizenship

behavior (OCB). Hal tersebut dianjurkan agar perawat dapat

melaksanakan tugasnya dengan baik dan optimal. Karyawan dengan OCB

tidak berharap mendapatkan penghargaan dari organisasi atas perilaku

positif yang mereka lakukan. Mereka menunjukkan perilaku tersebut

dengan sukarela dan spontan. Adanya perilaku-perilaku OCB yang

ditujukkan oleh karyawan juga secara tidak langsung akan meningkatkan

efektivitas dari rumah sakit tempat mereka bekerja.

6
OCB ini tercermin melalui perilaku suka menolong orang lain,

menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra. Dengan adanya OCB yang

tinggi pada perawat diharapkan dapat berdampak baik bagi pelayanan

kesehatan di rumah sakit. Dalam hal ini diharapkan perawat dapat lebih

cakap, lebih responsif, lebih sigap, ramah terhadap pasien maupun

keluarga pasien dalam menjalankan tugas dan tetap bertahan di rumah

sakit serta merasa mempunyai tanggung jawab atas keberhasilan rumah

sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang

lebih maksimal dan optimal.

OCB juga dapat diartikan sebagai perilaku rasa memiliki yang

tinggi terhadap organisasi. Menurut Nemeth dan Staw (Mansoor., dkk.

2012), OCB dapat membantu organisasi untuk meningkatkan kinerjanya

dan memperoleh keunggulan kompetitif dengan memberikan motivasi

kepada karyawan untuk melakukan pekerjaan yang melampaui

persayaratan pekerjaan formal yang dibutuhkan. Pada era globalisasi saat

ini, dimana lingkungan bisnis semakin kompetitif, OCB atau perilaku-

perilaku extra-role yaitu perilaku karyawan yang melampaui deskripsi

pekerjaannya sangat diharapkan oleh organisasi karena perilaku extra-role

di antara karyawan dapat mempengaruhi peningkatan efektivitas

perusahaan.

Selanjutnya, Kinicki dan Fudgate (2013) mengemukakan bahwa

perilaku OCB sangat penting karena dua alasan. Pertama, ketika individu

berperilaku OCB maka hal tersebut memungkinkan untuk menciptakan

7
kesan positif tentang karyawan tersebut diantara rekan kerjanya. Kedua,

semakin banyak karyawan yang berperilaku OCB maka akan berpengaruh

positif bagi hasil yang diperoleh organisasi. Newstrom (2011),

berpendapat bahwa karyawan yang berperilaku organizational citizenship

behavior secara langsung dirancang untuk menguntungkan pihak lain.

Artinya, setiap perilaku organizational citizenship behavior akan

memberikan dampak positif bagi siapapun, baik secara individu maupun

secara organisasi.

OCB dapat timbul dari berbagai faktor dalam organisasi,

diantaranya karena adanya kepuasan kerja dari karyawan (Organ,

Podsakoff & MacKenzie, 2006; Robbin & Judge, 2013), Kepemimpinan

(Organ, Podsakoff & MacKenzie, 2006; Robbin & Judge, 2013), dan

komitmen organisasi (Kinicki, Cole, Digby, Koziol & Kreitner., 2010).

Luthans (2006) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai

keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; keinginan

untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan keyakinan tertentu,

dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Komitmen organisasi ini

mencerminkan kumpulan dari perasaan dan keyakinan bahwa orang-orang

tersebut memiliki organisasi secara keseluruhan (Rini, 2013).

Komitmen ini dapat menjadi pendorong dalam terciptanya OCB

pada karyawan, hal ini disebabkan karena karyawan yang memiliki

komitmen maka akan memiliki kesediaan untuk menampilkan usaha yang

besar (Mowday, Porter, dan Steers, 1982). Selain itu, karyawan yang

8
memiliki komitmen organisasi maka akan bekerja penuh dedikasi.

Komitmen organisasi yang tinggi akan membuat karyawan memiliki

pandangan yang positif dan akan melakukan yang terbaik untuk

kepentingan organisasi atau di tempat ia bekerja (Allen Meyer & Smith,

1993).

Karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi,

akan melakukan tugas yang tidak hanya tugas-tugas yang telah menjadi

kewajibannya, melainkan melakukan pekerjaan yang lainnya. Dimana jika

ada karyawan yang tidak mampu mengerjakan suatu pekerjaan, maka

karyawan yang berkomitmen ini cenderung akan membantu rekannya

demi tercapainya tujuan yang diharapkan oleh organisasi tanpa

membanding-bandingkan kemampuannya dengan karyawan lain serta

cenderung bangga terhadap perusahaannya. Selain itu, karyawan yang

memiliki komitmen organisasi maka akan bekerja penuh dedikasi, dimana

hal ini sejalan dengan salah satu dimensi OCB yaitu conscientiousness.

Karyawan akan menganggap bahwa hal paling penting yang harus dicapai

adalah pencapaian tugas dalam organisasi. Sebaliknya, karyawan yang

tidak berkomitmen cenderung tidak peduli dengan tujuan organisasi,

melanggar aturan, dan kehilangan gairah dalam bekerja.

Sikap-sikap seperti itu akhirnya berpengaruh terhadap kinerjanya,

dengan demikian terlihat jelas bahwa komitmen terhadap organisasi sangat

penting bagi kehidupan organisasi. Bila dalam suatu perusahaan memiliki

karyawan dengan tingkat komitmen yang tinggi, hal tersebut dapat

9
memicu untuk tumbuhnya organizational citizenship behavior dalam

karyawannya. Bilamana sudah adanya OCB pada setiap karyawan dalam

perusahaan tersebut, maka secara tidak langsung akan meningkatkan

kinerja karyawannya. Hal tersebut sangat berpengaruh positif bagi

perusahaan yang pada akhirnya perusahaan dapat kembali bersaing dalam

pasar dan juga dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar. OCB ini

penting, karena dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas melalui

kontribusinya pada transformasi sumber daya, keinovatifan, dan

kemampuan beradaptasi (Organ, 1988).

OCB dalam lingkungan kerja, tidak lepas dari bagaimana

komitmen yang ada dalam diri karyawan tersebut sehingga komitmen

karyawan yang menjadi pendorong dalam terciptanya OCB dalam

organisasi. Pada penelitian Rini (2013) juga diketahui bahwa komitmen

organisasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap OCB. Hal ini

berarti bahwa ketika karyawan memiliki komitmen organisasi dalam

menjalankan pekerjaannya, maka mereka memiliki OCB yang baik.

Komitmen organisasi yang dimiliki karyawan maka akan membuat OCB

meningkat dan berpengaruh terhadap produktivitas. Oleh karena itu,

komitmen organisasi juga harus dimiliki oleh setiap perawat yang nantinya

diharapkan dapat menumbuhkan sikap OCB untuk meningkatkan mutu

pelayanan rumah sakit.

OCB ini tidak hanya dipengaruhi oleh komitmen karyawan

terhadap perusahaan, tetapi juga disebabkan oleh kepuasan kerja.

10
Kepuasan kerja adalah perasaan positif terhadap suatu pekerjaan yang

dievaluasi dari karakteristiknya. Ketika karyawan merasa puas terhadap

pekerjaan yang dilakukannya, maka karyawan tersebut akan bekerja secara

maksimal dalam menyelesaikan pekerjaannya, bahkan melakukan

beberapa hal yang mungkin diluar tugasnya mungkin karena mereka ingin

membalas pengalaman positif yang telah mereka dapatkan (Robbin &

Judge., 2013).

Dalam pekerjaan, banyak sekali hal-hal yang berpengaruh terhadap

kepuasan kerja. Diantaranya adalah: pekerjaan mereka sendiri, gaji/upah,

promosi, supervisi, rekan kerja, lingkungan pekerjaan dan pekerjaan

secara keseluruhan. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, tentu kepuasan kerja

menjadi tidak terpenuhi. Para karyawan yang merasa mendapat dukungan

dari rekan kerja mereka akan lebih menunjukkan perilaku menolong,

sebaliknya yang mendapatkan perilaku tidak menyenangkan dari rekan

kerja cenderung akan tidak melakukan perilaku menolong. Waspodo &

Minadaniati (2012), menyatakan bahwa seseorang yang merasakan

kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin

dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk memberikan performa

terbaiknya kepada organisasi tempat ia bekerja dengan menyelesaikan

tugas pekerjaannya sebaik mungkin. Jadi, jika karyawan puas dengan

pekerjaannya, maka produktivitas dan hasil kinerja karyawan tersebut

akan meningkat secara optimal.

11
Robbins dan Judge juga (2013) menyatakan bahwa adalah logis

menganggap kepuasan kerja sebagai prediktor utama OCB, karena

karyawan yang puas cenderung akan berbicara positif mengenai

organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam

pekerjaan mereka. Selain itu, karyawan yang puas mungkin akan

memberikan peran yang lebih karena merespon pengalaman positif

mereka. Oleh karena itu karyawan yang kepuasan kerjanya tinggi tentu

lebih menunjukkan perilaku OCB, begitupun sebaliknya (Robbin &

Judge., 2013).

Berdasarkan paparan sebelumnya, bahwa kepuasan kerja dan

komitmen merupakan dua faktor yang diyakini dapat memengaruhi

organizational citizenship behavior (OCB). Ketika karyawan merasakan

kepuasan terhadap pekerjaan yang dilakukannya, maka karyawan tersebut

akan bekerja secara maksimal dalam menyelesaikan pekerjaannya, bahkan

melakukan beberapa hal yang mungkin di luar tugasnya. Dan kepuasan itu

timbul dari lingkungan kerja perusahaan yang dapat dikatakan kondusif

yang mendukung karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Begitu

juga pada saat seseorang mempunyai komitmen yang tinggi terhadap

organisasinya, maka orang tersebut akan melakukan apapun untuk

memajukan perusahaannya karena keyakinannya terhadap organisasinya.

Dari uraian di atas, dan mengingat hasil observasi awal pada pasien

serta pada pegawai yang ada di rumah sakit USU, mengindikasikan bahwa

perawat belum menampilkan perilaku yang baik dalam menjalankan

12
tugasnya, terutama untuk membantu rekan kerja dalam bentuk perilaku

peran ekstra ataupun sukarela (OCB) serta melayani pasien. Hal ini pula

dapat mengindikasikan bahwa perawat kurang atau tidak loyal dengan

pekerjaan dan rumah sakit tempat mereka bekerja. Adanya fenomena

tersebut serta penelitian-penelitian terdahulu yang telah mengkaji tentang

faktor-faktor yang dapat memengaruhi OCB yang dimiliki oleh seorang

karyawan, maka berdasarkan latar belakang ini, peneliti tertarik

melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui lebih lanjut

mengenai bagaimana pengaruh komitmen organisasi dan kepuasan kerja

terhadap OCB perawat yang ada di rumah sakit USU.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh komitmen organisasi terhadap OCB

perawat RS USU?

2. Apakah terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap OCB perawat RS

USU?

3. Apakah terdapat pengaruh komitmen organisasi dan kepuasan kerja

secara bersama-sama berpengaruh terhadap OCB perawat RS USU?

13
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang

diungkapkan sebelumnya , maka tujuan penelitian yang ingin diketahui

adalah:

1. Seberapa besar pengaruh komitmen organisasi terhadap OCB perawat RS

USU

2. Seberapa besar pengaruh kepuasan kerja terhadap OCB perawat RS USU

3. Seberapa besar pengaruh komitmen organisasi dan kepuasan kerja secara

bersama-sama terhadap OCB perawat RS USU

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat teoretis dan manfaat

praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

mengembangkan ilmu psikologi, khususnya psikologi industri dan

organisasi yaitu untuk mengetahui peran faktor komitmen organisasi dan

kepuasan kerja terhadap organization citizenship behavior pada konteks

perilaku kerja perawat.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak RS USU

untuk mengetahui bagaimana tingkat atau gambaran tentang

komitmen organisasi, kepuasan kerja dan organizational citizenship

14
behavior (OCB) pada perawat. Selain itu, akan diketahui juga

bagaimana pengaruh dari komitmen organisasi dan kepuasan kerja

terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada perawat.

Temuan ini juga dapat dijadikan masukan dan bahan pertimbangan

bagi RS USU dalam meningkatkan OCB pada perawat.

15
16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telaah Pustaka

2.1.1 Organization Citizenship Behavior (OCB)

2.1.1.1 Pengertian Organization Citizenship Behavior (OCB)

OCB pertama kali di populerkan oleh Organ kemudian dikembangkan oleh

tokoh-tokoh lain. Organ (2006) mendefinisikan OCB adalah perilaku individu

yang memiliki kebebasan untuk memilih, yang secara tidak langsung atau secara

eksplisit diakui oleh sistem reward formal dan memberi kontribusi pada

keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi. OCB bersifat bebas dan sukarela,

karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi

jabatan, yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi

melainkan sebagai pilihan personal.

OCB menurut Kreitner dan Kinicki (2014) adalah perilaku keanggotaan

organisasi yang diluar tugasnya. Contohnya adalah sikap pernyataan positif

mengenai departemen, pegungkapan minat pribadi untuk menolong pekerjaan

orang lain, memberikan saran-saran untuk peningkatan kualitas organisasi, rasa

hormat pada rekan kerja, semangat dan melakukan pemeliharaan bangunan,

peduli terhadap properti perusahaan, serta ketetapan waktu dan kehadiran diatas

standar.

Sedangkan Robbins dan Judge (2008) menjelaskan bahwa OCB merupakan

perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang

karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.

17
Schultz (2010) menyatakan bahwa OCB melibatkan usaha ekstra yang

melebihi persyaratan minimum dari pekerjaan. Karyawan melakukan tindakan

diluar peran yang dibebankan sebagai anggota organisasi dengan melakukan

perilaku yang bukan bagian dari uraian jabatan. OCB merupakan perilaku pilihan

yang tidak menjadi bagian dari kewajiban formal seorang karyawan, namun

mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara aktif. OCB ini juga sering

diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (extra-role).

Johns (Triyanto dan Santosa, 2009) mengemukakan bahwa OCB memiliki

karakteristik perilaku sukarela yang tidak termasuk dalam deskripsi jabatan,

perilaku spontan/tanpa saran atau perintah tertentu, yang bersifat menolong, serta

perilaku yang tidak mudah terlihat dan dinilai melalui evaluasi kinerja.

Organisasi menginginkan dan perlu pekerja yang mau melakukan hal-hal yang

tidak terdapat dalam job description, organisasi berkepentingan dengan

berkembangnya sumber daya manusia yang memiliki OCB (Wibowo, 2011).

OCB merupakan bentuk perilaku pilihan dan inisiatif individual yang jika tidak

ditampilkan pun tidak diberikan sanksi. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti

saat ini, dimana tugas-tugas semakin banyak, organisasi membutuhkan perilaku

OCB yang baik seperti mengeluarkan pendapat yang konstruktif tentang tempat

kerja mereka, membantu yang lain dalam timnya, menghindari konflik yang tidak

perlu.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli tersebut,

maka peneliti menyimpulkan beberapa pokok pikiran penting mengenai

organizational citizenship behavior, yaitu; (a) tindakan bebas, spontan, sukarela

18
yang dilakukan demi kepentingan pihak lain (rekan kerja, kelompok, atau

organisasi); (b) tidak diperintahkan secara formal; (c) tidak diakui dengan

kompensasi atau penghargaan formal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

organizational citizenship behavior adalah salah satu perilaku prososial di tempat

kerja ataupun kontribusi karyawan di luar dari deskripsi kerja formal yang

dilakukan secara sukarela, spontan, dan tidak diakui oleh sistem reward, namun

memberikan kontribusi pada efektivitas dan efisiensi fungsi organisasi.

2.1.1.2 Dimensi Organization Citizenship Behavior (OCB)

Ada lima dimensi penting dalam organizational citizenship behavior (OCB)

menurut Organ (2006), yaitu:

a. Altruism (perilaku menolong)

Adalah perilaku karyawan menolong rekan kerjanya yang mengalami

kesulitan tanpa memikirkan keuntungan pribadi. Dimensi ini mengarah

kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang

ditanggungnya. Perilaku yang termasuk dalam altruisme ini meliputi:

bersedia secara sukarela membantu rekan kerja yang kurang paham dan

rekan kerja baru, membantu rekan kerja yang mendapat pekerjaan

overload, mengerjakan pekerjaan rekan kerja yang tidak masuk.

b. Courtesy (bersikap sopan)

Adalah perilaku yang bertujuan untuk menjaga hubungan yang baik

sesama pegawai agar dapat menghindari masalah-masalah interpersonal.

Dimensi ini mengarah pada rasa hormat dan menghargai satu sama lain

diantara sesama pegawai. Contoh perilaku dari dimensi ini diantaranya

19
adalah mempertimbangkan dampak dari tindakan yang akan dilakukannya

terhadap rekan kerjanya, memberi konsultasi dan informasi yang

diperlukan kepada rekan kerja, menjaga hubungan baik dengan rekan

kerja, serta menghargai hak dan privasi mereka.

c. Civic virtue (mengedepankan kepentingan bersama)

Merupakan keterlibatan individu dalam suatu aktivitas organisasi dan

peduli terhadap kelangsungan hidup organisasi. Dimensi ini mengarah

pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada pegawai atau

karyawan untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.

Anggota berpartisipasi aktif dalam memikirkan kehidupan organisasi atau

perilaku yang menunjukkan tanggung jawab pada kehidupan organisasi

untuk meningkatkan tujuan organisasi. Pegawai tidak hanya aktif dalam

mengemukakan pendapat tetapi aktif menghadiri pertemuan-pertemuan

dan terus mengikuti perkembangan isu-isu yang terjadi di organisasi.

d. Sportmanship (toleransi yang tinggi)

Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal

dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seorang yang

yang mempunyai tingkat sportmanship yang tinggi akan meningkatkan

iklim kerja yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan

bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan

kerja yang lebih kondusif dan menyenangkan. Individu tidak hanya

mampu bertahan dalam ketidakpuasan akan tetapi ia juga harus tetap

bersikap positif serta bersedia mengorbankan kepentingannya sendiri demi

20
kelopmpok. Sportmanship ini meliputi perilaku kemauan untuk

bertoleransi tanpa mengeluh, tidak suka mengeluh walaupun berada dalam

situasi yang kurang nyaman, tidak mencari-cari kesalahan dalam

organisasi, tidak membesar-besarkan permasalahan yang kecil, mampu

mengambil sisi positif dari kondisi yang terjadi.

e. Conscientiousness (kesungguhan dalam bekerja)

Perilaku yang ditunjukkan dengan kesungguhan karyawan dalam bekerja,

dimana karyawan bekerja melebihi deskripsi kerja yang telah ditetapkan

dan diharapkan organisasi atau melakukan hal-hal yang menguntungkan

organisasi melampaui persyaratan minimal yang dibutuhkan. Contoh

perilaku dari dimensi ini diantaranya adalah mematuhi peraturan-peraturan

di organisasi meskipun tidak ada yang mengawasi, selalu tepat waktu

dalam hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, tidak membuang-buang

waktu kerja, segera datang jika sewaktu-waktu dibutuhkan, membersihkan

dan merapikan tempat atau peralatan bekerja setelah digunakan, ikut

memelihara sumber daya dan hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan

internal.

2.1.1.3 Faktor – faktor yang memengaruhi Organization Citizenship

Behavior (OCB)

1. Kepuasan kerja

Spector (Robbins & Judge, 2009) mengemukakan bahwa kepuasan

kerja adalah penentu utama OCB dari seorang karyawan. Selanjutnya

Organ, Podsakoff, dan MacKenzie (2006) mengemukakan bahwa

21
terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan OCB. Ketika karyawan

merasakan kepuasan kerja maka mereka akan membalasnya.

Pembalasan tersebut merupakan perasaan saling memiliki (sense of

belonging) yang kuat terhadap organisasi dan akan memunculkan

perilaku seperti organizational citizenship behavior. Ristiana (2013) juga

menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap OCB. Seorang karyawan yang merasa puas terhadap

karyawannya serta memiliki komitmen kepada organisasi tempatnya

bekerja, maka akan cenderung menunjukkan performa kerja yang lebih

baik dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas terhadap

karyawan/rekan kerja dan organisasinya.

2. Gaya kepemimpinan

Gaya kepemimpinan diyakini dapat mempengaruhi organizational

citizenship behavior (OCB) (Organ, 2006). Wirawan (2013) menjelaskan

seorang pemimpin berperan sebagai model yang mampu memberikan

motivasi, semangat dan menyampaikan visi misi perusahaan secara

manarik yang dapat menginspirasi bawahannya untuk mencapai tujuan

perusahaan. Pemimpin memiliki peran untuk membangun semangat

kerja karyawannya dan mendorong karyawannya mencapai prestasi

kerja (Susilo, Musadieq & Alam, 2013). Ketika gaya kepemimpinan di

perusahaan mampu menyentuh sisi psikologis karyawan dan

menumbuhkan sikap yang positif, maka akan mendorong karyawan lebih

loyal demi tujuan organisasi sehingga karyawan terdorong untuk bisa

22
bekerja lebih baik dan tidak hanya terpaku pada job description

karyawan (Angelina & Subudi, 2013).

3. Kepribadian dan suasana hati (mood)

Kepribadian dan suasana hati (mood) mempunyai pengaruh terhadap

timbulnya perilaku OCB secara individual maupun kelompok. George

dan Brief (Emmanuel, 2011) berpendapat bahwa kemauan seseorang

untuk membantu orang lain juga dipengaruhi oleh mood. Kepribadian

merupakan suatu karakteristik yang secara relatif dapat dikatakan tetap,

sedangkan suasana hati merupakan karakteristik yang dapat berubah-

ubah. Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang

sesorang untuk membantu orang lain. Meskipun suasana hati sebagian

dipengaruhi oleh kepribadian, ia juga dipengaruhi oleh situasi, misalnya

iklim kelompok kerja dan faktor-faktor keorganisasian. Jadi jika

organisasi menghargai karyawannya dan memperlakukan mereka secara

adil serta iklim kelompok kerja berjalan positif, maka karyawan

cenderung berada dalam suasana hati yang bagus. Konsekuensinya,

mereka akan secara sukarela memberikan bantuan kepada orang lain.

4. Komitmen Organisasi

Para peneliti perilaku organisasi mengemukakan bahwa komitmen

merupakan sebuah kekuatan yang mengikat seseorang dengan cara

relevansi tindakan pada satu atau beberapa target (Kreitner dan Kinicki,

2014). Menurut Widyanto (2013) & Asiedu (2014), komitmen organisasi

berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perilaku

23
organizational citizenship behavior. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi komitmen organisasi, maka akan semakin mempengaruhi perilaku

organizational citizenship behavior. Karyawan yang memiliki komitmen

organisasional yang tinggi akan melakukan tidak hanya tugas-tugas yang

telah menjadi kewajibannya, tetapi dengan sukarela akan mengerjakan

hal-hal yang dapat digolongkan sebagai usaha- usaha ekstra (extra effort).

5. Persepsi terhadap dukungan organisasional.

Eisenberger mengungkapkan karyawan akan mempersepsikan sejauh

mana organisasi menghargai kontribusi karyawan dan peduli tentang

kesejahteraan karyawan (Allen, Shore, & Griffeth, 2003). Jika karyawan

merasa bahwa dukungan organisasi yang diterimanya baik, maka akan

muncul reciprocity norm, yang mana karyawan yang diperlakukan

dengan baik akan merasa wajib membalas perlakuan baik yang diterima

dari organisasi, maka karyawan tersebut akan berkomitmen dengan

organisasi dan kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang

lebih positif terhadap organisasi. Dengan demikian, karyawan akan

merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi dan memberikan

performansi terbaiknya pada organisasi (Agustiningrum & Suryanto,

2013).

6. Budaya organisasi

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi OCB adalah budaya

organisasi (organization culture). Organ (1995) menekankan bahwa

faktor budaya organisasi sebagai kondisi awal yang utama yang dapat

24
memicu terjadinya OCB pada karyawan. Budaya organisasi adalah

sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang

membedakan organisasi satu dengan yang lainnya (Robbins, 2008).

Budaya tersebut berkaitan dengan cara karyawan mempersepsikan

karakteristik dari budaya organisasi yang nantinya dapat memicu

timbulnya OCB yang baik pada karyawan untuk organisasi. Budaya

organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang

organisasinya, apakah organisasi tersebut dapat mendorong karyawan

untuk bekerja secara tim atau tidak, kemudian menghargai inovasi

sehingga budaya organisasi merupakan salah satu faktor yang

memengaruhi OCB (Robbins & Judge, 2008) Budaya organisasi ini

mengarahkan perilaku pegawai untuk meningkatkan kemampuan kerja,

komitmen dan loyalitas, serta perilaku extra role seperti: membantu

rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan extra, menghindari konflik

dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai

peraturan yang berlaku, toleransi pada situasi yang kurang

ideal/menyenangkan, memberi saran yang membangun, serta tidak

membuang-buang waktu ditempat kerja. Budaya organisasi memiliki

tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku sumber daya manusia

(SDM) yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk

menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang (Oemar,

2013). Perilaku OCB dapat ditingkatkan dengan memperkuat budaya

organisasi juga pernah dibuktikan oleh Oemar (2013). Rini (2013) juga

25
menemukan bukti bahwa budaya organisasi berpengaruh positif

terhadap OCB, semakin kuat budaya organisasi maka semakin tinggi

(OCB).

2.1.2 Komitmen Organisasi

2.1.2.1 Definisi komitmen organisasi

Mowday, Porter, dan Steers (1982) mengemukakan bahwa komitmen

organisasi dapat didefinisikan sebagai hubungan aktif dan keinginan karyawan

untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya. Robbins dan Judge

(2008) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan dimana seorang individu

memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan

keanggotaannya dalam organisasi.

Menurut Richard M. Steers (1988) menyatakan bahwa komitmen

organisasional sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai

organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi

kepentingan organisasi), dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota

organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap

perusahaannya. Steers mengatakan bahwa komitmen organisasi menjelaskan

kekuatan relatif dari sebuah identifikasi individu dengan keterlibatan dalam

sebuah organisasi. Komitmen menghadirkan sesuatu diluar loyalitas belaka

terhadap suatu organisasi. Disamping itu, hal ini meliputi suatu hubungan yang

aktif dengan organisasi dimana individu bersedia untuk memberikan sesuatu dari

diri mereka untuk membantu keberhasilan dan kemakmuran organisasi.

26
Komitmen merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas dan keterlibatan

yang diekspresikan oleh karyawan terhadap organisasi. Karyawan yang memiliki

komitmen terhadap organisasi, akan menunjukkan perilaku dan sikap yang positif

terhadap organisasinya, sehingga merasa senang dalam bekerja, karyawan akan

melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik yang akhirnya diharapkan dapat

memberikan pelayanan dan kepuasan kepada konsumen eksternal (Noormijati &

Karambut, 2012).

Sedangkan Luthans (2006) yang berpendapat bahwa komitmen organisasi

adalah keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi, kemauan

untuk mengerahkan usaha terbaiknya untuk organisasi, dan keyakinan yang

mendalam, serta menerima, nilai-nilai dan tujuan organisasi. Blau dan Boal

(Sopiah, 2008) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai keberpihakan

dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dan tujuan organisasi.

Berdasarkan penjelasan berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

definisi komitmen organisasional adalah kemampuan pada karyawan dalam

mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, tujuan organisasi atau

perusahaan, mencakup unsur loyalitas terhadap perusahaan,dan keterlibatan dalam

pekerjaan.

2.1.2.2 Aspek komitmen oganisasi

Aspek-aspek dari komitmen organisasi yaitu, identifikasi, keterlibatan dan

loyalitas (Steers & Porter, 1982). Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Identifikasi

27
Identifikasi merupakan pemahaman terhadap tujuan organisasi sebagai

dasar dari komitmen karyawan pada organisasi. Identifikasi karyawan

dapat dilihat melalui kepercayaan karyawan terhadap organisasi, kesamaan

nilai pribadi dan nilai organisasi serta rasa bangga menjadi bagian dari

organisasi. Rasa identifikasi yang diwujudkan dalam bentuk kepercayaan

karyawan terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi

tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para

karyawan ataupun dengan kata lain perusahaan memasukkan pula

kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasinya. Hal

tersebut membuahkan suasana saling mendukung diantara para karyawan

dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa

karyawan dengan rela meyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan

organisasi, karena karyawan menerima tujuan organisasi yang dipercayai

telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula.

b. Keterlibatan

Keterlibatan merupakan kesediaan karyawan untuk terlibat dan berusaha

sungguh-sungguh dalam organisasi. Keterlibatan ini disesuaikan dengan

peran dan tanggung jawab pekerjaan pada organisasi. Keterlibatan atau

partisipasi karyawan dalam aktivitas-aktivitas keorganisasian juga penting

untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan karyawan menyebabkan

mereka akan mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun

dengan sesama teman kerja. Tingginya tingkat kehadiran mereka

umumnya memiliki rasa keterlibatan yang tinggi pula. Mereka hanya

28
absen jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat masuk kerja. Jadi,

tingkat kemangkiran yang disengaja pada individu tersebut lebih rendah

dibandingkan dengan karyawan yang keterlibatannya lebih rendah.

c. Loyalitas

Loyalitas merupakan keinginan yang kuat untuk bertahan di organisasi dan

menjadi bagian dari organisasi. Loyalitas terhadap organisasi ini

merupakan evaluasi terhadap komitmen yang juga menunjukkan adanya

keterikatan emosional antara karyawan dengan organisasi. Loyalitas

karyawan terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk

mempertahankan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan

mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun.

Kesediaan karyawan untuk mempertahankan diri bekerja dalam

perusahaan adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen

karyawan terhadap organisasi dimana tempat mereka bekerja. Hal ini

dapat diupayakan bila karyawan merasakan adanya keamanan dan

kepuasaan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja.

2.1.2.2 Dampak komitmen oganisasi

Meyer (Nydia, 2012) mengikutsertakan di dalam penelitiannya akan

beberapa hal yang menjadi dampak dari adanya komitmen organisasional

yang dimiliki oleh seorang pegawai :

a. Turnover

Turnover adalah tingkat pertukaran atau pergantian, yang dalam

konteks ini adalah pertukaran tenaga kerja atau karyawan. Tingkat

29
turnover dapat diakibatkan oleh komitmen organisasional. Hubungan

antara turnover dan komitmen organisasional adalah hubungan yang

positif. Apabila komitmen seseorang kepada organisasi tergolong tinggi,

keinginannya untuk mengundurkan diri atau meninggalkan organisasi

akan rendah, begitu juga sebaliknya. Karyawan yang komitmennya

rendah akan dengan mudah memiliki niat untuk keluar dari organisasi.

b. Ketidakhadiran / tingkat absensi

Komitmen organisasional juga memengaruhi ketidakhadiran

karyawan di tempat kerja. Karyawan yang memiliki komitmen tinggi

terhadap organisasi, maka akan menunjukkan sikap negative terhadap

ketidakhadiran. Merekacenderung untuk mengusahakan agar hadir di

tempat kerja. Dari ketiga dimensi komitmen, hanya komitmen afektif

yang berhubungan negative dengan ketidakhadiran.

c. Kinerja karyawan

Komitmen organisasional mempunyai pengaruh yang positif terhadap

kinerja karyawan. Dengan kata lain, karyawan dengan komitmen

terhadap organisasi yang tinggi akan berkinerja lebih baik. Dari dua

dimensi komitmen organisasinal, hanya komitmen afektif dan normative

yang memiliki hubungan positif dengan kinerja karyawan. Sedangkan

komitmen berkelanjutan memiliki hubungan yang negative. Komitmen

afektif ditemukan lebih kuat hubungan positifnya dengan kinerja

karyawan.

d. OCB

30
Komitmen organisasional mempunyai pengaruh terhadap OCB,

apabila komitmen karyawan tinggi, wujud OCB mereka juga akan tinggi.

Korelasi yang positif ini hanya berlaku bagi komitmen afektif dan

normative. komitmen berkelanjutan tidak memiliki hubungan atau dapat

dikatakan tidak berpengaruh terhadap OCB.

e. Stress dan konflik keluarga – pekerjaan

Berdasarkan penelitian, komitmen organisasional memiliki hubungan

yang negatif dengan stress dan konflik keluarga- pekerjaan. Semakin

rendah komitmen seseorang, semakin tinggi stress yang mereka rasakan

dan semakin banyak konflik yang dialami karyawan. Dari ketiga dimensi

hanya komitmen afektif yang berhubungan negatif. Komitmen

berkelanjutan ternyata mempengaruhi stress dengan sifat hubungan

yang positif, dengan kata lain semakin tinggi komitmen berkelanjutan

yang ada dalam diri seseorang, akan semakin tinggi tingkat stress yang

dirasakannya. Begitu juga dengan konflik keluarga-pekerjaan yang

dialaminya semakin sering terjadi. Sedangkan hubungan komitmen

normatif dengan stress dan konflik keluarga-pekerjaan mendekati nol

atau dengan kata lain, tidak berhubungan/ berpengaruh.

2.1.3 Kepuasan Kerja

2.1.3.1 Definisi kepuasan kerja

Robbins & Judge (2013) mengatakan bahwa kepuasan kerja, adalah suatu

perasaan positif terhadap sebuah pekerjaan yang dihasilkan dari sebuah evaluasi

31
karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi

mempunyai perasaan yang positif tentang pekerjaannya, sedangkan orang dengan

tingkat kepuasan kerja yang rendah memiliki perasaan negatif. Robbins & Judge

(2013) juga mengatakan bahwa masalah gaji yang diterima karyawan juga sering

dikaitkan dengan kepuasan kerja.

Luthans (2006) kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan

mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting.

Menurut Locke (Yuniar, dkk., 2011) kepuasan kerja adalah keadaan emosi

senang atau emosi positif terhadap suatu pekerjaan. Perasaan senang muncul

akibat penilaian pekerjaan atau pengalaman individu. Tenaga kerja yang puas

dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya.

Kepuasan kerja (Rivai & Sagala, 2009) pada dasarnya sesuatu yang

bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda

sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Semakin tinggi penilaian

terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi

kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan demikian, kepuasan merupakan

evaluasi yang menggambarkan perasaan atas sikap senang atau tidak senang, puas

atau tidak puasnya seseorang dalam bekerja.

Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

kepuasan kerja adalah suatu perasaan atau hal positif atau menyenangkan yang

dirasakan seseorang atas pencapaian kerja yang mereka harapkan dengan

kenyataan yang ada.

2.1.3.2 Dimensi kepuasan kerja

32
Luthans (2006) mengidentifikasi ada lima dimensi yang terdapat dalam kepuasan

kerja, yaitu :

1) The work Itself (pekerjaan itu sendiri)

Adalah evaluasi karyawan terhadap tingkat kesulitan yang harus dihadapi

oleh seorang karyawan ketika menyelesaikan tugas dari pekerjaannya.

Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, dimana hal itu terjadi bila

pekerjaan tersebut memberikan kesempatan individu untuk belajar sesuai

dengan minat serta kesempatan untuk bertanggung jawab. Indikator dari

pekerjaan itu sendiri meliputi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan

dan menantang. Pekerjaan menantang merupakan tugas-tugas yang

bersifat menantang dan memotivasi karyawan. Karyawan yang merasa

bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri dapat meningkatkan

kepuasan kerjanya.

2) Pay (Gaji)

Gaji adalah salah satu hal yang penting bagi setiap karyawan yang bekerja

dalam suatu perusahaan, karena dengan gaji yang diperoleh seseorang

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang juga dapat memenuhi kepuasan

kebutuhan untuk tingkatan yang lebih tinggi. Gaji merupakan salah satu

unsur yang penting yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan, sebab

gaji adalah alat untuk memenuhi berbagai kebutuhan karyawan, sehingga

dengan gaji yang diberikan karyawan akan termotivasi untuk bekerja lebih

giat. Gaji juga dapat berperan dalam meningkatkan motivasi karyawan

untuk bekerja lebih efektif, meningkatkan kinerja, dan meningkatkan

33
produktivitas dalam perusahaan. Perusahaan dimasa sekarang ini banyak

yang mengaitkan gaji dengan kinerja karyawan.

3) Promotion

Promotion atau promosi adalah kesempatan dimana seseorang dapat

memperbaiki posisi jabatannya. Promosi berarti perpindahan dari suatu

jabatan kejabatan yang lain, yang mempunyai status dan tanggung jawab

yang lebih tinggi. Hal ini memiliki nilai karena merupakan bukti

pengakuan terhadap prestasi kerja yang dicapai seorang karyawan.

Seseorang yang dipromosikan pada umumnya dianggap mempunyai

prestasi yang baik, dan juga ada beberapa pertimbangan lainnya yang

menunjang. Dalam bekerja, seorang karyawan pasti mengharapkan adanya

peningkatan–peningkatan dalam karirnya. Jenjang promosi dapat

menambah semangat karyawan di dalam bekerja, sehingga karyawan akan

bekerja dengan penuh motivasi untuk mendapatkan promosi dalam

karirnya. Apabila seorang karyawan memperoleh promosi, maka jabatan

dan kompensasi yang akan diterima secara otomatis juga akan meningkat,

hal ini akan dapat menimbulkan kepuasan kerja yang lebih dari yang

sebelumnya.

4) Supervison

Supervision atau supervisor adalah sebuah peran dalam sebuah organisasi

perusahaan dimana mempunyai kekuasaan untuk mengeluarkan perintah

kepada rekan kerja bawahannya. Peran kerja supervisor berada di level

tengah, yaitu di antara para atasan pembuat kebijakan dan di antara para

34
staf pelaksana rutinitas di lapangan. Tugas utama supervisor adalah

melakukan supervisi terhadap para staf pelaksanan rutinitas aktivitas bisnis

perusahaan sehari-hari. Supervisor bertugas menerjemahkan dan

meneruskan kebijakan strategis atasannya kepada para bawahan untuk

dikerjakan secara efektif dan produktif. Selain dari itu supervisor juga

tentu harus memiliki keterampilan dalam memberikan dukungan secara

social maupun secara teknis pekerjaan. Oleh karena itu, seorang supervisor

harus memiliki kompetensi berkualitas tinggi yang mencakup

keterampilan membangun relasi di antara atasan dan bawahan,

keterampilan terhadap fungsi dan peran kerja agar mampu bekerja secara

optimal, kreatif, efektif, berkualitas, produktif, efisien, bersinergi, dan

cerdas melakukan supervisi terhadap bawahan, keterampilan kecerdasan

emosional dan berpikiran positif.

5) Coworkers

Coworkers atau rekan kerja adalah evaluasi hubungan karyawan terhadap

karyawan lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.

Teman sekerja yang setiap hari biasanya berinteraksi dengan kita, berbagi

informasi dan berbagi tugas dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

Hubungan dengan rekan kerja harus berjalan dengan baik agar tercipta

hubungan kerjasama yang baik pula. Saling menghormati dan menghargai

sesama rekan kerja akan menimbulkan semangat kerja dalam tim.

2.1.3.3 Dampak kepuasan kerja

35
Menurut Robbins dan Judge (2013), menjelaskan bahwa ada

konsekuensi pada saat karyawan menyukai ataupun tidak menyukai

pekerjaan mereka. Robbins dan Judge selanjutnya, membuat sebuah

kerangka teoritis (kerangka keluar – pengaruh – kesetiaan – pengabdian)

yang sangat bermanfaat dalam memahami konsekuensi dari

ketidakpuasan. Di bawah ini terdapat empat respon kerangka tersebut,

yang berbeda dari satu sama lain bersama dengan dua dimensi yaitu

konstruktif/destruktif dan aktif/pasif. Respon – respon tersebut

didefinisikan sebagai berikut:

1. Keluar (exit): perilaku yang ditunjukkan untuk meninggalkan

organisasi termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.

2. Aspirasi (voice): secara aktif dan kontsruktif berusaha

memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan

masalah dengan atasan, dan mengambil beberapa bentuk aktivitas

serikat kerja.

3. Kesetiaan (loyalty): secara pasif tetapi optimis menunggu

membaiknya suatu kondisi, termasuk membela organisasi atau berbicara

positif mengenai organisasi ketika berhadapan dengan kecaman

eksternal dan mempercayai organisasi dan manajernya untuk melakukan

hal yang benar.

4. Pengabaian (neglect): suatu bentuk respon dimana secara pasif

membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau

36
keterlambatan yang terus – menerus, berkurangnya usaha, dan

meningkatnya angka kesalahan.

Selanjutnya, terdapat juga dampak lain akan adanya kondisi

kepuasan ataupun ketidakpusan kerja yang dialami oleh seorang

pegawai. Hal tersebut ialah OCB. Salah satu penjelasan mengapa

kepuasan kerja berhubungan positif dengan OCB, yaitu didasarkan pada

social exchange theory (Cropanzano, R.; Howes, J. C,; Grandey, A. A,

dan Toth, P.,1997) dan principle of reciprocity (Cialdini, 2001; Goulder,

1960). Karyawan melakukan OCB sebagai cara untuk menguntungkan

organisasi mereka karena telah menciptakan lingkungan kerja yang

memuaskan atau menyenangkan. Kemungkinan lain adalah bahwa

karena mencakup komponen emosional (Brief, 1998; Brief dan Roberson,

1989), dimana kepuasan kerja mempengaruhi kesediaan seseorang untuk

terlibat dalam OCB. Perlu dicatat bahwa social exchange dan emosional

mungkin terkait karena keinginan untuk saling memberi/timbal balik

dan emosi positif keduanya sebagai hasil dari perlakuan yang baik dari

suatu organisasi (Rhoades dan Eisenberger, 2002).

2.3 Kerangka konsep

Variabel dalam penelititan ini adalah komitmen organisasi, kepuasan kerja

dan organization citizenship behavior. Dimana variabel bebas pada kerangka

konseptual ini adalah komitmen organisasi dan kepuasan kerja, sedangkan

variabel terikat adalah organizational citizenship behavior. Analisis dalam

37
penelitian ini untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh variabel komitmen

organisasi dan kepuasan kerja terhadap organizational citizenship behavior yang

digambarkan seperti dibawah ini:

H1
Komitmen
organisasional
(X1)
H3 Organizational
citizenship
behavior (Y)
Kepuasan kerja
(X2) H2

Gambar 3.1 kerangka konsep

Dari bagan diatas menggambarkan variabel bebas yang terdiri dari komitmen

organisasional (X1) dan kepuasan kerja (X2) akan mempengaruhi variabel

terikat yaitu organizational citizenship behavior (Y) baik secara parsial maupun

simultan. Berikut adalah penjelasan masing-masing bagaimana komitmen

organisasi memengaruhi OCB, kepuasan kerja memengaruhi OCB, serta

komitmen organisasi dan kepuasan kerja secara bersama-sama dapat

memengaruhi OCB;

a) Komitmen organisasi terhadap organizational citizenship behavior (ocb)

Dalam sebuah perusahaan, karyawan adalah aset utama yang menjadi pelaku

aktif dari setiap kegiatan yang ada pada perusahaan tersebut. Karyawan tentu

memiliki perasaan, pikiran, keinginan, status, latar belakang pendidikan, usia dan

38
jenis kelamin yang berbeda-beda yang dibawa kedalam organisasi. Oleh karena

itu, perusahaan dan karyawan harus mampu bekerjasama untuk menciptakan

komitmen yang tinggi disetiap diri karyawan sehingga dapat menjalankan

kewajibannya dengan baik sesuai dengan peran dan jabatannya dalam organisasi.

Perusahaan membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang

tinggi agar organisasi/perusahaan dapat terus bertahan serta meningkatkan

kualitas jasa dan produk yang dihasilkannya. Komitmen menjadi salah satu faktor

penting yang mencerminkan tingkat kesungguhan seseorang karyawan dalam

berkontribusi terhadap kemajuan organisasi tenpat ia bekerja.

Komitmen organisasi pada dasarnya merupakan keadaan dimana individu

merasa yakin pada tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasi dimana tempat

mereka bekerja. Seseorang yang memiliki komitmen terhadap organisasi, maka ia

akan menunjukkan kesediaannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam

organisasi, melibatkan diri secara aktif dalam organisasi dan merasa sebagai

bagian dari organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi pada sebuah

organisasi akan memiliki sikap yang positif serta memiliki keinginan kuat untuk

bekerja dan memberikan kontribusi yang maksimal terhadap pencapaian tujuan

organisasi tempat ia bekerja (Steers, 1988). Pegawai yang berkomitmen tinggi

juga akan melakukan usaha yang lebih besar dalam pekerjaannya. Adanya

komitmen karyawan pada organisasi dapat meningkatkan tanggung jawab

karyawan, yang juga diharapkan menimbulkan rasa memiliki pada organisasi.

Dengan demikian, maka akan muncul perilaku organizational citizenship

behavior pada anggota organisasi secara sendirinya.

39
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2015)

yang menyatakan bahwa organizational citizenship behavior dapat timbul dari

berbagai faktor dalam organisasi, di antaranya karena adanya komitmen

organisasi yang tinggi dari karyawan. Karyawan-karyawan yang merasa lebih

berkomitmen pada organisasi memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dapat

diandalkan, mereka berencana untuk tinggal lebih lama di dalam organisasi, dan

mencurahkan lebih banyak upaya ataupun usaha dalam bekerja. Hal tersebut akan

mendorong munculnya organizational citizenship behavior (OCB), yaitu perilaku

melebihi apa yang telah distandarkan perusahaan.

Komitmen organisasi juga dapat diartikan sebagai tingkat sampai dimana

seorang karyawan akan memihak pada organisasi atau tempat mereka bekerja,

adanya kerelaan untuk menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh demi

tercapaianya kepentingan organisasi serta mempunyai keinginan yang kuat untuk

tetap menjadi bagian dari organisasi. Komitmen organisasi yang dimiliki

karyawan ini, akan menunjukkan keterlibatan dan loyalitas karyawan terhadap

organisasinya atau perusahaannya.

Berkaitan dengan loyalitas tersebut, maka seorang pekerja akan rela untuk

bekerja melebihi apa yang seharusnya ia kerjakan. Anja (2013) menyebutkan

bahwa komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap

organizational citizenship behavior. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi

komitmen organisasional, maka akan semakin tinggi pula organizational

citizenship behavior. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap perusahaan,

maka karyawan tersebut rela melakukan hal yang berguna untuk kemajuan

40
perusahaannya tersebut, ia juga akan bekerja penuh dedikasi. Adanya hal tersebut,

maka membuat karyawan memiliki pandangan yang positif dan akan melakukan

yang terbaik untuk kepentingan organisasi atau di tempat ia bekerja. Karyawan

tersebut akan melakukan tugas yang tidak hanya tugas-tugas yang telah menjadi

kewajibannya, tetapi juga melakukan pekerjaan yang lainnya, dimana jika ada

karyawan yang tidak mampu mengerjakan suatu pekerjaan, maka karyawan yang

berkomitmen ini cenderung akan membantu rekannya demi tercapainya tujuan

yang diharapkan oleh organisasi tanpa membanding-bandingkan kemampuannya

dengan karyawan lain. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap OCB.

b) Kepuasan kerja terhadap organizational citizenship behavior (ocb)

Salah satu hal yang menjadi kunci keberhasilan organisasi di era globalisasi

saat ini adalah sejauh mana orang-orang atau warga organisasi secara sinergis

mampu berkontribusi secara positif, baik dalam perencanaan maupun dalam

proses pengimplementasian tugas dan tanggung jawab sebagai warga organisasi

untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk mencapai tujuan organisasi yang efektif,

tidak hanya dibutuhkan tanggungjawab para pegawai dalam mengerjakan segala

hal yang menjadi tugasnya. Namun, dibutuhkan perilaku positif yang tampak

dalam bentuk kesediaan secara sadar dan sukarela untuk bekerja serta

berkontribusi lebih dari apa yang dituntut secara formal oleh organisasi. Perilaku

ini selanjutnya disebut dengan istilah organizational citizenship behavior.

Terdapat banyak hal yang dapat memengaruhi muncul atau tidaknya perilaku

41
OCB yang ditampilkan oleh seseorang, salah satunya yaitu faktor kepuasan kerja.

Kepuasan kerja merupakan faktor penting yang mendorong seseorang

memperlihatkan perilaku organizational citizenship behavior (OCB).

Ostroff (Rini, 2013) menyatakan bahwa karyawan yang merasa puas akan

pekerjaannya, lebih bersedia bekerja guna memenuhi tujuan organisasi dan

memberikan pelayanan sepenuh hati pada organisasi dengan meningkatkan

kinerjanya. Hal tersebut secara tidak langsung akan mendukung efektifitas

organisasi dibandingkan dengan pekerja yang merasa tidak puas. Karyawan yang

merasa puas dengan pekerjaannya akan memberikan balasan kepada organisasi

berupa kelekatan dengan organisasi dan berperilaku sebagai anggota yang baik.

Dengan adanya kepuasan kerja, karyawan akan melakukan tindakan yang

menurutnya menyenangkan seperti membantu rekan kerja dalam mengerjakan

pekerjaannya yang terlalu banyak tanpa ada rasa keterpaksaan.

Kepuasan kerja ini tampak dari berbagai hal yang dapat menjadi pendorong

munculnya OCB seorang karyawan. Saat seseorang merasakan kepuasan kerja

dalam hal gaji yang ia terima, maka ia merasa bahwa pekerjaannya dihargai

sehingga ia akan memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan tempat ia

bekerja (conscientiouness). Seorang karyawan yang merasakan kepuasan akan

sikap atasannya, hal ini mendorong karyawan untuk bersikap toleransi pada

keadaan tempat ia bekerja (sportsmanship). Karyawan akan merasa diperhatikan

oleh atasan dan mendorong sikap menghargai serta peduli akan keberlangsungan

perusahaan. Selain itu, rekan kerja yang menyenangkan juga dapat mencipatkan

hubungan yang baik bagi sesama karyawan sehingga dapat meminimalisir konflik

42
antar karyawan (courtesy). Rekan kerja yang mendukung satu sama lain juga akan

menciptakan empati, sehingga akan peduli terhadap kesulitan karyawan yang

lainnya dan akan bersedia membantu rekan kerjanya (altruism).

Selanjutnya, kepuasan kerja berhubungan positif dengan OCB. Peran

kepuasan kerja sangat menentukan dalam pembentukan organizational citizenship

behavior karyawan (Murphy, dkk , 2002; Mohammad, dkk, 2011). Hal ini berarti

bahwa ketika seseorang merasakan kepuasan akan pekerjaan mereka, maka akan

semakin memunculkan perilaku OCB. Karyawan yang puas tampaknya

cenderung berbicara secara positif tentang organisasi, membantu individu lain,

dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka. Selain itu, karyawan yang

puas mungkin lebih mudah berbuat lebih dalam pekerjaan karena mereka ingin

merespons pengalaman positif mereka.

Robbins & Judge (2015) juga menyatakan kepuasan kerja merupakan penentu

utama OCB karyawan. Karyawan yang puas mungkin lebih patuh pada panggilan

tugas karena ingin mengulang pengalaman-pengalaman positif yang pernah

dirasakan. Karyawan yang kepuasan kerjanya tinggi tentu lebih menunjukkan

perilaku OCB, begitupun sebaliknya. Seseorang yang merupakan warga

organisasi yang baik dapat melakukan hal-hal tambahan yang sifatnya membantu

orang lain atau memajukan kinerja organisasi secara keseluruhan. Perilaku

organizational citizenship behavior ini dapat diamati personal, misalnya terdapat

anggota tim yang bertugas menggantikan ketika rekan kerja sakit. Berdasarkan

uraian tersebut, menunjukkan bahwa secara garis besar kepuasan kerja memiliki

hubungan positif terhadap perilaku organizational citizenship behavior.

43
c) Komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap organizational

citizenship behavior (ocb)

Kepuasan kerja dan komitmen organisasi menjadi hal yang penting

dalam sebuah perusahaan. Seorang karyawan akan memunculkan perilaku

organizational citizenship behavior apabila karyawan tersebut sudah memiliki

rasa puas yang tinggi terhadap pekerjaannya. Selain kepuasan kerja yang

sangat berperan penting dalam mewujudkan perilaku organizational

citizenship behavior pada karyawan, faktor lain yang dapat memunculkan

perilaku organizational citizenship behavior pada karyawan adalah komitmen

organisasi. Komitmen organisasi menggambarkan loyalitas yang dimiliki

karyawan terhadap perusahaan, apabila karyawan sudah memiliki loyalitas

yang tinggi terhadap perusahaan maka karyawan tersebut akan rela

mengorbankan apa yang dimilikinya demi kepentingan organisasi.

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Westover, dkk (2010)

bahwa keberhasilan organisasi semakin tergantung pada dua hal yaitu

komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Demikian pula dengan yang

dikemukakan dengan Luthans (2011) yang menyatakan bahwa dimensi

kepuasan kerja dan komitmen organisasi sangat berpengaruh dengan

organizational citizenship behavior.

Ketika seorang karyawan merasakan kepuasan dalam bekerja, tentunya

ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang

dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian

44
produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.

Bahkan, karyawan yang puas akan memiliki kesediaan untuk melakukan hal

lebih diluar tanggung jawab formalnya. Begitu juga halnya dengan

komitmen, karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi maka

tidak hanya melakukan tugas-tugas yang menjadi kewajibannya, tetapi

dengan sukarela akan mengerjakan hal-hal yang dapat digolongkan sebagai

usaha-usaha ekstra (extra effort).

Kepuasan dan komitmen organisasi yang tinggi ini akan berakibat pada

berbagai sikap dan perilaku positif, dimana sikap dan perilaku positif

tersebut muncul sebagai aspek dari OCB misalnya seperti, menghindari

tindakan mengeluh dan sikap yang dapat merugikan organisasi

(sportmanship), bersedia meluangkan waktu untuk membantu rekan kerja

dalam permasalahan pekerjaan (altruism), bersedia bekerja melebihi

deskripsi kerja yang ada dan patuh terhadap peraturan organisasi melebihi

karyawan pada umumnya (conscientiousness), senantiasa menghargai dan

memperhatikan orang lain (courtessy), dan selalu mengedepankan

kepentingan bersama seperti peduli terhadap keberhasilan organisasi serta

kegiatan fungsional organisasi (civic virtue).

Robbin dan Judge (2015) juga menyatakan bahwa organizational

citizenship behavior timbul dari berbagai faktor dalam organisasi, di

antaranya karena adanya kepuasan kerja dari karyawan dan komitmen

organisasi yang tinggi. Tingginya tingkat kepuasan kerja dan disertai dengan

komitmen terhadap organisasi akan membuat karyawan cenderung bersikap

45
bahwa organisasi merupakan tempat yang baik bagi dirinya dan

pengembangan karirnya, mereka juga akan merasa bahwa perusahaan

merupakan tempat yang ideal untuk mereka bekerja. Hal-hal yang terbaik

bagi mereka, bisa mereka dapatkan dan akan mereka berikan terhadap

tempat mereka bekerja. Keterikatan disertai kepuasan akan membuat

karyawan mudah dalam menerima tugas dari organisasi. Tanggung jawab

dalam pengerjaan tugas juga akan meningkat. Seseorang yang sudah

memiliki hal tersebut akan mengerjakan pekerjaan secara maksimal dan

secara sukarela dalam pengerjaannya. Dengan adanya kondisi seperti itu,

karyawan akan cenderung menaati peraturan dan akan menjalankan

tugasnya dengan baik. Kinerja maupun stabilitas organisasi nantinya akan

meningkat dengan semakin membaiknya organizational citizenship behaviour

(OCB). Hal ini juga didukung oleh hasil temuan Prasetio, dkk (2015), bahwa

terdapat pengaruh positif secara simultan dari kepuasan kerja dan

komitmen organisasional terhadap OCB karyawan.

Selain itu, hal tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Nida Qamar (2012) dalam Job Satisfaction and Organizational

Commitment as Antecedents of Organizational Citizenship Behavior (OCB)

yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi

berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap organizational citizenship

behavior (OCB). Semua dimensi dalam organizational citizenship behavior

(OCB) mendapat pengaruh positif dari komitmen organisasi dan kepuasan

kerja. Dari penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa komitmen organisasi

46
mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap organizational citizenship

behavior (OCB). Hal ini dikarenakan pada saat karyawan berkomitmen

untuk pekerjaannya, maka ia akan lebih termotivasi untuk membantu rekan

kerja dan menunjukkan perilaku sopan ataupun menjaga hubungan baik

dengan rekan kerjanya. Seorang karyawan yang siap membantu rekan

kerjanya, lebih memungkinkan untuk menunjukkan perilaku sopan santun,

menghindari sikap mengeluh tentang hal-hal kecil serta akan menunjukkan

perilaku kuat untuk ikut terlibat dalam kegiatan organisasi.

Terdapat juga hasil penelitian berbeda yang menyatakan bahwa

kepuasan kerja lebih berpengaruh terhadap OCB yang ditampilkan oleh

seorang pegawai. Aryo (2015), menyatakan bahwa kepuasan kerja tampak

dari berbagai hal seperti gaji, pekerjaannya yang dilakukan, promosi,

supervise dan juga rekan kerja. Karyawan yang mendapat dukungan dari

atasan seperti atasan yang melakukan evaluasi akan masalah yang dihadapi

karyawan akan membuat karyawan melakukan pekerjaannya dengan lebih

sungguh-sungguh karena mendapat dukungan dari pihak organisasi. Hal

tersebut akan membuat karyawan memunculkan OCB dalam bekerja.

Berdasarkan uraian dan beberapa penelitian yang telah dilakukan,

mengindikasikan bahwa karyawan yang memiliki OCB akan membalas

tindakan organisasi dan bekerja melebihi deskripsi kerja yang telah

ditetapkan, sehingga dapat diketahui bahwa kepuasan kerja dan komitmen

kerja memiliki peran faktor penentu munculnya OCB. Dengan kata lain,

bahwa komitmen organisasi dan kepuasan kerja secara bersama-sama

47
memiliki pengaruh positif terhadap OCB yang ditampilkan oleh seseorang.

Meskipun begitu, pada masing-masing karyawan akan memiliki sudut

pandang ataupun pemaknaan yang berbeda terhadap peran faktor-faktor

yang paling berpengaruh terhadap munculnya OCB yang ditunjukkan.

2.4 Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat pengaruh positif komitmen organisasi terhadap

organizational citizenship behavior (OCB). Hal ini berarti, semakin

tinggi komitmen organisasi yang dimiliki seseorang dalam bekerja,

maka semakin menampilkan organizational citizenship behavior

(OCB). Begitu juga sebaliknya, semakin rendah komitmen organisasi

yang dimiliki seseorang dalam bekerja, maka kurang menampilkan

organizational citizenship behavior (OCB).

2. Terdapat pengaruh positif kepuasan kerja terhadap organizational

citizenship behavior (OCB). Hal ini berarti, semakin tinggi kepuasan

kerja yang dimiliki seseorang, maka semakin menampilkan

organizational citizenship behavior (OCB). Begitu juga sebaliknya,

semakin rendah kepuasan kerja yang dimiliki seseorang, maka

kurang menampilkan organizational citizenship behavior (OCB).

3. Terdapat pengaruh positif komitmen organisasi dan kepuasan kerja

secara bersama-sama terhadap organizational citizenship behavior

48
(OCB). Artinya komitmen organisasi dan kepuasan kerja berperan

terhadap organizational citizenship behavior (OCB) yang ditampilkan.

49
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Identifikasi Variabel Penelitian

Menurut Azwar (2012) variabel adalah suatu konsep mengenai atribut atau

sifat yang terdapat pada subjek penelitian yang dapat bervariasi secara kuantitatif

dan kualitatif. Untuk dapat menguji hipotesa penelitian, terlebih dahulu

diidentifikasikan variabel-variabel penelitian. Variabel-variabel penelitian yang

digunakan terdiri dari:

a. Variabel tergantung : Organization citizenship behavior (Y)

b. Variabel bebas : Komitmen organisasi (X1) dan kepuasan kerja

(X2)

3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Menurut Sekaran (2011), definisi operasional merupakan suatu konsep yang

didefinisikan agar dapat diukur, yang dilakukan peneliti dengan meneliti dimensi,

aspek atau sifat yang ditunjukkan oleh suatu konsep. Hal tersebut diterjemahkan

ke dalam elemen yang dapat diamati dan diukur sehingga menghasilkan indeks

pengukuran dari konsep tersebut.

3.2.1 Organization citizenship behavior (OCB)

Organization citizenship behavior adalah perilaku ekstra perawat yang

sifatnya sukarela ataupun lebih daripada tuntutan tugas formal serta tidak

berkaitan dengan system penghargaan formal, namun dapat meningkatkan fungsi

50
efektifitas kinerja dalam rumah sakit USU yang ditunjukkan melalui 5 dimensi

organization citizenship behavior; yaitu altruism, civic virtue, conscientiousness,

courtesy, dan sportsmanship.

Data mengenai organizational citizenship behavior (OCB) ini diperoleh

melalui skala organizational citizenship behavior (OCB) berdasarkan teori yang

dikemukakan oleh Organ (2006) yang terdiri dari 5 (lima) dimensi yaitu

altruisme, civic virtue, conscientiousness, courtesy, dan sportsmanship.

Skor ini didapatkan melalui total skor seluruh skala organizational

citizenship behavior (OCB) yang menunjukkan tinggi rendahnya frekwensi

organizational citizenship behavior (OCB) seorang perawat. Semakin tinggi

skor yang diperoleh, menunjukkan semakin tinggi frekwensi organizational

citizenship behavior (OCB) yang ditampilkan oleh seorang perawat.

Sedangkan semakin rendah skor yang diperoleh, menunjukkan semakin

rendah frekwensi organizational citizenship behavior yang ditampilkan oleh

seorang perawat.

3.2.2 Komitmen organisasi

Komitmen organisasi adalah persamaan tujuan dan nilai-nilai yang ada di

dalam rumah sakit USU, perawat bersedia untuk berusaha sebaik mungkin untuk

kepentingan rumah sakit USU dan berkeinginan untuk tetap mempertahankan

keanggotannya yang ditunjukkan melalui 3 aspek komitmen organisasi yaitu;

identifikasi, keterlibatan & loyalitas seorang perawat.

51
Komitmen organisasi diukur dengan menggunakan skala komitmen

organisasi, dan disusun berdasarkan aspek-aspek komitmen organisasi menurut

Steers (1988). Aspek-aspek tersebut ialah identifikasi, keterlibatan serta loyalitas.

Skor komitmen diperoleh dari total skor skala komitmen organissasi. Semakin

tinggi skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi juga tingkat komitmen

organisasi perawat. Sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh, maka

semakin rendah juga komitmen organisasi perawat.

3.2.3 Kepuasan kerja

Kepuasan kerja adalah perasaan ataupun ungkapan emosional positif

seorang perawat yang berhubungan dengan pekerjaannya (baik dalam situasi

maupun kondisi kerja) secara menyeluruh yang ditunjukkan melalui 5 dimensi

kepuasan kerja seperti pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi,

pengawasan/supervisi, rekan kerja. Apabila perawat menunjukkan sikap yang

positif ketika bekerja, maka dapat dikatakan perawat tersebut merasa puas dengan

pekerjaan yang dilakukannya. Begitu juga sebaliknya jika seseorang menunjukkan

sikap yang negatif maka perawat tersebut merasa tidak puas akan pekerjaan yang

dilakukannya.

Kepuasan kerja diukur melalui 5 dimensi dari kepuasan kerja yang

dikemukakan oleh Luthans (2006) yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan

promosi, pengawasan/supervisi, rekan kerja. Semakin tinggi skor skala kepuasan

kerja yang diperoleh pada perawat menunjukkan semakin tinggi kepuasan kerja

yang dimiliki oleh perawat. Sebaliknya, semakin rendah skor skala kepuasan kerja

52
yang diperoleh perawat menunjukkan semakin rendah kepuasan kerja perawat.

3.3 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek

yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2012). Pada

penelitian ini, karakteristik populasi yang digunakan oleh peneliti adalah

seluruh perawat RS USU. Adapun populasi dalam penelitian ini berjumlah

196 perawat.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai tujuan

mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti, sehingga harus menggunakan

metode atau cara-cara yang efisien dan akurat (Azwar, 2012). Metode yang

digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode skala.

Metode skala adalah suatu metode pengumpulan data yang terdiri dari sejumlah

peryataan yang disusun untuk mengungkap atribut atau konsep psikologis yang

menggambarkan aspek kepribadian individu tertentu melalui respon yang

diberikan oleh subjek terhadap pernyataan tersebut (Azwar, 2009).

Skala yang akan diberikan di dalam penelitian ini adalah model skala

Likert dengan menyediakan respon yang bergerak dari respon negatif sampai

dengan respon positif dan dirancangan untuk melihat seberapa kuat individu

setuju atau tidak setuju dengan suatu pernyataan. Skala Likert ini merupakan

model skala dengan pernyataan yang menggunakan distribusi respons untuk

53
mengetahui variabel yang akan diukur dari sampel penelitian (Sekaran, 2011).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga alat ukur, yaitu skala self report

berupa skala psikologi dengan variabel organization citizenship behavior,

komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Alat ukur disusun berdasarkan dimensi-

dimensi dan aspek-aspek yang terdapat dalam setiap variabel penelitian.

3.5 Blue Print Skala

Penelitian ini menggunakan tiga skala, yaitu skala organization citizenship

behavior, komitmen organisasi dan kepuasan kerja.

3.5.1 Skala organization citizenship behaviour (OCB)

Skala organization citizenship behaviour (OCB) dalam penelitian ini

disusun berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Organ (2006) yang terdiri dari

5 (lima) dimensi yaitu altruisme, civic virtue, conscientiousness, courtesy, dan

sportsmanship. Berikut adalah blueprint yang menyajikan distrubsi aitem-aitem

skala organization citizenship behaviour (OCB).

Tabel 3.5.1 Blueprint skala organization citizenship behaviour (OCB)

Aitem
Dimensi Indikator Unfavorab Jumlah
Favorable
le
Perilaku karyawan
menolong rekan kerjanya
Altruism yang mengalami kesulitan 1,11,21 6,16,26 6
tanpa memikirkan
keuntungan pribadi
Keterlibatan karyawan
dalam suatu aktivitas
Civic
organisasi dan peduli 5,15,25 10,20,30 6
virtue
terhadap kelangsungan
hidup organisasi
Conscie Perilaku karyawan yang 7,17.27 2,12,22 6

54
ntiousne menunjukkan kesungguhan
ss dalam bekerja, melebihi
deskripsi kerjanya yang
dapat meningkatkan kinerja
organisasi
Perilaku yang bertujuan
untuk menjaga hubungan
Courtesy baik dengan sesame 9,19,29 4,14,24 6
pegawai sehingga terhindar
dari masalah interpersonal
Toleransi terhadap keadan
yang kurang ideal dalam
Sportma
organisasi tanpa 3,13,23 8,18,28 6
nship
mengajukan keberatn-
keberatan
Total 15 15 30

Skala tersebut terdiri dari aitem-aitem yang favorable dan unfavorable,

dengan skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yakni Sangat Setuju

(SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).

Penilaian skala untuk aitem favorable adalah nilai 5 untuk pilihan jawaban Sangat

Setuju, nilai 4 untuk nilai untuk jawaban Setuju, nilai 3 untuk jawaban Netral,

nilai 2 untuk Tidak Setuju dan nilai 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju.

Sedangkan penilaian untuk aitem unfavorable adalah nilai 1 untuk jawaban

Sangat Setuju, nilai 2 untuk jawaban Setuju, nilai 3 untuk jawaban Netral, nilai 4

untuk Tidak Setuju serta nilai 5 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju.

3.5.2 Skala komitmen organisasi

Tabel blueprint skala komitmen organisasi disusun berdasarkan aspek-

aspek komitmen organisasi menurut Steers (1988), yaitu: identifikasi,

keterlibatan, dan loyalitas. Berikut adalah blueprint yang menyajikan distrubsi

aitem-aitem komitmen organisasi.

55
Tabel 3.5.2 Blueprint skala komitmen organisasi

Aitem
Dimensi Indikator Jumlah
Favorable Unfavorable
Pemahaman karyawan
terhadap tujuan
organisasi yang dapat
dilihat melalui
Identifika kepercayaan karyawan
3,15,18 6,9,12 6
si terhadap organisasi,
kesamaan nilai pribadi
dan organisasi serta
rasa bangga menjadi
bagian dari organisasi
Kesediaan karywan
untuk terlibat dan
Keterlibat
berusaha sungguh- 5,11,17 2,8,14 6
an
sungguh dalam
organisasi
Keinginan yang kuat
untuk bertahan dalam
Loyalitas 1,7,13 4,10,16 6
organisasi dan menjadi
bagian dari organisasi
Total 9 9 18

Skala tersebut terdiri dari aitem-aitem yang favorable dan unfavorable,

dengan skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yakni Sangat Setuju

(SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).

Penilaian skala untuk aitem favorable adalah nilai 5 untuk pilihan jawaban Sangat

Setuju, nilai 4 untuk nilai untuk jawaban Setuju, nilai 3 untuk jawaban Netral,

nilai 2 untuk Tidak Setuju dan nilai 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju.

Sedangkan penilaian untuk aitem unfavorable adalah nilai 1 untuk jawaban

Sangat Setuju, nilai 2 untuk jawaban Setuju, nilai 3 untuk jawaban Netral, nilai 4

untuk Tidak Setuju serta nilai 5 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju.

56
3.5.3 Skala kepuasan kerja

Tabel blueprint skala kepuasan kerja disusun menggunakan dimensi yang

dikemukakan oleh Luthans (2006) yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan

promosi, pengawasan/supervisi, rekan kerja. Berikut adalah blueprint yang

menyajikan distrubsi aitem-aitem kepuasan kerja.

Tabel 3.5.3 Blueprint skala kepuasan kerja

Aitem
Dimensi Indikator Jumlah
Favorable Unfavorable
Evaluasi karyawan
terhadap tugas
ataupun
Pekerjaan
pekerjaannya baik 9,19,29 4,14,24 6
itu sendiri
dalam hal tingkat
kesulitan maupun
yang lainnya
Unsur yang penting
yang dapat
Gaji 5,15,25 10,20,30 6
memengaruhi
kinerja karyawan
Kesempatan
karyawan untuk
Promosi 3,1323 8,18,28 6
memperbaiki
jabatannya
Peran dalam sebuah
organisasi yang
punya kekuasan
untuk
memerintahkan
bawahannya serta
memiliki
Supervise 7,17,27 2,12,22 6
ketrampilan dalam
memberikan
dukungan secara
sosial ataupun
teknis pekerjaan
terhadap
bawahannya
Evaluasi karyawan
Rekan
terhadap karyawan 1,11,21 6,16,26 6
kerja
lainnya, baik yang

57
sama maupun yang
berbeda jenis
pekerjaannya
Total 15 15 30

Skala tersebut terdiri dari aitem-aitem yang favorable dan unfavorable,

dengan skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yakni Sangat Setuju

(SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).

Penilaian skala untuk aitem favorable adalah nilai 5 untuk pilihan jawaban Sangat

Setuju, nilai 4 untuk nilai untuk jawaban Setuju, nilai 3 untuk jawaban Netral,

nilai 2 untuk Tidak Setuju dan nilai 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju.

Sedangkan penilaian untuk aitem unfavorable adalah nilai 1 untuk jawaban

Sangat Setuju, nilai 2 untuk jawaban Setuju, nilai 3 untuk jawaban Netral, nilai 4

untuk Tidak Setuju serta nilai 5 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju.

3.6 Validitas Alat Ukur

Validitas merupakan kunci penting untuk memperoleh penelitian yang

efektif. Validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu mengukur

apa yang dimaksudkannya untuk diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya

suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes (Azwar, 2012). Azwar (2012)

menyatakan bahwa suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan

mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya

atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya

pengukuran tersebut.

58
Validitas yang digunakan peneliti dalam penelitian ini ialah validitas isi

(content validity) dan validitas konstrak (construct validity). Sekaran (2011)

mengungkapkan bahwa validitas isi berfungsi untuk memastikan apakah

instrumen (aitem-aitem dari suatu alat ukur) sudah tepat atau tidak dalam

menggambarkan variabel yang digunakan dalam penelitian. Hal ini diperoleh

dengan pertimbangan dan penilaian dari beberapa penilai yang kompeten atau

expert judgement, dalam hal ini adalah dosen pembimbing. Expert judgement

menilai variabel yang digunakan oleh peneliti, yaitu variabel organization

citizenship behaviour, komitmen organisasi & kepuasan kerja. Sedangkan

validitas konstrak (construct validity) menunjukkan sejauhmana kesesuaian aitem-

aitem instrument penelitian mengungkap aspek-aspek yang hendak diukur,

dilakukan menggunakan analisis factor explanatory dengan menggunakan SPSS

16 for windows.

3.7 Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu

membedakan antara individu yang memiliki atribut dan yang tidak memiliki

atribut yang diukur (Azwar, 2012). Kriteria pemilihan aitem, biasanya

menggunakan batasan rit ≥ 0.30 ataupun rit ≥ 0.25. Semua aitem yang mencapai

koefisien korelasi minimal 0.25, daya pembedanya dianggap memuaskan.

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien

antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu

distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi

59
aitem total yang dapat dilakukan dengan menggunakan formulas koefisien

korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2012).

3.8 Realibiltas Alat Ukur

Reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dengan alat

tersebut dapat dipercaya (Azwar, 2012). Reliabilitas sebenarnya mengacu pada

konsistensi atau kepercayaan dari hasil ukur yang mengandung makna kecermatan

terhadap pengukuran. Reliabilitas alat ukur dapat dilihat dari koefisien reliabilitas

yang merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi

ukurnya secara bersama-sama. Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan dengan

koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang dari 0 - 1.00, jika

koefisien reliabilitas mendekati angka 1 berarti semakin tinggi reliabilitas dan jika

koefisien mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar,

2012).

Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal

(internal consistency) yang prosedurnya hanya memerlukan satu kali penggunaan

sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek (single trial

administration). Pendekatan konsistensi internal berupa formula koefisien alpha

atau Cronbach’s Alpha. Pendekatan ini dipandang memiliki nilai praktis dan

memiliki efisiensi tinggi (Sekaran, 2011).

3.9 Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:

60
1. Tahap persiapan penelitian

Tahapan ini diawali dengan pengajuan kesediaan kepada rumah sakit

untuk melakukan penelitian dengan menjelaskan hal-hal yang akan dilakukan

peneliti sekaligus menyerahkan surat permohonan penelitian yang dikeluarkan

oleh Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Kemudian peneliti

melakukan wawancara awal dengan beberapa pihak terkait dengan

permasalahan yang akan diangkat oleh peneliti.

Setelah memperoleh informasi dari lapangan dan teori yang dibutuhkan

terkumpul, peneliti membuat alat ukur yang relevan untuk pengumpulan data

yang didasari oleh tiga variabel. Alat ukur yang akan digunakan berupa skala

organization citizenship behaviour (OCB), skala komitmen organisasi dan

skala kepuasan kerja. Pembuatan skala tersebut disusun berdasarkan aspek-

aspek ataupun dimensi yang telah dikemukakan pada Bab II. Skala yang telah

disusun dibentuk dalam bentuk kuesioner dengan jumlah aitem yang

bervariasi untuk setiap variabelnya.

Sebelum dilakukan penyebaran skala, peneliti melakukan uji validitas

terlebih dahulu dengan meminta bantuan professional atau expert judgement,

yaitu dosen pembimbing I dan II.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Peneliti melakukan penyebaran skala psikologi (alat ukur) yang telah

dipersiapkan sebelumnya pada tanggal dan waktu yang telah disepakati

dengan pihak rumah sakit.

3. Tahap pengolahan data penelitian

61
Setelah pengumpulan data skala organization citizenship behavior,

komitmen organisasi dan kepuasan kerja, kemudian peneliti melakukan

skoring untuk mendapatkan total skor hasil keseluruhan pada masing-masing

subjek. Untuk pengolahan data selanjutnya dilakukan dengan bantuan

komputer dan program SPSS 16.00 for windows.

3.10 Metode Analisis Data

Menurut Sekaran (2011), setelah data dari sampel penelitian telah

terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisisnya untuk menguji hipotesis

penelitian. Kegiatan dalam analisis data ialah mengelompokkan data berdasarkan

variabel dan jenis responden, menstabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh

responden, menyajikan data dari setiap variabel yang diteliti, melakukan

perhitungan untuk menjawab rumusan masalah dan melakukan perhitungan untuk

menguji hipotesis yang telah diajukan.

Penelitian ini akan menggunakan metode analisis regresi sederhana dan

regresi berganda. Regresi biasanya digunakan untuk mengukur variabel

prediktor, dimana secara teoritis diharapkan variabel prediktor tersebut dapat

memprediksi hasil pengukuran (Field, 2009). Keseluruhan analisa akan

dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer dan program SPSS 16.00

for windows.

Dalam melakukan analisis regresi berganda ada 5 (lima) asumsi yang

harus dipenuhi, yaitu uji normalitas, uji linieritas, autokorelasi, multikolinieritas,

62
dan heteroskedastisitas. Adapun uji asumsi dari analisa regresi sederhana dan

berganda yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah penelitian semua variabel

terdistribusi secara normal di dalam kurva sebaran normalitas. Uji asumsi

normalitas dengan menggunakan Kolmogorov – Smirnov Test dengan

menggunakan taraf signifikansi 0,05.

Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5 %

atau 0.05. Jika sig > 0,05 berarti data sampel yang diambil terdistribusi normal.

Jika sig < 0,05 berarti data sampel yang diambil tidak terdistribusi normal.

b. Uji linieritas

Uji linearitas akan dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel.

Asumsi menyatakan bahwa hubungan antara variabel yang akan dianalisis

mengikuti garis lurus. Oleh karenanya, maka peningkatan atau penurunan

kuantitas satu variabel akan diikuti secara linier oleh peningkatan atau penurunan

kuantitas di variabel lainnya

c. Uji autokorelasi

Uji autokorelasi dalam analisis regresi berganda adalah tidak terjadinya

korelasi serial antar kesalahan pengganggu sehingga dapat dikatakan autokorelasi

yang merupakan korelasi yang terjadi antara variabel bebas itu sendiri.Model

regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari auotkorelasi. Untuk mendeteksi

ada atau tidaknya autokorelasi dengan menggunakan metode Durbin-Watson.

d. Uji multikolinieritas

63
Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan

sempurna antara variabel bebas.Untuk mendeteksi gejala multikolinearitas

adalah dengan menggunakan atau melihat tool uji yang disebut Variance

Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF < 10, menunjukkan bahwa model regresi

tidak terdapat gejala multikolinearitas, jika VIF > 10 menunjukkan terdapat

gangguan multikolinieritas pada model regresi.

e. Uji heteroskedasitas

Tujuan uji asumsi ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya

penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas yaitu adanya ketidaksamaan

varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Kondisi ini

dapat diketahui dengan melihat sebaran data di scatter plot.

64

Anda mungkin juga menyukai