Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

HAKIKAT, MARTABAT DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA

A. Penciptaan Manusia

Penciptaan manusia melalui beberapa fase, yaitu;

1. Fase Nuthfah

Kami telah menjadikan manusia dari saripati tanah. Segolongan ahli tafisr
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan manusia disini adalah anak adam. Mereka
berkata:“Nuthfah-nuthfah itu adalah darah yang berasal dari makanan, baik daging maupun
tumbuhan. Tumbuhan itu berasal dari zat-zat yang terdapat dalam tanah dan air. Karena itu,
manusia itu sebenarnya berasal dari saripati tanah, yang kemudian berproses melalui air mani
(sperma).

Kemudian nuthfah yang ditempatkan dalam shulbi (tulang sumsum) ayah,


yang kemudian dimasukan ke dalam rahim si ibu. Setelah bertemu dengan sel telur ibu, maka
terpeliharalah dalam rahim menjadi bayi sampai hari kelahirannya. Sebagaimna dijelaskan
juga didalam surat Ath-Thariq (86) : 5-7 :

َ ‫اْل ْن‬
َ‫سانُ ِم َّم ُخلِق‬ ُ ‫( فَ ْل َي ْن‬5) ‫ق‬
ِ ْ ‫ظ ِر‬ ٍ ‫( ُخلِقَ ِم ْن َماءٍ دَا ِف‬6) ‫ب‬ ِ ‫ص ْل‬
ِ ‫ب َوالت َّ َرا ِئ‬ ُّ ‫( َي ْخ ُر ُج ِم ْن َبي ِْن ال‬7)

Artinya:“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apadiciptakan(5). Manusia diciptakan


dari air yang terpancar(6) yang keluar dari antara tulang shulbi dan tara’ib“.

Selama persetubuhan seksual, 250 juta sperma terpancar dari si laki-laki pada satu
waktu. Sperma-sperma melakukan perjalanan 5-menit yang sulit di tubuh si ibu sampai
menuju sel telur. Hanya seribu dari 250 juta sperma yang berhasil mencapai sel telur. Sel
telur, yang berukuran setengah dari sebutir garam, hanya akan membolehkan masuk satu
sperma. Artinya, bahan manusia bukan mani seluruhnya, melainkan hanya sebagian kecil
darinya. Ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :

‫طفَةً ِم ْن َم ِني ٍ ُي ْمنَى‬ َ َ‫( ث ُ َّم َكانَ َعلَقَةً فَ َخلَقَ ف‬38) ‫الز ْو َجي ِْن الذَّك ََر َو ْاْل ُ ْنثَى‬
ْ ُ‫( أَلَ ْم َيكُ ن‬37) ‫س َّوى‬ َّ ُ‫( فَ َج َع َل ِم ْنه‬39)

Artinya : “Bukankah dia mulanya hanya setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim)(37). Kemudian (mani itu) menjadi sesuatu yang melekat, lalu Allah menciptakannya
dan menyempurnakannya (38). Lalu dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan
perempuan (39). (al-Qiyamah [75] : 37 – 39)

2. Fase ’Alaqoh (segumpal darah)

Ibnu Abbas menganggap bahwa ’Alaqoh adalah sejenis lintah hitam. Dinamakan ’alaqoh
karena jika diletakkan di bagian tubuh manapun dari manusia, ia akan menghisap darah yang
rusak. Ketika ilmu pengetahuan kian maju, mikroskop makin canggih, dan para ilmuwan
berhasil mengetahui bentuk dan proses pembentukan spermatozoa, menjadi jelaslah bahwa
spermatozoa sangat mirip dengan seekor lintah yang disebutkan Ibnu Abbas. Spermatozoa
memiliki kepala dan ekor sama dengan lintah.

’Alaqoh menurut ahli bahasa memiliki pengertian yang bermacam-macam


diantaranya: lintah yang hidup dalam kolam yang menghisap darah makhluk lain/ sesuatu
yang bergantung dengan makhluk lain.

Namun keseluruhan makna ’alaqoh ini memang sesuai dan cocok dengan realitas
janin manusia setelah tertanam di dinding rahim yang tampakseperti lintah (leech) selain itu
juga menempel pada dinding rahim melalui tali pusar dan didalamnya terdapat pembuluh-
pembuluh darah yang membentuk jaringan pulau-pulau tertutup sehingga memberi kesan
bahwa darah tersebut beku.

Bahkan sebelum manusia mulai mengetahui keberadaan dirinya sendiri, Allah telah
memberi bentuk pada tubuh mereka, dan menciptakan manusia normal dari sebuah sel
tunggal. Adalah kewajiban bagi setiap orang di dunia untuk merenungkan kenyataan ini. Dan
kewajiban Anda adalah untuk memikirkan bagaimana anda lahir ke dunia ini, dan kemudian
bersyukur kepada Allah. Jangan lupa bahwa Tuhan kita, yang telah menciptakan tubuh kita
sekali, akan mencipta kita lagi setelah kematian kita, dan akan mempertanyakan segala
nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita. Hal ini amatlah mudah bagi-Nya. Mereka yang
melupakan penciptaan diri mereka sendiri dan mengingkari kehidupan akhirat, benar-benar
telah tertipu. Allah berfirman tentang orang-orang ini dalam Alquran:

3. Fase Mudghah (segumpah daging)

Menurut pengertian etimologis (bahasa), mudhghah berarti benda yang dikunyah dan
dimamah oleh igi. Istilah mudhghah menunjukkan gambaran detail tentang realistis fase
perkembangan janin in, dimana janin sudah berbentuk seperti benda kunyahan yang selalu
berubah bentuknya. Munculnya kepingan-kepingan somites di dalam janin dan
keragamannya mirip dengan bentuk karakter gigi ketika mengunyah. Aktifitas janin yang
berputar-putar dan membolak-balik di dalam rahim juga mirip dengan pembolak-balikan
potongan benda yang dikunyah di dalam mulut. Dan salah satu sifat dan karakter benda
mamahan adalah ia bisa memanjang dan berubah bentuk ketika dikunyah. Dan inilah yang
terjadi paa janin dalam fase ini.

Urutan kemunculan fase mudhghah stelaha fase ’alaqoh sama persis dengan apa yang
dimaktub dalam al-Qur’an :

ْ ‫فَ َخلَ ْقنَا ْال ُم‬


َ ‫ضغَةَ ِع‬
‫ظا ًما‬

“dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang”(Q.s. Al-Mi’minun [23]: 14 ).

Adanya dua tahapan pembentukan dalam fase mudhghah ini, yaitu tahap pra-pembentukan
dan tahap pembentukan (fashioning)juga persis seperi penjelasan Al-Qur’an :

‫ضغَ ٍة ُم َخلَّقَ ٍة َو َغي ِْر ُم َخلَّ َق ٍة‬


ْ ‫علَقَ ٍة ث ُ َّم ِم ْن ُم‬
َ ‫طفَ ٍة ث ُ َّم ِم ْن‬ْ ُ‫ب ث ُ َّم ِم ْن ن‬ ِ ‫ب ِمنَ ْالبَ ْع‬
ٍ ‫ث فَإِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ت ُ َرا‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
ٍ ‫اس إِ ْن ُك ْنت ُ ْم فِي َر ْي‬
‫س ًّمى‬ َ ‫… ِلنُبَيِنَ َل ُك ْم َونُ ِق ُّر فِي ْاْل َ ْر َح ِام َما نَشَا ُء ِإ َلى أَ َج ٍل ُم‬

“Hai manusia, kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah)sesungguhya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepadamu dan kami tetapkan
dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan.” (Q.s AlHajj
[22] : 5).

Bisa dilihat di sini bahwa mudhghah memiliki dua tahap : sempurna dan belum
sempurna. Lebih lanjut, fase mudhghah dengan kedua tahapan perkembangannya berakhir
pada minggu ke-6 atau setelah 40 hari paska pembuahan.

3. Fase Idzam (tulang)

Istilah idzam (tulang) yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut fase ini merupakan
istilah yang mampu mengekspresikan tahapan perkembangan janin ini dengan gambaran
akurat, mencakup perfoma eksternal yang merupakan perubahan yang terpenting dalam
konstrulsi internal, beserta hal-hal yang terkait berupa pola hubungan baru antara bagian-
bagian tubuh dan kesempurnaan postur janin. Fase ini memiliki perbedaan yang mencolok
dengan fase sebelumnya. Sebagaimana telah di terangkan Oleh Allah swt :

َ‫سنُ ْالخَا ِلقِين‬


َ ْ‫َّللاُ أَح‬ َ َ‫ام لَحْ ًما ث ُ َّم أَ ْنشَأْنَاهُ خ َْلقًا آَخ ََر فَتَب‬
َّ َ‫ارك‬ َ ‫ظ‬َ ‫س ْونَا ْال ِع‬ ْ ‫( فَ َخلَ ْقنَا ْال ُم‬14)
َ ‫ضغَةَ ِع‬
َ ‫ظا ًما فَ َك‬

“dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami
bungkus dengan daging. Kemudian, kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain.
Mahasuci Allah, pencipta yang paling baik (14).”

Pembentukan tulang dalam fase ini adalah aspek penciptaan yang paling menonjol, sebab di
sini terjadi perubahan signifikan dari bentuk Mudhghah yang tidak menampakkan cirri-ciri
bentuk manusia menjadi kerangka sempurna dalam masa waktu yang relative singkat, yaitu
pada detik-detik terakhir minggu ke-6. Oleh karena itu digunakan kata sambung (huruf
athaf) “‫ ”ف‬yang memiliki arti peralihan secara cepat tanpa jeda waktu yang lama. Kerangka
inilah yang memberikan postur manusia dalam janin setelah dibungkus dengan daging (otot –
otot) dan menunjukkan bagian-bagian mata, bibir, dan hidung. Bentuk kepala dalam fase ini
juga sudah berbeda dengan batang tubuh dan bagian-bagian ujung tubuh (tangan dan kaki).

B. HAKIKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM

1. Sebagai hamba Allah

Hakikat manusia yang utama adalah sebagai hamba atau abdi Allah SWT. Sebagai seorang
hamba maka manusia wajib mengabdi kepada Allah SWT dengan cara menjalani segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagai seorang hamba, seorang manusia juga
wajib menjalankan ibadah seperti shalat wajib,puasa ramadhan, zakat, haji dan melakukan
ibadah lainnya dengan penuh keikhlasan dan segenap hati sebagaimana yang disebutkan
dalam ayat berikut ini. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,”
(QS:98:5).

2. Sebagai al- Nas

Dalam al- Qur’an manusia juga disebut dengan al- nas. Kata al nas dalam Alquran cenderung
mengacu pada hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia lain atau dalam
masyarakat. Manusia sebagaimana disebutkan dalam ilmu pengetahuan, adalah makhluk
sosial yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia lainnya. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam firman Allah SWT berikut;
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang
paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS: Al Hujurat :13).

3. Sebagai khalifah Allah

Telah disebutkan dalam tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia
diciptakan oleh Allah SWt sebagai khlaifah atau pemimpin di muka bumi.

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu.
Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …”(QS Shad:26).

C. HUBUNGAN MANUSIA DAN ALLAH SWT.

1. Manusia Sebagai Hamba

Sifat hubungan antara manusia dengan Allah SWT dalam ajaran Islam bersifat timbal-balik,
yaitu bahwa manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan Tuhan juga melakukan
hubungan dengan manusia. Tujuan hubungan manusia dengan Allah adalah dalam rangka
pengabdian atau ibadah. Dengan kata lain, tugas manusia di dunia ini adalah beribadah,
sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Quran surat Adz-Dzariat ayat 56:

ِ ‫س إِ ََّّل ِليَ ْعبُد‬


﴾٥٦﴿‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬

Artinya:

“Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada ku.”

Secara garis besar, ibadah kepada Allah itu ada dua macam, yaitu ibadah yang bentuk dan
tata caranya telah di tentukan oleh Allah swt, dan ibadah dan bentuk tata caranya yang tidak
di tentukan oleh Allah swt. Ibadah jenis pertama adalah Mahdhoh, yaitu ibadah dalam arti
ritual khusus, dan tidak bisa diubah-ubah sejak dulu hingga sekarang, misalnya sholat, puasa,
dan haji: cara melakukan ruku’ dan sujud dan lafal-lafal apa saja yang harus dibaca dalam
melakukan sholat telah ditentukan oleh Allah SWT.3 Demikian pula cara melakukan thawaf
dan sa’i dalam haji beserta lafal bacaannya telah ditentukan oleh Allah SWT. Inti ibadah jenis
ini sebenarnya adalah permohonan ampun dan mohan pertolongan dari Allah swt.
Jenis ibadah yang kedua disebut ibadah ghairu mahdoh atau ibadah dalam pengetahuan
umum, yaitu segala bentuk perbuatan yang ditujukan untuk kemaslahatan, kesuksesan, dan
keuntungan.

‫َاء َو ْال ُم ْنك َِر‬


ِ ‫ص ََلة َ ت َ ْن َه ٰى َع ِن ْالفَحْ ش‬
َّ ‫ِإ َّن ال‬

Artinya:

“Sesungguhnya salat itu pencegah perbuatan fahsya’ dan munkar.” (QS Al-Ankabut: 45)

Begitulah prinsip dasar ajaran Islam mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya.
Intinya adalah pengabdian dan penyembahan kepada Allah (ibadah). Berpegang teguh pada
tali agama Allah, lebih tepatnya menyelamatkan diri dari kemunafikan. Memegang tali
agama Allah berarti kesetiaan melaksanakan semua ajaran agama dan mendakwahkannya.
Selalu meningkatkan amal saleh, mengikatkan hati kepada Allah, serta ikhlas dalam
beribadah.5

2. Hubungan Manusia dengan Sesama

Pada hakikatnya, tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri tanpa berhubungan
dengan orang lain. Manusia memiliki naluri untuk hidup berkelompok dan berinteraksi
dengan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan dasar yang
berbeda-beda dan memiliki ciri khas tersendiri yang dapat dijadikan sebagai alat tukar
menukar pemenuhan kebutuhan hidup.

Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat,


selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat
dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu
hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan
selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia
akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial,
juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi)
dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di
tengah-tengah manusia.

Ada beberapa istilah yang digunakan dalam Alquran menunjuk arti masyarakat ideal,
antara lain: Ummatun Wâhidah, Ummatun Wasathan, Khairu Ummah, Baldatun
Thoyyibatun, Ummatun Muqtashidah. Berikut penjelasannya:
a. Ummatun Wâhidah

Bahwa pada mulanya manusia itu adalah satu umat, ditegaskan dalam surah Al-Baqarah: 213.

‫اختَلَفُوا فِي ِه ۚ َو َما‬ ْ ‫اس فِي َما‬ ِ ‫َاب ِب ْال َح‬


ِ َّ‫ق ِل َيحْ ُك َم َبيْنَ الن‬ َ ‫َّللاُ ال َّن ِب ِيينَ ُم َب ِش ِرينَ َو ُم ْنذ ِِرينَ َوأ َ ْنزَ َل َم َع ُه ُم ْال ِكت‬
َّ ‫ث‬ ِ ‫اس أ ُ َّمةً َو‬
َ ‫احدَة ً فَ َب َع‬ ُ َّ‫َكانَ الن‬
ِ ‫اختَلَفُوا ِفي ِه ِمنَ ْال َح‬
َّ ‫ق ِبإِ ْذ ِن ِه ۗ َو‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫ف ِفي ِه ِإ ََّّل الَّذِينَ أُوتُوهُ ِم ْن َب ْع ِد َما َجا َءتْ ُه ُم ْال َب ِينَاتُ َب ْغيًا َب ْينَ ُه ْم ۖ َف َهدَى‬
ْ ‫َّللاُ الَّذِينَ آ َمنُوا ِل َما‬ َ َ‫اختَل‬
ْ
ِ ‫يَ ْهدِي َم ْن يَشَا ُء إِلَ ٰى‬
﴾٢١٣﴿‫ص َراطٍ ُم ْستَ ِق ٍيم‬

Artinya:

“Manusia sejak dahulu adalah umat yang satu, selanjutnya Allah mengutus para nabi sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab
dengan benar, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan
kepada mereka kitab itu, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena keinginan yang tidak wajar (dengki) antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendakiNya kepada jalan yang lurus.”

Dalam ayat ini secara tegas dikatakan bahwa manusia dari dahulu hingga kini
merupakan satu umat. Allah Swt menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling
berkaitan dan saling membutuhkan. Mereka sejak dahulu hingga kini baru dapat hidup jika
bantu membantu sebagai satu umat, yakni kelompok yang memiliki persamaan dan
keterikatan. Karena kodrat mereka demikian, tentu saja mereka harus berbeda-beda dalam
profesi dan kecenderungan. Ini karena kepentingan mereka banyak, sehingga dengan
perbedaan tersebut masing-masing dapat memenuhi kebutuhannya.

b. Ummatun Wasathan

Istilah lain yang juga mengandung makna masyarakat ideal adalah Ummatun
Wasathan. Istilah ini antara lain tertuang dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah: 143

‫ش ِهيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ْال ِق ْبلَةَ الَّتِي ُك ْنتَ َعلَ ْي َها ِإ ََّّل ِلنَ ْعلَ َم‬
َ ‫سو ُل َعلَ ْي ُك ْم‬ َّ َ‫اس َو َي ُكون‬
ُ ‫الر‬ ِ َّ‫ش َهدَا َء َعلَى الن‬ ُ ‫طا ِلت َ ُكونُوا‬ ً ‫س‬ َ ‫َو َك ٰذَلِكَ َج َع ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
َ َّ ‫ُضي َع ِإي َما َن ُك ْم ۚ ِإ َّن‬
‫َّللا‬ َّ َ‫َّللاُ ۗ َو َما َكان‬
ِ ‫َّللاُ ِلي‬ َّ ‫يرةً ِإ ََّّل َعلَى الَّذِينَ َهدَى‬َ ‫َت َل َك ِب‬
ْ ‫سو َل ِم َّم ْن َي ْنقَ ِلبُ َع َل ٰى َع ِق َب ْي ِه ۚ َو ِإ ْن كَان‬ ُ ‫الر‬َّ ‫َم ْن َيتَّ ِب ُع‬
ٌ ‫اس لَ َر ُء‬
﴾١٤٣﴿‫وف َر ِحي ٌم‬ ِ َّ‫بِالن‬
Artinya:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa kualifikasi umat yang baik adalah ummatun
wasathan. Kata wasathan terdiri dari huruf wau, sîn dan tha’ yang bermakna dasar
pertengahan atau moderat yang memang menunjuk pada pengertian adil. Al-Râghib
mengartikan sebagai sesuatu yang berada di pertengahan yang kedua ujungnya pada posisi
sama. Posisi prtengahan menjadikan anggota masyarakat tersebut tidak memihak ke kiri dan
ke kanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu jugamenjadikannya dapat
menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi
pertengahan agar menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain.

c. Ummatun Muqtashidah

Ungkapan ummatun muqtashidah terulang hanya sekali dalam Al-Quran yaitu dalam surah
Al-Maidah: 66

ِ ‫ت أَ ْر ُج ِل ِه ْم ۚ ِم ْن ُه ْم أ ُ َّمةٌ ُم ْقت‬
ٌ ِ‫َصدَة ٌ ۖ َو َكث‬
‫ير‬ ِ ْ‫اْل ْن ِجيلَ َو َما أ ُ ْن ِز َل ِإلَ ْي ِه ْم ِم ْن َر ِب ِه ْم َْل َ َكلُوا ِم ْن فَ ْوقِ ِه ْم َو ِم ْن تَح‬
ِ ْ ‫َولَ ْو أَنَّ ُه ْم أَقَا ُموا الت َّ ْو َراة َ َو‬
﴾٦٦﴿ َ‫سا َء َما َي ْع َملُون‬ َ ‫ِم ْن ُه ْم‬

Artinya:

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al
Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat
makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang
pertengahan[. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.”

Makna kelompok pertengahan (ummatun muqtashidah) dalam ayat di atas adalah segolongan
kelompok yang berlaku pertengahan dalam melakukan agamanya, tidak berlebihan juga tidak
melalaikan.
d. Khairu Ummah

Istilah khairu Ummah berrti umat terbaik atau umat unggul atau masyarakat ideal hanya
sekali saja disebutkan diantara 64 kata ummah dalam Al-Quran yakni dalam surah Ali Imran:
110.

ِ ‫اَّللِ ۗ َولَ ْو آ َمنَ أَ ْه ُل ْال ِكت َا‬


ۚ ‫ب لَ َكانَ َخ ْي ًرا لَ ُه ْم‬ ِ ‫اس ت َأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬
َّ ِ‫وف َوت َ ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُم ْنك َِر َوتُؤْ ِمنُونَ ب‬ ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت ِللن‬
﴾١١٠﴿ َ‫ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُونَ َوأَ ْكث َ ُر ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬

Artinya:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Dalam ayat tersebut, dijelaskan kriteria-kriteria Khairu Ummah, yaitu menyuruh


kepada ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.

Baldatun Thoyyibah

Istilah ini tertuang dalam surah Saba’:15.

ٌ ُ‫طيِبَةٌ َو َربٌّ َغف‬


﴾١٥﴿‫ور‬ َ ٌ ‫ق َربِ ُك ْم َوا ْش ُك ُروا لَهُ ۚ بَ ْلدَة‬
ِ ‫ين َو ِش َما ٍل ۖ ُكلُوا ِم ْن ِر ْز‬ ِ ‫سبَإ ٍ فِي َم ْس َكنِ ِه ْم آيَةٌ ۖ َجنَّت‬
ٍ ‫َان َع ْن يَ ِم‬ َ ‫لَقَدْ َكانَ ِل‬

Artinya:

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka
yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun.”

Baldatun Thoyyibah berarti mengacu kepada tepat, bukan kepada kumpuln orang. Namun,
Ali Nurdin, dalam bukunya Menelusuri Masyarakat Ideal dalam Alquran memasukkan
ungkapan tersebut dalam istilah masyarakat ideal dengan faktor kebahasaan sebagai salah
satu pertimbangan utama.

Alquran tidak menyatakan secara tegas tentang kriteria dan ambaran dari negeri yang baik
(baldah thoyyibah), untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, kita bisa melihat
kepada sejarah kerajaan Saba’. Poin-poin penting yang menyebabkan Saba’ disebut sebagai
negeri yang baik, disamping faktor geografis (adanya bendungan ‘Arim) adalah, merakyatnya
sikap musyawarah dan anti kekerasan.8

D. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM

1. Alam diciptakan untuk Manusia

Manusia dapat hidup di bumi karena Allah telah menetapkan keadaan bumi yang ada pada
posisi sekarang. Pemikiran yang murni yang berdasarkan kenyataan dan tanpa prasangka
dapat dengan mudah memahami alam semesta diciptakan dan dikendalikan oleh Allah yang
semuanya diperuntukkan pada manusia.9

Untuk memperoleh informasi lebih jauh mengenai penciptaan alam, berikut akan
dikemukakan beberapa ayat Al-Quran: Surah Yâsin

َ ‫َوإِ ْن نَشَأ ْ نُ ْغ ِر ْق ُه ْم فَ ََل‬


﴾٤٣﴿ َ‫ص ِري َخ لَ ُه ْم َو ََّل ُه ْم يُ ْنقَذُون‬

Artinya:

“Dan Kami ciptakan untuk mereka (apa) yang mereka kendarai seperti bahtera itu.”

2. Manusia sebagai Khalifah

Manusia dipilih oleh Allah sebagai penduduk bumi, tiada lain adalah sebagai khalifah. Hal ini
ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 30:

َ ُ‫الد َما َء َونَحْ نُ ن‬


َ‫س ِب ُح ِب َح ْمدِك‬ ِ ‫َو ِإ ْذ قَا َل َربُّكَ ِل ْل َم ََلئِ َك ِة ِإنِي َجا ِع ٌل فِي ْاْل َ ْر‬
ِ ُ‫ض َخ ِليفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْ َع ُل فِي َها َم ْن يُ ْف ِسد ُ فِي َها َويَ ْس ِفك‬
َ‫ِس لَكَ ۖ قَا َل ِإ ِني أَ ْعلَ ُم َما ََّل تَ ْع َل ُمون‬
ُ ‫َونُقَد‬

Artinya:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”

َ‫يس أَ َب ٰى َوا ْستَ ْك َب َر َو َكانَ ِمنَ ْالكَافِ ِرين‬ َ َ‫َو ِإذْ قُ ْلنَا ِل ْل َم ََلئِ َك ِة ا ْس ُجد ُوا ِِلدَ َم ف‬
َ ‫س َجد ُوا ِإ ََّّل ِإ ْب ِل‬
E. Martabat Manusia dalam Islam
Martabat saling berkaitan dengan maqam, maksud nya adalah secara dasarnya maqam
merupakan tingkatan martabat seseorang hamba terhadap khalikNya, yang juga merupakan
sesuatu keadaan tingkatannya seseorang sufi di hadapan tuhannya pada saat dalam perjalanan
spritual dalam beribadah kepada Allah SWT. Maqam ini terdiri dari beberapa tingkat atau
tahapan seseorang dalam hasil ibadahnya yang di wujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada
tingkatan maqam tersebut, secara umum dalam thariqat naqsyabandi tingkatan maqam ini
jumlahnya ada 7 (tujuh), yang di kenal juga dengan nama martabat tujuh, seseorang hamba
yang menempuh perjalanan dzikir ini biasanya melalui bimbingan dari seseorang yang alim
yang paham akan isi dari maqam ini setiap tingkatnya, seseorang hamba tidak di benarkan
sembarangan menggunakan tahapan maqam ini sebelum menyelesaikan atau ada hasilnya
pada riyadhah dzikir pada setiap maqam, ia harus ada mendapat hasil dari amalan pada
maqam tersebut.
Tingkat martabat seseorang hamba di hadapan Allah SWT harus melalui beberapa
proses sebagai berikut :
1. Taubat;
2. Memelihara diri dari perbuatan yang makruh, syubhat dan apalagi yang haram;
3. Merasa miskin diri dari segalanya;
4. Meninggalkan akan kesenangan dunia yang dapat merintangi hati terhadap tuhan yang
maha esa;
5. Meningkatkan kesabaran terhadap takdirNya;
6. Meningkatkan ketaqwaan dan tawakkal kepadaNya;
7. Melazimkan muraqabah (mengawasi atau instropeksi diri);
8. Melazimkan renungan terhadap kebesaran Allah SWT;
9. Meningkatkan hampir atau kedekatan diri terhadapNya dengan cara menetapkan ingatan
kepadaNya;
10. Mempunyai rasa takut, dan rasa takut ini hanya kepada Allah SWT saja.

F. Tanggung Jawab Manusia

Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga


bertanggungjawab adalah kewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala
sesuatunya, atau memberikan jawaban dan menanggung akibatnya.

Macam-macam Tanggungjawab :
1. Tanggungjawab terhadap diri sendiri

“If it is to be, it is up to me” maksud dari pepatah lama tersebut adalah hanya diri kita yang
sepenuhnya bertanggungjawab terhadap kehidupan atau nasib diri kita sendiri.

2. Tanggungjawab terhadap Keluarga

Secara tradisional keluarga adalah tempat dimana manusia saling memberikan


tanggungjawabnya. Si orang tua bertanggungjawab kepada anaknya, anggota keluarga saling
tanggungjawab. Anggota keluarga saling membantu dalam keadaan susah, saling mengurus
di usia tua dan dalam keadaan sakit. Ini terlepas dari apakah kehidupan itu berbentuk
perkawinan atau tidak. Di lihat dari segi tanggungjawab, orang tua adalah orang yang paling
bertanggungjawab terhadap pendidikan anak. Anak dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua,
orang yang pertama kali dijumpai anak adalah orang tuanya, jadi secara tidak langsung ayah
dan ibu adalah guru pertama bagi anak, disadari atau tidak oleh orang tua itu sendiri.

3. Tanggungjawab terhadap masyarakat

Manusia bertanggungjawab terhadap tindakan mereka. Manusia menanggung akibat


dariperbuatannya dan mengukurnya pada berbagai norma. Ini merupakan bentuk dari
tanggungjawab terhadap masayarakat, dimana di dalam masyarakat telah ada aturan-aturan.
Kehidupan bersama antar manusia membentuk norma yang kemudian berkembang menjadi
aturan-aturan, hukum-hukum yang dibutuhkan suatu masyarakat tertentu. Dalam negara-
negara modern aturan-aturan atau hukum-hukum tersebut termaktub dalam sebuah sistem
hukum dan sama bagi semua warga. Apabila aturan-aturan ini dilanggar yang bersangkutan
harus memperoleh hukuman atau sanksi. Jika ia misalnya merugikan hak milik orang lain
maka Pengadilan dapat menghukum sikap yang bersalah (pelanggaran) berdasarkan KUHP.

4. Tanggungjawab terhadap bangsa / negara

Pendidikan merupakan salah satu dari contoh bentuk tanggungjawab masyarakat atau lebih
khususnya pelajar terhadap bangsa dan negara. Karena pendidikan merupakan investasi
jangka panjang yang terbaik bagi bangsa dan negara. Sumber Daya Manusia Indonesia masih
sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena
pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting.

5. Tanggungjawab terhadap Tuhan


Penciptaan manusia dilandasi oleh sebuah tujuan luhur. Maka, tentu saja
keberadaannya disertai dengan berbagai tanggungjawab. Konsekuensi kepasrahan manusia
kepada Allah Swt, dibuktikan dengan menerima seluruh tanggungjawab (akuntabilitas) yang
datang dari-Nya serta melangkah sesuai dengan aturan-Nya. Berbagai tanggungjawab ini,
membentuk suatu relasi tanggungjawab yang terjadi antara Tuhan, manusia dan alam. Hal
tersebut meliputi antara lain: tanggungjawab manusia terhadap Tuhan, tanggungjawab
manusia terhadap sesama, tanggungjawab manusia terhadap alam semesta serta
tanggungjawab manusia tehadap dirinya sendiri. Tanggungjawab manusia terhadap Tuhan
meliputi dua aspek pokok. Pertama, mengenal Tuhan. Kedua, menyembah dan beribadah
kepada-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

Anggota IKAPI. Antropologi Budaya. tt: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Baron, Robert A. dan Donn Bybne. Psikologi Sosial. Terj. Ratna Djuwita dkk. Ed. Wisnu C.
Kristiaji dan Ratri Medya. Jakarta: Erlangga, 2003.

Budiaman, Arie, Ahmad Jauhar Arief, dan Edy Nasriady Sambas. Membaca Gerak Alam
Semesta Mengenali Jejak Sang Pencipta. Ed. Nanik Supriyanti. Jakarta: Lipi Press, 2007.

Gea, Antonius Atoshoki, Noor Rachmat, dan Antonina Panca Yuni wulandari. Relasi dengan
Tuhan. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2006.

Gerungan, W.A. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.

Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan Alquran. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Jazuli, Ahzami samiun. kehidupan dalam Pandangan Alquran. Jakarta: Gema Insani Press,
2006.

Nurdin, Ali. Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran. TT: PT. Gelora Aksara
Pratama, 2006.

Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar dalam
Persfektif Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sholikhin, Muhammad. Hadirkan Allah Di Hatimu. Ed. Sukini. Solo: Tiga Serangkai, 2008.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi sosial: psikologi kelompok dan psikologi


terapan. Jakarta: PT. Balai Pusta, 1999.

Syihab, Dodi. Al-Quran Sandi Kecerdasan. Jakarta: Aldi Prima, 2010.

Thabathaba’I, M dan Abu Abdullah dan Az-Zanjani. Mengungkap Rahasia Al-


Quran. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009.

Tim Penceramah Jakarta Islamic Cernter. Islam Rahmat bagi Alam Semesta. Jakarta: Afilia
Books, 2005.

1Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam
Persfektif Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 227-228.

2M. Thabathaba’I dan Abu Abdullah dan Az-Zanjani, Mengungkap Rahasia Al-
Quran (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009), 157-158.

3Antonius Atoshoki Gea, Noor Rachmat, dan Antonina Panca Yuni wulandari, Relasi dengan
Tuhan (Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2006), 94-102.

4Tim Penceramah Jakarta Islamic Cernter, Islam Rahmat bagi Alam Semesta (Jakarta: Afilia
Books, 2005), 140-142.

5Untuk mengetahui lebih lanjut tentang identitas pelaksanaan ibadah mahdhah lihat
Muhammad Sholikhin, Hadirkan Allah Di Hatimu, Ed. Sukini (Solo: Tiga Serangkai, 2008),
118-122.

6Untuk lebih memahami tentang manusia sebagai makhluk sosial, lihat antara lain Sarlito
Wirawan Sarwono, Psikologi sosial: psikologi kelompok dan psikologi terapan (Jakarta: PT.
Balai Pusta, 1999), 4, Abu Ahmadi, Psikologi Sosial (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), 95-
96, dan W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 103,
serta Robert A. Baron dan Donn Bybne, Psikologi Sosial, Terj. Ratna Djuwita dkk, Ed.
Wisnu C. Kristiaji dan Ratri Medya (Jakarta: Erlangga, 2003), 177-187.

7Dodi Syihab, Al-Quran Sandi Kecerdasan (Jakarta: Aldi Prima, 2010), 70.

8Ali Nurdin, Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran (TT: PT. Gelora Aksara
Pratama, 2006), 110-117.
9Arie Budiaman, Ahmad Jauhar Arief, dan Edy Nasriady Sambas, Membaca Gerak Alam
Semesta Mengenali Jejak Sang Pencipta, Ed. Nanik Supriyanti (Jakarta: Lipi Press, 2007),
46-47.

10Lihat Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Alquran (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), 30.

11Untuk lebih mendalami tentang budaya manusia, lihat Anggota IKAPI, Antropologi
Budaya (tt: PT Citra Aditya Bakti, 2002), 93-107.

12 Untuk mendapat keterangan lebih luas tentang hubungan penciptaan manusia dengan alam
semesta, lihat Ahzami samiun Jazuli, kehidupan dalam Pandangan Alquran (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), 47-55.

Anda mungkin juga menyukai