Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

STRATEGI PARA TOKOH BANGSA


DOSEN PENGAMPU
Salahudin, M. Pd.I

DISUSUN OLEH
Nur Astuti
NIM : 2016070006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) TAMAN SISWA BIMA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan konsep life long education, akhirnya pendidikan tak
akan berhenti selama manusia masih ada dan masih hidup. Hidup dan
kehidupan tak kan dapat terlepas dari pendidikan. Kegiatan atau proses
pendidikan akan terasa amat penting dan sangat dibutuhkan dalam
menghadapi ilmu dan teknologi yang sangat pesat kemajuannya seperti
sekarang ini. Hal tersebut dilakukan agar suatu negara tidak tergilas zaman
yang sejatinya sedang berpacu dengan waktu. Segala upaya pemerintah perlu
dilakukan untuk peningkatan mutu pendidikan dan pembenahan sistem yang
telah ada tanpa mengabaikan norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku .
Oleh karena itu, negara (Indonesia) selayaknya tetap berkaca pada masa lalu.
Kemajuan apa saja yang positif, tetaplah dipertahankan. Semua itu
tidaklah terlepas dari upaya-upaya yang pernah dilkukan para tokoh
pendidikan sebagai pemancang pilar pendidikan. Beberapa orang di antara
mereka adalah: Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Mochamad Syafei,
RA. Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kuddus, dan lain sebaginya.

B. Rumusan Masalah
1. Pendidikan apa saja yang pernah ditempuh tokoh?
2. Apa saja karier yang pernah digeluti tokoh?
3. Bagaiman kiprah tokoh dalam organisasi yang pernah didirikan untuk
memajukan bidang pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. RA. Kartini (1879-1904):


Jika diteliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar
perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan
perjuangan untuk emansipasi di segala bidang. Kartini menyadari,
perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan.Agar dapat menjalankan
perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik
pula.
Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4
Oktober 1902 Kartini menulis, ‘Kami di sini memohon diusahakan
pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami
menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam
perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar
sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya,
kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu,
pendidik manusia yang pertama-tama”.
Atas kesadaran tersebut, Kartini berniat melanjutkan sekolah ke
Belanda, Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland
akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih” (Surat
Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900). Waktu itu, Kartini beranggapan bahwa
Eropa adalah tempat peradaban tertinggi dan paling sempurna di
muka bumi.Namun, rencana itu tak pernah berhasil.Kartini hanya mendapat
kesempatan menempuh sekolah guru di Betawi.Kesempatann ini pun batal
dijalaninya karena dia harus menikah dengan R.M.A.A. Singgih Djojo
Adhiningrat.
Walaupun awalnya banyak menentang adat Jawa yang kaku dan
kebiasaan bangsawannya berpoligami, Kartini menerima pernikahan tersebut.
Ada sebuah kesadaran di benaknya, dengan menikah dia akan berkesempatan
untuk mendirikan sekolah bagi perempuan bumiputra. Alasan ini masuk akal
karena suaminya adalah seorang bupati yang berkuasa dan mengizinkan
bahkan mendukungnya untuk mendirikan sekolah. Keputusan yang luar biasa
dari seorang pahlawan sejati.
Pada hari pernikahannya, seorang ustad dari Semarang, Haji
Mohammad Sholeh bin Umar, menghadiahkan beberapa juz al-Quran
berbahasa Jawa. Kegelisahan Kartini terhadap agama Islam pun
terjawab.Sebelumnya, dalam kehidupan sehari-harinya Kartini hanya
diajarkan membaca al-Quran tanpa diizinkan untuk mengetahui artinya.
Setelah mempelajari al-Quran, pandangan Kartini terhadap beberapa
hal pun berubah.Di antaranya, pandangannya terhadap peradaban Eropa, “…,
tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya
yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri
menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal
bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-
hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini
kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902). Pandangan Kartini terhadap
poligami pun berganti, jika awalnya menentang, setelah mengenal ajaran
Islam dia menerimanya.
Sayangnya, Haji Mohammad Sholeh meninggal sebelum sempat
menyelesaikan seluruh terjemahan al-Quran untuk Kartini. Kartini pun hanya
mempelajari beberapa jus terjemahan tersebut. Jika saja dia sempat
mempelajari keseluruhan Al Quran, tidak mustahil ia akan menerapkan
semua kandungannya. Kartini berani berbeda dengan tradisi adatnya yang
mapan, dia juga memiliki ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam.
Bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terangmina dulumati ila
nuur. Kartini menyadari bahwa sumber pendidikan terbaik justru ada di
dekatnya, yaitu Al-Quran, bukan di Eropa.pun terinspirasi dari Surat Al-
Baqarah ayat 193:
13 Septembar 1904, Kartini meninggal pada usia yang masih muda,
25 tahun dan dimakamkan di Rembang. Untuk menghormatinya, Van
Deventer, seorang tokoh politik Etis, mendirikan Yayasan Kartini (1912).
Yayasan tersebut bertugas mengelola “Sekolah Kartini” yang didirikan di
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah
lainnya.

B. RA. Dewi Sartika (1884-1947):


Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden
Rajapermas dengan Raden Somanagara.Meskipun bertentangan dengan adat
waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah
Belanda.Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah
ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia
mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan
kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten
Residen berkebangsaan Belanda.
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan
kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung
kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis,
dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik
kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika
Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata
dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu
kepatihan.Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat
jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak
perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di
Bandung.Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk
mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati
Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski
keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta
merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita
pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan
dan khawatir.Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut,
akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan
sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, beliau memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi
Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah
Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi
kaum perempuan.Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di
Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang
perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16
Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan)
pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika
dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.Oewid.Murid-
murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga
kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi
Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari
Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa
lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa
wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola
oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan
Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-
kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan).
Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti
menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota
kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri
tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola
Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan
lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada
tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan
pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti
nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi
Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan
dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman
Cigagadon – Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian
dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Bandung.
C. Rohana Kuddus (1884-1969):
Rohana Kuddus dikenal sebagai wanita Islam yang taat pada
agamanya dan sebagimana kedua tokoh di tas, ia giat sekali mempelopori
emansipasi wanita. Selain sebagai pendidik, ia pun adalah wartawan wanita
pertama Indonesia.
Sebagaiman dikemukakan Djumhur dan Danasuparta dalam
Syarifudin, pada tahun 1896v(pada usia 12 tahun) Rohana telah mengajarkan
membaca dan menulis (huruf Arab dan Latin) kepada teman-teman gadis
sekampungnya. Pada tahun 1905 ia mendirikan Sekolah Gadis di Kota
Gedang. Pada tanggal 11 Februari 1911 ia memimpin Perkumpulan Wanita
Minangkabau yang diberi nama “Kabar wanita Karajinan Amai Setia” yang
kemudian dijadikan nama sekolahnya. Rohana juga berjuang menerbitkan
surat kabar khusus untuk wanita. Pada tanggal 10 Juli 1912 Rohana menjadi
pemimpin redaksi surat kabar wanita di kota Padang yang diberi nama
“Soenting Melajoe”
D. Ki Hajar Dewantara
Tokoh ini sangat identik dengan pendidikan di Indonesia. Dia dikenal
sebagai Bapak Pendidikan Nasional.Hari lahirnya diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai oleh Departemen Pendidikan RI
sebagai jargon, yaitu tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing
ngarsa sung tulada (di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan
peluang untuk berprakarsa, di depan memberi teladan).
Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta (2 Mei 1889) dengan
nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Semasa kecilnya, RM Soewardi
Soeryaningrat sekolah di ELS (SD Belanda). Kemudian, ia melanjutkan ke
STOVIA (sekolah dokter bumiputra), namun tidak tamat. Setelah itu, dia
bekerja sebagai wartawan di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Tulisan-tulisannya
sangat tajam dan patriotik sehingga membangkitkan semangat antipenjajahan.
Selain menjadi wartawan, RM Soerwardi Soeryaningrat juga aktif di
organisasi sosial dan politik. Tahun 1908 ia aktif di seksi propaganda Boedi
Oetomo. Kemudian, bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (25 Desember 1912) yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Namun partai ini ditolak oleh
pemerintah Belanda.
Kemudian, ia dan kawan-kawannya membentuk Komite Bumipoetra
(1913) untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang
bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis. Untuk membiayai pesta tersebut Pemerintah Belanda menarik uang
dari rakyat jajahannya.RM Soewardi Soeryaningrat mengkritik lewat
tulisannya “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang
Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga).
Akibat tulisannya itu, RM Soerwardi Soeryaningrat dijatuhi hukuman
buang ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jenderal Idenburg tanpa proses
pengadilan. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo yang merasa
rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan untuk
membela Soewardi.Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk
memberontak pada pemerinah kolonial.Akibatnya, keduanya pun terkena
hukuman buang, Douwes Dekker ke Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo
ke Banda.
Hukuman itu ditolak, mereka meminta untuk dibuang ke Negeri
Belanda agar bisa belajar.Keinginan tersebut diterima dan mereka diizinkan
ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan
hukuman.Selama di negara kincir angin tersebut, Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte dan kembali ke tanah
air pada 1918.
Sekembalinya ke tanah air, bersama rekan-rekannya, RM Soewardi
Soeryaningrat mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa (3 Juli
1922).Perguruan ini mendidik para siswanya untuk memiliki nasionalisme
sehingga mau berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Demi memuluskan
langkahnya-langkahnya, RM Soewardi Soeryaningrat pun berganti nama
menjadi Ki Hajar Dewantara. Sebagai seorang bangsawan yang berasal dari
lingkungan Kraton Yogyakarta dan dengan gelar RM di depan namanya, dia
kurang leluasa bergerak.
Aktivitas Tamansiswa pun ditentang oleh Pemerintah Belanda melalui
Ordonasi Sekolah Liar pada 1932.Dengan gigih RM Soewardi Soeryaningrat
pun berjuang hingga ordonansi itu dicabut.Sambil mengelola Tamansiswa,
RM Soewardi Soeryaningrat tetap rajin menulis.Namun bukan lagi soal
politik, melainkan soal pendidikan dan kebudayaan berwawasan
kebangsaan.Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar
pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Tahun 1943, ketika Jepang menduduki Indonesia, Ki Hajar Dewantara
bergabung ke Pusat Tenaga Rakyat (Putera).Di organisasi tersebut, dia
menjadi salah seorang pimpinan bersama Soekarno, Muhammad Hatta, dan
K.H. Mas Mansur. Setelah Indonesia merdeka, ia pun dipercaya menjabat
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Berbagai
aktivitasnya dalam memperjuangkan pendidikan di tanah air sebelum hingga
Indonesia merdeka tersebut, membuatnya dianugerahui gelar doktor
kehormatan oleh Universitas Gadjah Mada (1957).
Ki Hajar Dewantara meninggal pada 28 April 1959 di Yogyakarta dan
dimakamkan di Kampung Celeban (Yogyakarta).Kemudian, atas jasa-
jasanya, pendiri Taman siswa itu ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional.Ki Hajar Dewantara pun mendapat gelar Bapak
Pendidikan Nasional dan tanggal kelahirannya, 02 Mei, ditetapkan sebagai
Hari Pendidikan Nasional.

E. Prof. Dr. Slamet Imam Santoso


Prof. Dr. Slamet Imam Santoso dilahirkan di Wonosobo, 7 September
1907. Wafat di Jakarta, 9 Novenber 2004. Beliau beragama Islam. Isterinya
bernama Suprapti Sutejo. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah ELS
Magelang 1912 – 1917, HIS Magelang 1918 – 1920, Mulo Magelang 1920 –
1923, MAS-B Yogyakarta 1923 – 1926, Indische Atrs Stovia 1926 – 1932,
dan Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum 1932 – 1934.
Kariernya adalah Pendiri Fakultas Psikologi UI, PR Bidang
Akademisi UI, Guru Besar Fak. Kedokteran UI dan Fak. Psikologi UI, Dosen
Lemhanas, Dewan Kurator Universitas Mertju Buana.
Karya-karya yang ditulisnya antara lain: Sejarah Perkembangan Ilmu
Pengetahuan, The Social Background for Psychology in Indonesia,
Psychiatry dan Masyarakat Kesejahteraan Jiwa: School Health in The
Communnity, Sekolah sebagai Sumber Penyakit atau Sumber Kesejahteraan,
Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan
Keilmuan, Dasar-Dasar Pendidikan.

F. Bu Kasur
Bu Kasur bernama asli Sandiah. Beliau Lahir di Jakarta, 16 Januari
1926. Wafat di Jakarta, 22 Oktober 2002 dan dikebumikan di Kaliori,
Purwokerto, Jawa Tengah (23 Oktober 2002). Suaminya bernama Suryono
(Pak Kasur). Pendidikanyang pernah ditempuhnya adalah Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs MULO 1930. Kariernya adalah sebagai pencipta lagu anak-
anak, pendiri dan pengasuh TK Mini Pak Kasur (1965), pengasuh dan
pembawa acara anak di radio dan televisi. Penghargaan yang pernah
diperolehnya antara lain: Bintang Budaya Para Dharma (1992), penghargaan
dari Presiden dalam rangka Hari Anak Nasional (1988), Centro Culture
Italiano Premio Adelaide Ristori Anno II (1976).

G. Kiai Hasyim Asy’ari


Kiai Hasyim Asy’ari Lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa
Timur, 10 April 1875 (24 Dzulkaidah 1287 H). Meninggal pada tanggal 25
Juli 1947. Ayah dan Ibunya bernama Kiai Asy’ari dan Halimah. Pendidikan
yang ditempuhnya adalah: Pesantren Gedang, Pesantren Keras, selatan
Jombang, Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Pesantren Wonokoyo
(Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), dan Pesantren Trenggilis
(Semarang).
Karier yang pernah dijalani adalah sebagai Pendiri Pesantren
Tebuireng (1899), salah satu Pendiri Nahdhatul Ulama, 31 Januari 1926), dan
Tokoh Pembaharuan Pesantren.
Adapun penghargaan yang diterimanya antara lain: Pahlawan
Kemerdekaan Nasional (SK Pesiden RI No. 294 Tahun 1964 tanggal 17
November 1964).

H. Dr. Soetomo
Dr. Soetomo berama Asli Soebroto. Lahir di Desa Ngepeh, Jawa
Timur, 30 Juli 1888 dan wafat di Surabaya, 30 Mei 1938. Pendidikan yang
dijalaninya: STOVIA tahun 1911.
Kariernya antara lain sebagai Dokter di Tuban, Semarang, Lubuk
Pakam, dan Malang, Wartawan dan memimpin beberapa surat Kabar.
Adapun organisasi yang diikutinya adalah: Pendiri dan Ketua Budi
Utomo, 20 Mei 1908, Budi Utomo bergerak di bidang politik tahun 1919,
Pendiri Indische Studie Club (ISC) tahun 1924, ISC berganti nama menjadi
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI (1931), Pendiri dan Ketua Patai Indonesi
Raya (Parindra) yang merupakan Penggabungan Budi Utomo dan PBI.

I. Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun
1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Beliau adalah putra keempat
dari tujuh bersaudara pasangan KH. Abu Bakar (seorang ulam dan khatib
terkemuka mesjid besar Kesultanan Yogyakarta dan Nyai Abu Bakar (putri
dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga. Dalam
silsilah, disebutkan bahwa beliau masih keturunan yang kedua belas dari
Maulana Malik Ibrahim.
Sebagai seorang anak ulama, KH. Ahmad Dahlan yang memiliki
nama kecil Muhammad Darwis sudah belajar agama dan bahasa Arab kepada
sang ayah. Setelah belajar agama di kampungnya, beliau melanjutkan sekolah
ke Mekah setelah sang xayah menyuruh menunaikan rukun Islam kelima
tahun 1883.
Saat berangkat ke Mekah untuk menuaikan haji, Muhammad Darwis
masih berumur 15 tahun. Beliau sempat bermukim di Mekah selama lima
tahun untuk memperdalam ilmu agama seperti qira’at, tauhid, tafsir, fikih,
ilmu mantiq dan ilmu falak. Setelah kembali dari Mekah pada tahun 1902,
beliau berganti nama menjadi Haji Ahmad Dahlan.
Satu tahun kemudian, beliau berkesempatan untuk memperdalam ilmu
agama lagi di Mekah.Dari sini, beliau banyak belajar mengenal pemikiran
para pembaharu Islam. Antara lain Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
1. Islam Yang Rasional
Perjalanan K.H. Ahmad Dahlan membuka cakrawala pendidikan
(Islam) di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari modernisasi Islam yang
dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada
abad sebelumnya di Eropa.
Jamaluddin Al-Afghani, seorang intelektual muslim yang sempat
mengenyam kesempatan berbagai ilmu dalam organisasi Freemasonry,
bertujuan untuk mengadaptasikan Islam dengan masa modern. Caranya,
memperkaya Islam dengan berbagai penemuan yang berkaitan dengan
rasionalitas yang diandalkan pengetahuan Eropa.
Jamaluddin Al-Afghani menerbitkan jurnal Al-Urwatul
Wutsqa pada 1884. Al-Urwatul Wutsqa sendiri misalnya “mendukung”
teori evolusi (tetapi tidak untuk manusia) yang tidak hanya membuat
dunia Barat membuka mata tentang Islam (Islam tidak kolot, tertutup,
dan menampik “ilmu pengetahuan”), tetapi juga membuat dunia Islam
yang selama ini cukup banyak berkutat dengan penekanan rasio atas
aturan-aturan yang diciptakan belakangan setelah era Nabi Muhammad
saw.
Muhammad Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh “kompatriot
Jamaluddin Al-Afghani”, kemudian menerbitkan majalah Al-Manar di
Mesir.Majalah Al-Manarmenjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh.Melalui publikasi majalah ini, gerakan Islam modern
berpengaruh pada gerakan Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20,
termasuk Indonesia.
2. Islam Modern di Indonesia
Di Indonesia, gerakan Islam modern menghasilkan organisasi
Sarekat Islam (berdiri 1911, yang merupakan kelanjutan SDI yang
terbentuk pada 1905). Sarekat Islam adalah organisasi massa Islam
modern pertama di Indonesia. Organisasi ini sempat mengganti nama
sebagai Partai Sarekat Islam (PSI) demi penekanannya atas politik.
Pada 1929, partai ini berubah menjadi PSII (Partai Sarekat Islam
Indonesia). Selain Sarekat Islam, muncul pula organisasi Muhammadiyah
yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan pada 1912. Berbeda dengan Sarekat
Islam, Muhammadiyah tidak melibatkan diri dalam politik.Organisasi ini
menekankan upaya dakwah memerangi TBC (Takhayul, Bidah,
Khurafat).Dakwah inilah yang “mengimbangi” pendidikan “modern” ala
barat. .
Pendidikan Islam Modern ala Muhammadiyah
Dalam dakwah Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengajak umat Islam
menggunakan rasio dengan tetap berpegang teguh pada Alquran
dan hadis.Ahmad Dahlan dalam hal ini mampu melawan sistem politik
adu domba ala Belanda yang hendak memisahkan umat Islam menjadi
dua bagian besar, Islam politik dan Islam agama.
Ahmad Dahlan bahkan juga melawan praktik-praktik bidah yang
merajalela di Jawa. Orang Jawa yang suka dengan mistisisme
mencampurkan Islam dengan takhayul, misalnya dengan menceritakan
kisah Walisongo yang banyak kepalsuannya. Ahmad Dahlan juga
menciptakan buku-buku praktis.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan ditampilkannya beberapa tokoh dalam pendidikan, kita dapat
mengetahui bagaimana para tokoh berjuang untuk mencerdaskan anak
bangsa, salah satunya dengan mendirikan sekolah-sekolah di berbgai penjuru
tanah air.
Daftar Pustaka

Syarifudin, Tatang. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pendidikan Islam Departemen Agama RI.
http:// www.wikimu.com/news/opiniaspx.
https://zaeriyahumar.wordpress.com/artikel/tokoh-tokoh-pendidikan-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai