Indonesia Pasca Pemilu 2019 (Gina)
Indonesia Pasca Pemilu 2019 (Gina)
Tiga tahun terakhir ini, negara kita Indonesia menyelenggarakan runtutan pesta demokrasi dalam
berbagai tingkat, mulai dari kota, kabupaten, dan provinsi pada tahun 2017 dan 2018, serta
pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2019. Pada saat yang bersamaan pula, dapat
dirasakan suhu politik yang memanas, dan munculnya konflik di berbagai lapisan masyarakat.
Macam-macam strategi antara lain populisme, politik identitas, dan sektarianisme oleh para elite
partai politik demi mencapai kemenangan dalam berbagai tingkat pemilu tersebut, dengan
saluran penyampaiannya lewat media massa dan media sosial, baik dalam bentuk berita valid
maupun hoax dan provokasi membuat kemanusiaan yang ada di masyarakat kita mulai luntur
karena banyak yang hanya menelan narasi-narasi politik memecah belah antargolongan
masyarakat secara mentah.
Narasi-narasi yang memecah belah ini pun sering dilakukan sehingga berpotensi menimbulkan
konflik dan perpecahan antar kelas maupun antargolongan. Perubahan dalam masyarakat
memang terjadi secara terus-menerus, dan selalu terjadi konflik namun elemen-elemen sosial
yang ada dapat mempengaruhi bagaimana perubahan yang terjadi, apakah akan mengarah ke
disintegrasi atau hanya perubahan biasa saja (Dahrendorf, 1959). Tentu saja, segala sesuatu yang
mengarah ke disintegrasi nasional harus dicegah.
Dari berbagai berita dari sumber terpercaya seperti surat kabar, televisi, dan situs online yang
terdaftar resmi di Dewan Pers, dapat dilihat bahwa bibit-bibit perpecahan di masyarakat akibat
pemilu dan pilkada, selama lima tahun terakhir ini sudah mulai muncul. Mengutip berita dari
BBC News Indonesia, tanggal 26 April 2019 dengan judul "Politik identitas: Pilpres 2019
ungkap potensi keretakan sosial di masyarakat", perpecahan di masyarakat sangat terlihat dan
dirasakan oleh anggota masyarakat.
Dalam berita tersebut, masyarakat yang diwawancarai menceritakan pengalamannya akan akibat
dari panasnya kontestasi politik dalam pilkada dan pemilu terhadap kehidupan sosial mereka.
Salah satu warga yang diwawancarai adalah warga Jakarta Selatan, Nursyamsiah. Ia menuturkan
bahwa ia pernah mendapatkan penghakiman secara kasar dan juga kecaman serta sebutan "kafir"
dari teman dan keluarganya hanya karena berbeda pilihan capres.
Warga Surabaya bernama Zabidi juga menuturkan pengalamannya bahwa terjadi saling
mengumpat di kalangan keluarga besarnya di Madura hanya karena perbedaan pilihan capres.
Sedangkan Asro, warga asal Padang Panjang, Sumatra Barat mendapatkan hujatan dari teman-
temannya, dan bahkan tokoh intelektual dan tokoh agama karena ia mengeluarkan opini di media
sosial bahwa tidak perlu menjelek-jelekkan capres dan cawapres dari kubu yang berseberangan
dengan yang didukung.
Berdasarkan hasil survei lembaga survei Polmark pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2018,
diketahui terhdapay 5.7% responden yang mengatakan bahwa ada kerusakan hubungan
pertemanan pasca Pilkada, meningkat dibandingkan pada survei pasca Pilpres 2014 dimana
terdapat 4.3% responden yang mengatakan bahwa ada rusaknya hubungan pertemanan.
Meskipun angkanya belum terlihat signifikan, namun hal ini perlu diwaspadai karena terjadi
peningkatan sehingga berpotensi menyebabkan dampak yang jauh lebih besar kedepannya.
Dari pengamatan langsung yang dilakukan oleh media-media terpercaya, riset dari lembaga
survei, serta pengalaman penulis dalam bermedia sosial, dapat diketahui bahwa pemilu ini telah
memberikan banyak dampak negatif terhadap kondisi masyarakat. Mengkafirkan, mengumpat,
dan menghakimi satu sama lain, menunjukkan bahwa dampak yang berbahaya dari pemilu ini
yaitu lunturnya rasa kemanusiaan yang dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat. Bahkan
teman dan keluarga sendiri pun tidak dianggap sebagai sesama manusia hanya karena
mendukung capres yang berbeda. Kondisi ini sangat berbahaya bagi perkembangan bangsa
Indonesia kedepannya karena beresiko menyebabkan suatu disintegrasi nasional.
Dari pengamatan langsung yang dilakukan oleh media-media terpercaya, riset dari lembaga
survei, serta pengalaman penulis dalam bermedia sosial, dapat diketahui bahwa pemilu ini telah
memberikan banyak dampak negatif terhadap kondisi masyarakat. Mengkafirkan, mengumpat,
dan menghakimi satu sama lain, menunjukkan bahwa dampak yang berbahaya dari pemilu ini
yaitu lunturnya rasa kemanusiaan yang dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat. Bahkan
teman dan keluarga sendiri pun tidak dianggap sebagai sesama manusia hanya karena
mendukung capres yang berbeda. Kondisi ini sangat berbahaya bagi perkembangan bangsa
Indonesia kedepannya karena beresiko menyebabkan suatu disintegrasi nasional.
Elite partai politik seringkali mengeluarkan pernyataan yang tidak etis dan cenderung provokatif.
Seperti contoh ajakan untuk melakukan aksi "people power" yang cenderung mengarah ke
kegiatan makar, polarisasi antara "partai Allah" dan "partai setan", penggunaan istilah cebong
dan kampret, aksi kebohongan tentang pengeroyokan aktivis Ratna Sarumpaet, serta isu-isu
negatif lain terutama yang menyinggung SARA yang dikeluarkan oleh elite parpol dan juga
calon presiden dan wakil presiden itu sendiri tentu menyebabkan masyarakat awam yang
mendukung menjadi mudah terprovokasi. Semua hal ini tentu melunturkan rasa kemanusiaan
karena merendahkan pihDapat disimpulkan bahwa penyebab polarisasi di masyarakat yang
terjadi akibat proses persaingan tidak sehat antar pihak yang bertanding dalam pemilu, yang
cenderung menggunakan cara black campaign dan negative campaign, strategi politik identitas
dan paham sektarian sehingga menimbulkan kebencian antarwarga masyarakat yang berbeda
pilihan.ak yang berseberangan.
Kecenderungan adanya politik identitas di masyarakat ini dipelihara oleh beberapa elite politik
dan tokoh masyarakat tertentu dengan tujuan membentuk basis pemilih yang militan, sehingga
cukup langgeng bersirkulasi di masyarakat. Untungnya, saat ini belum terlambat untuk
mengurangi atau menghapus kecenderungan tersebut, namun dibutuhkan sekali usaha bersama
dari masyarakat, tokoh agama, politik, dan pemerintah untuk menyatukan kembali masyarakat
yang telah terpecah akibat pemilu.Ngerang, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Anggota
Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, ada beberapa persoalan yang akan dihadapi Bawaslu ke
depan pasca Pemilu 2019.
Rahmat yang menjabat Koordinator Divisi (Kordiv) Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu
mengaku masih menduga bagaimana bentuk penanganan sengketa pemilu mendatang. Sebab
menurutnya, yang dimaksud sengketa pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum yakni hanya disebutkan mediasi dan ajudikasi tanpa dijelaskan secara detail bagaimana
teknis pelaksanaannya.
3.Penyelesaian
Bagja menambahkan, pihaknya sudah menyusun aturan teknis pelaksanaan proses sengketa
berupa mediasi dan ajudikasi dalam Peraturan Baawaslu Nomor 18 Tahun 2018 tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
1. Selaku salah satu pimpinan Bawaslu, Bagja mengakui proses penyelesaian sengketa
masih banyak kekurangan. Dia mencontohkan, belum adanya penjelasan proses sengketa
pemilu secara detail oleh UU Pemilu. "Oleh sebab itu, Bawaslu akan mengevaluasi
terkait proses penyelesaian sengketa pemilu," imbuh dia.
2. Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin menambahkan, salah satu upaya Bawaslu
menyelesaikan proses sengketa yakni mencari titik temu dari persoalan yang diajukan
sebelum masuk ke proses persidangan. Dirinya pun mencontohkan mediasi selama tiga
hari dalam kasus PKPI.
"Dalam mediasi prosesnya masih berlangsung lentur. Kalau sudah masuk sengketa prosesnya
panjang," jelasnya.
Afif yang menjabat Koordiv Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu itu berharap, apabila Bawaslu
menjadi peradilan pemilu terealisasi, maka majelis sidangnya tidak selalu berlatar belakang
sarjana hukum. Sebab dia yakin, persoalan teknis pemilu soal keterampilan lapangan.
Karena itu, dia menjabarkan Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu sudah menyiapkan
sekolah kader pengawasan yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) dan sudah dilakukan di 100 kabupaten/kota.
3 .Seda ngkan Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menyoroti soal penyusunan proses
penanganan sengketa. Baginya, Bawaslu harus beberapa kali mengalami perbaikan. "Itu
menunjukkan bahwa Bawaslu mau belajar bagaimana menyusun mekanisme proses
sengketa pemilu yang ideal," imbuhnya.
Fritz yang menjaat Kordiv Hukum itu mengungkapkan, Bawaslu ke depan berencana melakukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Fritz beralasan, banyak hal tidak sinkron antara UU Pilkada dengan UU Pemilu. Jika dibiarkan,
menurutnya dikhawatirkan dapat menyulitkan kerja-kerja pengawasan dan penanganan
pelanggaran dalam Pilkada Serentak 2020.
Daftar Puataka
DISINTEGRASI
OLEH
REGINA VIRATIKA
201601131