Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

TEKNOLOGI FARMASI STERIL


BAHAN PEMBANTU PEMBUATAN
SEDIAAN INJEKSI

Disusun Oleh

Dwi Putri Lestarina 61608100816015


Dwinda Agristia 61608100816016
Elisa Siahaan 61608100816017
Eliy Sukaesih 61608100816018
Erika Putri Aidia 61608100816019
Erista Septriana 61608100816020

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


STIKes MITRA BUNDA PERSADA BATAM
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkatnya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Bahan Pembantu
Pembuatan Sediaan Injeksi”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh bantuan dari berbagai pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu yang telah membimbing
untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak lain yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan -
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan kepada para pembaca pada umumnya dan kepada penulis pada
khususnya.

Batam, 16 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
1.4 Manfaat .................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
2.1 Definisi Sediaan Parental ....................................................................... 3
2.2 Klasifikasi Sediaan Strelil ...................................................................... 5
2.3 Contoh Sediaan di Pasaran Berdasarkan Klasifikasi ............................. 7
2.4 Maca-macam Cara Penyuntikan ............................................................ 9
2.5 Formula Umum dan Penjelasan ............................................................. 10
2.5.1 Zat Aktif ........................................................................................ 11
2.5.2 Bahan Pembawa Obat Suntik ........................................................ 12
2.5.3 Bahan Pembantu / Zat Tambahan ................................................. 15
2.6 Cara Pembuatan ..................................................................................... 21
2.6.1 Metode Pembuatan ........................................................................ 21
2.6.2 Prosedur Pembuatan ...................................................................... 22
2.6.3 Cara-Cara Sterilisasi ..................................................................... 27
2.7 Evaluasi Sediaan ................................................................................... 29
2.7.1 Evaluasi Fisika ............................................................................. 29
2.7.2 Evaluasi Biologi .......................................................................... 30
2.7.3 Evaluasi Kimia ............................................................................ 31
2.8 Wadah ................................................................................................. 31
2.9 Penandaan ........................................................................................... 32
2.10 Pengemasan dan Penyimpanan ......................................................... 33
BAB III Penutup .................................................................................................... 34
3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 35
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat suntik didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen
yang dimaksudkan unutk diberikan secara parenteral. Istilah parenteral seperti
yang umum digunakan, menunjukkan pemberian lewat suntikkan. Salah satu
bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan dengan
cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat suntik.
Suatu sediaan parenteral harus steril karena sediaan ini unik yang
diinjeksikan atau disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa ke dalam
kompartemen tubuh yang paling dalam. Sediaan parenteral memasuki
pertahanan tubuh yang memiliki efesiensi tinggi yaitu kulit dan membran
mukosa sehingga sediaan parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba
dan bahan-bahan beracun dan juga harus memiliki kemurnian yang dapat
diterima.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu sediaan injeksi ?
2. Apa saja klasifikasi dari bentuk sediaan injeksi ?
3. Apa saja contoh sediaan di pasaran berdasarkan klasifikasi.
4. Bagaimana formula umum dan penjelasannya?
5. Bagaimana cara pembuatan sediaannya ?
6. Apa saja evaluasi sediaan yang dilakukan?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sediaan injeksi
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari bentuk sediaan injeksi
3. Untuk mengetahui contoh sediaan di pasaran berdasarkan klasifikasi
4. Untuk mengetahui formula umum dan penjelasannya
5. Untuk mengetahui cara pembuatan sediaannya
6. Untuk mengetahui evaluasi sediaan yang dilakukan

1.4 Manfaat
Dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam
memahami lebih lanjut mengenai sediaan steril injeksi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sediaan Parenteral


Sediaan parenteral yaitu sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut
atau dapat dikatakan obat dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna
(langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan
langsung sampai sasaran. Misal suntikan atau insulin. Injeksi dan infus
termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara parentral. Injeksi dapat
berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam
cairan, maka dibuat dalam bentuk sediaan kering. Apabila mau dipakai baru
ditambahkan aqua steril untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi.
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk
yang harus dilakukan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan
secara parenteral, suntikan dengan cara menembus, atau merobek jaringan ke
dalam atau melalui kulit atau selaput lendir.Pembuatan sediaan yang akan
digunakan untuk injeksi harus hati-hati untuk menghindari kontaminasi
mikroba dan bahan asing. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
mensyaratkan pula tiap wadah akhir injeksi harus diamati satu persatu secara
fisik. Kemudian, kita harus menolak tiap wadah yang menunjukkan
pencemaran bahan asing yang terlihat secara visual.
Bentuk suatu obat yang dibuat sebagai obat suntik tergantung pada sifat
obat sendiri dengan memperhitungkan sifat kimia dan fisika serta
pertimbangan terapetik tertentu. Pada umumnya, bila obat tidak stabil
didalam larutan, maka obat tersebut harus membuatnya sebagai serbuk kering
yang bertujuan dibentuk dengan penambahan pelarut yang tepat pada saat
akan diberikan. Cara lainnya adalah membuatnya dengan bentuk suspensi
partikel obat dalam pembawa yang tidak melarutkan obat. Bila obat tidak
stabil dengan adanya air, maka pelarut dapat diganti sebagian atau seluruhnya
dengan pelarut yang tepat untuk obat agar stabil. Bila obat tidak larut dalam
air, maka obat suntik dapat dibuat sebagai suspensi air atau larutan obat

3
dalam pelarut bukan air, seperti minyak nabati. Bila larutan air yang
diinginkan, maka dapat digunakan garam yang dapat larut dari obat yang
tidak larut untuk memenuhi sifat-sifat kelarutan yang diisyaratkan.
Larutan air atau larutan yang bercampur dengan darah dapat disuntikan
langsung kedalam aliran darah. Cairan yang tidak bercampur dengan darah,
seperti obat suntik berminyak atau suspensi, dapat menghambat aliran darah
normal dalam sistem peredaran darah dan umumnya digunakan terbatas
untuk pemberian bukan intravena.Waktu mulai dan lamanya obat dapat diatur
sesuai dengan bentuk kimia obat yang digunakan. Keadaan fisik obat suntik
(larutan atau suspensi), dan pembawa yang digunakan. Obat yang sangat larut
dalam cairan tubuh umumnya paling cepat diabsorbsi dan mula kerjanya
paling cepat. Artinya, obat dalam larutan air mempunyai mula kerja yang
lebih cepat dari pada obat dalam larutan minyak. Alasanya adalah sediaan
dalam air lebih mduah bercampur dengan cairan tubuh sesudah disuntikkan
dan kemudian kontak partikel obat dengan cairan tubuh menjadi lebih cepat.
Kita seringkali, membutuhkan kerja obat yang lebih panjang untuk
mengurangi pengulangan pemberian suntikan. Jenis suntikan dengan kerja
yang panjang biasa disebut jenis sediaan “depot” atau “repository”. Dalam
pembuatan obat suntik, syarat utamanya ialah obat harus steril, tidak
terkonaminasi bahan asing, dan disimpan dalam wadah yang menjamin
sterilitas.
Infus intravenous adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan
langsung ke dalam vena dalam volume relatif banyak. Emulsi dibuat dengan
air sebagai fase luar. Diameter fase dalam tidak lebih dari 5 μm. kecuali
dinyatakan lain, infus intravenous tidak diperbolehkan mengandung
bakterisida dan zat dapar. Larutan untuk infus intravenous harus jernih dan
praktis bebas partikel. Emulsi untuk infus intravenous setelah dikocok harus
homogen dan tidak menunjukkan pemisahan fase (FI edisi III). Larutan
intravena volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan
dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 ml (FI IV).

4
2.2 Klasifikasi Sediaan Steril
a. Larutan Air
Merupakan bentuk yang paling sederhana dan banyak digunakan. Bentuk
larutan air dapat digunakan untuk semua rute pemberian.
b. Suspensi Air
Suspensi biasanya diberikan dalam rute intramuskular dan subkutan.
Suspensi tidak pernah diberikan secara intravena, intraarteri, inraspinal,
inracardiac, atau injeksi optalmik. Partikel pada pada suspensi harus
kecil dn distribusi ukuran partikel harus dikontrol untuk meyakinkan
partikel dapat melewati jarum suntik. Ukuran partikel suspensi biasanya
kecil dan distribusi ukuran paetikel harus dikontrol untuk meyakinkan
partikel dapat melewati jarum suntik saat pemberian, ukuran partikel
tidak boleh meningkat dan tidak terjadi cracking saat penyimpanan.
c. Suspensi Minyak
Injeksi suspensi bisa juga dibuat dalam pembawa minyak, meskipun
pembuatannya lebih jarang dibanding suspensi air. Suspensi minyak
dapat menimbulkan efek depot atau lepas lambat pada rute pemberian
IM.
d. Injeksi Minyak
Senyawa yang bersifat lipofilik banyak yang dibuat dalam bentuk injeksi
minyak. Sediaan ini secara umum digunakan dengan rute IM, dan pada
keadaan normal tidak digunakan untuk rute lain.
e. Emulsi
Zat yang bersifat lipofilik juga dapat dibuatdalam bentuk emulsi o/w. Zat
dapat dilarutkan dalam larutan minyak atau zatnya sendiri sudah
berbentuk minyak. Droplet minyak harus dikontrol dengan hati-hati dan
pada saat penyimpanan emulsi tidak akan pecah. Ukuran droplet ideal 3
mikrometer. Biasanya dalam bentuk nutrisi parenteral.
f. Larutan Koloidal
Koloid adalah suatu campuran zat heterogen (dua fase) antara dua zat
atau lebih di mana partikel-partikel zat yang berukuran koloid (fase

5
terdispersi/yang dipecah) tersebar secara merata di dalam zat lain
(medium pendispersi/ pemecah). Dimana di antara campuran homogen
dan heterogen terdapat sistem pencampuran yaitu koloid, atau bisa juga
disebut bentuk (fase) peralihan homogen menjadi heterogen. Campuran
homogen adalah campuran yang memiliki sifat sama pada setiap bagian
campuran tersebut, contohnya larutan gula dan hujan. Sedangkan
campuran heterogen sendiri adalah campuran yeng memiliki sifat tidak
sama pada setiap bagian campuran, contohnya air dan minyak, kemudian
pasir dan semen.Ukuran partikel koloid berkisar antara 1-100 nm.
Ukuran yang dimaksud dapat berupa diameter, panjang, lebar, maupun
tebal dari suatu partikel. Biasanya diberikan melalui rute intramuscular.
g. Sistem pelarut campur
Banyak kondisi klinik dimana penting suatu zat dibuat dalam bentuk
larutan sejati, agar siap bercampur dengan larutan IV ketika diberikan.
Untuk zat yang sukar larut dalam air, maka selain digunakan dalam
bentuk garam atau diformulasi dalam pH tinggi atau rendah, beberapa
zat dapat pula diformulasi dalam pelarut campur. Kosolvent digunakan
untuk menurunkan polaritas pembawa sehingga zat lebih larut.
Pemilihan kosolvent terbatas oleh toksitas.
h. Larutan terkonsentrasi
Berupa konsentrat dan diberikan dengan dilarutkan dahulu di dalam
larutan intravena.
i. Serbuk untuk injeksi
Beberapa zat yang tidak stabil dalam air, sehingga dibuat dalam bentuk
serbuk untuk injeksi. Sediaan ini bisa berupa serbuk ‘dry filled’ atau
serbuk liofilisasi (‘freeze dried’).
j. Implant
Biasanya berupa hormon dan diberikan dengan maksud pemberian
lambat, ditunda atau dikontrol, dimana pemberian tidak dapat dilakukan
secara oral.

6
2.3 Contoh Sediaan di Pasaran Berdasarkan Klasifikasi
a. Bentuk sediaan injeksi kering (BCG).

b. Bentuk sediaan implant triclofem.

c. Bentuk sediaan injeksi larutan Lidokain.

d. Bentuk sediaan suspensi Kenacort-injeksi A.

e. Bentuk sedian injeksi impan + suspensi basis air.

7
f. Sediaan injeksi larutan terkonsentrasi taionil milan roche.

g. Sediaan injeksi emulsi vit K

h. Sediaan injeksi suspensi dalam minyak PENSTREP 5 GRAM.

i. Sedian bentuk suspensipropofol 200 mg in 20ml.

j. Serbuk injeksi kering

8
2.4 Macam-Macam Cara Penyuntikan

a) Injeksi intrakutan atau intradermal (i.k / i.c)


Dimasukkan ke dalan kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosa.
misalnya deteksi alergi terhadap suatu zat/obat. Volume yang
disuntikkan antara 0,1 – 0,2 ml.
b) Injeksi subkutan (s.k / s.c) atau hipodermik
Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveola. Volume
yang disuntikkan tidak lebih dari 1 mL. Umumnya larutan bersifat
isotonis, sedang pH netral, bersifat depo (absorbsinya lambat). Dapat
diberikan dalam jumlah besar ( volume 3-4 liter/hari de3ngab
penambahan enzim hialuronudase), bila pasienm tersebut tidak dapat
diberikan infus intravena. Cara ini disebut “Hipodermaklisa”.
c) Injeksi intramuskular (i.m)
Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan jaringan/ otot. Injeksi dalam
bentuk larutan, suspensi atau emulsi dapat diberikan dengan cara ini.
Yang berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi
atau suspensi diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek
lama. Volume penyuntikan antara 4-20 ml, disuntikan perlahan-lahan
untuk mencegah rasa sakit.
d) Injeksi intravenus (i.v)
Disuntikkan langsung kedalam pembuluh darah vena. Bentuknya berupa
larutan, sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh, sebab akan
menyumbat pembuluh darah vena. Dibuat isotonis, kalau terpaksa dapat
sedikit hipertonis maka disuntiknya lambat/ perlahan-lahan dan tidak
memperngaruhi sel darah, volume antara 1-10 mL. Jika dosis tunggal
dan diberikan lebih dari 15 mL, tidak boleh mengandung bakterisida,
dan jika lebih dari 10 mL harus bebas pirogen. Pemberian lebih dari 10
mL umumnya disebut infus intravena/ infusi/infundabilia.
e) Injeksi intraarterium (i.a)
Disuntikkan kedalam pembuluh darah arteri/perifer/tepi, volume yang
disuntikkan 1-10 mL .Tidak boleh mengandung bakterisida.

9
f) Injeksi intrakor/ intrakardial (i.kd)
Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventrikulus, Tidak
boleh mengandung bakterisida,disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
g) Injeksi intratekal (it), intraspinal (i.s), intradural (i.d) , subaraknoid.
Disuntikkan langsung ke dalam saluran sum-sum tulang belakang pada
dasar otak (antara 3-4 atau 5-6 lumba vertebra) yang berisi cairan
cerebrospinal. Berupa larutan, harus isotonis, harus benar-benar steril,
bersih sebab jaringan syaraf di daerah ini sangat peka.
h) Injeksi intratikulus
Disuntikkan ke dalam cairan sendi dalam rongga sendi. Bentuk suspensi
/ larutan dalam air.
i) Injeksi subkonjungtiva
Disuntikkan ke dalam selaput lendir di mata bawah. Berupa suspensi /
emulsi tidak lebih dari 1 mL.
j) Injeksi intrabursa
Disuntikkan kedalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam
bentuk larutan susupensi dalam air.
k) Injeksi intraperitoneal (i.p)
Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat : bahaya
infeksi besar.
l) Injeksi peridural (p.d), ekstra dural, epidural.
Disuntikkan ke dalam ruang epidura, terletak di atas durameter, lapisan
penutup terluar dari otak dan sum-sum tulang belakang.

2.5 Formula Umum dan Penjelasan


R/ Zat aktif Pembawa
Zat tambahan
 Zat tambahan ini dapat berupa :
 Pengatur tonisitas
 Pengatur pH ( dapar )
 Pengawet

10
 Antioksidan
 Anestetik lokal
 Zat pengompleks
 Suspending agent

2.5.1 Zat Aktif


Data zat aktif yang diperlukan (Preformulasi)
1. Kelarutan (Buku Penuntun Praktikum Benny Logawa hal 9)
Terutama data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan,
karena bentuk larutan air paling dipilih pada pembuaan sediaan
steril. Data kelarutan ini diperlukan untuk menentukan bentuk
sediaan. Zat aktif yang larut air membentuk sediaan larutan dalam
air, zat aktif yang larut minyak dibuat larutan dalam pembawa
minyak. Sedangkan zat yang tidak larut dalam kedua pembawa
tersebut dibuat sediaan suspensi. Jika zat aktif tidak larut dalam
air ada beberapa alternatif yang dapat diambil sebelum
memutuskan untuk membuat sediaan suspensi atau larutan
minyak yaitu dengan mencari bentuk garam dari zat aktif,
melakukan reaksi penggaraman, atau dicari bentuk kompleksnya.
2. pH stabilitas (Buku Penuntun Praktikum Benny Logawa hal 10)
pH stabilitas adalah pH dimana penguraian zat aktif paling
minimal, sehingga diharapkan kerja farmakologinya optimal. pH
stabilitas dicapai dengan menambahkan asam encer (spt: HCl
encer, asam bikarbonat), basa lemah atau dapar isotonis (sepett:
fosfat, sitrat, dan lain-lain).
3. Stabilitas zat aktif (Buku Penuntun Praktikum Benny Logawa hal
11) Data ini membantu menentukan jenis sediaan, jenis bahan
pembawa, metoda sterilisasi atau cara pembuatan. Beberapa factor
yang mempengaruhi penguraian zat aktif adalah:
a. Oksigen (Oksidasi)
Pada kasus ini, setelah air dididihkan maka perlu dialiri gas

11
nitrogen dan ditambahkan antioksidan.
b. Air (Hidrolisis)
Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih alternatif : (a)
Dilakukan penambahan asam/basa atau buffer untuk
mencapai pH stabilitas Z.A; (b) Memilih jenis pelarut dengan
polaritas lebih rendah daripada air, seperti campuran pelarut
air-gliserin-propilenglikol atau pelarut campur lainnya yang
cocok; (c) Dibuat dalam bentuk kering dan steril yang
dilarutkan saat disuntikkan.
c. Suhu
Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi tahan
panas, seperti filtrasi.
d. Cahaya
Pengaruh cahaya matahari dihindari dengan penggunaan
wadah berwarna cokelat.
4. Tak tersatukannya zat aktif, Baik ditinjau dari segi kimia, fisika,
atau farmakologi.
5. Dosis, Data ini menentukan tonisitas larutan dan cara pemberian.
6. Rute pemberian (Lachman Parenteral, 1992, hal:174) Rute
pemberian yang akan digunakan akan berpengaruh pada formulasi,
dalam hal: Volume maksimal sediaan yang dapat diberikan pada
rute tersebut (Lihat datanya pada bagian rute pemberian).
Pemilihan pelarut disesuaikan dengan rute pemberian Isotonisitas
dari sediaan juga dipengaruhi oleh rute pemberian. Pada larutan
intravena isotonisitas menjadi kurang penting selama pemberian
dilakukan dengan perlahan untuk memberikan waktu pengenceran
dan ’adjust’ oleh darah. Injeksi intraspinal mutlak harus isotonis.

2.5.2 Bahan Pembawa Obat suntik


Bahan pembawa injeksi dapat berupa air maupun non air
a. Pembawa Air

12
Sebagian besar produk parenteral menggunakan pembawa air. Hal
tersebut dikarenakan oleh kompatibilitas air dengan jaringan
tubuh. Pembawa air dapat digunakan untuk berbagai rute
pemberian. Air mempunyai konstanta dielektrik tinggi sehingga
lebih mudah untuk melarutkan elektrolit yang terionisasi dan
ikatan hidrogen yang terjadi akan memfasilitasi pelarutan dari
alkohol, aldehid, keton, dan amin (Lachman hal 175). Syarat air
untuk injeksi menurut USP (Diktat Kuliah Teknologi Sediaan
Steril Hal 149) :
 Harus dibuat segar dan bebas pirogen
 Jumlah zat padat terlarut total tidak boleh lebih dari 10 ppm.
 pH antara 5-7
 Tidak mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium dan
amonium, dan karbondioksida.
 Kandungan logam berat terbatas
 Kandungan material organik (spt: tanin, lignin) terbatas
 Jumlah partikel berada pada batas yang diperbolehkan.
Catatan:
1. Air untuk injeksi harus dibuat segar, artinya: air yang telah
selesai diproses, hanya boleh disimpan pada temperature
kamar selama 24 jam (bila tidak langsung digunakan).
Penyimpanan yang lebih lama dapat dilakukan pada
temperature kira-kira 5ºC atau pada suhu tinggi yaitu antara
65-85º untuk mencegah pertubuhan jasad renik dan
pembentukan pirogen.
2. Persyaratan kadar total zat padat terlarut pada air steril untuk
injeksi yang terdapat pada farmakope (FI IV, hal 113)
biasanya lebih tinggi kemungkinan terjadinya pelepasan
konstituen wadah gelas selama sterilisasi.
3. Air untuk injeksi yang sudah mengandung zat bakteriostatik
tidak boleh dijual dalam wadah yang lebih besar dari 30 ml

13
untuk mencegah kemungkinan masuknya zat bakteriostatik
yang mungkin toksik dalam jumlah yang besar ke dalam
tubuh.
a. Air Pro Injeksi
Aqua steril Pro Injeksi adalah air untuk injeksi yang
disterilisasi dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak
mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan
lainnya (Monografi aqua p.i :FI IV hal. 112-113 ).
Cara : Aqua p.i + karbon aktif 0,1% dari volume,
dipanaskan 60-70ºC selama 30 menit, kemudian saring
panas-panas dengan kertas saring lapis ganda. Tidak
boleh menggunakan Aqua DM karena ada zat-zat
organik yang tidak bermuatan dapat lolos,ditanggulangi
dengan filtrasi karbon adsorben dan filtrasi bakteri
b. Air Pro Injeksi Bebas CO2
CO2 mampu menguraikan garam natrium dari senyawa
organic seperti barbiturate dan sulfonamide kembali
membentuk asam lemahnya yang mengendap. Cara
pembuatan : Mendidihkan air p.i selama 20-30 menit lalu
dialiri gas nitrogen sambil didinginkan. (Rep. Tek Fa.
Steril hal 4)
c. Air Pro Injeksi Bebas O2
Dibuat dengan mendidihkan air p.i selama 20-30 menit
dan pada saat pendinginannya dialiri gas nitrogen
Dipakai untuk melarutkan zat aktif yang mudah
teroksidasi, seperti apomorfin, klorfeniramin,
klorpromazin, ergometrin, ergotamine, metilergotamin,
proklorperazin, promazin, promesatin HCl, sulfamidin,
turbokurarin. (Rep. Tek Fa. Steril hal 4)
b. Pembawa Non Air
Pembawa non air digunakan jika (Rep. Tek Fa. Steril hal 5):

14
 Zat aktif tidak larut dalam air
 Zat aktif terurai dalam air
 Diinginkan kerja depo dalam sediaan
Syarat umum pembawa non air (Diktat Kuliah Teknologi Sediaan
Steril Hal 153):
 Tidak toksik, tidak mengiritasi dan menyebabkan tidak
menyebabkan sensitisasi
 Dapat tersatukan dengan zat aktif
 Inert secara farmakologi
 Stabil dalam kondisi di mana sediaan tersebut biasa
digunakan
 Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat
disuntikan dengan mudah
 Harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar
 Mempunyai titik didih yang tinggi sehingga dapat dilakukan
sterilisasi dengan panas
 Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh

2.5.3 Bahan Pembantu / Zat Tambahan


Zat tambahan pada sediaan steril digunakan untuk :
 Meningkatkan kelarutan zat aktif
 Menjaga stabilitas zat aktif
 Menjaga sterilitas untuk sediaan multiple dose
 Mempermudah dan menjaga keamanan pemberian
Syarat bahan tambahan :
 Inert secara farmakologi, fisika, maupun kimia
 Tidak toksik dalam jumlah yang diberikan
 Tidak mempengaruhi pemeriksaan obat

a. Pengatur Tonisitas

15
Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi
dalam sel darah merah sehingga tidakterjadi pertukaran cairan di
antara keduanya, maka larutan tersebut dikatakan isotonis
(ekivalendengan 0,9% NaCl) (B. Logawa dan S. Noerono, Rep.
TekFar Sedian steril )Sel darah merah dalam larutan:
hipotonis : mengembang kemudian pecah, karena air berdifusi
kedalam sel (hemolisis). Keadaan hipotonis kurang dapat
ditoleransi, karena pecahnya sel bersifat irreversibel.
hipertonis : kehilangan air dan mengkerut (krenasi), keadaan ini
cukup dapat ditoleransi.
Larutan perlu isotonis agar:
 Mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi
 Mengurangi hemolisis sel darah
 Mencegah ketidakseimbangan elektrolit
 Mengurangi sakit pada daerah injeksi (Lachman, Teori &
Praktek, ed. 3, 1994, hal. 1302)
Larutan isotonis tidak selalu mungkin karena:
 Konsentrasi obat tinggi, tetapi batas volume injeksi kecil
 Variasi dosis pemberian
 Metode pemberian
 Pertimbangan stabilitas produk
Contoh pengatur tonisitas (pada keadaan hipotonis)
NaCl 0,9 %, Glukosa, Natrium Sitrat, Natrium Sulfat 1,6 % ,
Dekstrosa 5,5 %.

b. Pengatur pH ( dapar)
Pengaturan pH sediaan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu adjust
pH dan pemakaian dapar.
Dapar (lachman parenteral, hal 194):Perubahan pH pada
penyimpanan dapat disebabkan:
 Reaksi degradasi produk

16
 Interaksi dengan komponen wadah (kaca atau tutup karet)
 Pelarutan gas dan uap
Tujuan Dapar (Rep. Tek. Far. Sed. Steril hal 19-20)
 Meningkatkan stabilitas obat Ket : pada pH tertentu
penguraian obat menjadi minimal, misalnya pada zat aktif
berikut : antibiotik (penisilin, tetrasiklin), basa sintetis
(adrenalin), polipeptida (insulin,oksitocin,vasopresin),
alkaloida (senyawa ergot), vitamin (B12, vit C).
 Mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis saat penggunaanya.
Ket : penambahan larutan dapar dalam larutan ini hanya
dilakukan untuk larutan obat suntik dengan pH 5,5 – 7,5.
Untuk pH < 3 atau > 10 sebaiknya tidak didapar karena sulit
dinetralisasikan. Peringatan ini ditujukan terutama untuk
injeksi i.m dan s.c.
Untuk sediaan parenteral volume kecil (<100ml), dapar dapat
dibuat bila pH stabilitas sediaan beradadidalam rentang
(Lachman parenteral, hal 195):
 IV (SVP) = pH 3 -10,5 ; karena darah merupakan
sistem buffer yang baik.
 Rute lain = Ph 4–9
 Menghambat pertumbuhan mikroorganisme Ket : bukan
tujuan dapar yang sebenarnya, tetapi larutan dalam suasana
sangat asam atau sangat basa dapat digunakan untuk
mencapai maksud–maksud tersebut, misalnya injeksi insulin
yang pH nya diatur antara 3 -3,5 tidak membutuhkan
penambahan antimikroba.
 Meningkatkan aktifitas fisiologis obat. Ket : sebagai contoh
dapat diketengahkan misalnya campuran kering dan steril
dapar pH basa dengan zat aktif atau obat yang sifatnya asam
(prokain adrenalin). Campuran kering tersebut baru
dilarutkan dalam air pro injeksi secara aseptis sesaat sebelum

17
digunakan. Jadi tampak bahwa peningkatan pH dilakukan
sampai batas tertentu dimana zat aktif masih stabil dengan
aktifitas fisiologis yang maksimal.
pH ideal dari sediaan adalah 7,4 yang sesuai dengan pH darah,
tetapi hal tersebut tidak selalu dapat dilakukan karena sediaan
harus dibuat pada pH yang mendukung stabilitas dari sediaan
(disesuaikan dengan pH stabilitas zat aktif bukan pH larutan).
Dapar yang ideal memiliki kapasitas dapar yang cukup untuk
menjaga pH sediaan selama penyimpanan, namun
memungkinkan cairan tubuh beradaptasi dengan mudah.
Rentang pH yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh:
 pH > 9 menyebabkan kematian jaringan
 pH < 3 sangat menyakitkan dan menyebabkan
flebitis(Lachman parenteral, hal 195)
Cara penentuan pH :
 Memakai indikator kertas atau indikator larutan universal
baik secara langsung maupun kolorimetri
 Potensiometri, digunakan untuk larutan berwarna
 Dengan perhitungan
Contoh dapar :Dapar fosfat, dapar sitrat, asam asetat / garam pH
3,5-5,7; asam sitrat / garam pH 2,5-6; asamglutamate pH 8,2-10,2.
( Lachman, parenteral dosage form, vol. 1 hal 194).

c. Pengawet
(Lachman, Teori dan Praktek Farmasi Industri, hal. 1298)
Pengawet yang ideal ( Todd R.G Pharmaceutical Handbook ) :
1. Mempunyai aktivitas antimikroba yang tinggi dan
spektrumnya luas, bekerja pada temperatur dan pH yang luas.
2. Mempunyai stabilitas yang tinggi pada range temperatur dan
pH yang digunakan .
3. Tidak toksik pada konsentrasi yang digunakan

18
4. Tersatukan dengan komponen lain dalam sediaan
5. Cepat larut pada konsentrasi yang digunakan
6. Bebas dari bau, rasa, warna
7. Tidak menyebabkan keracunan, karsinogenik, iritan, dan
menyebabkan sensitisasi pada konsentrasi yang digunakan
Penambahan pengawet dapat dilakukan pada :
 Sediaan multidosis (kecuali yang dilarang oleh monografi,
atau ZA bersifat bakteriostatik) Pada sediaan multidosis ada
kemungkinan kontaminasi sediaan pada saat pemakaian
kembali, dan pengawet bekerja secara bakteriostatik.
 Sediaan unit dosis jika tidak dilakukan sterilisasi akhir
(pembuatan aseptik atau dengan filtrasi membrane), karena
ada kemungkinan kontaminasi pada saat pengisian, dll)
sering juga ditambahkan pengawet. (Lachman parenteral hal:
204)
Penambahan pengawet tidak dibenarkan pada:
 Sediaan volume besar (>100ml, misalnya infus)
 Volume injeksi >15mL dosis tunggal, kecuali jika dikatakan
lain
 Sediaan untuk rute2 tertentu yang tidak boleh ditambahkan
antimikroba seperti intra sisternal, epidural, intra thekal, atau
rute lain yang melalui cairan serebrospinal/ retrookulalar
(British pharm., vol II, 2002, hal: 1889)
Contoh Pengawet : ( Lachman, L. Pharm. Dosage Form :
Parenteral Medication. Vol. I, 1992, hal. 194)

d. Antioksidan
Antioksidan digunakan untuk melindungi zat yang peka terhadap
oksidasi. Beberapa antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya
(Lachman, Teori & Praktek, ed. 3, 1994, hal. 1301):
1. Agen Pereduksi

19
Antioksidan ini mempunyai potensial oksidasi rendah
sehingga teroksidasi lebih dahulu dari pada zat aktif.
2. Agen Pemblokir
Antioksidan ini mencegah oksidasi dengan memutuskan
rantai oksidasi.
Contoh :Ester asam askorbat 0,01 – 0,015 %BHA & BHT
0,005 – 0,02 %Vitamin E 0,05 – 0,075 %
3. Zat Sinergis
Bekerja meningkatkan efek antioksidan lainnya terutama
antioksidan agen pemblokir.
Contoh : Vitamin C 0.01 -0.05 %, Asam sitrat 0.005 -0.01 %,
Asam tartrat 0.01 – 0.02 %
4. Pengompleks
Zat ini membentuk kompleks dengan ion-ion logam yang
mengkatalisis reaksi oksidasi sehingga reaksi dapat
diperlambat. Contoh : Garam EDTA 0.01 – 0.075 % Selain
itu juga dapat meningkatkan efektivitas pengawet, seperti
benzalkonium klorida dengan EDTA, serta untuk solubilisasi,
misal : Kofein + Na. benzoate Teofilin + Etilendiamin Kinin
+ Antipirin

b. Suspending Agent ( Lachman, Parenteral)


Digunakan untuk sediaan injeksi suspensi :Contoh :Air : CMC Na.
(0,05 – 0,75 %) HOPE, 2003 hal 97, Tylosa (0,25%), PVP (diatas
5%) HOPE, 2003 hal 508, Sorbitol (10 -25%) IM Minyak :
Alumunium monostearat (2%) Codex hal 95, gelatin (2%),
manitol (50%)

c. Anestetika lokal
Digunakan untuk mengurangi rasa nyeri akibat larutan suntik
yang kental dan larutan senyawa obat yang terlalu asam. Seperti

20
larutan obat suntik streptomycin + 0,5 % prokain HCl. Contoh :
Novokain, Benzil alkohol.

d. Wetting Agent
Digunakan untuk pembasah dan mencegah pertumbuhan kristal.
Bila diperlukan dan hanya untukpelarut air.Contoh : Tween 80,
Propilen glikol, Lecithin, Polioksietilen – Polioksipropilen,
Polisorbat 80, Silikonantibusa, Silikon Trioleat. ( Lachman,
Parenteral hal 214 )

e. Solubilizing Agent
( Lachman, Parenteral hal 214) Contoh : PEG 300, Propilenglikol

2.6 Cara Pembuatan


2.6.1 Metode Pembuatan
Ada dua metode pembuatan sediaan steril yaitu cara sterilisasi akhir
dan cara aseptik.
1. Sterilisasi Akhir
Metode ini merupakan metode yang paling umum dan paling
banyak digunakan dalam pembuatan sediaan steril.
Persyaratannya adalah zat aktif harus stabil dengan adanya
molekul air dan tingginya suhu sterilisasi. Sediaan disterilkan
pada tahap terakhir pembuatan sediaan.
Contoh yang paling banyak digunakan pada metode ini adalah
sterilsasi dengan autoklaf (suhu 121 °C, selama 15 menit).
2. Aseptik
Metode ini biasanya digunakan untuk zat aktif yang sensitif
terhadap suhu tinggi yang dapat mengakibatkan penguraian dan
penurunan kerja farmakologinya. Antibiotika dan beberapa
hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya dikerjakan
secara aseptik. Metode aseptik bukanlah suatu cara sterilisasi
melainkan suatu cara kerja untuk memperoleh sediaan steril

21
dengan mencegah kontaminasi jasad renik dan partikulat dalam
sediaan jadi.
Keterangan :
 Penimbangan zat aktif Zat aktif biasanya ditimbang
dilebihkan sesuai persyaratan yang ada di monografi untuk
mencegah kemungkinan berkurangnya kadar dalam sediaan
akibat proses pembuatan ataupun dalam penyimpanan.
(Contoh : persyaratan kadar zat X = 98-102 %, maka
penimbangan zat aktif dilebihkan 2 %)
 Bebas pirogen Hal ini baru dilakukan jika volume larutan
suntik sebanyak 10 ml atau lebih. Pembebasan pirogen
dilakukan dengan penambahan 0,1 % karbon aktif dihitung
terhadap volume total (b/v), kemudian dipanaskan pada suhu
60-70 °C selama 15 menit sambil sesekali diaduk. Waktu
dihitung setelah suhu mencapai 60-70 °C
 Bebas oksigen atau karbondioksida Hal ini baru dilakukan
jika diperlukan terutama jika zat aktif diketahui peka terhadap
kedua gas tersebut. Pembebasan oksigen atau karbondioksida
dilakukan dengan cara memanaskan air suling selama 30
menit dihitung sejak mendidih kemudian dialiri gas nitrogen
sambil didinginkan.
 Sterilisasi lemari dan ruang Lemari disterilkan dengan uap
formaldehid hasil pemanasan serbuk para-formaldehid dalam
cawan penguap panas yang diletakkan dalam lemari. Ruang
disterilkan dengan sinar UV selama 24 jam sebelum
digunakan.

2.6.2 Prosedur Pembuatan


1. Larutan (Sterilisasi akhir)
Jika zat sensitif terhadap cahaya, maka pengerjaan dilakukan
pada ruang terlindung cahaya, di bawah lampu natrium

22
a. Zat aktif digerus dan ditimbang berlebih sesuai kebutuhan
menggunakan kaca arloji, kemudian dimasukkan ke dalam
gelas piala. Kaca arloji dibilas 2 kali dengan aqua pro injeksi
b. Zat aktif dilarutkan dalam sejumlah tertentu aqua pro injeksi
c. Setelah zat aktif dan semua zat tambahan terlarut, larutan
tersebut kemudian dituang ke dalam gelas ukur sehingga
volume tertentu di bawah volume akhir
d. Kertas saring rangkap 2 yang akan digunakan untuk
menyaring dibasahi sejumlah tertentu aqua pro injeksi
terlebih dahulu, kemudian corong dipindahkan ke erlenmeyer
lain yang telah steril
e. Larutan yang ada di gelas ukur disaring ke dalam labu
erlenmeyer yang telah disiapkan. IPC dilakukan dengan
mengukur pH sediaan. Kekurangan aqua pro injeksi
dituangkan sedikit demi sedikit untuk membilas gelas piala
lalu dituang ke gelas ukur. Air bilasan tersebut kemudian
disaring lagi ke dalam erlenmeyer yang telah berisi filtrat
larutan hingga volume total seluruh larutan genap ... mL
f. Larutan yang telah disaring dituang ke dalam kolom reservoir
melalui membran filter bakteri yang diletakkan di atas glass
filter G5 (ukuran pori-pori 0,45 µm)
g. Larutan dituang ke dalam buret steril kemudian ujungya
ditutup dengan alumunium foil
h. Sebelum diisikan ke dalam wadah, jarum buret dibersihkan
dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70 %. Setiap
wadah diisi dengan larutan ..C.. mL sesuai persyaratan
volume FI IV
i. Ampul/vial yang telah berisi zat aktif, bila diperlukan dialiri
dengan gas nitrogen
j. (Bila wadah ampul) Ampul ditutup dengan api dan
disterilkan menggunakan autoklaf secara terbalik dalam gelas

23
piala yang telah dialasi kapas (121 C selama 15 menit) atau
metode lain yang sesuai.
(Bila wadah vial) Vial ditutup dengan tutup karet lalu di-seal
dengan alumunium cap, kemudian disterilkan menggunakan
autoklaf dalam gelas piala yang telah dialasi kapas (121 C
selama 15 menit) atau metode lain yang sesuai
k. Setelah sterilisasi akhir, dilakukan evaluasi sediaan
l. Sediaan dikemas dalam dus yang sudah diberi etiket dan
disertakan brosur informasi obat.
Pencampuran eksipien dilakukan di awal, dengan cara
melarutkan dahulu eksipien masing2 baru ditambahkan ke dalam
larutan stok

2. Larutan (Metode Aseptik)


Semua pengerjaan pembuatan sediaan dilakukan di bawah LAF,
ruangan kelas 2 (jika zat sensitif terhadap cahaya, maka
pengerjaan dilakukan pada ruang terlindung cahaya, di bawah
lampu natrium)
a. Semua bahan baku (zat aktif + eksipien) yang telah ditimbang
disterilisasi dengan metode yang sesuai
b. Prosedur b-f sama dengan yang tercantum pada metode
sterilisasi akhir
c. Larutan yang telah disaring, dituang ke dalam kolom
reservoir melalui membran filter bakteri yang diletakkan di
atas filter glass G3 (ukuran pori-pori 0,22 µm)
d. Larutan dituang ke dalam buret steril kemudian ujungnya
ditutup dengan alumunium foil
e. Sebelum diisikan ke dalam wadah, jarum buret dibersihkan
dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70 %. Setiap
wadah diisi dengan larutan C mL sesuai persyaratan volume
FI IV

24
f. Ampul/vial yang telah berisi zat aktif, bila diperlukan dialiri
dengan gas nitrogen
g. Dilakukan evaluasi sediaan
h. Sediaan dikemas dalam dus yang sudah diberi etiket dan
disertakan brosur informasi obat .

3. Injeksi Suspensi Kering tanpa granulasi (Sterilisasi Akhir)


Jika zat sensitif terhadap cahaya, maka pengerjaan dilakukan pada
ruang terlindung cahaya, di bawah lampu natrium
a. Zat aktif dan eksipien digerus, kemudian ditimbang sejumlah
yang dibutuhkan
b. Masing-masing zat digerus dan dicampurkan sampai
homogen dalam mortir
c. Campuran sediaan ditimbang dan dimasukkan ke dalam vial
dengan bantuan corong dan zalfkaart
d. Vial ditutup dengan tutup karet lalu di-seal dengan
alumunium cap, kemudian disterilkan dalam autoklaf (121 ºC
selama 15 menit) atau metode lain yang sesuai
e. Setelah sterilisasi akhir, dilakukan evaluasi sediaan
f. Sediaan dikemas dalam dus yang sudah diberi etiket dan
disertakan brosur informasi obat .

4. Injeksi Suspensi Kering tanpa granulasi (Metode Aseptik)


Semua pengerjaan pembuatan sediaan dilakukan di bawah LAF,
ruangan kelas 2 (jika zat sensitif terhadap cahaya, maka
pengerjaan dilakukan pada ruang terlindung cahaya, di bawah
lampu natrium)
a. Zat aktif dan eksipien digerus kemudian ditimbang sejumlah
yang dibutukan lalu disterilisasi dengan metode yang sesuai
b. Campurkan zat aktif dan eksipien dalam mortar steril lalu
gerus sampai homogen

25
c. Campuran diayak melalui ayakan B40
d. Campuran ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam vial
dengan bantuan corong dan zalfkart
e. Vial ditutup dengan karet dan alumunium cap
f. Dilakukan evaluasi sediaan
g. Sediaan dikemas dalam dus yang sudah diberi etiket dan
disertakan brosur informasi obat

5. Injeksi Suspensi dengan Pembawa Air (Metode Aseptik)


a. Suspending agent dikembangkan dengan cara yang sesuai
lalu dicampur dengan eksipien lainnya. Sterilisasi bersama
dalam autoklaf (121 ºC selama 15 menit)
b. Timbang zat aktif, sterilisasi, gerus dalam mortar yang steril
kemudian dicampurkan dengan pembawa yang telah
disterilkan tadi (dalam keadaan dingin) sedikit demi sedikit
sambil digerus
c. Suspensi tersebut dituang ke dalam gelas ukur yang
dilengkapi batang pengaduk dan volume akhir dicapai dengan
penambahan aqua pro injeksi
d. Setelah diaduk homogen, suspensi dituang ke dalam vial
steril yang telah dikalibrasi .

6. Injeksi Suspensi dengan Pembawa Minyak (Metode Aseptik)


a. Suspending agent dicampur bersama minyak kemudian
disterilkan di dalam oven (170 ºC, 30 menit)
b. Timbang zat aktif, sterilisasi, gerus dalam mortar yang steril
kemudian dicampurkan dengan pembawa yang telah
disterilkan tadi (dalam keadaan dingin) sedikit demi sedikit
sambil digerus
c. Suspensi tersebut dituang ke dalam gelas ukur yang
dilengkapi batang pengaduk dan volume akhir dicapai dengan

26
penambahan minyak steril (tanpa suspending agent)
d. Setelah diaduk homogen, suspensi dituang ke dalam vial
steril yang telah dikalibrasi

7. Injeksi Larutan Minyak (Metode Aseptik)


a. Timbang zat aktif, campurkan ke dalam minyak, kemudian
sterilisasi dalam oven (170 C, 30 menit)
b. Campuran tersebut dituang ke dalam gelas ukur yang
dilengkapi batang pengaduk, genapkan volume dengan
penambahan minyak steril
c. Setelah diaduk homogen, suspensi dituang ke dalam vial
steril yang telah dikalibrasi

8. Injeksi Emulsi M/A (Metode Aseptik)


a. Zat-zat larut minyak dicampur dalam minyak dan emulgator
minyak, sterilisasi dalam oven (170 ºC, 30 menit)
b. Zat-zat larut air dicampur dalam aqua pro injeksi dan emulgator
air, sterilisasi dalam autoklaf (121 ºC, 15 menit)
c. Campur dan gerus kedua campuran tersebut pada suhu yang
sama (60-70 ºC) dalam mortar steril
d. Campuran tersebut dituang ke dalam gelas ukur yang
dilengkapi batang pengaduk, genapkan volume dengan
penambahan aqua pro injeksi .
e. Setelah diaduk homogen, suspensi dituang ke dalam vial steril
yang telah dikalibrasi

2.6.3 Cara-Cara Sterilisasi


(FI IV hal.1112-1116, FI III hal 18-19, TPC ed 12 hlm 538-554, diktat
kuliah Tekn. FA Sediaan Steril 55-58,Principles of Sterile Product
Preparation 73-74/PSPP)
1. Sterilisasi uap

27
Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh di bawah
tekanan berlangsung di suatu bejana di sebut autoklaf. Suatu
siklus otoklaf yang ditetapkan dalam farmakope, untuk media atau
pereaksi adalah selama 15 menit, 121oC, kecuali dinyatakan lain.
Prinsip dasar kerja alat : udara di dalam bejana diganti dengan uap
jenuh, dan hal ini dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau
penutup khusus. Faktor yg mpengaruhi desain dan pemilihan
suatu siklus utk produk atau komponen tertentu a.l: ketdkstabilan
panas bahan, pengetahuan ttg penetrasi panas ke dlm bahan,
faktor lain yg tercantum dalam program validasi (FI IV).
2. Sterilisasi panas kering
Proses sterilisasi termal untuk bahan yang tertera di farmakope
dengan menggunakan panas kering biasanya dilakukan dengan
suatu proses bets dalam suatu oven yang didesain khusus untuk
tujuan tersebut. Distribusi panas dapat berupa sirkulasi atau
disalurkan langsung dari suatu nyala terbuka (FI IV).
Sediaan yang akan disterilkan dimasukkan ke dalam wadah
kemudian ditutup kedap atau penutupan ini bersifat sementara
untuk mencegah cemaran. Jika volume dalam tiap wadah tidak
o
lebih dari 30 ml, panaskan pada suhu 150 C selama 1 jam. Jika
volume dalam tiap wadah lebih dari 30 ml, waktu 1 jam dihitung
o
setelah seluruh isi tiap wadah mencapai suhu 150 C. Wadah yang
tertutup sementara, kemudian ditutup kedap menurut teknik
aseptik (FI III).
3. Sterilisasi gas
Pilihan untuk menggunakan sterilisasi gas sebagai alternatif dari
sterilisasi termal sering dilakukan jika bahan yang akan
disterilkan tidak tahan terhadap suhu tinggi pada proses
sterilisasi uap atau panas kering. Bahan aktif yang umumnya
digunakan pada sterilisasi gas adalah etilen oksida. Keburukan

28
dari bahan ini adalah sangat mudah terbakar, bersifat mutagen dan
kemungkinan adanya residu toksik dalam bahan yang disterilkan
terutama yang mengandung ion klorida.
4. Sterilisasi dengan radiasi ion
Untuk yg tahan radiasi tinggi, tidak tahan panas dan kekhawatiran
tentang keamanan etilen oksida. Keunggulan sterilisasi radiasi
meliputi reaktivitas kimia rendah, residu rendah yang dapat diukur
dan kenyataan yang membuktikan bahwa variabel yang
dikendalikan lebih sedikit. Radiasi hanya menimbulkan sedikit
kenaikan suhu, tetapi dapat mempengaruhi kualitas dan jenis
plastik atau kaca tertentu.
5. Sterilisasi dengan penyaringan
Sterilisasi larutan yang labil terhadap panas sering dilakukan
dengan penyaringan menggunakan bahan yang dapat menahan
mikroba, sehingga mikroba yang dikandung dapat dipisahkan
secara fisika.

2.7 Evaluasi Sediaan


2.7.1 Evaluasi Fisika
1. Penetapan pH . (FI ed. IV, hal 1039-1040)
Tujuan: Menetapkan pH suatu sediaan larutan agar sesuai dengan
monografi.
2. Bahan Partikulat dalam Injeksi <751> ( FI> ed IV, hal. 981-984).
Tujuan: Larutan injeksi, termasuk larutan yang dikonstitusi dari
zat padat steril untuk penggunaan parenteral, harus bebas dari
partikel yang dapat diamati pada pemeriksaan secara visual.
3. Penetapan Volume Injeksi Dalam Wadah <1131> (FI ed. IV Hal
1044).
Tujuan: Menetapkan volume injeksi yang dimasukkan dalam
wadah agar volume injeksi yang digunakan tepat atau sesuai
dengan yang tertera pada penandaan. (Volume injeksinya itu

29
harus dilebihkan. Kelebihan volume yang dianjurkan
dipersyaratkan dalam FI IV)
4. Uji keseragaman sediaan (untuk serbuk rekonstitusi, FI IV <911>,
p. 999-1001)
Ada 2 metode, yaitu keseragaman bobot, dan keseragaman
kandungan. Metode diterapkan tergantung pada jenis sediaan.
5. Uji Kebocoran (Goeswin Agus, Larutan Parenteral, hal 192)
Tujuan: memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas
dan volume serta kestabilan sediaan.
6. Uji Kejernihan dan Warna ( Goeswin Agus, Larutan Parenteral,
Hal 201)
Setiap larutan obat suntik harus jernih dan bebas dari kotoran
sehingga diperlukan uji kejernihansecara visual
7. Uji Kejernihan larutan (FI IV <881> hal 998)
Tujuan: Sediaan infus atau injeksi yang berupa larutan harus
jernih dan bebas dari kotoran , maka perlu dlakukan uji kejernihan
secara visual.

2.7.2 Evaluasi Biologi


1. Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba (untuk yang mengandung
pengawet) <61> (FI ed IV, HAL 854-855)
Tujuan: Menunjukan efektivitas pengawet antimikroba yang
ditambahkan pada sediaan dosis ganda yang dibuat dengan dasar
atau bahan pembawa air seperti produk-produk parenteral, telinga,
hidung, dan mata yang dicantumkan pada etiket produk yang
bersangkutan.
2. Uji Sterilitas <71> (FI ed. IV, Hal 855-863)
Tujuan: menetapkan apakah bahan Farmakope yang harus steril
memenuhi persyaratan berkenaandengan uji sterilitas yang tertera
pada masing-masing monografi
3. Uji Endotoksin Bakteri<201> (FI ed. IV, Hal 905-907).

30
Tujuan: untuk memperkirakan kadar endotoksin bakteri yang
mungkin ada didalam atau pada bahan uji.
4. Uji Pirogen (Untuk volume > 10 ml) <231> (FI ed. IV, HAL. 908-
909) .
Tujuan: untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang
dapat diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi
5. Uji Kandungan Zat Antimikroba (untuk yang mengandung
pengawet) <441> (FI ed. IV, Hal 939-942).
Tujuan: untuk menunjukkan bahwa zat yang tertera memang ada
tetapi tidak lebih dari 20% darijumlah yang tertera pada etiket.
6. Uji Potensi Antibiotika (Untuk zat aktif antibiotik) (FI IV <131>
hal 891-899)
Tujuan: untuk mengetahui aktivitas (potensi) antibiotik.

2.7.3 Evaluasi Kimia


1. Uji Identifikasi (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)
2. Penetapan Kadar (Sesuai dengan monografi sediaan masing-
masing).

2.8 Wadah
Wadah untuk injeksi termasuk penutup tidak boleh berinteraksi melalui
berbagai cara baik secara fisik maupun kimiawi dengan sediaan, yang dapat
mengubah kekuatan, mutu atau kemurnian di luar persyaratan resmi dalam
kondisi biasa pada waktu penanganan, pengangkutan, penyimpanan,
penjualan, dan penggunaan. Wadah terbuat dari bahan yang dapat
mempermudah pengamatan terhadap isi. Tipe kaca yang dianjurkan untuk
tiap sediaan umumnya tertera dalam masing-masing monografi. (FI Ed. IV,
hal 10).
Wadah dan sumbatnya tidak boleh mempengaruhi bahan yang disimpan
di dalamnya baik secara kimia maupun secara fisika, yang dapat
mengakibatkan perubahan khasiat, mutu dan kemurniannya. (FI ed. III)

31
Bagaimanapun bentuk dan komposisi wadah, wadah pengemas
merupakan sumber dari masalah stabilitas sediaan, bahan partikulat, dan
sumber pirogen. (Diktat Steril, hal 82)
Keuntungan wadah gelas (Diktat steril, hal 82-99) :
1. Mempunyai daya tahan kimia yang baik sehingga tidak bereaksi dengan
kandungan wadah dan tidak mengabsorbsi atau mengeluarkan senyawa
organik.
2. Bersifat tidak permeable sehingga apabila ditutup dengan baik maka
pemasukan atau hilangnya gas-gas dapat diabaikan.
3. Wadah gelas mudah dicuci karena permukannya licin
4. Bersifat transparan sehingga dapat diamati kandungnnya dalam wadah.
5. Mempunyai sifat kaku, kuat dan bentuknya stabil. Tahan terhadap tusukan
dapat divakumkan, dapat dipanaskan pada suhu 121 ºC pada sterilisasi
uap dan 260 ºC pada sterilisasi kering tanpa mengalami perubahan
bentuk. Kerugian : mudah pecah dan bobotnya relatif berat.
Wadah yang biasa digunakan untuk sedian injeksi adalah berupa vial
atau ampul. Untuk zat aktif yang mudah teroksidasi biasanya digunakan
ampul berwarna gelap (biasanya coklat) untuk melindungi sediaan dari
cahaya.
Gelas tipe I untuk membuat wadah tiup dalam bentuk tabung, misalnya
vial, ampul, badan alat suntik (syringe) dan bagian infus set. Beberapa
sediaan parenteral volume kecil dikemas dalam alat suntik gelas sekali pakai
(disposable one-trip glass syringe).

2.9 Penandaan
Pada etiket tertera nama sediaan, untuk sediaan cair tertera persentase
atau jumlah zat aktif dalam volume tertentu, cara pemberian, kondisi
penyimpanan dan tanggal kadaluarsa, nama pabrik pembuat dan atau
pengimpor serta nomor lot atau bets yang menunjukkan identitas. Nomor lot
dan nomor bets dapat memberikan informasi tentang riwayat pembuatan
lengkap meliputi seluruh proses pengolahan, sterilisasi, pengisian,

32
pengemasan, dan penandaan.
Bila dalam monografi tertera berbagai kadar zat aktif dalam sediaan
parenteral volume besar, maka kadar masing-masing komponen disebut
dengan nama umum misalnya injeksi Dekstrosa 5% atau Injeksi Dekstrosa
(5%).
Bila formula lengkap tidak tertera dalam masing-masing monografi,
Penandaan mencakup informasi berikut :
1. Untuk sediaan cair, persentase isi atau jumlah tiap komponen dalam
volume tertentu, kecuali bahan yang ditambahkan untuk penyesuaian pH
atau untuk membuat larutan isotonik, dapat dinyatakan nama dan efek
bahan tersebut
2. Sediaan kering atau sediaan yang memerlukan pengenceran sebelum
digunakan, jumlah tiap komponen, komposisi pengencer yang dianjurkan,
jumlah yang diperlukan untuk mendapat konsentrasi tertentu zat aktif
dan volume akhir larutan yang diperoleh , uraian singkat pemerian
larutan terkonstitusi, cara penyimpanan dan tanggal kadualarsa.
Pemberian etiket pada wadah sedemikian rupa sehingga sebagian wadah
tidak tertutup oleh etiket, untuk mempermudah pemeriksaan isi secara visual.

2.10 Pengemasan dan Penyimpanan


Volume injeksi wadah dosis tunggal dapat memberikan jumlah tertentu
untuk pemakaian parenteral sekali pakai dan tidak ada yang memungkinkan
pengambilan isi dan pemberian 1 liter. (FI Ed. IV, Hal 11)
Untuk penyimpanan obat harus disimpan sehingga tercegah cemaran dan
penguraian, terhindar pengaruh udara, kelembaban, panas dan cahaya.
Kondisi penyimpanan tergantung pada sediaannya, misalnya kondisi
harus disimpan terlindung cahaya, disimpan pada suhu kamar, disimpan di
tempat sejuk, disimpan di tempat dingin (FI Ed. III)

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat sisimpulkan bahwa:
1. Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk
yang harus dilakukan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum
digunakan secara parenteral, suntikan dengan cara menembus, atau
merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir.
2. Klasifikasi bentuk sediaan injeksi terdiri dari larutan air, suspensi air,
suspensi minyak, injeksi minyak, emulsi, larutan koloidal, sistem pelarut
campur, larutan terkonsentrasi, serbuk untuk injeksi dan implant
3. Contoh sediaan di pasaran berdasarkan klasifikasi: Bentuk sediaan injeksi
kering (BCG), bentuk sediaan implant triclofem, bentuk sediaan injeksi
larutan Lidokain, bentuk sediaan suspensi Kenacort-injeksi A, bentuk
sedian injeksi impan + suspensi basis air, sediaan injeksi larutan
terkonsentrasi taionil milan roche, sediaan injeksi emulsi vit K, sediaan
injeksi suspensi dalam minyak PENSTREP 5 GRAM, sedian bentuk
suspensipropofol 200 mg in 20ml, serbuk injeksi kering
4. Formula umumnya terdiri dari zat aktif dan zat tambahan.
5. Ada dua metode pembuatan sediaan steril yaitu cara sterilisasi akhir dan
cara aseptik.
6. Evaluasi sediaan terdiri dari evaluasi fisika, evaluasi biologi, evaluasi
kimia

34
DAFTAR PUSTAKA

Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia

Soetopo dkk. 2002. Ilmu Resep Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan

Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press

Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press

Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium Nasional edisi II. Jakarta

Van Duin. 1947. Ilmu Resep. Jakarta : Soeroengan

Anief. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM Pres

Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The Parmaceutical


Press, London. 1982.

MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Infomaster.

Departement of pharmaceutical Science. 1982. Martindale the Extra Pharmacoeia


28th edition. London: The Pharmaceutical Press.

35
Badan Pengawas Obat dan Makanan. ISFI. 2006. ISO Indonesia, volume IV.
Jakarta: PT. Anem Kosong Anem (AKA).

Wade, Ainley and Paul J Weller.Handbook of Pharmaceutical excipients.Ed


II.1994.London; The Pharmaceutical Press.

Hardjasaputra, S. L. Purwanto, Dr. dkk. 2002. Data Obat di Indonesia (DOI),


edisi 10. Jakarta: Grafidian medi press.

36

Anda mungkin juga menyukai