Anda di halaman 1dari 31

Makalah Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia “Marsinah”

SEPTEMBER 11, 2014 | HUN.


BAB I PENDAHULUAN
 Latar Belakang
Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia
masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang
menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal
inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain,
kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama dekade
terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan pasti untuk
menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya yang tidak pernah
terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara pasti oleh siapa ia dianiaya dan dibunuh,
kapan dan di mana ia mati pun tak dapat diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993
atau beberapa hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan polisi, pengadilan sekalipun
nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan memuaskan. Kendati hakim telah
memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang tak percaya begitu saja; sementara kunci
kematiannya tetap gelap sampai kini, lebih dari satu dasawarsa berselang.
Barangkali memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini, melainkan jalinan
citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang rumit. Para pembunuh
mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis menyanjungnya sebagai teladan kaum pejuang
buruh. Para aparat pusat dibantu aparat setempat konon merekayasa penyidikan sekaligus membuat
skenario pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu dalam rangkaian pengungkapan kasus
tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi
kegigihannya. Termasuk para seniman yang mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan,
panggaung teater dan seni rupa instalasi; para feminis mengagungkannya sebagai korban
kekerasan terhadap perempuan dan khalayak awam yang prihatin dan simpati memberi sumbangan
bagi keluarganya.
Pada aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak akan banyak tahu
siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak gencar diberitakan oleh media massa.
Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib malang” jutaan buruh perempuan yang menggantungkan
masa depannya pada pabrik-pabrik padat berupah rendah, berkondisi kerja buruk sekaligus tak
terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan artikulasi pembunuhannya menyediakan arena diskursif
bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh,
lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer, kepolisian dan sistem peradilan.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang penegakan HAM
bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya menunjang komitmen
penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan kemajuan ini, pelanggaran HAM
kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena semakin egoisnya manusia dalam pemenuhan hak
masing-masing. Untuk itulah kami menyusun makalah yang berjudul “Kasus Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Di Indonesia – Marsinah”, untuk memberikan informasi mengenai apa itu pelanggaran
HAM diikuti seluk beluk kasus Marsinah.
 Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”, maka masalah
yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.2.1 Apa pengertian pelanggaran HAM ?
1.2.2 Apa saja macam-macam pelanggaran HAM?
1.2.3 Apa contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
1.2.4 Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
 Tujuan
Tujuan kami mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi manusia di Indonesia yaitu :
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian pelanggaran HAM.
1.3.2 Untuk mengetahui macam-macam pelanggaran HAM.
1.3.3 Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di Indonesia.
1.3.4 Mengetahui lebih dalam mengenai terjadinya kasus Marsinah.
1.3.5 Upaya penyelesaian pelanggaran HAM khususnya kasus Marsinah.
 Manfaat
Hasil pembelajaran ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca.
1.4.1 Manfaat bagi penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia.
1.4.2 Manfaat dari pembaca, pengkajian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian atau referensi
tambahan bagi ilmu kenegaraan serta memperkaya informasi.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Menurut Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi
manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan
oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa
ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.
2.2 Klasifikasi Pelanggaran HAM di Indonesia
Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
 Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1. Pembunuhan massal (genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan
tindakan kekerasan. (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).
2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa, pembunuhan,penyiksaan,
perbudakkan dll.
 Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain

2.3 Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia


Kasus Marsinah (1993)
Kasus tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur setempat mengenai
penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah bekerja memilih bergeming. Kondisi
ini memicu geram para buruh.
Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja hingga esok
hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja berdialog dan menyepakati
perjanjian. Intinya mengenai pengabulan permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR.
Sampai di sini sepertinya permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah beres.
Namun esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer
(Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah marah dan tidak terima, ia
berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah
dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan
Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang
dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya
lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha
terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang
sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian
ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke
pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi
Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik
Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung
RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan
bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya kasusnya
kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam dalam
kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman Orde Baru, atas nama stabilitas
keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan, siap menculik,
mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama
kebebasan menyuarakan aspirasi.
2.4 Faktor Penyebab Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Faktor penyebab dari kasus Marsinah yang pertama adalah perussahaan CPS yang tidak mengikuti
himbauan gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun kebijakan kenaikan UMR tersebut
sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi ini memicu geram para pekerjanya sehingga
menyebabkan mereka melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja.
Lalu faktor penyebab kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah menyepakati perjanjian
penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan memberhentikan 13 pekerjanya dengan cara mencari-
cari kesalahan pasca tuntutan kenaikan UMR. Hal ini menjadikan Marsinah penuh amarah.
Fakor yang lain dapat diuraikan sebagai berikut :
Dari segi ekonomi :
1. Terjadi kredit macet
2. Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
3. Banyak perusahaan yang tidak dapat membayar hutangnya
Dari segi politik :
1. Pemimpian saat itu telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya
2. Terjadi kekacauan dan kerusuhan di mana-mana
3. Terjadi perpecahan dalam kubu kabinet Soeharto
 Solusi Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Terkait kasus Marsinah, solusi dari pemerintah sendiri, pemerintah semestinya segera mengusut tuntas
kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai hingga mendapatkan hasil yang nyata, dan menegakkan
tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan hukum di Indonesia sehingga rakyat dapat kembali
mempercayai peranan dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penegakan HAM di
Indonesia.
Sementara solusi dari hasil rangkuman kami sekelompok, adalah adanya kepastian hukum dalam
menjamin keamanan setiap orang. Setiap orang perlu menghargai hak-haknya sendiri dan hak orang
lain.
2.6 Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia
1) Periode tahun 1945 – 1950 Di periode ini, pemikiran HAM masih menekankan pada hak merdeka,
hak bebas berserikat, serta hak bebas menyampaikan pendapat. Pemikiran HAM telah mendapat
pengakuan secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar
negara, yaitu UUD 1945. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kerdekaan ditunjullam dalam
Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Di periode ini (1945-1950) memberikan keleluasaan
terhadap rakyat untuk mendirikan partai politik sebagaimana yang telah tertera pada Maklumat
Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena segala aliran paham yang ada
dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan adanya partai-partai tersebut.
2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsukannya pemilihan
anggota badan perwakilan rakyat pada Januari 1946. Hal ini berkaitan dengan adanya
perubahan yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial menjadi sistem
parlementer.
2) Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini dalam perjalanan, Indonesia dikenal dengan sebutan “Periode
Demokrasi Parlementer” dimana pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang
membanggakan. Indikator tentang pemikiran HAM pada periode ini mengalami “pasang”, menurut
ahli hukum tata negara memiliki 5 aspek :
1. Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing.
2. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, betul- betul menikmati kebebasannya.
3. Pemilu sebagai pilar lain dari demokrasi harus bertanggung jawab dalam suasana kebebasan,
fair (adil) dan demokratis.
4. Parlemen/dewan perwakilan rakyat sebagai wakil rakyat semakin efektif mengontrol terhadapt
kinerja eksekutif.
5. Wacana & pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif, sejalan dengan
tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
3) Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan Indonesia adala sistem demokrasi
terpimpin diamana kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden. Dalam kaitannya dengan HAM
yaitu telah terjadinya sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan
hak politik warga negara.
4) Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal masa periode ini telah diadakan beberapa seminar tentang
HAM. Salah satu seminar dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang
perlunya pembentukan pengadilan HAM, Komisi, dan pengadilan HAM di wilayah Asia. Pada tahun
1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil guna
melindungi HAM. Fungsi dari hak uji materiil itu sendiri dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS
XIV/MPRS/1996. Namun, pada tahun 1970-an sampai akhir 1980-an, HAM mengalami kemunduran.
Dalam hal ini, upaya masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional
terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus
DOM di Aceh, dan lain sebagainya. Menjelang periode 1990-an, upaya masyarakat nampaknya
memperoleh hasil yang mengesankan karena terjadi pergeseran strategi pemerintahan, dari Represif
dan Defensif menjadi Akomodatif. Salah sau sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan
penegakan HAM yaitu dibentuknya KOMNAS HAM berdasarkan KEPRES Nomor 50 tahun 1993
pada tanggal 7 Juni 1993, dimana KOMNAS HAM memiliki tugas:
1. Memantau & menyelidiki pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat kepada
pemerintah perihal HAM.
2. Membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan HAM sesuai
pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD NKRI 1945), Piagam PBB,
Deklarasi Universal HAM dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengan
penegakan HAM.
5) Periode tahun 1998 – sekarang Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan
pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dnegan pemajuan dan perlindungan HAM.
Kemudian, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di indonesia, serta
pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Strategi pada
periode ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:
1. Tahap status penentuan (prescriptive Status) Pada tahap ini telah ditetapkan beberapa ketentuan
perundang-undangan tentang HAM, seperti UUD 1945, TAP MPR, UU, dan peraturan
pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
2. Tahap penataan aturan secara konsisten ( rule consistent behavior ) Ditandai dengan
pemghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998
tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM. Selain itu juga dirancangkan
program “Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)” pada tanggal 15 Agustus 1998 yang
didasarkan kepada :
3. Persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
4. Desiminasi informasi dan pendidikan tentang HAM 3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan
HAM 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasikan
melalui perundang-undangan nasional. Untuk lebih melindungi HAM di Indonesia, pemerintah
telah membuat UU HAM No. 39 tahun 1999 serta UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan
HAM. Melalui keputusan Presiden No. 40 tahun 2004, Pemerintah telah mengesahlan
RANHAM kedua diamana merupakan kelanjutan RANHAM Indonesia yang pertama tahun
1998-2003. RANHAM disusun untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan,
pemenuhan, dan perlindungan HAM di Indinesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai
agama, adat-istiadat, dan budaya bangsa indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya.
Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat
bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM
diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam
pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara
peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Sementara
menyangkut Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena
merupakan kasus penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah tumbal dari apa yang
namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman Orde Baru. Penindasan
kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani berjuang dan
mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror ketakutan
kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah mengabaikan kasus ini,
membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah
anomali dan paradoks jika kita komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini.
Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia yang seringkali harus
dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang mendasar. persoalan kesejahteraan,
kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk bagi
pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak
buruh perempuan di Indonesia yang masih ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah
tangga. Menguak kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang
mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya.
3.2 Saran Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak
kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang lain jangan
sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-
injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan
kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani membuka ulang kasus
Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah
sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah menemui titik terang.
Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak Asasi Manusia.
http://www.omahmunir.com/pages-10-kasus-marsinah.html
http://buser.liputan6.com/read/52757/marsinah-dan-misteri-kematiannya
http://fuad-myers.blogspot.com/2011/11/analisa-kasus-pelanggaran-ham-berat.html
http://sarubanglahaping.blogspot.com/2013/10/analisis-kasus-pembunuhan-marsinah.html
Http://www.Yudhe.Com/8-Kasus-Besar-Yang-Tetap-Menjadi-Misteri-Di-Indonesia/
http://ubpeacemaker.blogspot.com/2011/11/memahami-ham-marsinah-pahlawan-kaum.html
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/11/marsinah-dalam-representasi-media-analisis-semiotika-
berita-kasus-marsinah-pada-majalah-tempo-1993-1994/
http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/refleksi-21-tahun-kasus-marsinah-650551.html
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/08/173402558/Kasus-Marsinah-Sulit-Diungkap-Lagi
http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-dan-perjuangan-buruh-sepanjang-masa/

2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia pada hekekatnya merupakan hak- hak fundamental yang melekat pada
kodrat manusia sendiri, yaitu hak- hak yang paling dasar dari aspek- aspek kodrat manusia sebagai
manusia. Setiap manusia adalah ciptaan yang luhur dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia
harus dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dia dapat berkembang secara
leluasa. HAM tidak tergantung pada pengakuan orang lain , tidak tergantung dari pengakuan
masyarakat atau negara.
Penindakan terhadap HAM bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan, sebab prinsip
dasar keadilan dan kemanusiaan adalah bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama
dengan hak- hak dan kewajiban yang sama. Setiap manusia, setiap Negara dimanapun, kapanpun
wajib mengakui dan menjunjung tinggi HAM sebagai hak- hak fundamaental atau hak- hak dasar.
Sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan pasal1 angka 1 Undang- Undang No 39 tahun 1999,
yang intinya bahwa Haka Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
KASUS HAM DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA

Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia,
baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh pemerintah
maupun masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok.
Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :

1. Pembunuhan masal (genisida)

2. Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan

3. Penyiksaan

4. Penghilangan orang secara paksa

5. Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis

b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :

1. Pemukulan

2. Penganiayaan

3. Pencemaran nama baik

4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya

5. Menghilangkan nyawa orang lain

Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan berbuat
jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia,
seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan
masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah
dengan masyarakat.
Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa besar pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat
Indonesia, seperti :

a. Kasus Tanjung Priok (1984)

Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah
SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan
korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.

b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)

Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya,
Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM
berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.

c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)

Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga
diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.

d. Peristiwa Aceh (1990)

Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat
maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana
terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.

e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)

Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang
menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya
masih hilang).

f. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)

Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka).
Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi
Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-luka).

g. Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)

Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur secara
resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor
Leste kepada dua kepala negara terkait.
h. Kasus Ambon (1999)

Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang merambat kemasala SARA,
sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang
memakan banyak korban.

i. Kasus Poso (1998 – 2000)

Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya Forum
Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.

j. Kasus Dayak dan Madura (2000)

Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak korban
dari kedua belah pihak.

k. Kasus TKI di Malaysia (2002)

Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan penganiayaan
oleh majikan sampai gaji yang tidak dibayar.

l. Kasus bom Bali (2002) DAN beberapa tempat lainnya

Telah terjadi peristiwa pemboman di Bali, yaitu tahun 2002 dan tahun 2005 yang dilakukan oleh teroris
dengan menelan banyak korban rakyat sipil baik dari warga negara asing maupun dari warga negara
Indonesia sendiri.

m. Kasus-kasus lainnya

Selain kasusu-kasus besar diatas, terjadi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti dilingkungan
keluarga, dilingkungan sekolah atau pun dilingkungan masyarakat.
Contoh kasus pelanggaran HAM dilingkungan keluarga antara lain:

1. Orang tua yang memaksakan keinginannya kepada anaknya (tentang masuk sekolah, memilih
pekerjaan, dipaksa untuk bekerja, memilih jodoh).

2. Orang tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.

3. Anak melawan/menganiaya/membunuh saudaranya atau orang tuanya sendiri.

4. Majikan dan atau anggota keluarga memperlakukan pembantunya sewenang-wenang dirumah.

Contoh kasus pelanggaran HAM di sekolah antara lain :


1. Guru membeda-bedakan siswanya di sekolah (berdasarkan kepintaran, kekayaan, atau
perilakunya).

2. Guru memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara fisik (dijewer, dicubit,
ditendang, disetrap di depan kelas atau dijemur di tengah lapangan).

3. Siswa mengejek/menghina siswa yang lain.

4. Siswa memalak atau menganiaya siswa yang lain.

5. Siswa melakukan tawuran pelajar dengan teman sekolahnya ataupun dengan siswa dari sekolah
yang lain.

Contoh kasus pelanggaran HAM di masyarakat antara lain :

1. Pertikaian antarkelompok/antargeng, atau antarsuku(konflik sosial).

2. Perbuatan main hakim sendiri terhadap seorang pencuri atau anggota masyarakat yang
tertangkap basah melakukan perbuatan asusila.

3. Merusak sarana/fasilitas umum karena kecewa atau tidak puas dengan kebijakan yang ada.

Kasus HAM di Indonesia

Kita telah mengetahui bahwa hak asasi manusia itu hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga
negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status,
golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Namun kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah
banyaknya kasus HAM. Berikut adalah kasus-kasus HAM yang terjadi sebelum era reformasi.
1965
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai
pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.

1966
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak
terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.

1967
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.

1969
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak
pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat
Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai
politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.

1970
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.

1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada
hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri.
Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.

1972
1. Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.

1973
1. Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung.

1974
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang
disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.

1975
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.

1977
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim
perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.

1978
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan,
beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan
Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang
ke luar negri.

1981
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang
terbunuh dalam peristiwa ini.

1982
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan
pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang
pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana
militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.

1983
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di
muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.

1984
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.

1985
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

1986
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka
yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.

1989
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa
Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri
beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.

1991
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang
mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.

1992
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.

1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993

1994
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh
Habibie.

1995
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.

1996
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa
ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran
lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka
memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo
di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.

1997
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.

1998
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan
jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998.
Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini
terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan
Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 –
24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal
21 Oktober 1999.

Sumber :

http://www.membuatblog.web.id/2010/05/hak-asasi-manusia-di-indonesia.html

Pelanggaran Hak Asasi Anak di Indonesia

Hak asasi merupakan hak mendasar yang dimiliki setiap manusia semenjak dia lahir. Hak pertama yang
kita miliki adalah hak untuk hidup seperti di dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 9 ayat (1)
tentang hak asasi manusia, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf hidupnya”, ayat (2) “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera, lahir dan bathin”, dan ayat (3) “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.”

Seiring berjalannya waktu, hak asasi manusia (HAM) mulai dilindungi oleh setiap negara. Salah satunya
adalah Indonesia, hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang Undang No. 39 tahun
1999 pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”
Meskipun di Indonesia telah di atur Undang Undang tentang HAM, masih banyak pula pelanggaran-
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM yang baru-baru ini sedang marak adalah
pelanggaran hak asasi perlindungan anak. Padahal di dalamnya sudah terdapat Undang Undang yang
mengatur di dalamnya, antara lain Undang Undang No. 4 tahun 1979 diatur tentang kesejahteraan anak,
Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur tentang perlindungan anak, Undang Undang No. 3 tahun 1997
tentang pengadilan anak, Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 diatur tentang ratifikasi konversi hak
anak.
Persoalan mungkin dapat menjadi rumit ketika seorang anak mengalami diskriminasi berlapis, yaitu
seorang anak perempuan. Pertama, karena dia seorang anak dan yang kedua adalah karena dia seorang
perempuan. Di kasus inilah keberadaan anak perempuan diabaikan sebagai perempuan.
Ada banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak. Misalnya pernikahan dini, minimnya pendidikan,
perdagangan anak, penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah umur. Pernikahan dini
banyak terjadi di pedesaan, 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai 18 tahun dan 21,5% menikah
sebelum mencapai 16 tahun. Survey terhadap pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Doli, di Surabaya
ditemukan bahwa 25% dari mereka pertama kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun (Ruth
Rosenberg, 2003).
Contoh kasus paling nyata dan paling segar adalah pernikahan yang dilakukan oleh Kyai Pujiono Cahyo
Widianto atau dikenal dengan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun). Di dalam pernikahan itu
seharusnya melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang Undang perlindungan anak.
Kasus ini juga ikut membuat Seto Mulyadi, Ketua KOMNAS Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terjun
langsung. Menurutnya perkawinan antara Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa melanggar tiga Undang
Undang sekaligus. Pelanggaran pertama yang dilakukan Syekh Puji adalah terhadap Undang Undang No.
1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam Undang Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan
dengan anak-anak dilarang. Pelanggaran kedua, dilakukan terhadap Undang Undang No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak yang melarang persetubuhan dengan anak.
Dan yang terakhir, pelanggaran yang dilakukan terkait dengan Undang Undang No. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan. Setelah menikah, anak itu dipekerjakan dan itu seharusnya dilarang. Selain itu,
seharusnya di umur Lutfiana Ulfa yang sekarang adalah masa untuk tumbuh dan berkembang,
bersosialisasi, belajar, menikmati masa anak-anak dan bermain.(dari berbagai sumber/sir)
(Redaksi/malangpost)

http://indonesianic.wordpress.com/2009/01/07/pelanggaran-hak-asasi-anak-di-indonesia/

PELANGGARAN HAM OLEH TNI

Umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari berubah
menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai
puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.

2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU

Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk
Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan
Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman
dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang
tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang
baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan
Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).

Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini
masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan
membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00,
suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar
kota.

Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah,
perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban
konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.

Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang
dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik,
ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga ada
pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.

Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon
ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.

Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan
terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus.
Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada masyarakat
tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.

Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan
aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti
pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di suatu daerah
yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi
menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka
dan tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam dan
Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa
ekonomi baru pasca konflik.

Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena
banyak diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program
Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah
menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat
penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).

Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat
mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada
banyak yang tidak berfungsi.

Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media
cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang
selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah (radio
yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).

3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA


Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan maupun gereja
Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih,
yaitu kasih yang menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini dicatat dalam buku sejarah dan
beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The
Scarlet Letter, film tentang hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan
kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters, juga film A Song for A
Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” , dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film
yang lumayan baru, yang diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama ini
cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film GOYA’s GOST.

Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat ‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang
dikemukakan oleh Zaentz dan Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah
hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya Seniman Spanyol
Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari film GOYA’s GOST ini.

Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam lembaga
agama, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen,
Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang tidak suci’
kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian
berita akan kebobrokan manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-
Qaeda dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita telah prejudice
menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi
lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’
untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan
negara-negara lain yang disinyalir ‘ada terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq
tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang super-canggih
menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur dalam ‘perang-kota’, ini
mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam.
Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya.
Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya sebelum waktunya
baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah
menuruti tuan Bush.

Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris kalangan Islam Fundamentalis,
contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden Amerika
Serikat, George Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang dianutnya, karena gaya
Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana ia menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani
yang memerangi terorisme dari para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang
mengandung “fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak baik.

Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti terorisme (Islam)’, sutradara Inggris, Ridley Scott memproduksi
film The Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush yang sering
menggunakan kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of Heaven adalah sebuah ‘otokritik’
bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang
telah terjadi selama 4 abad itu bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah
hitam.

Dibawah ini review dari sebuah film, tentang kejahatan dibawah payung Agama, bukan berniat
melecehkan suatu Agama/ Aliran tertentu, melainkan sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang
melawan/menindas orang lain yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah? membela tradisi?
membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?

4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM

Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun
penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda
tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah
pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu
dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan
pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.

1. Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang
(UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku
pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan
subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang
diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada
terdakwa Abilio Soares.

2. Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam
mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan
pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia
dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa
Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan
Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang
mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di
Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang
mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan
tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan
oleh orang Indonesia”

5. Kontroversi G30S

Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi
kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan
para aktivis PKI.

Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan
banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah
kasus ini selesai,” jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang
terjadi pasca G30S.

Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya
keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan
Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.

Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai
dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap
oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.

Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang
memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara
persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000
sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.

Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat
pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa
ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya,
”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi
memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.

Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk
massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para
pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam
menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram.

Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula
menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut
Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka
tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang
kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.

Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan
antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar
masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang
dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa
Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer
di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi
contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan
kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran
komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan
demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.

Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23
September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara
tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1
Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah
modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.

Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak
orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.

Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan
hasil pertemuan Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”

Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah mewawancarai seorang putera
dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu
dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan
putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit persalinan dan
langsung dibunuh.”

Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan
orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena
diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya
mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan
dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang
berwajib.

Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?” Sang anak
menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka
hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga
bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.

Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah
secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.

http://www.akujagoan.com/2011/02/contoh-contoh-pelanggaran-ham-di.html

Upaya-Upaya Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia


Upaya penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk kasus pelanggaran HAM yang biasa diselesaikan melalui
pengadilan umum.
Upaya-upaya penegakkan HAM di Indonesia dapat diwujudkan melalui perilaku berikut ini :

1. Menghormati setiap keputusan yang ditetapkan oleh pengadilan dalam kasus-kasus pelanggaran
HAM.

2. Membantu pemerintah dalam upaya penegakkan HAM.

3. Tidak menyembunyikan fakta yang terjadi dalam kasus pelanggaran HAM.

4. Berani mempertanggungjawabkan setiap perbuatan melanggar HAM yang dilakukan diri sendiri.

5. Mendukung, mematuhi dan melaksanakan setiap kebijakan, undang-undang dan peraturan yang
ditetapkan untuk menegakkan HAM di Indonesia.

Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari untuk menghargai
dan menegakkan HAM antara lain dapat dilakukan melalui perilaku sebagai berikut :

1. Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.

2. Melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.

3. Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki kewajiban asasi yang
harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.

5. Menghormati hak-hak orang lain.


BAB 1

Pendahuluan

Keadaan masyarakat Indonesia pada saat ini dirasakan masih sangat memprihatinkan. Banyaknya
masyarakat yang belum mendapatkan kesejahteraan yang layak untuk keberlangsungan hidupnya
menjadi salah satu bahasan utama dalam makalah ini. Minimnya lapangan pekerjaan,pembangunan
yang tidak merata dan kepadatan penduduk di masing-masing daerah menjadi salah satu contoh
penyebab banyaknya pengangguran di Indonesia.

Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), masih belum bisa mengembangkan potensinya terhadap SDA
yang ada, sehingga SDA yang kita punya belum dapat diolah sendiri. Hal itu disebabkan rendahnya mutu
pendidikan yang ada di Indonesia.Oleh karena itu, kita akan membahas masalah kesejahteraan ini
dengan mengaitkannya pada Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi:
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

BAB 2

Permasalahan

Permasalahan yang ada dalam pencanangan Konstitusi Indonesia, yaitu:

1. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat.

2. Ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, misalnya di ASEAN, yang memulai


pembangunan dalam waktu yang hampir bersamaan.

3. Rendahnya daya saing industri dan ketergantungan ekonomi yang semakin tinggi.

Pembangunan pelayanan kesehatan Indonesia untuk masyarakat miskin masih belum optimal. Hal ini
dibuktikan dengan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia yang masih rendah, khususnya
masyarakat kelas bawah.

Sistem pendidikan Indonesia belum mencapai tujuan pembangunan nasional yang sesungguhnya.
Penyelenggaraan sistem pendidikan Indonesia pada jaman ini cenderung menomorduakan peranan
agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh.
Salah satu bentuk pelayanan kesejahteraan rakyat di Indonesia yaitu dengan adanya Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Namun dalam pelakasanannya tidak selalu berjalan dengan baik karena
sulitnya sistematika untuk mendapatkan hak-hak yang tersedia.

BAB 3

Pembahasan

2.1 Konstitusi Ekonomi dalam Kaitan dengan Pasal 27 UUD 1945

Rasanya semua sepakat bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak masalah mendasar di bidang
sosial ekonomi.

Pertama, masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Bila digunakan
pendekatan jumlah keluarga yang masih layak mendapatkan Raskin (beras untuk orang miskin) sebanyak
19,2 juta keluarga. maka dengan rata-rata anggota per keluarga 4 orang, paling tidak saat ini jumlah
orang miskin dan mendekati miskin minimal 40 juta orang. Lebih banyak dibanding data BPS yang
sebanyak 32,5 juta orang (2009) dengan batasan pengeluaran Rp 200.262 per orang per bulan, atau Rp
6.675 (USD 0,725) per orang per hari. Dengan kata lain, bila digunakan indikator internasional USD 2 per
orang per hari, maka jumlah orang Indonesia yang belum sejahtera akan jauh lebih besar.

Kedua, masalah ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, misal di ASEAN, yang memulai
pembangunan dalam waktu yang hampir bersamaan. Dari indikator Human Development Index (HDI)
atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia yang masih pada level 107 di tahun 2008. Jauh
tertinggal dibanding Malaysia (63), Thailand (78) bahkan di bawah Filipina (105). Rendahnya IPM berarti
pelayanan dasar (seperti pendidikan, kesehatan, air bersih) maupun daya beli masyarakat masih realtif
rendah dibanding negara-negara ASEAN.

Demikian juga bila diukur dari PDB per kapita. Indonesia yang pada tahun 1960an sekitar USD 100,
hampir sama dengan negara-negara tetangga, namun saat ini sudah jauh berbeda. Pada tahun 2008
Indonesia baru sekitar USD 2.246, Thailand USD 4.043 dan Malaysia USD 8.209 (World Bank). Belum lagi
bila kita memasukkan data bahwa sebenarnya terjadi kesenjangan pendapatan, yang berarti sebagian
besar kue ekonomi dinikmati secara tidak merata.

Ketiga, masalah rendahnya daya saing industri dan ketergantungan ekonomi yang semakin
tinggi. Untuk pangan, Indonesia tidak hanya mengalami ketergantungan tetapi mungkin dapat dikatakan
telah masuk pada food trap (perangkap pangan). Tujuh komoditas pangan utama nonberas sangat
bergantung pada impor. Empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai,
daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meningkatnya ketergantungan pangan
dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas, benih maupun bibit. Data BPS
dan Kadin menunjukkan impor kedelai pernah mencapai 61% dari kebutuhan dalam negeri, gula 31%,
susu 70% dan daging 50%.

Undang-undang Dasar 1945 memiliki Pasal 33 yang akan mengatur ekonomi. Namun, menurut hemat
saya pembahasan pasal 33 tentang pengeloaan ekonomi seharusnya tidak dilepaskan dari pembahasan
tentang tanggung jawab sosial pemerintah terhadap warga negara seperti menyediakan pendidikan,
kesehatan, pangan, pekerjaan dan menjamin orang miskin. Dengan demikian, dalam UUD 1945 ada 6
pasal yaitu Pasal 23, 27, 28, 31, 33 dan 34, dimana keenam pasal tersebut harus dipahami secara
menyatu dan tidak dipisah-pisahkan.

Pasal 23 ayat 1, menegaskan bahwa pengelolaan anggaran dan keuangan pemerintah harus
diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 27 mengatur hak penghidupan dan pekerjaan yang
layak bagi seluruh rakyat. Di pasal 28 c, menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak
dasarnya. Pasal 31 mengatur hak rakyat atas pendidikan dan kewajiban negara untuk memberikan
pendidikan setinggi-tingginya. Dalam pasal 33, ayat 1 tentang pengaturan ekonomi yang berbasis
kebersamaan, ayat 2 menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi dan ikut menikmati
hasilnya agar mengalami peningkatan kesejahteraan. Sedangkan pasal 33 ayat 3 dengan jelas diuraikan
bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam yang ada dan rakyat memiliki hak penuh
atas kekayaan tersebut. Pada pasal 34, konstitusi menegaskan hak fakir miskin dan anak terlantar untuk
mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara. Bila keenam pasal tersebut dimaknai secara
bersama, maka keberadaan pasal 33 yang mengatur negara harus menguasai sumber daya alam dan
tidak diberikan penguasaannya kepada swasta dan asing karena tugas negara sesuai amanah konstitusi
sangat banyak.

Namun, karena sumber daya alam tidak dimaknai sebagai kekayaan atau modal pemerintah, maka telah
terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan batu bara, minyak mentah, gas dan tambang lainnya
hanya sekadar komoditas yang dapat dikuasai dan diperdagangkan secara bebas oleh swasta dan asing.
Sebagai komoditas non strategis (sebagaimana baju, sepatu dll), barang-barang tambang akan dengan
mudah dieksploitasi dan diekspor bila penjualan ke luar negeri dinilai memberi keuntungan. Seolah
manfaat bagi rakyat cukup lewat peningkatan cadangan devisa, penciptaan lapangan meskipun bukan
pekerja ahli atau dari pembayaran pajak dan royalti. Padahal faktanya, dengan pengelolaan yang terjadi
saat ini, bagian pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh swasta.

Dengan kembali pada ekonomi konstitusi, berbagai kekayaan alam tambang akan dikembalikan sebagai
modal pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kemajuan dan kemandirian. Oleh karenanya
kekayaan alam tersebut harus dikembalikan penguasaannya pada negara untuk dimanfaatkan sebesar-
besar bagi kemakmuran rakyat. Pertanyaanya, bersungguh-sungguhkah kita akan mengembalikan
pengelolaan kekayaan alam sesuai dengan amanah pasal 33 ayat 3? Karena salah satu konsekwensinya
kita harus berjuang untuk merevisi berbagai undang-undang pengelolaan SDA yang bertentangan
dengan konstitusi. Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001 misalnya, paling tidak ada empat pasal
yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Namun,
keputusan MK tersebut hingga hari ini belum ditindak lanjuti karena akan mengganggu kepentingan
sekelompok elit asing dan dalam negeri yang selama ini mendapatkan manfaat besar dari liberalisasi
SDA. Kita juga harus bersedia mengevaluasi undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan
Batubara (minerba) karena tidak mengatur pentingnya DMO (domestic market obligation) bagi
kepentingan nasional. Juga harus bersungguh-sungguh melakukan koreksi terhadap Undang-undang No.
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang
hingga 95% serta melakukan koreksi terhadap berbagai undang-undang yang telah disusun dengan
paradigma liberal, seperti UU Kelistrikan, UU Air, dll. Mengembalikan ekonomi pada konstitusi juga
berarti bersedia mengoreksi berbagai kontrak-kontrak tambang sehingga memberikan manfaat lebih
besar bagi rakyat. Dengan terobosan-terobosan ini, akan ada potensi penerimaan negara baru yang
lebih besar sehingga tidak lagi hanya bersumber pada pajak, privatisasi dan utang sebagaimana
pakem Washington Consensus.

Pengelolaan kekayaan alam non tambang yang liberal dan tidak menempatkan kepentingan nasional
sebagai prioritas juga harus dikoreksi. Pilihan kebijakan ini telah menjadikan Indonesia sebagai pemasok
berbagai sumber daya alam mentah sebagai bahan baku industri dunia. Padahal pilihan ini akan
merugikan kepentingan nasional. Pada saat memilih untuk mengekspor bahan baku dan bahan mentah
maka pada saat itu pula Indonesia sedang mengekspor kesempatan kerja, memberikan nilai tambah dan
menyerahkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat kepada negara lain. Indonesia
adalah penghasil rotan terbesar dunia namun saat ini pemerintah membebaskan ekspor rotan mentah.
Memang kebijakan ini akan mendorong ekspor sehingga menguntungkan petani rotan. Secara nasional
negara juga akan diuntungkan dengan sumbangan pertumbuhan ekspor yang tinggi sehingga akan
mendorong pertumbuhan ekonomi. Sepintas kebijakan ini seolah baik. Padahal, akibat dari liberalisasi
rotan mentah telah mengakibatkan produsen barang dari rotan yang umumnya di wilayah Jawa,
mengalami ketidakpastian harga dan pasokan bahan baku. Tentu petani rotan akan memilih untuk
mengekspor karena permintaan dan pembayaran lebih pasti. Namun, sebagai konsekwensinya banyak
industri mebel rotan kecil dan menengah nasional kesulitan bahan baku. Bahkan saat ini meubel rotan
Indonesia telah kalah bersaing dengan produk dari negara-negara pengimpor rotan dari Indonesia.

Bila meyakini menciptakan lapangan kerja dan memberikan penghidupan yang layak pada pasal 27
dan 28 adalah amanah yang harus dijalankan, maka kebijakan yang dipilih dalam pengelolaan rotan
akan berbeda. Melimpahnya produksi rotan di Kalimantan justru menjadi kesempatan untuk
memantapkan posisi Indonesia sebagai produsen mebel rotan utama dunia yang pernah dicapai
sebelum krisis. Pengembangan sentra-sentra industri produk rotan di daerah penghasil rotan dengan
berbagai dukungan teknologi dari pemerintah akan menciptakan lapangan kerja yang besar,
kesejahteraan petani dan perajin rotan akan meningkat karena nilai tambah dari pengolahan rotan akan
terjadi dan dinikmati oleh rakyat di Indonesia. Kebijakan yang sama semestinya juga dapat dilakukan
untuk kekayaan timah, coklat, dan lain-lain yang melimpah.

2.2 Pelayanan Kesehatan Indonesia untuk Masyarakat Miskin dalam Kaitan dengan Pasal 27 UUD 1945

Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan
kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah
khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka
kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu
penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada
umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian
Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi.
Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait
dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan perubahan pola
penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis
pembayaran swadana (out of pocket). Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan
berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit masyarakat untuk melakukan akses ke
pelayanan kesehatan.

Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD
1945 serta kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Goodmaka dibutuhkan intervensi
dari Pemerintah.

2.3 Pendidikan di Indonesia dalam Kaitan dengan Pasal 27 UUD 1945

Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif
dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan
yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.

Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya
dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan
keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum
dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan.

Berangkat dari definisi di atas maka dapat dipahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia
diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban
bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat
ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan
peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam
penyelenggaran sistem pendidikan. Permasalahan ini berlawanan dengan isi pasal 27 ayat 2 UUD 1945
yang memaknai penghidupan yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satunya untuk
keberlangsungan pendidikan dan pekerjaan warga negara.Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya
mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003
tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat,
berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”

Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu
produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32
UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang
diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di
persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar
dan Menengah, dsb

Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui
kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia
mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas
dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil
survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di
Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor
pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura,
Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah
Vietnam (Kompas,5/9/2001).

Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan
kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada
faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.

2.5 Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dalam Kaitan dengan Pasal 27

BerdasarkanketentuanPasal 27 ayat (2) UUD 1945, tiap-


tiapwarganegaraberhakataspekerjaandanpenghidupan yang
layakbagikemanusiaan.KetentuaninidijabarkandalamPasal 4 UU No. 13 Tahun 2003,
tentangtujuanpembangunanketenagakerjaan.BerdasarkanketentuanPasal 99 UU No. 13 Tahun 2003,
yaitusetiappekerja/buruhdankeluarganyaberhakuntukmemperolehjaminansosialtenagakerja. Jaminans
osialtenagakerjasebagaimanadimaksud, dilaksanakansesuaidenganperaturanperundang-undangan yang
berlaku. Saatiniaturan yang dimaksudadalahUU No. 3 tahun 1992 tentangJaminanSosialTenagaKerja
(JAMSOSTEK).

Namun dalam kenyataannya, jaminan sosial tersebut tidak selalu berjalan dengan baik dalam melayani
kebutuhan para pekerja. Setiap pekerja yang membutuhkan jaminan tersebut, misalnya dalam keadaan
sakit atau mengalami kerugian karena faktor intern ( faktor yang diakibatkan dari perusahaan yang
bersangkutan ) tidak bisa langsung mendapatkan hak nya di Jamsostek dan harus memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan. Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, hak tersebut tidak dapat langsung
diambil dan harus melalui persetujuan dari pihak yang bersangkutan.

Bab 4

Penutup

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai kesejahteraan rakyat diatas maka dapat disimpulkan


bahwakesejahteraan rakyat di Indonesia belum terlaksana dengan baik.Kesejahteraan rakyat yang
mencakup bidang ekonomi, pelayanan kesehatan untuk masyarakat (terutama masyarakat miskin),
pelayanan sosial yang ada di dalam atau luar lingkup kerja, dan pendidikan.
Berdasarkan data yang diperoleh, hal tersebut belum relevan dengan pasal 27 ayat 1 dan ayat 2
tentang kedudukan yang sama dalam hukum ( penghidupan yang layak ).

4.2 Saran

Seharusnya pemerintah memikirkan cara lain untuk membantu menyejahterakan rakyatnya karena
menurut penulis cara pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat masih belum tepat. Pemerintah
masih bisa mencari cara lain selain memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, karena cara
seperti itu belum efektif. Rakyat bukan hanya butuh uang, tetapi juga butuh lapangan pekerjaan.
Mungkin saja pemerintah bisa mencari atau mengupayakan cara lain untuk menyejahterakan rakyatnya
demi kelangsungan bangsa di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai