Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh :
Muhammad Yogie Prastowo I4C019001
Ari Aprianto Latuconsina I4C019006
Susana Eustochia Nassa I4C019011
Veronika Palilli I4C019016
Arum Kartika Sari I4C019021
Reffada Mahatya Y I4C019026
Maisha Nazira Harsa I4C019031
Halima Sya’roini I4C019036
Azizah Nurul Qani’ah I4C019041
Khoirun Nisa’ I4C019046
Ade Giri Ayu Anjani I4C019051
B. Dasar Teori
1. Patofisiologi
a. GERD
Bersihan asam dari lumen esophagus. Setelah terjadi refluks, sebagian besar
bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat
yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus. Mekanisme
bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat
dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki
waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul
disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal (David Wyanto,
2007).
b. Cholelitiasis dengan Cholecistitis
c. Nefroliatisis
Penyebab nefrolitiasis sangat penting untuk membangun perawatan
medis dan untuk pencegahan batu ginjal di masa depan. Daram dapat larut
dalam lauran yang diberikan sampai mencapai kesetimbangan antara fase
padat dan berair, pH serta suhu yang ditentukan. Supersaturasi cukup tinggi
untuk menginduksi kristalisasi, yang disebut sebagai batas atas dari
metastabilitas, diperlukan untuk pembentukkan batu ginjal. Inhibitor
manaikkan batas sedangkan promotor menurunkannya (Anja et.al, 2016).
Nefrolitiasis (batu ginjal) terbentuk melalui proses nukleasi kristal
meliputi proses ion bebas membangun gugus lepas. Ketika nukleasi
terbentuk, komponen kristal tambahan dapat ditambahkan ke nukleus (inti).
Hal ini didefinisikan sebagai pertumbuhan partikel kristal. Kemudian
partikel kristal bergabung menjadi lebih besar, proses ini dinamakan
agregasi kristal. Agregat kristal ini yang kemudian disebut dengan batu
ginjal (Anja et.al, 2016).
Seperti yang dijelaskan, inhibitor mengurangi kemenungkinan
pembentukkan batu. Contoh penghambat kuat pembentukkan batu adalah
sitrat. Selain kemampuannya membentuk kompleks yang larut dengan
kalsium (sehingga mengurangi supersaturasi kalium uruin), sitrat
menunjukkan efek penghambatan pada pertumbuhan dan agregasi kristal.
Meskipun pH basa tidak dianggap sebagai pemicu nefrolitiasis, pH 6,7
mengubah kejenuhan urin, yang meningkatkan kristalisasi kalsium fosfat.
Sebalikkan, pH urin 5,5 pemicu pengendapan asam urat. Ketika batu asam
urat atau batu sistin hadir, alkalinisasi urin dapat mencegah kristalisasi lebih
lanjut (Anja et.al, 2016).
1) Tipe Batu Ginjal
Pembentukkan batu ginjal terjadi dengan adanya lebih banyak zat yang
memperburuk pembentukkan batu dalam urin seperti kalsium, fosfor dan
oksalat. Berdasarkan zat kristal atau mineral dalam batu, batu ginjal
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis:
a) Batu kalsium, dalam pathogenesis batu ginjal yang mengandung
kalsium, peran penting dimainkan oleh asupan makan. Jenis-jenis batu
yang paling umum, terjadi dalam dua bentuk kalsium fosfat (15%) dan
kalsium oksalat (75%), dimana batu kalium oksalat paling banyak
terlihat (Wafa et.al, 2019).
b) Batu asam urat, pembentukkan batu asam urat terjadi karena tingginya
konsentrasi asam urat dalam urin. Pembentukkan batu terjadi oleh
pengendapan asam urat pekat dalam urin atau terkonjugasi dengan
kalsium (Wafa et.al, 2019).
c) Batu struvit, bagian utama dalam batu ini adalah mineral. Struvit,
magnesium ammonium (MgNH4PO4.6H2O), zat kristal ditemukan pada
abad ke-18 untuk pertama kalinya. Batu struvit juga disebut sebagai batu
triple fosfat dan batu infeksi (Wafa et.al, 2019).
d) Batu sistein (1%) sebagian besar disebabkan oleh kelainan genetic. Ini
menyebabkan kebocoran sistein ke ginjal dan pembentukkan urin dan
kristal disebabkan oleh gangguan yang dapat mendorong pertumbuhan
batu (Wafa et.al, 2019).
2) Evaluasi pasien Nefrolitiasis
Pada pasien dengan batu ginjal pertama, tidak ada keseragaman dalam
literature sehubungan dengan tingkat pemeriksaan yang ditunjukkan.
Urinalisis dan mikroskopi harus dilakukan secara rutin pada semua pasien
dengan batu ginjal karena kedua tes tersebut efisien dan ekonomis dan dapat
mengidentifikasi kristal ptognomobik yang mengungkapkan asal usul batu.
Semua batu yang telah diambil harus diserahkan untuk dianalisis. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pembentuk batu ginjal pertama kali
membawa factor resiko metabolic yang sama dengan nefrolitiasis berulang.
Nomogram Recurrence of Kidney Stone (ROKS) yang baru didirikan yang
dijelaskan sebelumnya dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan
peningkatan resiko kekambuhan yang dapat mengambil manfaat dari
evaluasi metabolic yang lebih luas dengan sampel urin 24 jam untuk
pengobatan berbasis patofisiologi. Sampel urin 24 jam diperlukan untuk
menentukan volume, pH, kalsium, sitrat, asam urat, natrium dan oksalat
(Anja et.al, 2016).
Untuk memulai pencegahan batu ginjal medis dengan kelainan
metabolic yang ditentukan (misalnya hiperkalsiuria), sampel urin 24 jam
harus diulang untuk memantau respons terapi. Tujuan pengobatan diarahkan
untuk mengurangi jumlah factor litogenik dan supersaturasinya,
direkomendasikan untuk pengulangan pengujian urin 24 jam pada 6 sampai
12 minggu setelah intervensi medis atau diet telah dimulai dan memantau
tujuan perawatan pada 6 bulan kedepan dan setiap tahun (Anja et.al, 2016).
2. Guideline Terapi
1. GERD
Pengobatan penyakit refluks gastroesofagus melibatkan pendekatan
bertahap. Tujuannya adalah untuk mengendalikan gejala, menyembuhkan
esofagitis, dan mencegah esofagitis berulang atau komplikasi lain. Perawatan
ini didasarkan pada modifikasi gaya hidup dan kontrol sekresi asam lambung
melalui terapi medis dengan antasid atau inhibitor pompa proton atau
perawatan bedah dengan bedah antireflux korektif (Dial, 2009 ; Fass &
Sifrim, 2009 ; Fass,2009; Giannini et al, 2008; Katz, 2007; Heidelbaugh et al,
2009).
Respons simptomatis yang menguntungkan terhadap pemberian PPI
jangka pendek (sekali sehari selama dua minggu) dianggap mendukung
diagnosis GERD ketika gejala nyeri dada nonkardiak muncul. Terapi empiris
harus dicoba selama dua minggu untuk pasien dengan gejala GERD yang
khas. Pengobatan dapat dimulai dengan dosis standar H2RA dua kali sehari
(sesuai permintaan, diberikan saat gejala muncul) atau PPI (30-60 menit
sebelum makan pertama pada hari itu), dengan pemilihan obat tergantung
pada presentasi klinis dan efektifitas biaya yang sesuai (Heidelbaugh et al,
2013).
Pasien yang awalnya mengalami GERD denga gejala yang khas lebih
parah dan lebih sering, pengobatan dapat dimulai dengan dosis H2RA atau
PPI yang lebih tinggi dan lebih sering. Jika pengurangan gejala tidak memadai
dari dosis awal, maka tingkatkan potensi atau frekuensi sesuai kebutuhan
untuk mendapatkan pengurangan gejala: H2RA dosis tinggi untuk PPI setiap
hari, PPI harian atau dosis maksimum PPI harian dua kali sehari. Jika tidak
ada respons saat menggunakan dosis dan frekuensi maksimal, maka pengujian
diagnostik harus dilakukan setelah 8 minggu terapi (Heidelbaugh et al, 2013).
(NHCE, 2014)
Tatalaksana cholelitiasis berdasarkan tempat batu empedu dibagi
menjadi 2, yaitu tatalaksana batu empedu di kantong empedu dan batu
empedu di saluran empedu. Tatalaksana batu empedu di kantong
empedu yaitu dengan laparoskopi kolesistektomi apabila sudah
terdiagnosis batu empedu di kantong empedu. Laparoskopi
kolesistektomi dilakukan 1 minggu setelah terdiagnosis. Apabila operasi
tidak dapat dilakukan dan terdapat manajemen konsertativ tidak berhasil
maka dilakukan perkutan kolesistektomi. Tatalaksana batu empedu di
saluran empedu yaitu dibersihkan dengan laparoskopi kolesistektomi
apabila sudah diketahui terdapat batu ginjal di saluran empedu. Operasi
laparoskopi kolesistektomi dapat dilakukan sebelum atau bersamaan
dengan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography).
Pemilihan ERCP mempertimbangkan dengan biaya yang disanggupi
oleh pasien (NHCE, 2014).
Umur : 45 tahun
BB : 55 Kg
2. Data TTV
3. Data Laboratorium
4. Problem Medik
Diagnosa pasien: GERD, Susp Cholelitiasis dengan cholelititis, Abdominal
pain regio right, upper abdominal pain dd nefrolitiasis dextra
1. GERD
a. Terapi Farmakologi
Terapi MRS
No Obat Dosis Cara Pemakaian
1 Omeprazol inj 20 mg I.V 2x sehari
3 kali sehari, 1 sendok
2. Sukralfat 30 menit sebelum makan
takar
10 menit setelah meminum
3. Braxidin 2 x sehari 1 tablet
sukralfat
Terapi KRS
2. NEFROLITIASIS
a. Terapi Non Farmakologi
- Memperbaiki asupan cairan 2,5 L/hari
- Membatasi minuman ringan yang mengandung gula <2 L/hari
- Mempertahankan asupan kalsium 1000-1200 mg/hari.
- Menghindari makanan tinggi oksalat (kacang-kacangan,
cokelat, kentang, bayam)
- Membatasi asupan natrium 2300 g/hari
- Meningkatkan asupan buah dan sayur yang mengandung sitrat
b. KIE (Konseling, Informasi dan Edukasi)
1) KIE untuk tenaga kesehatan
- Melakukan pemeriksaan penunjang untuk melihat hasil dari
pengobatan dengan melakukan pengecekan terhadap: urin
24 jam (volume, pH, natrium, kalsium, oksalat, asam urat,
sistin), urea dan kreatinin.
- Melakukan USG atau CT
Adi Firmansyah, 2015, Case Report : Diagnosis dan Tata Laksana Kolesistitis
Akalkulus Akut, RSUD Kota Tangerang, Vol.28, No.2.
Dial MS. 2009. Proton Pump Inhibitor Use and Enteric Infections. Am J
Gastroenterol. Mar. 104 Suppl 2:S10-6.
Fass R, Sifrim D. 2009. Management of heartburn not responding to proton pump
inhibitors. Gut. Feb. 58(2):295-309.
Fass R. 2009. Proton pump inhibitor failure--what are the therapeutic options?. Am J
Gastroenterol. Mar. 104 Suppl 2:S33-8.
Giannini EG, Zentilin P, Dulbecco P, Vigneri S, Scarlata P, Savarino V. Management
strategy for patients with gastroesophageal reflux disease: a comparison
between empirical treatment with esomeprazole and endoscopy-oriented
treatment. Am J Gastroenterol. 2008 Feb. 103(2):267-75.
Heidelbaugh JJ, Goldberg KL, Inadomi JM. 2009. Overutilization of proton pump
inhibitors: a review of cost-effectiveness and risk [corrected]. Am J
Gastroenterol. Mar. 104 Suppl 2:S27-32.
Katz PO. 2007. Medical Therapy for Gastroesophageal Reflux Disease in 2007. Rev
Gastroenterol Disord. 2007 Fall. 7(4):193-203.
Lawrence, M., K., Annie, M., B., David, M.,M., 2014, Cholecystitis, Surgical
Clinical Journal, Vol.94, hal.455-470.
National Institute for Health and Care Excellence, 2014, Gallstone disease :
Diagnosis and management of cholelithiasis, cholecystitis, and
choledocholithiasis, Internal Clinical Guidelines.
Sveen S,. 2009. Symptom check: is it GERD?. J Contin Educ Nurs. Mar. 40(3):103-
4.
Gomi, H., Joseph, S., David, S., Kohji, O et al.,2018, Tokyo Guideline : Antimicobial
Therapy for Acute Cholangitis and Cholecystitis, Japanese Society of
Hepato-Biliary-Pancreatic Surgery Journal, 25 :3-16.
Susumu, Tazuma., Michiaki, U., Yoshinori, I., Kazuo, I et al., 2016, Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines for Cholelithiasis, The Japanese Society of
Gastroenterology Journal, Vol.52, hal.276-300.
Wafa Abbas., Muhammad Akram., Aamir Sharif., Nephrolithiasis; Prevalence, Risk
Factor and Therapeutic Strategies. Madridge J Intern Emerg Med. 2019;
3(1):90-95. doi: 10.18689/mijiem-1000120