Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Demam berdarah dengue/ dengue hemorrhagic fever merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di Asia tropik termasuk Indonesia. Beberapa
dekade terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat
pesat diseluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima
penduduk dunia beresiko terserang demam dengue dan sebanyak 1,6 milyar
(52%) dari penduduk yang beresiko tersebut hidup di wilayah Asia Tenggara.
WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya.1,2
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD tahun 2010 di
Asean, dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Di Rektorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL
kemkes RI), melaporkan kasus DBD tahun 2011 di Indonesia menurun dengan
jumlah kasus 49.486 dan jumlah kematian 403 orang.3
Data kasus dan angka kematian DBD di Dinas Kesehatan Propinsi Riau
tahun 2011 menunjukkan sebanyak 2.948 kasus dengan 57 orang meninggal dunia
yang menyebar di 12 Kabupaten/kota. Pada tahun 2012 menunjukkan DBD di
Propinsi Riau sebanyak 973 kasus, dan menempati urutan ke-6 dari 10 besar
penyakit yang dirawat di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.4

1
Dari grafik di atas pada tahun 2009, provinsi dengan Angka Kematian
tertinggi karena DBD adalah Bangka Belitung (4,58%), Bengkulu (3,08%) dan
Gorontalo (2,2%). Provinsi yang angka kematian tidak ada adalah Sulawesi Barat.
Tetapi sebagian besar provinsi atau 19 provinsi (61,3%) belum mencapai target
CFR < 1%, maka dari itu setiap pemerintah provinsi harus lebih mencanangkan
penanggulangan dan pemberantasan penyakit DBD.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
DHF adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue tipe
I-IV dengan manifestasi klinis demam 2 – 7 hari disertai gejala perdarahan dan
bila timbul renjatan, angka kematiannya cukup tinggi. Pada keadaan yang lebih
parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan penderita jatuh dalam keadaan
syok akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut Dengue Shock Syndrome
(DSS).6
Demam dengue dan demam berdarah dengue (Dengue Hemorrhagic
Fever/ DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan

2
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/ atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.7

2. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, pertama sekali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968 dan
kemudian disusul dengan daerah-daerah yang lain. Jumlah penderita
menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini
banyak terjadi di kota-kota yang padat penduduknya. Akan tetapi dalam tahun-
tahun terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di daerah pedesaan.8
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD tahun 2010 di
Asean, dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Di Rektorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL
kemkes RI), melaporkan kasus DBD tahun 2011 di Indonesia menurun dengan
jumlah kasus 49.486 dan jumlah kematian 403 orang.3
Sejak Januari sampai dengan 5 Maret 2004 total kasus DHF di seluruh
propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak
389 orang (CFR=1,53%). Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta
(11.534 orang) sedangkan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%). KLB
DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per
100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99
(tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
Tidak tertutup kemungkinan peningkatan jumlah kasus dan angka kematian yang
cepat disebabkan oleh virus dengue jenis baru karena dengue adalah virus RNA
(virus yang menggunakan RNA sebagai genomnya). Virus RNA bermutasi jauh
lebih cepat dibanding dengan virus DNA.9

3. ETIOLOGI
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat serotipe
virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4) dapat dibedakan dengan
metode serologik. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan

3
imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi
hanya menjadi perlindungan sementara dan partial terhadap serotipe yang lain.
Virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus
lain, mempunyai genom RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal yang dikelilingi
oleh nukleokapsid ikohedral dan terbungkus oleh selaput lipid. Virionnya
mempunyai diameter kira-kira 50 nrn. Genom flavivirus mempunyai panjang 11
kb (kilobases), dan mempunyai urutan genom lengkap untuk mengisolasi keempat
serotipe. Virus terdiri dari 3 struktur dan 7 protein tidak terstruktur yaitu:
nukleokapsid atau protein inti, protein yang berkaitan dengan .membran (M) dan
protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein nonstruktural (NS). Domain
bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi reseptor virus dengan
protein pembungkus.10

a) Vektor
A. aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan
antara garis lintang 35 U dan 35 S. Distribusi A. Aegypti juga dibatasi oleh
ketinggian sehingga nyamuk ini tidak ditemukan di atas ketinggian 1.000 m. A.
aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling utama untuk arbovirus
karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat manusia, dan sering hidup
di dalam rumah sekitar kamar tidur, pakaian, dan air bersih sehingga sulit
untuk mengontrolnya dari lingkungan luar. Nyamuk dewasa lebih sering
menggigit pagi hari dan sore hari.1
b) Penularan
Setelah menggigit manusia .yang terinfeksi, virus dengue memasuki
nyamuk betina dewasa. Virus pertama kali bereplikasi dalam midgut kemudian
bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk yang lamanya kurang lebih 8-12 hari,
periode ini disebut periode ekstrinsik. Nyamuk yang mengandung virus
tersebut kemudian menggigit manusia lain dan bereplikasi dalam tubuh
manusia dengan masa inkubasi 4-7 hari (3-14 hari) yang disebut periode
intrinsik. Viremia terjadi 1 hari sebelum dan 5 hari setelah onset penyakit.8

4. PATOFISIOLOGI

4
Penelitian patogenesis infeksi virus dengue sampai sekarang merupakan
penelitian yang paling menantang. Hal tersebut disebabkan sejauh ini belum ada
suatu teori yang dapat menerangkan secara tuntas patogenesis infeksi virus
dengue. Dua teori yang kini digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis
infeksi virus dengue yaitu hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Beberapa
hipotesis telah dibuktikan untuk menjelaskan peningkatan insidens kasus yang
berat setelah terjadi infeksi virus dengan serotipe yang berbeda. Penelitian secara
in vitro telah memperlihatkan bahwa ada cross reactive non neutralizing dari
antibodi dengue berbentuk kompleks virus yang heterologous.8

a. Berdasarkan Teori Infeksi Sekunder


Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi kekebalan
terhadap infeksi jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Jadi
seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue akan
mempunyai antibodi yang dapat menetralisasi virus yang sama
(homologous). Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder
dengan jenis serotipe virus yang lain maka terjadi infeksi berat karena
pada infeksi selanjutnya antibodi heterologous yang terbentuk pada infeksi
primer tidak dapat menetralisasi virus dengue serotipe lain (non
neutralizing antibody). Pada makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non
neutralisasi, antibodi tersebut bersifat opsonisasi, internalisasi dan
mempermudah makrofag/monosit terinfeksi serta virus bebas bereplikasi
di dalam makrofag bahkan membentuk kompleks yang lebih infeksius
sehingga penyakit cenderung menjadi berat serta berperan dalam
patogenesis terjadinya DBD/DSS. Menurut hipotesis infeksi sekunder
yang diajukan oleh Suvatte, sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu,
menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer
tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit
juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini

5
mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga
serosa. Pada penderita renjatan berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan
anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.12

b. Berdasarkan Hipotesis antibody dependent enhancement


Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) prinsipnya adalah
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di
dalam sel mononuklear. Kompleks antibodi dan virus dengue yang
heterologous akan memfasilitasi masuknya virus ke dalam monosit melalui
reseptor Fc, proses ini dikenal sebagai ADE. Monosit yang mengandung
virus menyebar ke berbagai organ dan terjadi viremia. Dasar teori
infection enhancing antibody ialah peran sel fagosit mononuklear dan
terbentuknya antibodi non netralisasi. Sebagai respons terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan manifestasi perdarahan
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

c. Berdasarkan Teori Mediator


Teori mediator sekarang ini dipikirkan oleh para ahli karena melanjutkan
teori antibody enhancing. Pasien DBD mempunyai kadar TNF-a, lL-6, IL-
i3, lL-18, dan faktor sitotoksik lebih tinggi dibandingkan pasien DD
sedangkan pada pasien DSS mempunyai kadar IL-4, IL-o, lL-8, dan IL-10
yang tinggi. Sitokin tersebut sangat berperan meningkatkan permeabilitas
vaskular dan syok selama terinfeksi dengue. Kompleks virus antibodi yang
meliputi sel makrofag akan memproduksi sitokin TNFa, lFN-y, lL-Z, lL-6,
PAF (platelet activating factor), dan lain-lain yang selanjutnya

6
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, kerusakan endotel
pembuluh darah
sehingga terjadi kebocoran cairan plasma ke dalam jaringan tubuh dan
mengakibatkan syok. Kompleks virus-antibodi juga akan merangsang
komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) serta perdarahan.
Tingginya kadar pelepasan PAF oleh monosit dengan infeksi sekunder
dapat pula menjelaskan perdarahan pada DBD dan DSS. Jadi perdarahan
pada DBD dapat disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama yaitu
vaskulopati, kelainan trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan.
Pada fase awal demam, perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan
trombositopenia, sedangkan pada fase syok dan syok yang lama,
perdarahan disebabkan oleh trombositopeni diikuti oleh koagulopati
terutama sebagai akibat koagulasi intravaskular rnenyuluruh dan
peningkatan fibrinolisis. Faktor sitotoksis memproduksi sel CD4+T yang
akan merangsang makrofag memproduksi TNF-alpha dan IL-18. Kadar
faktor sitotoksik berhubungan dengan beratnya penyakit. Selama infeksi
dengue berat beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi supresi
respons Th1 dan didapatkan respons Th2 yang lebih dominan. Beberapa
laporan menunjukkan bahwa respons Th2 predominan terjadi pada kasus
DBD/SSD.8

Jika seseorang digigit nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue masuk
bersama darah yang dihisapnya. Dalam tubuh nyamuk, virus dengue akan
berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian
tubuh nyamuk dan sebagian besar virus tersebut berada dalam kelenjar liur
nyamuk. Dalam tempo 1 minggu, jumlahnya dapat mencapai ratusan ribu
sehingga siap dipindahkan ke orang lain. Virus merupakan mikrooganisme yang
hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus
harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam
mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada
daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan

7
timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi
makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.13,14

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 3


1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang
pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi
megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoeisis termasuk megakariopoesis.
Kadar trombopoeitin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis
sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopatidan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-hemoglobin dan PF4 yang merupakan degranulasi
trombosit.2
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga kberperan melalui aktivasi faktor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).3

5. MANIFESTASI KLINIK
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase
kritis dan fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2 –
7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi
farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula

8
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang
dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan
suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering
didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase
ini dapat terjadi syok.
Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi
pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48
– 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih
kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik.15

6. PEMERIKSAAN FISIK
 Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,
nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis,
nyeri di bawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok
pada DD daripada DBD.
 Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada
DBD.
 Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia
dan syok.
 Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.
 Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini
suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan
namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
 Perdarahan dapat berupa petekie, epistaksis, melena, ataupun hematuria.16

Tanda-tanda syok
 Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis
 Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba

9
 Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
 Akral dingin, capillary refill menurun
 Diuresis menurun sampai anuria. Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan
terjadi komplikasi berupa asidosis metabolik dan perdarahan hebat.16

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam. Pada DBD yang disertai manifestasi
perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi dapat dilakukan
pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin.3
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Diantara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu.7
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang
setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14,
sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2. Pemeriksaan
radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan

10
untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan
pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.7

8. DIAGNOSA
Demam Berdarah Dengue Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal ini di bawah ini dipenuhi :
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
- Hematemesis atau melena.
 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
 Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
 Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
 SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
 Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
 Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
 Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi)
 Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

11
- IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
- IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
 Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang
dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.8

Derajat DBD:
DBD Derajat Tanda dan Gejala Laboratorium
I Demam dan manifestasi - Trombositopenia
perdarahan tidak spontan (tes ≤100.000/mm3
Torniquet positif) dan adanya - Peningkatan HT ≥ 20%
bukti kebocoran plasma
II Sama dengan derajat I disertai - Trombositopenia
perdarahan spontan ≤100.000/mm3
- Peningkatan HT ≥ 20%
III Sama dengan derajat I atau II - Trombositopenia
disertai gangguan sirkulasi (nadi ≤100.000/mm3
lemah, tekanan nadi menyempit - Peningkatan HT ≥ 20%
≤ 20 mmHg, hipotensi,
kelelahan)
IV Sama seperti grade III disertai - Trombositopenia
profound syok dengan nadi ≤100.000/mm3
tidak teraba dan tekanan darah - Peningkatan HT ≥ 20%
yang tidak bisa diukur

Diagnosis Banding
Demam fase akut mencakup spectrum infeksi bakteri dan virus yang luas.
Pada hari – hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan
idiopathic thrombocytopenic purpura ( ITP ) yang disertai demam. PAda hari
demam ke 3 – 4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala
klinis seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjad nyata. Kesulitan

12
kadang – kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD dengan sepsis,
dalam hal ini trombositopenis dan hmokonsentrasi disamping penilaian gejala
klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat membantu.
 Demam Tifoid: Demam lama (>5 hari) dan lebih terasa pada malam hari , Sakit
kepala, mual, muntah, Diare ataupun konstipasi/ sembelit
 ISK: nyeri pinggang, nyeri saat BAK
 Campak :Bercak merah (hilang jika di tekan) timbul biasanya pada demam hari
ke-3 sampai 5, kemudian akan berkurang pada minggu kedua dan menimbulkan
bekas terkelupas dan bercak kehitaman dan diawali dengan keluhan pilek dan
batuk mulai demam hari pertama.4

9. PENATALAKSANAAN
Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian,
(1) Tersangka DBD,
(2) Demam Dengue (DD)
(3) DBD derajat I dan II
(4) DBD derajat III dan IV (DSS).

1) DBD tanpa syok (derajat I dan II)


Medikamentosa
 Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
 Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid,
-antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
 Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan
saluran -cerna kortikosteroid tidak diberikan.
 Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Suportif
 Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler -dan perdarahan.

13
 Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa peralihan
dari -fase demam ke fase syok disebut time of fever differvesence dengan baik.
 Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus-menerus muntah, tidak mau -
minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2)
nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

 DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)
 Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10-20
ml/kgbb -secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum
teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30
ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari.
 Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume
cairan -diturunkan menjadi 7ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3 ml apabila
tanda vital dan diuresis baik.nb
 Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
 Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.
 Oksigen 2-4 l/menit pada DBD syok.
 Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
 Indikasi pemberian darah:

Terdapat perdarahan secara klinis


 Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun,
diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgbb
 Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam volume
kecil
 Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID) pada syok berat yang
menimbulkan perdarahan masif.
 Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai plasma
segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah perdarahan lebih
hebat.16

14
15
10. KOMPLIKASI
1. Syok Dengue
2. Perdarahan Gastrointestinal
Faktor terjadinya komplikasi:
 Ensepalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun tanpa
syok
 Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut
 Edem paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.16

11. PENCEGAHAN
Pencegahan/pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan
sarangnya dengan melakukan tindakan 3 M, yaitu:
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau
menaburkan bubuk larvasida (abate).
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air. 3. Mangubur/menyingkirkan
barang bekas yang dapat menampung air Adultsida (fogging) dengan
menggunakan DDT (Dicloro-Diphenyl-Tricloroethane).12

16
12. PROGNOSIS
Pada Demam Dengue prognosisnya apabila suhu turun maka akan terjadi
perbaikan dan penyembuhan sempurna. Sedagkan pada Demam Berdarah Dengue
angka kematian yang disebabkan oleh DBD adalah kurang dari 1%, tetapi bila
timbul Dengue Shock Syndrome maka angka kematian bisa mencapai 40-50%.
Sehingga prognosis Dengue Shock Syndrome sangat tergantung dari pengenalan
dini dengan cara pemantauan cermat dan tindakan cepat dan tepat terutama ketika
terjadi renjatan (syok).12

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
1. Identitas penderita
Nama penderita : Asfa Virendra
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 2 tahun 2 bulan
Berat Badan : 11 kg
Tinggi Badan : 83 cm
Alamat : Keramat Mufakat
MRS : 22 Agustus 2019

2. ANAMNESIS

17
Keluhan Utama :
Demam
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang diantar oleh keluarganya ke IGD Datu Beru dengan
keluhan Demam sejak ± 1 hari yang lalu. Demam dirasakan semakin
tinggi dalam 1 hari ini. Batuk (-), pilek (-), nyeri perut (+), nyeri otot (-),
mengigau (-), mual (-), muntah (-). Kemudian OS mengalami kejang ± 1
jam SMRS. Kejang terjadi sebanyak 1 kali sekitar 3 menit, dengan
tangan menggenggam, kaki lurus bergerak tidak berhenti saat dipegang,
mata melihat keatas dan segera sadar setelah selesai kejang. Setelah
dirawat selama 4 hari, demam hanya turun beberapa jam setelah
pemberian paracetamol, kemudian demam meningkat kembali. BAB (+)
normal, BAK (+) normal, lemas (+). Saat demam hari ke-5, demam
semakin meningkat. Kemudian OS mengalami BAB bercampur darah,
berwarna kehitaman , bau disangkal, lendir disangkal. BAK (+) pampers,
rasa haus berkurang, lemas (+), nafsu makan berkurang, mimisan (-),
batuk (-), pilek (-), nyeri perut (+), mual (-), muntah (-).

Riwayat penyakit dahulu :


Sakit serupa disangkal (-), kejang (-), BAB berdarah (-)
Riwayat penyakit keluarga :
Sakit serupa disangkal
Riwayat Penggunaan obat :
Penggunaan obat disangkal
Riwayat Imunisasi :
Hepatitis B : 0 bulan
BCG : 1 bulan
Polio : 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
Pentabio : 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
Campak : 9 bulan
Riwayat Nutrisi
0-6 bulan : ASI eksklusif

18
6-12 bulan : ASI + MPASI + susu formula
12 bulan keatas : Susu formula + makanan lunak
Riwayat Perkembangan
0–1 bulan : melihat sekitar dan tersenyum
3 bulan : telungkup
6-7 bulan : berusaha mencapai mainan, mengamati mainan, tertawa,
berteriak, menoleh ke arah suara, dada terangkat
menumpu pada lengan
7-12 bulan : berusaha tertatih berjalan
12-26 bulan : berjalan dengan lancar, mencoret coret benda, berbicara
beberapa kata

Riwayat Pertumbuhan
(BB :11 kg, TB : 83 cm, U : 26 bulan)

𝐵𝐵 11
𝑥 100% = 𝑋 100% = 84,6 %
𝑈 13
𝑇𝐵 83
𝑥 100% = 𝑋 100% = 93,20 %
𝑈 89
𝐵𝐵 11
𝑋100% = 𝑋 100 % = 91,6 %
𝑇𝐵 12
Status Gizi : normoweight, cukup, baik

3. STATUS PRESENT
Kesadaran : compos mentis
Keadaan Umum : sakit berat
Keadaan penyakit : berat
Keadaan gizi : normoweight, cukup, baik
Tanda Vital : TD : -
RR : 28 x/m
HR : 100 x/m
T : 38,5˚C
BB : 11 kg

19
GCS : E4 V5 M6

4. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Normocepali (+), rambut mudah rontok (-), massa (-)
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
THT : DBN
Leher : Pembengkakan KGB (-)
Thorax : Frekuensi Nafas: 28x/menit, Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing(-/-). Frekuensi Jantung (100x/menit), Reguler
(+), BJ1 dan BJ2 normal.
Abdomen : Soepel (+),timpani (+), turgor kulit <2 detik, peristaltik
(normal)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ekstremitas : Akral dingin (-), oedem (-), CRT <2 detik,

Status Neurologis
a. Sensorium : Compos mentis
b. Pemeriksaan saraf kranial: sulit dinilai
c. Pemeriksaan kekuatan otot
d. Rangsang Meningeal
 Kaku kuduk (-)
 Brudzinski I (-)
 Brudzinski II (-)
 Kernig (-)
e. Refleks Fisiologis
 Reflek Biceps (+2/+2)
 Redleks Triceps (+2/+2)
 Refleks patella (+2/+2)
 Refleks achilles (+2/+2)
f. Refleks Patologis

20
 Refleks Openheim (-/-)
 Refleks Gordon (-/-)
 Refleks Scaffer (-/-)
 Refleks Chaddoks (-/-)
 Refleks Babinski (-/-)

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel 3.1 Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 23 Agustus 2019
Jenis pemeriksaan Hasil Normal

Darah Lengkap

Leukosit 2.59x103/µL 4,0-11,0 g/dl

Eritrosit 3.86x106/ µL P : 4,50-6,50 W : 4,10-5,10

Hemoglobin 9.4 g/dl P : 13-18 g/dl W : 12-16 g/dl

Hematokrit 27.1 % 36,0-56,0 %

MCV 70.2 fL 80,0-100 fL

MCH 24.4 pg 27,0-32,0 pg

MCHC 34.7 g/dl 32,0-36,0 g/dl

Trombosit 264x103/ µL 150-450 103/ µL

RDW 13.7 % 11,0-16,0 %

PCT 0,15 % 0,10-1,00 %

Hitung Jenis Leukosit

Basofil 0,1 0-1 %

Eosinofil 0,1 2-4 %

Neutrofil 57.9 2-6 %

Limfosit 34.0 20-40 %

21
Monosit 7.7 2- 8 %

Rencana Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Darah Rutin
2. EEG
3. IgG dan IgM
4. Tubex TF
5. Urinalisa

6. DIAGNOSA BANDING :
1. Observasi febris ec DHF + KDS
2. Demam tifoid 2. Epilepsi
3. Malaria 3. Encephalitis
4. ISK 4. Meningitis

7. DIAGNOSA UTAMA :
Observasi febris ec DHF + KDS

8. PENATALAKSANAAN :
Ivfd RL 80 tpm maintenance NS ¼ 44 tpm
Inj Diazepam ½ amp (K/P)
Luminal 2x25 mg
Paracetamol syrup 4xC1 (15 mg)
Diet Makanan Biasa 1050 kkal + protein 11-22 gram

Cairan Infus
10-20 kg = 1000 + ((BB-10)x 50)
= 1000 + ((11-10)x50)
= 1000 + (1x50)
= 1050 : 24
= 44 tpm

22
Kalori
10-20 kg = 1000 + ((BB-10)x 50)
= 1000 + ((11-10)x50)
= 1000 + (1x50)
= 1050 kkal
Protein
= BB x (1-2) gram
= 11-22 gram

9. KOMPLIKASI
1. Syok dengue
2. Perforasi gastrointestinal
3.Kelainan Ginjal
4. Edem Paru

10. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

10. FOLLOW UP HARIAN


Follow up di Ruangan
23/8/2019
S/ Demam (+), Kejang (-), lemas (-), Batuk (-), pilek (-), BAB (+), BAK (+), mual
(-), muntah (-), rasa haus (+), nafsu makan (-)
O/ sensorium : Compos mentis
TD :-
T : 37,6ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) darah (-)

23
Thoraks : Simetris (+) Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)
Frekuensi nafas 27x/m, frekuensi jantung 112 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) ,
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 detik
A/ KDS
P / IVFD Ns ¼ 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Cefadroxil 2x cth 1 (H1)
Metrodinazole 2x cth 1 (H1)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
Paracetamol 6 x cth 1
Luminal 2 x 20 mg (pulvis)
Rencana/ Cek darah rutin, Tubex TF
Hasil Pemeriksaan darah lengkap
1. WBC = 2.59 (103/uL)
2. HB = 11.6 (g/dL)
3. PLT = 264 (103/uL)
4. HCT = 33,2 (%)
5. Tubex TF = +4

24
Jumlah pteckie 18 buah

24/8/2019
S/ Demam (+), Kejang (-), lemas (-), Batuk (-), pilek (-), BAB (+), BAK (+), mual
(-), muntah (-), nyeri perut (-), nyeri kepala (-), rewel (+), gelisah (+), nafsu
makan (-), rasa haus (+)
O/ sensorium : Compos mentis
TD :-
T : 37,9ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) darah (-)
Thoraks : Simetris (+/+) Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)
Frekuensi nafas 27x/m, frekuensi jantung 108 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) ,
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 detik
A/ KDS
P / IVFD Ns ¼ 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Cefadroxil 2 x cth 1 (H2)
Metrodinazol 2 x cth 1 (H2)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
Paracetamol 6 x cth 1
Luminal 2 x 20 mg (pulvis)

25/8/2019

25
S/ Demam (+), Kejang (-), lemas (-), Batuk (-), pilek (-), BAB (+) bercampur
bercak darah dan kehijauan, BAK (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan (-), rasa
haus (-), nyeri otot (+), nyeri kepala (+)
O/ sensorium : Compos mentis
TD :-
T : 37,5ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) darah (-)
Thoraks : Simetris (+/+) Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)
Frekuensi nafas 30x/m, frekuensi jantung 115 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) ,
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 detik
A/ KDS
P / IVFD Ns ¼ 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam (H1)
Metrodinazol 2 x cth 1 (H3)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
Paracetamol 6 x cth 1
Luminal 2 x 20 mg (pulvis)

26/8/2019
S/ Demam (+), Kejang (-), lemas (+), Batuk (-), pilek (-), BAB (+) berdarah dan
berwarna kehitaman, BAK (+), nyeri otot (-), rewel (+), gelisah (+), mual (+),
muntah (-), rasa haus (-), nafsu makan (-), nyeri kepala (+), nyeri otot (-)

26
O/ sensorium : Compos mentis
TD :-
T : 38,2ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (+/+)
Hidung : Sekret (+) darah (-)
Thoraks : Simetris (+/+) Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)
Frekuensi nafas 32x/m, frekuensi jantung 122 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) ,
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : akral dingin (+), CRT <2 detik
A/ DHF+ KDS
P / IVFD RL 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam (H2)
Metrodinazol 2 x cth 1 (H4)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
Paracetamol 6 x cth 1
Luminal 2 x 20 mg (pulvis)
Rencana/ Cek darah rutin, IgG/IgM, transfusi Whole Blood 125 cc
Hasil Pemeriksaan darah lengkap
1. WBC = 6,73 (103/uL)
2. HB = 9,4 (g/dL)
3. PLT = 97 (103/uL)
4. HCT = 27,1 (%)
5. NS-1 = Non Reaktif
6. IgG = Reaktif

27
7. IGM = Reaktif
Folket Tanda Vital per 1 jam
Jam (WIB) Heart Respiratory Temperatur
Rate Rate (x/i) (0C)
(x/i)
14.30 112 32 37,3
15.30 120 30 36,7
16.30 116 30 36,7
17.30 118 28 36,8
18.30 92 25 36,3
19.30 115 25 36,9
20.30 128 23 37,1
21.30 98 24 36,5
22.10 102 25 36,1
(Transfusi
WB 125 cc)
22.30 95 25 36,9
23.00 104 26 36,6

00.00 92 28 36,8

27/8/2019

28
S/ Demam (+), Kejang (-), lemas (-), Batuk (-), pilek (-), BAB (+) berdarah, BAK
(+), nyeri otot (-), rewel (+), gelisah (+), mual (+), muntah (-), rasa haus (-), nafsu
makan (+), nyeri perut (+), nyeri kepala (+)
O/ sensorium : Compos mentis
TD :-
T : 36,8ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) darah (-)
Thoraks : Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)
Frekuensi nafas 25x/m, frekuensi jantung 94 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) , turgor kulit <2 detik
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : Akral dingin (-)
A/ DHF+ KDS
P / IVFD RL 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam (H3)
Inj. Ranitidin 4 strip/12 jam
Metrodinazol 2 x cth 1 (H5)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
Paracetamol 6 x cth 1
Luminal 2 x 20 mg (pulvis)
Rencana/ Cek darah rutin per 8 jam
Hasil Pemeriksaan darah lengkap
No Jenis Pemeriksaan 03.30 11.30 19.30
WIB WIB WIB

29
1 WBC (103/uL) 5,87 9,59 11,52
2 HB (g/dL) 11,7 12,8 12,8
3 PLT (103/uL) 158 169 187
4 HCT (%) 33,7 36,7 37,5

Folket tanda vital


Jam Heart Rate Respiratory rate Temperatur
(WIB) (x/i) (x/i) (oC)
01.00 87 23 36,2
02.00 94 25 36,9
03.00 96 24 36,5
04.00 103 24 36,9
05.00 90 26 36,8
06.00 97 25 36,6
07.00 92 27 36,7
08.00 90 25 36,6
09.00 89 23 36,6
12.00 92 22 36,8
15.00 95 23 36,9
18.00 92 24 36,8
21.00 88 24 36,9
00.00 90 22 36,7

30
28/8/2019
S/ Demam (+) berkurang, Kejang (-), lemas (-), Batuk (-), pilek (-), BAB (+)
berdarah, BAK (+), nyeri otot (-), rewel (+), gelisah (+), nafsu makan (-), rasa
haus (+), mual (-), muntah (-)
O/ sensorium : Compos mentis
TD :-
T : 36,9ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) darah (-)
Thoraks : Simetris (+/+) Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)
Frekuensi nafas 27x/m, frekuensi jantung 102 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) ,
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 detik
A/ DHF+ KDS
P / IVFD RL 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam (H4)
Inj. Ranitidin 4 strip/12 j
Metrodinazol 2 x cth 1 (H6)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
Paracetamol 6 x cth 1
Luminal 2 x 20 mg (pulvis)
Hasil Pemeriksaan darah lengkap
1. WBC = 12,31 (103/uL)

31
2. HB = 12,2 (g/dL)
3. PLT = 262 (103/uL)
4. HCT = 35,7 (%)
Folket tanda vital
Jam Heart Rate Respiratory Temperatur
(x/i) rate (x/i) (oC)
03.00 98 23 36,8
06.00 96 26 36,8
09.00 93 24 36,4

29/8/2019
S/ Demam (+) berkurang, Kejang (-), lemas (-), Batuk (-), pilek (-), BAB (+)
berdarah, BAK (+), nyeri otot (-), rewel (+), gelisah (-), nafsu makan (-), rasa haus
(+)
O/ sensorium : Compos mentis
TD :-
T : 36,2ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) darah (-)
Thoraks : Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)

32
Frekuensi nafas 25x/m, frekuensi jantung 96 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) ,
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 detik
A/ DHF+ KDS
P / IVFD RL 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam (H5)
Inj. Ranitidin 4 strip/12 j
Metrodinazol 2 x cth 1 (H7)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
Paracetamol 6 x cth 1
Luminal 2 x 20 mg (aff)
Hasil Pemeriksaan darah lengkap (keluarga menolak cek darah ulang)

30/8/2019
S/ Demam (+) berkurang, Kejang (-), lemas (-), Batuk (-), pilek (-), BAB (+)
kehijauan, BAK (+), nyeri otot (-), rewel (-), gelisah (-), nafsu makan (+), rasa
haus (+)
O/ sensorium : Compos mentis

33
TD :-
T : 36,6ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) darah (-)
Thoraks : Simetris (+/+) Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)
Frekuensi nafas 26x/m, frekuensi jantung 93 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) ,
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 detik
A/ DHF+ KDS
P / IVFD RL 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam (H6)
Inj. Ranitidin 4 strip/12 j
Metrodinazol 2 x cth 1 (H8)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
Paracetamol 6 x cth 1(aff)

34
31/8/2019
S/ Demam (-) berkurang, Kejang (-), lemas (-), Batuk (-), pilek (-), BAB (+)
kekuningan, BAK (+), nyeri otot (-), rewel (-), gelisah (-), nafsu makan (+), rasa
haus (+), mual (-), muntah (-)
O/ sensorium : Compos mentis
TD :-
T : 36,3ºC
BB : 11 kg
Pemeriksaan Fisik :
Mata : refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) darah (-)
Thoraks : Simetris (+/+) Ves (+/+) Rh (-/-) Wh (-/-)
Frekuensi nafas 26x/m, frekuensi jantung 89 x/m
Abdomen : Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : soepel (+) ,
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (normal)
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 detik
A/ DHF+ KDS
P / IVFD RL 44 tpm
Inj Diazepam ¼ ampul (K/P)
Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam (H7)
Inj. Ranitidin 4 strip/12 j
Metrodinazol 2 x cth 1 (H9)
Lacto B 2 x sac 1
Zinc 1 x cth 1
PBJ

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan seorang anak laki-laki berumur 2 tahun 2 bulan dengan berat


11 kg dan panjang 83 cm yang dirawat di ruang anak RSUD Datu Beru dari
tanggal 22 Agustus 2019 sampai 31 Agustus 2019 dengan diagnosa Dengue
Hemorrhage Fever .
Diagnosis DHF didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini diagnosa DHF , ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
 Demam terjadi secara tiba-tiba dan mendadak tinggi pada hari pertama
demam dan 4 hari pasca dirawat di RSUD Datu Beru. Sesuai dengan teori
dimana demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama
2-7 hari.

36
 Pada demam hari ke-5 didapatkan OS mengalami BAB berdarah atau
melena. Sesuai dengan teori terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji
bendung positif, ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis dan melena.
2. Pemeriksaan Penunjang
 Dari hasil pemeriksaan lab ditemukan PLT : dari 264x103/ul menjadi
92x103/ul, sesuai dengan teori dimana Trombositopeni 100.000/mm3 atau
kurang dari 1-2 trombosit/lapangan pandangan besar. Biasa ditemukan
antara hari sakit ketiga-ketujuh
 Pemberian cairan RL sesuai dengan teori dimana cairan intravena
diperlukan, apabila (1) anak terus-menerus muntah, tidak mau -minum,
demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2) nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
 Pemberian paracetamol sesuai dengan teori dimana Antipiretik dapat
diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol.

37
KESIMPULAN

Berdasarkan klasifikasi DHF menurut WHO didapatkan bahwa pasien


tersebut memiliki gejala yang sama dengan klasifikasi DHF grade II dimana
gejalanya sama dengan DHF derajat I (demam) ditambah dengan perdarahan
spontan dan terdapat melena sehingga masuk ke DHF Grade II, juga disetai
penurunan Trombosite kurang atau 100.00/mm3 . Diagnosa juga memenuhi
kriteria berdasarkan buku IDAI dimana Dua gejala klinis pertama ditambah satu
gejala laboratorium cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DHF.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Hairani LK. 2009. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia.


FKM UI: Jakarta.
2. Wahono TD. 2004. Demam Berdarah Dengue. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan: Jakarta
3. Anggia SD. 2006. Gambaran Klinis Penderita Demam Berdarah Dengue
yang dirawat di Bagian Ilmu penyakit Dalam Periode 1 Januari- 31
Desember 2005. Hal:27-37. Ilmu Penyakit Dalam: Pekanbaru
4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. 2007. Demam Berdarah
Dengue. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid: III. Ed:V. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta
5. Fahmi Umar Achmadi. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi: Manajemen
Demam Berdarah. Jakarta
6. Ditjen PP&PL. 2006. DBD terus ancam warga Banjarmasin, dua balita
meninggal: dalam www.ppmplp.depkes.go.id
7. Lestari K. 2007. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue
di Indonesia. Farmaka. Hal:5:12-29.
8. Poerwo Soedarmo, Sumarsono S. Carna, Herry dkk. 2008. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. Ed: II. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta
9. Robert W T. 2004. Viral haemorrhagic fever. dalam:
http://www.emedicine.com/derm/viral haemorrhagic fever.htm
10. John D Synder, Larry K Pickering. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
15th eds. Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2000. P. 1484 –
5.
11. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. : DHF. Buku Kuliah 3 Ilmu
Kesehatan Anak. Percetakan Infomedika. Jakarta. 1985. P. 1228 – 31.
12. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Keenam. Edisi Bahasa
Indonesia, diterjemahkan, diadaptasi, dan diedit oleh IDAI. 2014.
13. Sanford JP. 2000. Infeksi Arbovirus dalam Harrison prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Ed:13. Vol:2. Hal:955-6. EGC: Jakarta

39
14. Chen K, Herdiman T. Pohan, Sinto R. 2009. Diagnosis dan terapi cairan
pada demam berdarah dengue. Medicinus: Scientic Journal of
Pharmaceutical Development and Medical Application. Hal: 22: 3-7.
15. World Health Organization. 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis,
Treatment, Prevention and Control. New edition. Geneva.
16. H. Antonius P, Hegar Badriul, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2010. Jilid 1. Penerbit IDAI.:Jakarta.

40

Anda mungkin juga menyukai