Anda di halaman 1dari 8

Teori stakeholder

Teori ini pada awalnya muncul karena adanya perkembangan kesadaran dan
pemahaman bahwa perusahaan memiliki stakeholder, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan. Ide bahwa perusahaan memiliki stakeholder ini kemudian menjadi hal
yang banyak dibicarakan dalam literatur-literatur manajemem baik akademis maupun
profesional.
Studi yang pertama kali mengemukakan mengenai stakeholder adalah Strategic
Management: A Stakeholder Approach oleh Freeman (1984). Sejak itu banyak sekali studi
yang membahas mengenai konsep stakeholder. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan
telah mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum dikenal dengan stakeholder theory
artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-
nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen
dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder
theory dimulai dengan asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan
bagian dari kegiatan usaha (Freeman dkk., 2004).
Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya
beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder
(pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak
lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan
yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali & Chariri, 2007).
Deegan (2004) menyatakan bahwa stakeholder theory adalah "Teori yang menyatakan bahwa
semua stakeholder memunyai hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan
yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat
memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran
secara langsung dalam suatu perusahaan."
Teori Legitimasi
Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan
yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas
ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan
secara sosial (Suchman, 1995 dalam Kirana, 2009).
Legitimasi dianggap penting bagi perusahaan dikarenakan legitimasi masyarakat
kepada perusahaan menjadi faktor yang strategis bagi perkembangan perusahaan ke depan.
O’Donovan (2000) berpendapat legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang
diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan
dari masyarakat. Dengan demikian legitimasi memiliki manfaat untuk mendukung
keberlangsungan hidup suatu perusahaan.
Legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada
keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah individu dan kelompok masyarakat,
Gray et al. (1996: 46) dalam Ahmad dan Sulaiman (2004). Untuk itu, sebagai suatu sistem
yang mengutamakan keberpihakan atau kepentingan masyarakat. Operasi perusahaan harus
sesuai dengan harapan dari masyarakat. Deegan, Robin dan Tobin (2002) dalam Fitriyani
(2012) menyatakan legitimasi dapat diperoleh 10 manakala terdapat kesesuaian antara
keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai (congruent) dengan eksistensi sistem
nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju
ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam.
Dasar pemikiran teori ini adalah organisasi atau perusahaan akan terus berlanjut
keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai
yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan
perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh
masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan tahunan mereka untuk menggambarkan kesan
tanggung jawab lingkungan, sehingga mereka diterima oleh masyarakat
Teori Pesinyalan (Signalling Theory)
Teori ini menekankan kepada pentingnya informasi dikeluarkan oleh perusahaan
terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi merupakan catatan penting
suatu perusahaan baik di masa lalu, saat ini maupun di masa yang akan datang. Teori sinyal
menunjukkan adanya asimetris informasi anatara manajemen perusahaan dan pihak-pihak
yang berkepentingan dengan informasi tersebut dan mengemukakan tentang bagaimana
perusahaan memberikan sinyalsinyal kepada pengguna laporan keuangan.
Informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan sinyal
bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut
mengandung nilai positif, maka diharapkan pelaku pasar akan bereaksi pada waktu
pengumuman tersebut dan diterima oleh para pelaku pasar. Sinyal dapat berupa promosi atau
informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan
lain (Jogiyanto, 2000). Sama halnya jika dikaitkan dengan hubungan kinerja dengan
pengungkapan sosial atau lingkungan, yaitu jika suatu perusahaan memiliki kinerja finansial
yang tinggi maka dapat memberikan sinyal positif bagi investor atau masyarakat melalui
laporan keuangan atau laporan tahunan yang akan diungkapkan.
Teori Kontrak Sosial

Teori kontrak sosial muncul dan berkembang di Jaman Pencerahan ditandai dengan
rasionalisme dan humanisme. Teori kontrak sosial secara samar diisyaratkan pemikir-pemikir
sebelumnya, seperti Aquinas.

Thomas Hobbes, John Locke dan JJ. Rousseau sama-sama membahas tentang kontrak sosial
dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka berbeda soal bagaimana, siapa mengambil
kewenangan dan pengoperasian kewenangan selanjutnya. Penyebab perbedaan itu berkaitan
latarbelakang pribadi dan kepentingannya.

Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau karena Perang Saudara,
Hobbes menginginkan negaranya stabil dan mempunyai ikatan karier politik dengan kalangan
kerajaan. Locke (1632-1704) merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik,
mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen. Sedangkan Rousseau (1712-
1777) berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan dan
Rousseau terlibat dalam Revolusi Perancis.

Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu jahat, nafsu tidak terbatas akan
kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Untuk memenuhi nafsu tidak terbatas itu, manusia
berperang antar sesamanya. Akhirnya manusia berusaha menghindari kondisi perang itu
dengan membuat kontrak sosial, mengadakan kesepakatan, dengan melepaskan hak-hak
mereka dan menstransfernya kepada beberapa orang atau lembaga. Orang atau lembaga itu
diberi hak sepenuhnya, masyarakat tidak mempunyai hak lagi mempertanyakan kedaulatan
penguasa.

Locke menyatakan bahwa manusia itu baik, akalnya menuntun pada kebaikan tidak perlu
melanggar dan merusak kehidupan lainnya. Namun manusia punya nafsu yang sering sulit
dikontrol oleh akalnya menyebabkan lebih mementingkan pribadi, muncul konflik. Dan pihak
yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan, karena tidak
mempunyai kekuatan cukup.

Dari situ manusia kemudian mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat
menyerahkan sebagian hak-haknya. Menurut Locke, ada tiga pihak dalam kontrak sosial ini,
yaitu pencipta kepercayaan, rakyat, yang diberi kepercayaan, pemerintah, dan yang menerima
manfaat dari pemberian kepercayaan tersebut, pengawas pemerintah, parlemen. Dalam hal ini
pemerintah atau pemegang kekuasaaan bertanggung jawab kepada parlemen dengan
kewenangan yang terbatas. Kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah
hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan
putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya.

Rousseau menyebutkan pada dasarnya manusia itu sama dan baik. Tetapi alam, fisik dan
moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa
orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa. Dari sinilah
membutuhkan kontrak sosial.

Dalam mendirikan negara dan masyarakat kontrak sosial sangat dibutuhkan agar satu orang
atau kelompok tidak terlalu mendominasi yang lain. Rousseau berpendapat bahwa kontrak
sosial terjadi tanpa paksaan. Negara yang disokong oleh kemauan bersama akan menjadikan
manusia seperti manusia sempurna dan membebaskan manusia dari ikatan nafsu. Manusia
sadar dan tunduk pada hukum bersumber dari kemauan bersama.

Menurutnya, kekuasaan legislatif harus di tangan rakyat sedang eksekutif harus berdasar pada
kemauan bersama. Rakyat dianggap sejajar dengan penguasa manapun. Kebaikan Teori
Rousseau menganut perjanjian masyarakat yang sebenarnya. Bentuk negara kekuasaanya di
tangan rakyat, atau Demokrasi Mutlak.

Penguasa versi Rousseau hanya sekedar pelayan dari kepentingan rakyat banyak, sedangkan
menurut Hobbes sangat berkuasa. Pemikiran Locke berkurangnya peran pemerintah,
eksekutif tergantung legislatif. Locke mementingkan masalah mayoritas daripada minoritas.
Pemikirannya berpengaruh dan dikembangkan oleh Montesquieu.

Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat, di mana legislatif merupakan amanah rakyat,
tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri. Locke dan Rousseau sama-sama mengaburkan
kekuasaan judikatif.

Untuk menjelaskan kecenderungan pengungkapan CSR dapat menggunakan pendekatan


berlandaskan beberapa teori, yakni Teori Stakeholder, teori Legitimasi, Teori Kontrak Sosial,
dan Teori Ekonomi Politik.
PERTAMA,Teori Stakeholder ( Stakeholder Theory).
Stakeholder adalah semua pihak, internal maupun eksternal, dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder
merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti : Pemerintah, perusahaan pesaing,
masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan
sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan
lain sebagainya keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perusahaan. Hal
pertama mengenai teori stakeholder adalah bahwa stakeholder adalah sistem secara eksplisit
berbasis pada pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui sifat saling
mempengaruhi antara keduanya kompleks dan dinamis. Hal ini berlaku untuk kedua varian
teori stakeholder. Varian pertama berhubungan langsung dengan model akuntabilitas.
Stakeholder dan organisasi saling mempengaruhi. Hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial
keduanya berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu, organisasi memiliki
akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Sifat dari akuntabilitas itu ditentukan dengan
hubungan antara stakeholder dan organisasi. Varian kedua teori stakeholder berhubungan
dengan pandangan mengenai empirical accountability. Teori stakeholder mungkin digunakan
dengan ketat dalam suatu organisasi arah terpusat (centered-way organization). Diungkapkan
bahwa lingkungan sosial perusahaan merupakan sarana sukses bagi perusahaan untuk
menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya. Berdasarkan asumsi stakeholder theory,
maka perusahaan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu
menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukkannya dalam kerangka kebijakan dan
pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan, yaitu
stabilitas usaha dan jaminan going concern (Adam, dalam Nor Hadi, 2011).
KEDUA, Teori Legimitasi (Legitimacy Theory).
Legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam rangka
mengembangkan perusahaan ke depan. Hal itu dapat dijadikan sebagai wahana untuk
mengonstruksi strategi perusahaan, terutama terkait dengan upaya memposisikan diri di
tengah lingkungan masyarakat semakin maju. Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai
sesuatu diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi
merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going
concern). Definisi tersebut mengisyaratkan, bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan
perusahaan berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), Pemerintah,
individu, dan kelompok masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu sistem mengedepankan
keberpihakan kepada society, operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan
masyarakat. Suatu organisasi mungkin menerapkan empat strategi legitimasi ketika
menghadapi berbagai ancaman legitimasi. Oleh karena itu, untuk menghadapi kegagalan
kinerja perusahaan seperti kecelakaan serius atau skandal keuangan organisasi mungkin:
1)Mencoba untuk mendidik stakeholder tentang tujuan organisasi untuk meningkatkan
kinerja. 2)Mencoba untuk merubah persepsi stakeholder terhadap suatu kejadian (tetapi tidak
merubah kinerja aktual organisasi). 3)Mengalihkan (memanipulasi) perhatian dari masalah
menjadi perhatian (mengkonsentrasikan terhadap beberapa aktivitas positif tidak
berhubungan dengan kegagalan). 4)Mencoba untuk merubah ekspektasi eksternal tentang
kinerja. 5)Teori legitimasi dalam bentuk umum memberikan pandangan penting terhadap
praktek pengungkapan sosial perusahaan. Kebanyakan inisiatif utama pengungkapan sosial
perusahaan bisa ditelusuri pada satu atau lebih strategi legitimasi. Sebagai misal,
kecenderungan umum bagi pengungkapan sosial perusahaan untuk menekankan pada poin
positif bagi perilaku organisasi dibandingkan dengan elemen negatif.
KETIGA, Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory).
Teori ini muncul karena adanya interelasi dalam kehidupan sosial masyarakat, agar terjadi
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, termasuk dalam lingkungan. Perusahaan
merupakan kelompok orang memiliki kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan secara
bersama adalah bagian dari masyarakat dalam lingkungan lebih besar. Keberadaannya sangat
ditentukan oleh masyarakat, di mana antara kedua saling pengaruh-mempengaruhi. Untuk itu,
agar terjadi keseimbangan (equality), maka perlu kontrak sosial baik secara tersusun baik
secara tersurat maupun tersirat, sehingga terjadi kesepakatan saling melindungi kepentingan
masing-masing. Social Contract dibangun dan dikembangkan, salah satunya untuk
menjelaskan hubungan antara perusahaan terhadap masyarakat (society). Di sini, perusahaan
atau organisasi memiliki kewajiban pada masyarakat untuk memberi manfaat bagi
masyarakat. Interaksi perusahaan dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi
dan mematuhi aturan dan norma-norma berlaku di masyarakat, sehingga kegiatan perusahaan
dapat dipandang legitimate. Dalam perspektif manajemen kontemporer, teori kontrak sosial
menjelaskan hak kebebasan individu dan kelompok, termasuk masyarakat dibentuk
berdasarkan kesepakatan saling menguntungkan anggota. Hal ini sejalan dengan konsep
legitimacy theory bahwa legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara
keberadaan perusahaan tidak menganggu atau sesuai (congruence) dengan eksitensi sistem
nilai dalam masyarakat dan lingkungan. Konsep kontrak sosial (social contract) bahwa untuk
menjamin kelangsungan hidup dan kebutuhan masyarakat, kontrak sosial didasarkan pada :
a)Hasil akhir (output) secara sosial dapat diberikan kepada msayarakat luas. b)Distribusi
manfaat ekonomis, sosial, atau pada politik kepada kelompok sesuai dengan kekuatan
dimiliki. Mengingat output perusahaan bermuara pada masyarakat, serta tidak adanya power
institusi bersifat permanen, maka perusahaan membutuhkan legitimasi. Di situ, perusahaan
harus melebarkan tanggungjawab tidak hanya sekedar economic responsibility lebih
diarahkan kepada shareholder (pemilik perusahaan), namun perusahaan harus memastikan
bahwa kegiatannya tidak melanggar dan bertanggungjawab kepada Pemerintah dicerminkan
dalam peraturan dan perundang-undangan berlaku (legal responsibility). Di samping itu,
perusahaan juga tidak dapat mengesampingkan tanggungjawab kepada masyarakat,
dicerminkan lewat tanggung jawab dan keberpihakan pada berbagai persoalan sosial dan
lingkungan timbul (societal respobsibility).
KEEMPAT, Teori Ekonomi Politik.
Dua varian teori ekonomi politik: klasik (biasanya sebagian besar berhubungan dengan Marx)
dan Bourgeois (biasanya sebagian besar berhubungan dengan John Stuart Mill dan ahli
ekonomi berikutnya). Perbedaan penting antara keduanya terletak pada tingkat analisis
pemecahan, yakni konflik struktural dalam masyarakat. Ekonomi politik klasik meletakkan
konflik struktural, ketidakadilan dan peran negara pada analisis pokok. Sedangkan Ekonomi
politik Bourgeois cenderung menganggap hal-hal tersebut merupakan suatu given. Karena
itu, hal-hal tersebut tidak dimasukkan dalam analisis. Hasilnya, ekonomi politik Bourgeois
cenderung memperhatikan interaksi antar kelompok dalam suatu dunia pluralistic (sebagai
misal, negosiasi antara perusahaan dan kelompok penekan masalah lingkungan, atau dengan
pihak berwenang). Ekonomi politik Bourgeois bisa digunakan dengan baik untuk
menjelaskan tentang praktek pengungkapan sosial. Sedangkan Ekonomi politik klasik hanya
sedikit menjelaskan praktek pengungkapan sosial perusahaan, mempertahankan bahwa
pengungkapan sosial perusahaan dihasilkan secara sukarela. Ekonomi politik klasik memiliki
pengetahuan tentang aturan pengungkapan wajib, dalam hal ini biasanya negara telah
memilih untuk menentukan beberapa pembatasan terhadap organisasi. Ekonomi politik klasik
akan menginterpretasikan hal ini sebagai bukti bahwa negara bertindak "seakan-akan" atas
kepentingan kelompok tidak diuntungkan (sebagai misal, orang tidak mampu, ras minoritas)
untuk menjaga legitimasi sistem kapitalis secara keseluruhan.

Teori aktivitas
Tujuan dari teori aktivitas adalah memahami kemampuan mental seorang individu. Namun, ia
menolak individu yang terisolasi sebagai unit analisis yang tidak mencukupi, menganalisis
aspek budaya dan teknis dari tindakan manusia. [10]
Teori aktivitas paling sering digunakan untuk menggambarkan tindakan dalam sistem sosio-
teknis melalui enam elemen terkait (Bryant et al. Sebagaimana didefinisikan oleh Leonti'ev
1981 dan didefinisikan ulang dalam Engeström 1987) tentang sistem konseptual yang
dikembangkan oleh teori yang lebih bernuansa:
Berorientasi objek - tujuan dari sistem aktivitas. Obyek mengacu pada objektifitas realitas;
item dianggap obyektif sesuai dengan ilmu alam tetapi juga memiliki sifat sosial dan budaya.
Subjek atau internalisasi - aktor yang terlibat dalam kegiatan; gagasan tradisional tentang
proses mental
Komunitas atau eksternalisasi - konteks sosial; semua aktor yang terlibat dalam sistem
kegiatan
Alat atau alat mediasi - artefak (atau konsep) yang digunakan oleh aktor dalam sistem. Alat
mempengaruhi interaksi aktor-struktur, mereka berubah dengan akumulasi pengalaman.
Selain bentuk fisik, pengetahuan juga berkembang. Alat dipengaruhi oleh budaya, dan
penggunaannya merupakan cara untuk akumulasi dan transmisi pengetahuan sosial. Alat
mempengaruhi agen dan struktur.
Pembagian kerja - strata sosial, struktur kegiatan hierarkis, pembagian kegiatan di antara para
pelaku dalam sistem
Aturan - konvensi, pedoman dan aturan yang mengatur kegiatan dalam sistem
Teori aktivitas membantu menjelaskan bagaimana artefak sosial dan organisasi sosial
memediasi tindakan sosial (Bryant et al.).
Munculnya komputer pribadi menantang fokus dalam pengembangan sistem tradisional pada
sistem mainframe untuk otomatisasi rutin kerja yang ada. Lebih lanjut, ini
memunculkan kebutuhan untuk fokus pada cara mengerjakan bahan dan benda
melalui komputer. Dalam pencarian perspektif teoretis dan metodis yang cocok untuk
menangani masalah fleksibilitas dan mediasi yang lebih maju antara manusia, materi
dan hasil melalui antarmuka, tampaknya menjanjikan untuk beralih ke tradisi
penelitian HCI yang masih agak muda yang telah muncul terutama di AS (untuk
diskusi lebih lanjut lihat Bannon & Bødker, 1991).

Secara khusus teori-teori berbasis sains kognitif kekurangan sarana untuk mengatasi sejumlah
masalah yang muncul dari proyek empiris (lihat Bannon & Bødker, 1991): 1. Banyak
antarmuka pengguna tingkat lanjut awal berasumsi bahwa pengguna adalah desainer
sendiri, dan karena itu dibangun berdasarkan asumsi pengguna generik, tanpa
memperhatikan kualifikasi, lingkungan kerja, pembagian kerja, dll. 2. Khususnya
peran artefak yang berdiri di antara pengguna dan materialnya, objek dan hasil tidak
dipahami dengan baik. 3. Dalam memvalidasi temuan dan desain ada fokus besar
pada pengguna pemula sedangkan penggunaan sehari-hari oleh pengguna
berpengalaman dan keprihatinan untuk pengembangan keahlian hampir tidak
ditangani. 4. Analisis tugas terperinci dan model ideal yang dibuat melalui analisis
tugas gagal menangkap kompleksitas dan kontingensi tindakan nyata. 5. Dari sudut
pandang pengaturan kerja yang kompleks, itu mengejutkan bagaimana sebagian besar
HCI berfokus pada satu pengguna - satu komputer berbeda dengan kerja sama yang
terus-menerus dan koordinasi situasi kerja nyata (masalah ini kemudian mengarah
pada pengembangan CSCW) . 6. Pengguna terutama dilihat sebagai objek studi.
[Rujukan?]

Karena kekurangan ini, perlu untuk pindah ke luar HCI berbasis sains kognitif untuk
menemukan atau mengembangkan platform teoritis yang diperlukan. Psikologi Eropa
telah mengambil jalan yang berbeda dari pada orang Amerika dengan banyak inspirasi
dari materialisme dialektik (Hydén 1981, Engeström, 1987). Filsuf seperti Heidegger
dan Wittgenstein datang untuk memainkan peran penting, terutama melalui diskusi
tentang keterbatasan AI (Winograd & Flores 1986, Dreyfus & Dreyfus 1986).
Suchman (1987) dengan fokus yang sama memperkenalkan etnometodologi ke dalam
diskusi, dan Ehn (1988) mendasarkan risalahnya tentang desain artefak komputer
pada Marx, Heidegger dan Wittgenstein. Pengembangan sudut teori aktivitas terutama
dilakukan oleh Bødker (1991, 1996) dan oleh Kuutti (Bannon & Kuutti, 1993, Kuutti,
1991, 1996), keduanya dengan inspirasi kuat dari kelompok-kelompok teori aktivitas
Skandinavia dalam psikologi. Bannon (1990, 1991) dan Grudin (1990a dan b)
membuat kontribusi yang signifikan untuk memajukan pendekatan dengan
membuatnya tersedia untuk audiens HCI. Karya Kaptelinin (1996) telah penting
untuk menghubungkan ke pengembangan sebelumnya teori aktivitas di Rusia. Nardi
menghasilkan, sampai sekarang, koleksi yang paling berlaku dari literatur teoritis
aktivitas HCI (Nardi, 1996)

Anda mungkin juga menyukai