Anda di halaman 1dari 54

QBL 2: ASMA

Makalah Disusun guna memenuhi tugas


Mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Dosen Pengampu: Ns. Ani Widiastuti, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh:
Annisa Kirana Putri 1810711009
Anjani Dara Narulita 1810711010
Nur Fitria Firliani P. 1810711035
Jihan Almira Dewi 1810711036
Dianah Syahirah 1810711038
Anindita Putri Suwarno 1801711042
Rifdah Camila 1810711045
Rizcha Aristiara 1810711049
Ahmad Nursalam 1810711053
Rifda Hasanah Fauzi 1810711054
Nada Tasya Anggini 1810711056
Ni Made Anggun M. 1810711065
Kania Cherrymoon Randar 1810711067
Fitrianih Azzahra 1810711069
Ezzah Najlalya 1810711075
Sri Ayu Mustaqfiroh 1810711087
Elfrida Juniartha 1810711093
Zihan Evrianti Susanto 1810711096
Fauziana Dzulhia Putri 1810711102

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah tentang
QBL 2: Asma ini bisa selesai tepat waktu.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Penulis

Oktober 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 1

1.3 Tujuan 1

BAB II PEMBAHASAN 3
2.1. Pengertian, tipe/grade/klasifikasi 3

2.2. Etiologi 5

2.3. Patofisiologi 5

2.4. Tanda dan Gejala 7

2.5. Komplikasi 9

2.6. Pemeriksaan Penunjang (lab, dll) 11

2.7. Penatalaksanaan Medis (terapi farmakologi, tindakan medis) 12

2.8. Asuhan Keperawatan (Ds, Do, Analisa Data, Rencana Intervensi) 25

BAB III PENUTUP 49


3.1 Simpulan 49
3.2 Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma adalah penyakit heterogen yang biasanya ditandai oleh peradangan kronik jalan
napas. Penyakit ini dapat diketahui oleh adanya keluhan pernapasan seperti sesak napas, batuk,
rasa berat di dada dan juga mengi yang sifatnya dapat ringan sampai berat, bisa sembuh sendiri
dengan atau tanpa pengobatan bersamaan dengan adanya hambatan aliran udara ekspirasi yang
bervariasi.
Mengacu pada data dari WHO, saat ini ada sekitar 300 juta orang yang menderita asma
di seluruh dunia. Terdapat sekitar 250.000 kematian yang disebabkan oleh serangan asma
setiap tahunnya, dengan jumlah terbanyak di negara dengan ekonomi rendah-sedang.
Prevalensi asma terus mengalami peningkatan terutama di negara-negara berkembang akibat
perubahan gaya hidup dan peningkatan polusi udara. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
melaporkan prevalensi asma di Indonesia adalah 4,5% dari populasi, dengan jumlah kumulatif
kasus asma sekitar 11.179.032. Asma berpengaruh pada disabilitas dan kematian dini terutama
pada anak usia 10-14 tahun dan orang tua usia 75-79 tahun. Di luar usia tersebut kematian dini
berkurang, namun lebih banyak memberikan efek disabilitas. Saat ini, asma termasuk dalam
14 besar penyakit yang menyebabkan disabilitas di seluruh dunia. Untuk itulah kita harus selalu
mewaspadai penyakit asma dengan cara meningkatkan kesadaran setiap orang untuk selalu
mengetahui waktu yang tepat mengatasi penyakit saluran pernapasan.

B. Rumusan Masalah
- Apa itu Asma?
- Bagaimana etiologi dan patofisiologi dari Asma?
- Apa saja tanda dan gejala dari Asma?
- Kenapa diperlukan Penatalaksanaan Medis dan Penunjang?
- Apa saja komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit Asma?
- Bagaimana Asuhan Keperawatan dari Asma?
- Bagaimana cara mengedukasi masyarakat tentang penyakit Asma?

C. Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah yang berjudul “QBL 2: Asma” ini merupakan hasil analisis dan
membaca penulis dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah I. Untuk mengetahui pengetahuan tentang penyakit Asma itu sendiri.

1
D. Manfaat Makalah

Penulis berharap makalah dibuat dapat bermanfaat bagi pembacanya dalam


memahami tentang mencegah menangani penyakit Asma.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Asma

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh
reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils, dan T-lymphocytes
terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dispneu, whizzing, dan batuk
akibat obtruksi jalan napas yang bersifat reversible dan terjadi secara episodic
berulang (Brunner and Suddarth, 2011). Penyakit asma merupakan proses inflamasi
kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. (GNA, 2011).
Asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang
berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa
hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mucus, edema dinding saluran
pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai
macam rangsangan (Alsagaff, 2010).

Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa Asma adalah suatu penyakit
yang di tandai oleh hiperresponsif cabang trakeobronkial terhadap berbagai
rangsangan yang akan menimbulkan obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan
(mengi dan sesak).

 Prevalensi
Prevalensi asma terus mengalami peningkatan terutama di negara-negara berkembang
akibat perubahan gaya hidup dan peningkatan polusi udara. Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013, melaporkan prevalensi asma di Indonesia adalah 4,5% dari populasi,
dengan jumlah kumulatif kasus asma sekitar 11.179.032.
 Klasifikasi Asma
Menurut GNA, Tahun 2011 Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya
dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Step 1 (Intermitten)
Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal dalam kondisi serangan
asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika bernapas, bisa mengucapkan kalimat
penuh. Respiratory Rare (RR) meningkat. Biasanya tidak ada gejala retraksi iga
3
ketika bernapas. Gejala malam ≤ 2x dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV
Variabel PEF ≥ 80% atau < 20%.
b. Step 2 (Mild Intermitten)
Gejala perhari ≥ 2x dalam seminggu, tetapi tidak 1x sehari. Serangan asma
diakibatkan oleh aktivitas. Exacerbasi: membaik ketika duduk, bisa mengucapkan
kalimat frase, RR meningkat, kadang-kadang menggunakan retraksi iga ketika
bernapas. Gejala malam ≥ 2x dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV Variabel
PEF ≥ 80 % atau 20% - 30%.
c. Step 3 (Moderate Persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.
Exacerbasi: duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat mengucapkan kata per kata,
RR 30x/mnt, biasanya menggunakan retraksi iga ketika bernapas, gejala malam ≥
1x dalam seminggu. Fungsi paru PEF atau PEV Variabel PEF 60%-80% atau >
30%.
d. Step 4 (severe persistent)
Gejala perhari, sering dan aktivitas fisik terbatas. Exacerbasi: abnormal
pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam sering. Fungsi paru PEF atau PEV
Variabel PEF ≤ 60% atau > 30%.

Menurut Brunner & Suddarth (2002) menyampaikan asma sering dirincikan


sebagai alergik, idopatik, nonalergik atau gabungan, yaitu:
a. Asma Alergik
Disebabkan oleh alergen yang dikenal (misal, serbuk sari, binatang, amarah
dan jamur) kebanyakan alergen terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan
asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat
masa lalu eczema atau rhinitis alergik, pejanan terhadap alergen pencetus
asma.
b. Asma Idiopatik atau Nonalergik
Asma idiopatik atau nonalergik tidak ada hubungan denga alergen spesifik
factor-faktor, seperti command cold, infeksi traktus respiratorius, latihan,
emosi, dan polutan lingkungan yang dapat mencetuskan rangsangan. Agen
farmakologis seperti aspirin dan alergen anti inflamasi non steroid lainnya,
pewarna rambut dan agen sulfit (pengawet makanan juga menjadi factor).
4
Serangan asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dapat berkembang menjadi bronchitis kronis
dan empizema.
c. Asma Gabungan
Adalah asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau nonalergik.

2.2 Etiologi
Jalannya udara terhalang entah karena radang saluran oernapasan atau
penyempitan otot bronchial (bronchospasm). Penyebab yang sering adalah alergi,
sebagai contoh, menghirup serbuk sari, menyebabkan pengaktifan antibodi yang
mengenali penyebab alergi. Mast cell dan histay diaktiy, memulai respons radang
lokal. Prostaglandin meningkatkan efek histamin. Leukotrienes juga merespons
dengan melepaskan mediator inflamasi.

Suatu stimulus menyebabkan reaksi penyebab radang, meningkatkan


ukuran lapisan bronchial; ini memgakibatkan penyempitan jalan udara. Mungkin
ada reaksi otot bronchial yang lembut pada waktu yang sama. Asma terjadi dalam
keluarga yang menunjukkan bahwa asma meruoakan gangguan yang diturunkan.
Tampaknya, faktor lingkungan (misal, infeksi virus, alergen, polutab) berinteraksi
dengan faktor keturunan mengakibatkan penyakit asma. Faktor lain yang memicu
termasuk keadaan oemicu (stres, tertawa, menangis), olahraga perubahan suhu, dab
bau-bau menyengat. Asma sebagai komponen dari triad penyakit, yaitu asma, polip
nasal dan alergi aspirin. Ada dua macam sakit asma.

 Asma ekstrinsik, juga dikenal sebagai atopic, disebabkan oleh alergen seperti
serbuk sari, serangan binatang, jamur, atau debu. Sering dibarengi dengan
rhinitis alergik dan eksem; ini mungkin ada dalam keluarga.
 Asma instrinsik, juga dikenal sebagai nonatopic, disebabkan oleh faktor non-
alergik seperti infeksi jalur pernapasan, terpapar udara dingin, perubahan
kelembaban udara, atau iritasi pernapasan

2.3 Patofisiologi

5
Asma akibat alergi bergantung kepada respons IgE yang dikendalikan oleh limfosit T
dan B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan
dengan sel mast. Sebagian besar allergen yang menimbulkan asma bersifat airbone.
Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak dalam periode waktu tertentu agar
mampu menimbulkan gejala asma. Namun di lain kasus terdapat pasien yang sangat
responsif, sehingga sejumlah kecil allergen masuk ke dalam tubuh sudah dapat
mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi fase akut asma adalah aspirin,
bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adregenik, dan bahan sulfat. Sindrom
khusus pada sistem pernapasan yang sensitif terhadap aspirin terjadi pada orang dewasa,
namun dapat pula dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari
rhinitis vasomotor perennial lalu menjadi rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal dan
akhirnya diikuti oleh munculnya asma progresif.
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi gejalanya dengan pemberian obat
setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang akan terbentuk terhadap
agen anti inflamasi nonsteroid. Mekanisme terjadinya bronkospasme oleh aspirin ataupun
obat lainnya belum diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotriene
yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis beta-adrenergik merupakan hal yang biasanya menyebabkan obstruksi jalan
napas pada pasien asma, demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktivitas
jalan napas. Oleh karena itu, antagonis beta-adrenergik harus dihindarkan pada pasien
tersebut. Senyawa sulfat yang secara luas digunakan sebagai agen sanitasi dan pengawet
dalam industri makanan dan farmasi juga dapat menimbulkan obstruksi jalan napas akut
pada pasien yang sensitive. Senyawa sulfat tersebut adalah kalium metabisulfit, kalium dan
natrium bisulfit, natrium sulfit, dan sulfat klorida. Pada umumnya tubuh akan terpapar
setelah menelan makanan atau cairan yang megandung senyawa tersebut seperti salad, buah
segar, kentang, kerang, dan anggur.
Faktor penyebab yang telah disebutkan tadi ditambah dengan sebab internal pasien akan
mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibody. Reaksi tersebut mengakibatkan
dikeluarkannya substansi Pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh
dalam menghadapi serangan, yaitu dikeluarkannya histamine, bradykinin, dan
anafilatoksin. Sekresi zat-zat tersebut menimbulkan tiga gejala seperti berkontraksinya otot
polos, peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekresi mukus. Berikut adalah
alur klinis dari asma.

6
2.4 Manifestasi Klinis

Gejala klasik pada asma bronchial ini adalah sesak napas ,mengi (whezzing),batuk
,sebagian penderita nyeri dada. Pada serangan asma yang lebih berat gejala-gejala yang timbul
adalah sianosis ,gangguan kesadaran ,hiperventilasi dada, tachycardia dan pernapasan dangkal.
Tanda-tanda yang umum pada penderita asma menurut Crockett (2001) diantaranya :
7
a) Sering pilek,sinusitis,bersin,mimisan,amandel,sesak,suara sesak
b) Pembesaran kelenjar di leher dan kepala bagian belakang bawah
c) Sering lebam kebiruan pada kaki atau tang seperti bekas terbentur,kulit timbul
bisul,kemerahan,bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk
d) Sering menggosok mata,hidung dan telinga berlebihan
e) Nyeri otot dan tulang pada malam hari
f) Sering BAK
g) Gangguan saluran pencernaan antara lain gastroesofageal reflek,sering muntah,nyeri
perut,sariawan ,lidah sering putih atau kotor,nyeri gusi atau gigi,mulut berbau,air liur
berlebihan dan bibir kering
h) Sering BAB (>2 kali/hari),sulit BAB (obstipasi),kotoran bulat kecil hitam seperti
kotoran kambing,keras ,sering buang angin
i) Kepala,telapak kaki atau tangan sering teraba hangat atau dingin
j) Sering berkeringat berlebihan
k) Mata gatal,timbul bintik di kelopak mata ,mata sering berkedip
l) Gangguan hormonal berupa tumbuh rambut berlebih di kaki dan tangan ,keputihan dan
m) Sering sakit kepala dan migran.

Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang ditimbulkan
berupa batuk-batuk pada pagi hari,siang hari dan malam hari,sesak napas /susah
bernapas,bunyi saat bernapas (whezzing atau mengi) rasa tertekan di dada , dan gangguan tidur
karena batuk atau sesak napas atau susah bernapas. Gejala ini terjadi secara reversible dan
episodik berulang (Brunner & Suddarth,2011).

Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan ,seperti berhadpaan dengan
bulu binatang,uap kimia,perubahan termperature,debu,obat (aspirin ,beta-blocker) ,olahraga
berat,serbuk infeksi sistem respirasi,asap roko dan stress (GINA,2004). Gejala asma dapat
menjadi lebih buruk dengan terjadinya komplikasi terhadap asma tersebut sehingga
bertambahnya gejala terhadap distress pernapasan yang biasa dikenal dengan Status Asmaticus
(Brunner & Suddarth, 2011).

Status Asmaticus yang dialami penderiya asma dapat berupa pernapasan whezzing,
ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika bernapas),kemudian bisa berlanjut menjadi
pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi),perbesaran vena leher , hipoksemia,respirasi
alkalosis,respirasi sianosis ,dyspnea dan kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin
8
besarnya obstruksi di bronkus maka suara whezzing dapat hilang dan biasanya menjadi
pertanda bahaya gagal pernapasan (Brunner & Suddarth, 2011).

Begitu bahayanya gejala asma (Dahlan, 1998). Gejala asma dapat mengantarkan
penderitanya kepada kematian seketika,sehingga sangat penting sekali penyakit ini dikontrol
dan di kendalikan untuk kepentingan keselamatan jiwa penderitanya (Sundaru, 2001; Dahlan,
1998).

2.5 Kompilkasi
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai
bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru
yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.

9
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana 26 udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh
trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran
udara atau usus ke dalam rongga dada.

3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat
dangkal.

4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat
oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan
lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis
dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.

5. Gagal napas

10
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-
paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida
dalam sel-sel tubuh.

6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari
saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa
perlu 27 batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau
merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.

7. Emfisema
Emfisema adalah gangguan yang berupa dinding alveolus mengalami kerusakan.
Kerusakan tersebut mengakibatkan ruang udara terdistensi secara permanen. Beberapa
bentuk dari emfisema dapat terjadi akibat rusaknya fungsi pertahanan normal pada paru
(alfa-antitripsin) melawan enzim-enzim tertentu.

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
 Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
 Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
 Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
 Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
 Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
 Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain asma.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


Pemeriksaan penunjang
1. Lung Function Test
 Peak expiratory flow rate (PEFR) atau FEV1 berfungsi untuk mendiagnosis
asma dan tingakatannya.
2. Skin test

11
 Berfungsi untuk mengetahui penyebab dari asma.
3. Chest X-ray
 Berfungsi untuk komplikasi (pneumotoraks) atau untuk memeriksa pulmonaty
shadows dengan allergic bronchipulmonary aspergilosis
4. Histamine bronchial provocation test
 Untuk mengindikasikan adanya airway yang hiperresponsif, biasanya ditemukan
pada seluruh penyakit asma, terutama pada pasien dengan gejala utama
batuk.
 Test ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang mempunyai fungsi paru yang buruk
(FEV1<1,5L)
5. Blood and sputum test
 Pasien dengan asma mungkin memiliki peningakatan eosinofil di darah perifer
(>9,4x109/L).

Pencegahan

 Menghindari allergen
 Menghindari polusi udara terutama rokok baik pasif maupun aktif
 Menghindari obat obatan tertentu aspirin dan anti inflamasi non steroid dapat
menimbulkan eksaserbasi asma

2.7 Penatalaksaan Medis


Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang
dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen
program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen
pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola
hidup sehat.
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri,
tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor 9
pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan
serangan asma di rumah.
2. Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
a. Pemantauan tanda gejala asma.
b. Pemeriksaan faal paru
3. Identifikasi dan pengendalian faktor pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian
lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

12
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam
menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu
dipertimbangkan:
a. Medikasi (obat-obatan)
b. Tahapan pengobatan
c. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas,
terdiri atas pengontrol dan pelega.

A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol adalah:
1) Glukokortikosteroid inhalasi.
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan
komponen yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang
menyebabkan asma. Pada tingkat vascular, glukokortikosteroid inhalasi
bertujuan menghambat terjadinya hipoperfusi, mikrovaskular,
hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa udem, dan pembentukan
pembuluh darah baru (angiogenesis). Glukokortikosteroid inhalasiadalah
medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrolasma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping lokal
seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran
nafas atas.
2) Glukokortikosteroid sistemik.
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan
digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi
penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka
panjang, lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral
selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan
selama jangka waktu tertentu.Efek samping jangka panjang adalah
osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan
kelemahan otot.
3) Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium).
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator
dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada
dosis dan seleksi serta supresi pada sel inflamasi tertentu (makrofag,
eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan menghambat saluran
kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai
13
pengontrol pada asma persisten ringan.Efek samping umumnya minimal
seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.
4) Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin
oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis β2kerja singkat,
sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau
aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol,
dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan
memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja
yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam
dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping berpotensi
terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau lebih) dengan gejala
gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping yang paling
dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia
dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat
menyebabkan kejang bahkan kematian.
5) Agonis β2kerja lama
Termasuk agonis β2kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis
β2memiliki efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada
pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan
mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor.
Pemberian inhalasi agonis β2kerja lama menghasilkan efek
bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena
pengobatan jangka panjang dengan agonis β2kerja lama tidak mengubah
inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2kerja lama
inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam,
memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat
(pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma. Agonis β2kerja lama
inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan
kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit
atau jarang daripada pemberian oral.
6) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya
melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga
memblok sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok
reseptor-reseptor leukotriensisteinil pada sel target (contohnya
montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut
menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.

14
B. Pelega
1) Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat.
Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian
dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset
yang lebih cepat dan efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme
kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan
basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka
dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping.
2) Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya
lebih lemah dibandingkanagonis β2kerja singkat. Teofilin kerja singkat
tidak menambah efek bronkodilatasi agonis β2kerja singkat dosis adekuat,
tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot
pernafasan dan mempertahankan respon terhadap agonis β2kerja singkat
diantara pemberiansatu dengan berikutnya.
3) Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain
itu juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek
samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.
4) Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja
singkat.

C. Tahapan Penanganan Asma


Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat
tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal
mungkin. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown
therapy.
1) Pengobatan berdasarkan derajat berat asma

15
2) Menetapkan pengobatan berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan

16
3) Kontrol secara teratur
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam
penatalaksanaan asma jangka panjangadalah melakukan tindak
lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli parupada keadaan-keadaan
tertentu. Jika asmatidak terkontrol pada pengobatan yang dijalani, maka
pengobatan harus di naikkan. Secara umum, perbaikan harus dilihat
selama 1 bulan. Tetapi sebelumnya harus dinilai tehnik medikasi pasien,
kepatuhan dan usaha menghindari faktor resiko. Jika asma sebagian
terkontrol, dipertimbangkan menaikkan pengobatan yang tergantung
pada keefektifan terhadap pengobatan yang ada, keamanan, dan harga
serta kepuasan pasien terhadap pengobataan yang dijalani pasien.Dan
jika, asma berhasil dikontrol selama minimal 3 bulan, pengobatan dapat
diturunkan secara gradual. Tujuannya adalah mengurangi pengobatan.
Monitoring tetap penting dilakukan setelah asma terkontrol, karena asma
dapat tetap dapat terjadi eksaserbasi apabila kehilangan kontrol.

D. Bronkial thermoplasty (BT)


Bronkial thermoplasty adalah suatu intervensi yang dilakukan
bagi pasien asma untuk mengkontrol energi termal ke dinding saluran
17
pernafasan selama prosedur bronkoskopy, yang menyebabkan penurunan
daripada massa otot halus pada saluran pernafasan. Peningkatan massa dan
kontraktilitas dari otot halus merupakan mekanisme yang dapat
memperparah keadaan asma yaitu dengan meningkatkan bronkokonstriktor
dan obstruksi saluran pernafasan, penurunan jumlah dan/atau
kontraktilitas dari otot halus pada saluran pernafasan akan menyebabkan
perbaikan dari gejala asma itu sendiri.

2.8 Asuhan Keperawatan


Contoh Kasus
Nn. G 23 tahun suku minang datang dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun
pagi dan semakin meningkat ketika beraktivitas, klien juga batuk berdahak. Dari hasil
pengkajian klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih, dan klien
merasa sesaknya berkurang setelah dilakukan pengasapan (nebulizer). Klien juga
mengatakan mempunyai riwayat asma sejak kelas 6 SD dan klien mengatakan bahwa ada
salah satu anggota keluarganya yang memiliki riwayat asma, yaitu ibunya. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan hasil: rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), taktil
fremitus simetris antara kiri dan kanan, suara napas klien terdengar wheezing, resonan
pada perkusi dinding dada, dan sputum berwarna putih kental. Dari hasil observasi
didapatkan hasil: tingkat kesadaran: kompos mentis, dan hasil TTV: TD = 130/70 mmHg,
RR = 36x/menit, HR = 76x/menit, suhu = 37o C. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil: Hb = 15,5 gr%, leukosit = 17.000/mm3, trombosit 260.000/mm3, Ht =
47vol%. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin,
Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L. Pada pemeriksaan penunjang X-ray dada/thorax,
didapatkan hasil paru dalam batas normal.

I. DATA FOKUS
Data Subjektif Data Objektik
1. Klien mengeluh 1. Tingkat kesadaran: kompos mentis
napasnya sesak sewaktu 2. Hasil TTV:
bangun pagi dan  TD = 130/70 mmHg
semakin meningkat  RR = 36x/menit
ketika beraktivitas, serta  HR = 76x/menit
batuk berdahak.  suhu = 37o C.

18
2. klien mengeluh sesak, 3. Hasil pemeriksaan laboratorium:
batuk berdahak dengan  Hb = 15,5 gr%
dahak berwarna putih,  Leukosit = 17.000/mm3
dan klien merasa  Trombosit 260.000/mm3
sesaknya berkurang  Ht = 47vol%.
setelah dilakukan 4. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20
pengasapan (nebulizer). tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan
3. Klien mengatakan nasal kanul 2 L.
mempunyai riwayat 5. Pada pemeriksaan penunjang X-ray dada/thorax,
asma sejak kelas 6 SD didapatkan hasil paru dalam batar normal
dan ada salah satu 6. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil:
anggota keluarganya  rongga dada simetris, retraksi dinding dada
yang memiliki riwayat (+)
asma, yaitu ibunya.  taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan
 suara napas klien terdengar wheezing
 resonan pada perkusi dinding dada
 sputum berwarna putih kental.

II. ANALISA DATA


No Data Masalah Etiologi
keperawatan
1 DS: Tidak efektifnya Gangguan suplai
1. Klien mengatakan batuk berdahak bersihan jalan nafas oksigen
dengan dahak berwarna putih. (bronkospasme),
2. Klien merasa sesak. penumpukan
sekret, sekret
DO: kental.
1. Tanda-tanda vital:
BP=130/70 mmHg
RR=36 x/menit

19
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak sesak nafas disertai
batuk berdahak, berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang diberikan: oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort,
Ventolin, Bisolvon.
2 DS: Pola nafas tidak Gangguan suplai
1. Klien merasa sesak efektif oksigen
DO: (bronkospasme).
1. Tanda-tanda vital:
BP=130/70 mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak sesak nafas disertai
batuk berdahak, berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang diberikan: oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort,
Ventolin, Bisolvon.

3 DS: Gangguan pertukaran Gangguan suplai


1. Klien merasa sesak gas oksigen
DO: (bronkospasme).
1. Tanda-tanda vital:
BP=130/70 mmHg

20
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak sesak nafas disertai
batuk berdahak, berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang diberikan: oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort,
Ventolin, Bisolvon.

4 DS: Resiko tinggi Tidak adekuat


Klien mengatakan mempunyai terhadap infeksi imunitas
riwayat asma sejak kelas 6 SD dan
ada salah satu anggota keluarganya
yang memiliki riwayat asma
DO:
Tanda-tanda vital:
BP=130/70 mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak sesak nafas disertai
batuk berdahak, berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang diberikan: oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort,
Ventolin, Bisolvon.

21
III. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkospasme).
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkuspasme)
4. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas.

IV. INTERVENSI
Diagnosa Tujuan/Kriteria
No Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Tidak Pencapaian Mandiri 1. Beberapa derajat spasme
efektifnya bersihan jalan
1. Auskultasi bunyi bronkus terjadi dengan
bersihan napas dengan nafas, catat obstruksi jalan nafas dan
jalan nafas kriteria hasil adanya bunyi dapat/tidak
berhubungan sebagai berikut: nafas, ex: mengi dimanifestasikan adanya
dengan 1. Mempertahankan
2. Kaji/pantau nafas advertisius.
gangguan jalan napas paten frekuensi 2. Tachipnea biasanya ada
suplai dengan bunyi pernafasan, catat pada beberapa derajat dan
oksigen napas bersih atau rasio dapat ditemukan pada
(bronkospas jelas. inspirasi/ekspirasi penerimaan atau selama
me), 2. Menunjukan . stress/adanya proses
penumpukan perilaku untuk
3. Catat adanya infeksi akut.
sekret, sekret memperbaiki derajat dispnea,
3. Disfungsi pernafasan
kental bersihan jalan ansietas, distress adalah variable yang
nafas misalnya pernafasan, tergantung pada tahap
batuk efektif dan penggunaan obat proses akut yang
mengeluarkan bantu. menimbulkan perawatan
sekret. 4. Tempatkan posisi di rumah sakit.
yang nyaman
4. Peninggian kepala
pada pasien, tempat tidur

22
contoh: memudahkan fungsi
meninggikan pernafasan dengan
kepala tempat menggunakan gravitasi.
tidur, duduk pada
5. Pencetus tipe alergi
sandara tempat pernafasan dapat
tidur. mentriger episode akut.
5. Pertahankan
6. Hidrasi membantu
polusi lingkungan menurunkan kekentalan
minimum, contoh: sekret, penggunaan
debu, asap dll. cairan hangat dapat
6. Tingkatkan menurunkan kekentalan
masukan cairan sekret, penggunaan
sampai dengan cairan hangat dapat
3000 ml/ hari menurunkan spasme
sesuai toleransi bronkus.
jantung 7. Merelaksasikan otot
memberikan air halus dan menurunkan
hangat. spasme jalan nafas,
Kolaborasi mengi, dan produksi
7. Berikan obat mukosa.
sesuai indikasi
bronkodilator.
2 Pola nafas Perbaikan pola Mandiri 1. Membantu pasien
tidak efektif nafas dengan
1. Ajarkan pasien memperpanjang waktu
berhubungan kriteria hasil pernapasan ekspirasi sehingga pasien
dengan sebagai berikut: dalam. akan bernapas lebih
gangguan 1. Mempertahankan
2. Tinggikan kepala efektif dan efisien.
suplai ventilasi adekuat dan bantu
2. Duduk tinggi
oksigen dengan mengubah posisi. memungkinkan ekspansi
(bronkospas menunjukan Berikan posisi paru dan memudahkan
me) RR:16-20 x/menit semi fowler. pernapasan.
Kolaborasi

23
dan irama napas
3. Berikan oksigen
3. Memaksimalkan
teratur. tambahan. bernapas dan
2. Tidak mengalami menurunkan kerja napas.
sianosis atau tanda
hipoksia lain.
3. Pasien dapat
melakukan
pernafasan dalam.
3 Gangguan Perbaikan Mandiri 1. Sianosis mungkin perifer
pertukaran pertukaran gas
1. Kaji/awasi secara atau sentral keabu-abuan
gas dengan kriteria rutin kulit dan dan sianosis sentral
berhubungan hasil sebagai membrane mengindikasikan
dengan berikut: mukosa. beratnya hipoksemia.
gangguan 1. Perbaikan
2. Palpasi fremitus.2. Penurunan getaran
suplai ventilasi. 3. Awasi tanda- vibrasi diduga adanya
oksigen 2. Perbaikan oksigen tanda vital dan pengumplan
(bronkuspas jaringan adekuat. irama jantung. cairan/udara.
me) Kolaborasi 3. Tachicardi, disritmia,
4. Berikan oksigen dan perubahan tekanan
tambahan sesuai darah dapat menunjukan
dengan indikasi efek hipoksemia sistemik
hasil AGDA dan pada fungsi jantung.
toleransi pasien. 4. Dapat memperbaiki atau
mencegah memburuknya
hipoksia.
4 Risiko tinggi Tidak terjadinya Mandiri 1. Demam dapat terjadi
terhadap infeksi dengan
1. Awasi suhu. karena infeksi dan atau
infeksi kriteria hasil
2. Diskusikan dehidrasi.
berhubungan sebagai berikut: adekuat 2. Malnutrisi dapat
1.
dengan tidak Mengidentifikasi kebutuhan nutrisi. mempengaruhi kesehatan
adekuat kan intervensi Kolaborasi umum dan menurunkan
imunitas untuk mencegah tahanan terhadap infeksi.

24
atau menurunkan
3. Dapatkan
3. Untuk mengidentifikasi
resiko infeksi. specimen sputum organisme penyabab dan
2. Perubahan pola dengan batuk atau kerentanan terhadap
hidup untuk pengisapan untuk berbagai anti microbial.
meningkatkan pewarnaan gram,
lingkungan yang kultur/sensitifitas.
nyaman.

2.9 Telaah Jurnal (Kepatuhan Berobat pada Pasien Asma Tidak Terkontrol dan
Faktor-Faktor yang Berhubungan)
A. Ringkasan Artikel
 Pendahuluan
Mencapai kontrol asma masih merupakan tujuan yang sulit dicapai sebagian besar
pasien meskipun telah tersedia pedoman manajemen asma internasional dan terapi
yang terbukti efektif. Tingkat kontrol asma yang rendah diantaranya disebabkan
kepatuhan terhadap pengobatan yang rendah. Hingga saat ini faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien asma tidak terkontrol masih sedikit
diteliti. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil kepatuhan berobat pada pasien asma
tidak terkontrol dan hubungan antara faktor terkait pasien, faktor terkait penyakit,
faktor terkait pengobatan, faktor terkait sosial ekonomi dan faktor terkait sistem
pelayanan kesehatan terhadap kepatuhan berobat pasien asma tidak terkontrol.
 Metode
Penelitian potong lintang terhadap pasien asma tidak terkontrol yang datang ke
poliklinik alergi dan imunologi RSCM dari bulan Februari 2012 hingga Mei 2012.
Semua pasien asma yang memenuhi kriteria dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis
lengkap, pengisian kuesioner, tes kontrol asma, tes Beck Depression Inventory dan
Asthma General Knowledge Questionnaire. Analisis awal hubungan kepatuhan
dengan faktor-faktor yang diteliti menggunakan uji Chi- square. Kemudian dilanjutkan
dengan regresi logistik untuk setiap variabel yang bermakna.
 Hasil
Dari 125 pasien asma tidak terkontrol didapatkan kepatuhan rendah sebesar 56%.
Dilakukan analisis bivariat terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan yaitu usia, pendidikan, pengetahuan asma, penghasilan, depresi, sediaan
obat yang digunakan, keyakinan pasien terhadap dokter, asuransi kesehatan dan
hubungan keluarga dan didapatkan pengetahuan bermakna dengan p=0,001 (IK 1,939-
24,789). Kemudian dilakukan regresi logistik didapatkan pengetahuan paling
berpengaruh terhadap kepatuhan (p=0,003) dengan OR 6,933 (IK 1,939-24,789).

B. Pembahasan
Di Indonesia secara nasional prevalensi asma juga meningkat dari 4,2 % tahun 1995
menjadi 5,4 % tahun 2001. Kota Jakarta sendiri memiliki prevalensi gejala asma yang
cukup besar yaitu 7,5 % pada tahun 2005. Masalahnya bukan sekedar kenaikan prevalensi
25
.

semata, tetapi yang tidak kalah penting adalah dampak dari asma itu sendiri. Tujuan
pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kontrol klinis. Mencapai
kontrol asma masih merupakan tujuan yang sulit dicapai oleh sebagian besar pasien.
Kenyataan ini terus terjadi meskipun telah tersedianya pedoman manajemen asma
internasional selama lebih dari dua dekade dan terapi asma yang telah terbukti
keberhasilannya di berbagai penelitian. Penelitian menunjukkan tingkat kepatuhan dalam
penggunaan obat pengontrol secara teratur serendah 28% di negara maju, padahal
penggunaan obat pengontrol setiap hari dapat secara efektif mengobati gejala asma,
mengurangi peradangan saluran napas dan penggunaan layanan kesehatan. Obat yang
paling efektif sekalipun tidak memiliki nilai jika tidak digunakan secara tepat. Kepatuhan
yang rendah terhadap pengobatan asma terutama obat pengontrol dikaitkan dengan
peningkatan kunjungan ke gawat darurat dan rawat inap serta kematian akibat asma.
Ketidakpatuhan sering menjadi masalah tersembunyi karena jarang dinilai saat
kunjungan rutin asma. Pasien kadang enggan untuk mengakui ketidakpatuhan agar tidak
mengecewakan dokternya dan dokter mungkin enggan untuk menanyakan tentang
kepatuhan karena mereka tidak memiliki metode untuk memperbaikinya.
Terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan, Menurut WHO
faktor ini dapat dikelompokkan menjadi faktor terkait pasien, faktor terkait penyakit, faktor
terkait pengobatan, faktor terkait sosioekonomi dan faktor terkait sistem pelayanan
kesehatan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor– faktor yang terkait dengan kepatuhan
berobat pasien asma karena mempertimbangkan semakin meningkatnya populasi asma di
masyarakat Indonesia, rendahnya control asma dan belum tersedianya penelitian di
Indonesia.
Beberapa pasien tidak memiliki pemahaman tentang peran mereka dalam pengobatan,
kurang pengetahuan tentang penyakit dan akibat dari ketidakpatuhan serta kurangnya
pemahaman dari nilai kunjungan klinik. Beberapa pasien berpikir kebutuhan untuk
pengobatan adalah intermiten, sehingga mereka berhenti berobat untuk melihat apakah obat
masih diperlukan.
Penanganan asma yang efektif memerlukan terjalinnya kemitraan dengan tujuan
pengelolaan asma mandiri (self-management). Pasien harus mengambil bagian aktif dalam
pengelolaan asma mereka dan harus mengetahui dan melaksanakan berbagai rekomendari
yang diberikan oleh dokter mereka untuk memastikan kontrol yang optimal
Analisis bivariat hubungan sediaan obat yang digunakan dengan kepatuhan berobat
pasien asma tidak terkontrol didapatkan tidak bermakna. Suatu tinjauan sistemik oleh
Bender dkk, mengenai metode pemberian obat dan hubungannya dengan kepatuhan
didapatkan bahwa pasien lebih patuh terhadap obat asma oral dibandingkan dengan obat
hirup. Obat yang lebih mudah digunakan lebih diterima oleh pasien dengan demikian
kepatuhan juga meningkat. Hasil ini berbeda dengan penelitian ini dikarenakan responden
yang menggunakan obat oral hanya 4 % dari seluruh subyek penelitian.Penelitian
menunjukkan pasien yang memiliki dukungan emosional, bantuan dari anggota keluarga,
teman atau penyedia layanan kesehatan lebih mungkin untuk menjadi patuh terhadap
pengobatan.

C. Rekomendasi

26
Ditujukan untuk para penderita asma agar dapat mencapai kontrol asma dan diharapkan
dengan adanya penelitian ini dapat menyadarkan para penderita asma untuk memenuhi
kepatuhan terhadap pengobatan karena tingkat kontrol asma yang rendah diantaranya
disebabkan kepatuhan terhadap pengobatan yang rendah.

D. Kesimpulan
Proporsi kepatuhan berobat yang rendah pada pasien asma tidak terkontrol sebesar 56
%.Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan berobat pada asma tidak
terkontrol. Tidak didapatkan hubungan antara usia, status pendidikan, depresi, sediaan obat,
hubungan pasien dengan keluarga, tingkat penghasilan, keyakinan pasien terhadap pengobatan
dokter, asuransi kesehatan dengan kepatuhan berobat pasien asma tidak terkontrol.

E. Daftar Pustaka
Ferliani,dkk.(2015). Kepatuhan Berobat Pasien Asma Tidak Terkontrol dan Faktor-Faktor
yang
Berhubungan. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol.2, No.3. diperoleh 05 November
2019,dari http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/79.

F. Lampiran

27
LAPORAN PENELITIAN

Kepatuhan Berobat pada Pasien Asma


Tidak Terkontrol dan Faktor-Faktor yang
Berhubungan
Ferliani1, Heru Sundaru2, Sukamto Koesnoe2, Hamzah Shatri3
1
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM


2

Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM


3

ABSTRAK
Pendahuluan. Mencapai kontrol asma masih merupakan tujuan yang sulit dicapai sebagian besar pasien meskipun telah
tersedia pedoman manajemen asma internasional dan terapi yang terbukti efektif. Tingkat kontrol asma yang rendah
diantaranya disebabkan kepatuhan terhadap pengobatan yang rendah. Hingga saat ini faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepatuhan berobat pasien asma tidak terkontrol masih sedikit diteliti. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil
kepatuhan berobat pada pasien asma tidak terkontrol dan hubungan antara faktor terkait pasien, faktor terkait penyakit,
faktor terkait pengobatan, faktor terkait sosial ekonomi dan faktor terkait sistem pelayanan kesehatan terhadap kepatuhan
berobat pasien asma tidak terkontrol

Metode. Penelitian potong lintang terhadap pasien asma tidak terkontrol yang datang ke poliklinik alergi dan imunologi
RSCM dari bulan Februari 2012 hingga Mei 2012. Semua pasien asma yang memenuhi kriteria dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisis lengkap, pengisian kuesioner, tes kontrol asma, tes Beck Depression Inventory dan Asthma General
Knowledge Questionnaire. Analisis awal hubungan kepatuhan dengan faktor-faktor yang diteliti menggunakan uji Chi-
square. Kemudian dilanjutkan dengan regresi logistik untuk setiap variabel yang bermakna.

Hasil. Dari 125 pasien asma tidak terkontrol didapatkan kepatuhan rendah sebesar 56 %. Dilakukan analisis bivariat terhadap
faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan yaitu usia, pendidikan, pengetahuan asma, penghasilan, depresi,
sediaan obat yang digunakan, keyakinan pasien terhadap dokter, asuransi kesehatan dan hubungan keluarga dan
didapatkan pengetahuan bermakna dengan p=0,001 (IK 1,939-24,789). Kemudian dilakukan regresi logistik didapatkan
pengetahuan paling berpengaruh terhadap kepatuhan (p=0,003) dengan OR 6,933 (IK 1,939-24,789)

Simpulan. Kepatuhan berobat pada pasien asma tidak terkontrol masih rendah dengan pengetahuan merupakan faktor
yang berhubungan dengan kepatuhan.

Kata kunci. asma, kepatuhan

Asma merupakan penyakit peradangan kronis


PENDAHULUAN pada saluran napas yang diderita lebih dari 300
juta orang didunia.1,2 Secara umum, prevalensi

28
asma cenderung meningkat dari tahun ke tahun
baik di negara maju maupun berkembang.2-4 tetapi yang tidak kalah penting adalah dampak
Berdasarkan data di Amerika pada tahun 2009, dari asma itu sendiri.5
1 dari 12 orang (sekitar 25 juta,atau 8% dari
Tujuan pengobatan asma adalah untuk
populasi) menderita asma. Angka ini merupakan
mencapai dan mempertahankan kontrol klinis.2-6
peningkatan dari prevalensi tahun 2001 yaitu 1
Mencapai kontrol asma masih merupakan tujuan
dari 14
yang sulit dicapai oleh sebagian besar pasien.
(sekitar 20 juta, atau 7%). 4
Kenyataan ini terus terjadi meskipun telah
Di Indonesia secara nasional prevalensi asma tersedianya pedoman manajemen asma
juga meningkat dari 4,2 % tahun 1995 menjadi internasional selama lebih dari dua dekade dan
5,4 % tahun 2001. Kota Jakarta sendiri memiliki terapi asma yang telah terbukti keberhasilannya
prevalensi gejala asma yang cukup besar yaitu di berbagai penelitian.7-9
7,5 % pada tahun 2005. Masalahnya bukan
Penelitian potong lintang di Amerika yang
sekedar kenaikan prevalensi semata,
dipublikasi baru-baru ini dari 2500 pasien asma,
persentase pasien yang membutuhkan
perawatan akut untuk asma dalam 12 bulan
tidak berubah secara signifikan pada tahun 2009
dibandingkan 1998 (34 % dibandingkan 36 %).1
Beberapa penelitian berbasis komunitas
menunjukkan bahwa 51%

29
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

sampai 59% dari pasien memiliki asma tidak produktivitas yang rendah dan perawatan
terkontrol bahkan dengan menggunakan obat kesehatan yang lebih besar.1
standar asma.10-11
Asma tidak terkontrol menyebabkan
Penelitian pendahuluan tingkat kontrol penggunaan gawat darurat dan sumber daya
asma yang dilakukan oleh Susilawati di Poliklinik rumah sakit yang merupakan komponen utama
Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit dari total 20,7 milyar dolar biaya asma di Amerika
Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo tahun 2009.6 Suatu penelitian di Amerika
Jakarta mendapatkan 64 % kasus tidak melaporkan jumlah pekerja yang absen karena
terkontrol, 28 % terkontrol baik dan hanya 8 % asma lebih dari 6 hari pertahun mencapai 19,2 %
yang terkontrol sempurna.12 pada penderita asma derajat sedang dan berat serta
4,4 % pada penderita asma derajat ringan.15Survei
Penelitian lain oleh Maulani di tempat yang
yang dilakukan di beberapa negara yaitu Asthma
sama mendapatkan 50,8 % kasus tidak terkontrol,
Insights and Reality (AIR) didapatkan persentase
31 % terkontrol baik dan hanya 18, % yang
orang dewasa yang kehilangan hari kerja disebabkan
terkontrol sempurna.13 Data yang dikemukan di
oleh asma adalah sebagai berikut 25% di Amerika
atas adalah pasien-pasien asma yang berobat
Serikat, 17% di Eropa Barat, 27% di Asia-Pasifik, 30%
relatif teratur, mendapat edukasi dan pengobatan
di Jepang, dan 23% di Eropa Tengah dan Timur.9Selain
yang relatif baik serta pemakaian kortikosteroid
menimbulkan morbiditas dan peningkatan
yang lebih sering dibandingkan dengan pasien-
beban biaya kesehatan, asma juga menyebabkan
pasien yang ada di masyarakat. Dengan demikian
kematian. Pada tahun 2007 di Amerika 185 anak-
dapat diperkirakan tingkat kontrol asma di
anak dan 3262 orang dewasa meninggal karena
masyarakat akan lebih rendah lagi.5
asma.4
Meskipun dari perspektif pasien dan
Tingkat kontrol asma yang rendah di berbagai
masyarakat biaya untuk mengontrol asma
negara dipengaruhi oleh berbagai faktor
tampaknya tinggi, biaya tidak mengobati asma
diantaranya kepatuhan (adherence) pasien yang
dengan benar sesungguhnya lebih tinggi.2 Sebuah
rendah. Penelitian menunjukkan
penelitian terbaru memperkirakan bahwa biaya
untuk pasien yang tidak terkontrol lebih dari dua
kali pasien yang terkontrol dan secara signifikan
lebih tinggi bahkan di antara pasien yang
menerima farmakoterapi maksimal yang
direkomendasikan.14Banyak pasien dengan asma
mengalami gejala berkelanjutan yang mengganggu
kegiatan sehari-hari, menyebabkan kualitas
hidup yang buruk dan kemudian menyebabkan
30
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
pasien dengan kepatuhan yang rendah pemahaman mengenai penyebab
berhubungan dengan tingkat kontrol asma yang ketidakpatuhan.7
rendah.16,17Kepatuhan pasien dalam pengobatan
Terdapat berbagai faktor yang
medis adalah masalah utama dalam
berhubungan dengan ketidakpatuhan, Menurut
manajemen penyakit kronis. Kepatuhan dalam
WHO faktor ini dapat dikelompokkan menjadi
terapi asma cenderung masih rendah,
faktor terkait pasien, faktor terkait penyakit,
dilaporkan ketidakpatuhan berkisar antara 30
faktor terkait pengobatan, faktor terkait
sampai 70% 2,18-20
sosioekonomi dan faktor terkait sistem .

Penelitian menunjukkan tingkat pelayanan kesehatan. 20,25

kepatuhan dalam penggunaan obat pengontrol


Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
secara teratur serendah 28
faktor– faktor yang terkait dengan kepatuhan
% di negara maju, padahal penggunaan obat berobat pasien asma karena mempertimbangkan
pengontrol setiap hari dapat secara efektif semakin meningkatnya populasi asma di
mengobati gejala asma, mengurangi peradangan masyarakat Indonesia, rendahnya kontrol asma
saluran napas dan penggunaan layanan dan belum tersedianya penelitian di Indonesia.
kesehatan.1,8,21 Obat yang paling efektif sekalipun
tidak memiliki nilai jika tidak digunakan secara
METODE
tepat. Kepatuhan yang rendah terhadap
Desain penelitian yang digunakan adalah
pengobatan asma terutama obat pengontrol
potong lintang.Penelitian ini dilakukan di Divisi
dikaitkan dengan peningkatan kunjungan ke
Alergi Imunologi Klinik Departemen Ilmu
gawat darurat dan rawat inap serta kematian
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
akibat asma.22,23
Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Ketidakpatuhan sering menjadi masalah Jakarta. Penelitian akan dilangsungkan sejak
tersembunyi karena jarang dinilai saat bulan Februari 2012 sampai terpenuhi jumlah
kunjungan rutin asma. Pasien kadang enggan sampel.
untuk mengakui ketidakpatuhan agar tidak
mengecewakan dokternya dan dokter mungkin
enggan untuk menanyakan tentang kepatuhan
karena mereka tidak memiliki metode untuk
memperbaikinya.7 Beberapa penelitian
mengenai intervensi formal untuk
meningkatkan kepatuhan tidak mendapatkan
hasil yang konsisten dengan kurang dari
setengah penelitian yang menunjukkan
manfaat.24 Hal ini mungkin disebabkan kurangnya

31
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

Populasi target penelitian ini adalah semua setelah dipastikan kebersihan dari data penelitian
pasien asma di Indonesia. Populasi terjangkau barulah dilakukan proses pengolahan data.
adalah penderita asma tidak terkontrol yang
Pengolahan data penelitian dilakukan
berobat ke poliklinik rawat jalan RS Cipto
secara elektronik menggunakan perangkat SPSS
Mangunkusumo. Sampel penelitian adalah
versi 16.0 untuk mendapatkan tabel frekuensi
populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
dan tabel silang sesuai dengan tujuan penelitian.
pemilihan subyek penelitian yang direkrut dengan
Perhitungan nilai rata-rata hitung dan sebaran
teknik consecutive sampling.
baku dilakukan untuk data yang bersifat kuantitatif,
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sekaligus dihitung rentang nilainya menurut
pasien usia dewasa yang telah didiagnosis asma batas 95% batas kepercayaan (confidence
oleh dokter berdasarkan kriteria GINA, pasien interval).
asma persisten, pasien asma tidak terkontrol
Pengolahan data yang dilakukan adalah
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah
pengujian kemaknaan statistik dilakukan sesuai
pasien tidak bersedia ikut serta dalam penelitian,
dengan karakteristik data serta tujuan penelitian.
pasien psikotik, pasien hamil, pasien dengan gagal
Analisis bivariat dilakukan antara dua variabel
jantung kongestif, pasien dengan penyakit ginjal
kualitatif dikotom yaitu: tingkat pendidikan,
kronis stadium akhir.
penghasilan, depresi, pengetahuan asma,
Subjek penelitian diambil dari pasien asma sediaan obat, persepsi pengobatan, asuransi
yang berobat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam kesehatan, hubungan keluarga, kelompok usia
FKUI/RSUPN-Cipto Mangunkusumo. Pasien asma dihubungkan dengan kepatuhan. Kepatuhan
yang memenuhi kriteria kemudian dilakukan berdasarkan atas penilaian: tingkat kepatuhan
tahap sebagai berikut anamnesis lengkap, minum obat pasien asma dilakukan dengan uji
pemeriksaan fisis, pengisian data demografik dan Chi-square berdasarkan batas kemaknaan (α)
kuesioner, tes kontrol asma, tes Beck Depression sebesar 5% dalam pengambilan kesimpulan
Inventory, kuesioner Asthma General Knowledge kemaknaan statistik. Jika tidak memenuhi syarat
Questionnaire. Data hasil penelitian dicatat maka akan dilakukan uji Fisher
dalam formulir penelitian yang telah diuji coba
terlebih dahulu. Setelah dilakukan editing
mengenai kelengkapan pengisian formulir
penelitian, data ini dikoding untuk selanjutnya
direkam dalam cakram magnetik mikro
komputer. Proses validasi data dilakukan untuk
menjamin keabsahan data yang direkam dan

32
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
Exact. Penilaian hubungan kekuatan antar dua pada 92,8 % responden. Responden
variabel kualitatif dikhotom diukur melalui membutuhkan waktu rerata 68 menit untuk
perhitungan nilai Odds Ratio dengan nilai 95% pulang pergi dari tempat tinggal ke RSCM . Rerata
confidence interval. Apabila ditemukan dua atau biaya yang dikeluarkan untuk transportasi
lebih variabel bebas yang mempunyai hubungan sebesar Rp. 23.640.
bermakna dengan variabel tergantung, maka
Selama berobat di RSCM, sebagian besar
akan dilakukan analisis multivariat dengan
responden (92,8 %) menyatakan bahwa petugas
metode regresi logistik. Penelitian ini telah
kesehatan selalu mendengarkan pertanyaan
mendapatkan ethical clearence dari Panitia Etik
responden dan responden cukup puas dengan
Penelitian Kedokteran FKUI. Semua data rekam
penjelasan petugas kesehatan di Poli Alergi
medik yang dipergunakan akan dijaga
Imunologi Klinik RSCM. Sebanyak 95,2 % responden
kerahasiaannya.
yakin bahwa dokter telah memberikan pengobatan
terbaik untuk pasien dan pengobatan yang
HASIL diberikan selama ini terjangkau oleh sebagian
Selama bulan Februari 2012 hingga Mei besar responden (82,4 %). Obat yang diberikan
2012 didapatkan 125 pasien asma tidak oleh apotik menurut 84 % responden sudah
terkontrol yang berkunjung ke Poliklinik Alergi sesuai dengan resep dokter. Secara keseluruhan
dan Imunologi Penyakit Dalam RSCM yang responden menilai pelayanan RS cukup
memenuhi kriteria pemilihan subyek penelitian. memuaskan.
Penderita asma tidak terkontrol yang termasuk
Karakteristik subjek penelitian dengan
pada penelitian ini sudah menderita asma
kepatuhan cukup dan kepatuhan rendah
selama rerata 25,9 tahun (SB14,54). Pada
selengkapnya tertera pada tabel 1.
penilaian tingkat kontrol asma responden
didapatkan nilai tes kontrol asma dengan rerata
15 (SB 4,29). Dari 125 pasien tersebut
didapatkan responden terbanyak adalah
perempuan, sebanyak 77 orang (61,6 %). Rentang
usia penderita antara 19-75 tahun. Sebagian besar
responden berpendidikan terakhir sekolah
menengah atas (65 %) dan penghasilan perbulan
Rp. 1,5 juta keatas (74,4 %). Mayoritas
responden merupakan pegawai negeri sipil (48
%) dengan pembiayaan asuransi kesehatan
ASKES (71,2%).

Berkaitan dengan tempat tinggal, sebagian


besar responden tinggal bersama keluarga di
rumah sendiri (92%). Terdapat peranan keluarga
33
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian (n=125) Tabel 2. Kepatuhan berobat

Variabel Jumlah (%) Persentase


Pemakaian obat selama 6 bulan terakhir
Jenis Kelamin Pria 48 (38,4) (%)
Wanita 77 (61,6) Lupa memakai obat 60,8
Pendidikan Tidak tamat SMA 32 (25,6) Tidak memiliki jadwal rutin memakai obat 20,2
Tamat SMA 93 (74,4) Berhenti sendiri memakai obat jika sudah merasa lebih baik 62,4
Pendapatan < 1,5 juta rupiah 32 (25,6)
> 1,5 juta rupiah 93 (74,4)
Pekerjaan Tidak bekerja 18 (14,4)
PNS/TNI/BUMN 60 (48)
Penilaian kepatuhan menggunakan skala
Karyawan swasta 13 (10,4)
Pelajar/mahasiswa 2 (1,6)
Morisky didapatkan sebagian besar responden
Ibu Rumah Tangga 22 (17,6)
Profesional/wiraswasta 1 (0,8)
dengan kepatuhan berobat yang rendah (56%).
Lainnya 9 (7,2)
Penanggung ASKES 89 (71,2)
Responden yang menyatakan pernah lupa
biaya pengobatan GAKIN 20 (16) memakai obat dalam 6 bulan terakhir sebanyak
SKTM 5 (4)
Ditanggung sendiri 9 (7,2) 60,8%. Sebanyak 79,8% responden memiliki
Lain-lain 2 (1,6)
Depresi Skor 0-9 105 (84) jadwal rutin memakai obat namun 62,4%
Skor 10-16 11 (8,8)
Skor 17-29 7 (5,6) responden kadang menghentikan sendiri
Skor 30-63 2 (1,6)
Tinggal sendiri Ya 16 (12,8) pemakaian obat bila sudah merasa perbaikan. Dari
Tidak 109 (87,2)
Transportasi Jalan kaki 3 (2,4) wawancara mayoritas responden mendapat obat
Bis/taksi/mikrolet 63 (50,4)
Mobil pribadi 16 (12,8) hirup (96%) dan hanya 37,6% pasien yang takut
Motor 23 (18,4)
Lain-lain 20 (16) akan efek samping pengobatan. Sebanyak 95,2%
Kerja dokter Berhati-hati 46 (36,8)
Teratur 54 (43,2) responden yakin bahwa dokter telah memberikan
Rata-rata 14 (11,2)
Bekerja cepat 11 (8,8) pengobatan terbaik untuk pasien dan
Peranan keluarga Dana transportasi 21 (16,8)
Mengingatkan minum obat 46 (36,8) pengobatan yang diberikan selama ini terjangkau
Mengingatkan kontrol 40 (32)
Mengingatkan ke apotik 1 (0,8) oleh sebagian besar responden (82,4%).
Lain-lain 17 (13,6)

Variabel yang memiliki p<0,25 yaitu


pengetahuan asma dan depresi dimasukkan
pada analisis multivariat dan didapatkan variabel
Tabel 3. Analisis bivariat pengetahuan merupakan variabel yang paling
berpengaruh terhadap kepatuhan berobat
pasien dengan p=0,003 dan OR 6,933(IK 1,939-
24,789).

Tabel 4. Analisis multivariat

OR
Variabel p
(IK 95 %)
Pengetahuan tinggi 6,933 (1,939-24,789) 0,003
Tidak ada depresi 0,404 (0,141-1,160) 0,092

34
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
Kepatuhan
OR p
Variabel Cukup Rendah (IK 95 %)
n(%) n (%)
Usia < 60 tahun 33 (41,8) 46 (58,2) 0,783 (0,377;1,626) 0,511
> 60 tahun 22 (47,8) 24 (52,2)
Pendidikan Tamat SMA 39 (41,9) 54 (58,1) 0,722 (0,323;1,617) 0,428
Tidak tamat SMA 16 (50,0) 16 (50,0)
Pengetahuan asma tinggi 52 (51,0) 50 (49,0) 6,933 (1,939;24,789) 0,001
rendah 3 (13,0) 20 (87,0)
Penghasilan > Rp1,5 juta 39 (41,9) 54 (58,1) 0,722 (0,323;1,617) 0,428
< Rp. 1,5 juta 16 (50,0) 16 (50,0)
Depresi Tidak ada depresi 43 (41,0) 62 (59,0) 0,462 (0,174;1,226) 0,116
Ada depresi 12 (60,0) 8 (40,0)
Sediaan obat Obat oral 2 (40,0) 3 (60,0) 0,843 (0,136;5,228) 0,613
Obat inhalasi 53 (44,2) 67 (55,8)
Kepercayaan terhadap pengobatan Ya 53 (44,5) 66 (55,5) 1,606 (0,283;9,109) 0,694
Tidak 2 (33,3) 4 (66,7)
Asuransi kesehatan Ya 49 (45,0) 60 (55,0) 1,361 (0,462;4,009) 0,575
Tidak 6 (37,5) 10 (62,5)
Hubungan keluarga Baik 50 (43,1) 66 (56,9) 0,606 (0,155;2,374) 0,468
Tidak baik 5 (55,6) 4 (44,4)

35
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

DISKUSI responden dengan asma persisten mendapat


Penelitian ini merupakan penelitian potong obat hirup. Merujuk kepada pengobatan asma
lintang dengan responden pasien penderita asma menurut GINA (Global Initiative for Asthma) salah
tidak terkontrol yang telah mendapat pengobatan. satu komponen pengobatan asma adalah
Responden penelitian ini tersebar dari rentang perencanaan pengobatan asma jangka panjang
usia 19 sampai 75 tahun dan telah menderita menurut sistem anak tangga, salah satunya
asma selama rerata 25,9 tahun. Penelitian oleh adalah penggunaan obat pengontrol harian untuk
Clatworthy dkk didapatkan setiap penambahan mengendalikan gejala asma persisten ringan
usia meningkatkan peluang untuk asma tidak sedang maupun berat.2 Pada penelitian ini
terkontrol sebesar 1 %.26,27 pengobatan asma sudah sesuai dengan GINA

Subjek pada penelitian ini lebih banyak namun pada penilaian kepatuhan menggunakan

perempuan daripada laki-laki. Jenis kelamin laki- skala Morisky didapatkan 56 % responden

laki merupakan faktor risiko asma pada anak- dengan kepatuhan berobat yang rendah. Sesuai

anak namun setelah pubertas prevalensi asma dengan penelitian lainnya yang menunjukkan

lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.2 kepatuhan terhadap kortikosteroid hirup berkisar

Penelitian ini sesuai dengan penelitian prevalensi antara 44 %-72 %.30 Penelitian kohort retrospektif

asma yang dilakukan oleh Cazzola dkk, di Italia dari pada 405 pasien dewasa dengan asma oleh Williams

55.500 subyek penelitian didapatkan 57,4 % dkk e kohort prospektif yang dilakukan di 12 negara

perempuan.28 Begitupun hasil survei kesehatan Eropa yang berpartisipasi pada European

nasional di Amerika tahun 2010, proporsi asma Community Respiratory Health Survey I (ECRHS-I,

pada perempuan usia lebih dari 18 tahun sebanyak 1990–1994) dan ECRHS-II (1998–

65,7 %.4 Selain prevalensi asma yang lebih banyak 2002), pada 971 pasien asma didapatkan
pada perempuan, survei pada 1049 pasien asma kepatuhan terhadap pengobatan asma yaitu
di Amerika Serikat didapatkan status kesehatan 53,4 %- 76,5 %.31
secara umum lebih rendah pada perempuan,
asma yang lebih berat dengan keterbatasan
aktivitas karena asma yang lebih tinggi.29

Sebagian besar responden pada penelitian


ini berpendidikan terakhir sekolah menengah
atas (65 %) dengan status ekonomi cukup
(penghasilan tiap bulan Rp 1,5 juta keatas). Hal ini
memudahkan responden untuk memahami
pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner. Pada
wawancara dan rekam medis didapatkan 96 %

36
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
Analisis bivariat hubungan usia dengan Chatkin dkk di Brazil pada 131 pasien asma
kepatuhan berobat pasien asma tidak persisten sedang berat yang membagi tingkat
terkontrol didapatkan tidak bermakna dengan pendidikan menjadi pendidikan dasar,
p>0,05. Penelitian mengenai hubungan antara menengah dan tinggi, didapatkan tingkat
kepatuhan pasien asma dengan usia masih sedikit. pendidikan juga tidak memiliki hubungan yang
Sebagian besar penelitian menunjukkan usia bermakna terhadap kepatuhan.32 Sedangkan
terkait dengan kepatuhan meskipun beberapa penelitian lain oleh Apter dkk, pada 85 pasien
menemukan bahwa usia tidak menjadi asma dewasa didapatkan pendidikan yang
penyebab ketidakpatuhan. rendah (pendidikan formal <12 tahun)
berhubungan dengan kepatuhan yang rendah
Penelitian Corsico dkk, berupa kohort
(p=0,01).30 Logikanya pasien dengan tingkat
prospektif yang dilakukan di 12 negara Eropa yang
pendidikan yang lebih memiliki pengetahuan
berpatisipasi pada European Community Respiratory
lebih baik tentang penyakit dan terapinya
Health Survey I (ECRHS-I, 1990–1994) dan ECRHS-II
karena itu lebih tunduk. Namun penelitian
(1998–2002) kemudian dilakukan follow up selama
DiMatteo menunjukkan pasien yang
8,1+ 1,4 tahun juga tidak didapatkan hubungan
berpendidikan tinggi mungkin tidak memahami
yang bermakna antara usia dengan kepatuhan
kondisi mereka dan tidak percaya akan manfaat
berobat pasien asma.31 Penelitian lain oleh
kepatuhan terhadap rejimen pengobatan.33
Chatkin dkk di Brazil pada 131 pasien asma
persisten sedang dan berat untuk melihat Analisis bivariat hubungan pengetahuan
kepatuhan pasien terhadap terapi pencegahan tentang asma dan tatalaksananya dengan
didapatkan usia tidak memiliki hubungan yang kepatuhan berobat pasien asma tidak
bermakna terhadap kepatuhan.32 Begitu juga terkontrol didapatkan bermakna (p= 0,001) dan
dengan penelitian Apter dkk, pada 85 pasien pada analisis multivariat didapatkan variabel
asma persisten sedang dan berat, tidak pengetahuan merupakan variabel yang paling
ditemukan hubungan antara usia dengan
kepatuhan dalam pengobatan.30

Analisis bivariat hubungan tingkat


pendidikan dengan kepatuhan berobat pasien
asma tidak terkontrol didapatkan tidak
bermakna. Penelitian Corsico dkk, suatu
penelitian kohort internasional pada 971
pasien asma, berusaha mengidentifikasi faktor
yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap
pengobatan asma didapatkan hasil serupa. Pada
penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang
bermakna antara tingkat pendidikan dengan
kepatuhan berobat.31 Penelitian lain oleh
37
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

berpengaruh terhadap kepatuhan berobat pasien mengetahui dan melaksanakan berbagai


dengan p=0,003 dan OR 6,933 (IK 1,939-24,789). rekomendasi yang diberikan oleh dokter mereka
untuk memastikan kontrol yang optimal.41
Penelitian potong lintang oleh Rhee dkk,
Pengelolaan asma mandiri tidak dapat dicapai
pada 126 remaja usia 13-20 tahun didapatkan
tanpa edukasi asma yang sesuai.39,40Edukasi pasien
pengetahuan merupakan hambatan dalam
menurut Van den Borne merupakan pengalaman
manajemen pengobatan mandiri yang
belajar yang sistematis di mana kombinasi
merupakan prediktor penting kepatuhan
metode umumnya digunakan, seperti
terhadap pengobatan asma.34 Asma adalah
penyediaan informasi dan nasehat, serta teknik
penyakit yang kompleks dan membutuhkan
modifikasi perilaku yang mempengaruhi cara
pengetahuan yang cukup dari pasien dan
pasien menyikapi penyakit dan pengetahuan
keluarganya jika ingin dikelola dengan sukses.20
serta perilaku kesehatan, yang bertujuan untuk
Pengetahuan tentang penyakit dan
meningkatkan atau mempertahankan kesehatan
tatalaksananya memberdayakan pasien untuk
atau belajar untuk mengatasi kondisi penyakit.42
secara mandiri mengelola situasi yang mungkin
timbul dari waktu ke waktu.20 Mungkin yang lebih Edukasi tidak hanya ditujukan untuk
penting meyakinkan pasien tentang perlunya penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang
obat tertentu bahkan jika manfaatnya tidak membutuhkan seperti pemegang keputusan,
langsung dirasakan, seperti obat pengontrol pembuat perencanaan bidang kesehatan atau
pada pengobatan asma.35 Pengetahuan pasien asma, profesi kesehatan (dokter, perawat, petugas
tentang penyakit mereka dan pengobatan tidak farmasi, mahasiswa kedokteran dan petugas
selalu memadai. Beberapa pasien tidak memiliki kesehatan lain) serta masyarakat luas (guru,
pemahaman tentang peran mereka dalam karyawan, dll).43
pengobatan, kurang pengetahuan tentang
Pada penelitian ini digunakan Asthma General
penyakit dan akibat dari ketidakpatuhan serta Knowledge Questionnaire yang mencakup pertanyaan-
kurangnya pemahaman dari nilai kunjungan
klinik.36-38 Beberapa pasien berpikir kebutuhan
untuk pengobatan adalah intermiten, sehingga
mereka berhenti berobat untuk melihat apakah
obat masih diperlukan.

Penanganan asma yang efektif


memerlukan terjalinnya kemitraan dengan
tujuan pengelolaan asma mandiri (self-
management).39,40 Pasien harus mengambil bagian
aktif dalam pengelolaan asma mereka dan harus
38
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
pertanyaan mengenai etiologi, patofisiologi, informasi dalam suatu grup, presentasi film
pengobatan, penilaian keparahan penyakit, atau video, leaflet, brosur, buku bacaan dan
penanganan gejala termasuk faktor pemicu sebagainya.43
dan olahraga. Pengetahuan yang ingin dinilai
Edukasi harus dilakukan terus menerus,
pada penelitian ini adalah pengetahuan
dapat dilakukan secara perorangan maupun
pengelolaan asma mandiri. Komponen utama
berkelompok dengan berbagai metode. Edukasi
dari pengelolaan asma mandiri yaitu informasi
sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama
(transfer informasi tentang asma dan
baik di gawat darurat, klinik maupun klub
manajemen), pemantauan mandiri (melibatkan
asma.43 Pada konsultasi awal diberikan informasi
penilaian rutin, baik gejala atau arus puncak
tentang diagnosis dan informasi sederhana
ekspirasi oleh pasien), tinjauan rutin medis
tentang jenis pengobatan yang tersedia, alasan
(penilaian asma, keparahan, kontrol dan obat
untuk intervensi pengobatan tertentu yang
oleh praktisi medis) dan sebuah asthma action
direkomendasikan, dan strategi untuk
plan. Action plan asma merupakan rencana
menghindari faktor-faktor yang menyebabkan
tertulis yang dibuat individual untuk tujuan
gejala asma. Perangkat obat hirup yang berbeda
pengelolaan mandiri eksaserbasi asma oleh pasien.
dapat ditunjukkan, dan pasien didorong untuk
Action plan asma juga menginformasikan pasien
berpartisipasi dalam memilih yang paling cocok
kapan dan bagaimana memodifikasi obat dan
untuk mereka. Kriteria untuk seleksi awal
kapan dan bagaimana mengakses pelayanan
perangkat obat hirup termasuk ketersediaan
kesehatan dalam menghadapi perburukan
perangkat dan biaya, keterampilan pasien, dan
asma.44
preferensi tenaga kesehatan profesional dan
Informasi yang diberikan meliputi informasi pasien. Pasien harus diberikan kesempatan yang
tentang etiologi dan proses penyakit yang memadai untuk mengekspresikan harapan
berhubungan dengan asma, informasi tentang mereka dari penyakit
pemicu utamanya, terutama yang menginduksi
peradangan saluran napas, tujuan dari
pengobatan, dan bagaimana mencapainya,
kriteria kontrol asma dan bagaimana pasien harus
memonitor gejala dan mengukur arus ekspirasi,
eksaserbasi asma dan asthma action plan,
penggunaan, cara kerja, dan potensi efek
samping obat, teknik inhaler serta materi
pendidikan dan sumber dayanya (termasuk situs
yang relevan).2,41

Pemberian edukasi dapat dalam bentuk


komunikasi atau nasihat saat berobat, ceramah,
latihan, supervisi, diskusi, tukar menukar
39
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

asma dan pengobatannya. Sebuah penilaian jujur risiko. Gejala (dan jika perlu, catatan peak flow)
harus diberikan seberapa jauh harapan mereka dicatat dalam buku harian dan dikaji secara
mungkin atau tidak mungkin dipenuhi.Pada teratur. Kunjungan rutin merupakan waktu yang
konsultasi awal, informasi verbal harus efektif untuk meninjau rencana pengelolaan
dilengkapi dengan penyediaan tertulis atau mandiri dan pemahamannya. Pesan edukasi harus
gambar informasi tentang asma dan ditinjau dan diulang atau ditambahkan jika
pengobatannya, serta hubungan ke beberapa diperlukan.2
situs-situs asma. Pasien dan keluarganya harus
Pada penelitian ini yang menarik bahwa
didorong untuk membuat catatan dari setiap
pendidikan tidak berhubungan dengan kepatuhan.
pertanyaan yang muncul dari membaca
Hal ini dikarenakan pasien yang berpendidikan
informasi ini atau sebagai hasil dari konsultasi,
tinggi belum tentu memiliki pengetahuan
dan harus diberikan waktu untuk menanyakannya
tentang asma terutama mengenai pengelolaan
selama konsultasi berikutnya.2
asma mandiri yang lebih baik. Bentuk
Tindak lanjut konsultasi harus dilakukan ketidakpatuhan diantaranya ketidakpatuhan
secara berkala. Pada kunjungan ini, pertanyaan intelligent dimana pasien sengaja mengubah,
pasien dibahas dan ditinjau setiap masalah menghentikan atau memulai terapi.
tentang asma dan pengobatan awal. Pasien harus Penyebabnya bermacam-macam, rasa obat yang
diminta untuk menunjukkan teknik penggunaan tidak enak, mengganggu aktivitas, merasa lebih baik
obat hirup mereka pada setiap kunjungan, dengan mengubah atau mengurangi sendiri
dengan koreksi dan pengecekan ulang.2 dosis yang diresepkan.20 Disinilah pentingnya
pengetahuan asma mandiri.
Berbagai metode telah digunakan untuk
mengedukasi pasien tentang teknik obat hirup Metaanalisis tentang pendidikan asma
yang benar. Penyediaan lembar instruksi pabrik menyimpulkan bahwa informasi yang diucapkan
saja tidak efektif, bahkan bagi mereka yang saja tidak mengubah perilaku atau meningkatkan
membaca brosur itu. Instruksi pribadi lebih hasil, edukasi yang
efektif daripada instruksi tertulis, dan
demonstrasi fisik mengarah pada perbaikan
teknik inhaler. Edukasi mengenai teknik
penggunaan obat hirup harus diulang secara
teratur untuk mempertahankan teknik yang
benar.45

Tindak lanjut konsultasi juga mencakup


pemeriksaan kepatuhan pasien dan
rekomendasi untuk mengurangi paparan faktor
40
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
efektif membutuhkan penguatan melalui pesan intraabdominal.51 GERD dapat menyebabkan
tertulis atau lisan melalui audiovisual serta eksaserbasi dan meningkatkan gejala asma.
pengelolaan mandiri yang tertulis.46-47 Program Penyakit saluran napas lain yang dapat
pelatihan yang memungkinkan pasien untuk membuat asma tidak terkontrol adalah sinusitis.
menyesuaikan pengobatan mereka Terapi sinusitis dengan pembedahan dapat
menggunakan action plan tertulis tampaknya meningkatkan terkontrolnya asma. Mekanisme
lebih efektif daripada bentuk lain dari bagaimana perannya dalam memperburuk
pengelolaan asma mandiri.46 Metaanalisis serangan asma sampai saat ini belum jelas.48,50
menunjukkan edukasi untuk pengelolaan
Analisis bivariat hubungan depresi dengan
mandiri menurunkan perawatan rumah sakit
kepatuhan berobat pasien asma tidak terkontrol
(RR 0.64, 95% IK 0.50–0.82), kunjungan ke gawat
didapatkan tidak bermakna. Hasil ini sesuai
darurat (RR 0.82, 95% IK 0.73–0.94), kunjungan ke
dengan penelitian oleh Apter dkk, menggunakan
dokter di luar jadwal (RR 0.68, 95% IK 0.56–0.81),
monitor elektronik pada 85 pasien asma dewasa
hari tidak masuk kerja atau masuk sekolah (RR
dengan asma persisten sedang dan berat, juga
0.79, 95% IK 0.67–0.93), gejala malam asma
tidak didapatkan hubungan antara depresi
(RR 0.67, 95% IK 0.0.56–0.79) dan penurunan dengan kepatuhan.30 Sebuah metaanalisis oleh
kualitas DiMatteo dkk, dari 12 artikel mengenai depresi
hidup (perbedaan rerata standar 0.29, 95% IK 0.11– didapatkan hubungan yang bermakna antara
0.47).46 Pengetahuan mengenai komorbiditas depresi dan ketidakpatuhan dengan OR 3, 03 (IK
penyakit termasuk dalam informasi yang perlu 1,96-4,89).52 Namun dari 12 artikel tersebut
disampaikan kepada pasien. Rinitis alergi sering penelitian dilakukan pada pasien dengan penyakit
terjadi pada penderita asma dan memberikan kanker, penyakit ginjal kronik, angina pektoris,
kontribusi terhadap rendahnya kontrol asma. transplantasi ginjal dan artritis reumatoid, tidak
Pengobatan rinitis alergi dengan kortikosteroid dilakukan pada pasien asma.
nasal dapat memperbaiki hiperresponsivitas
saluran napas. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara inflamasi saluran napas atas
dan bawah. Pengobatan terhadap rinitis yang
simtomatik harus dipertimbangkan ketika
didapatkan asma tidak terkontrol.48 Penyakit
lain yang sering menyertai asma adalah
Gastroesophageal reflux disease (GERD).
Prevalensi GERD pada asma berkisar 34-80

%.48-51Refluks bisa disebabkan relaksasi sementara


sfingter gastroesofagus akibat terapi
bronkodilator, pendataran diafragma akibat air
trapping dan peningkatan tekanan
41
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

Penelitian lain oleh Smith dkk, berupa bahwa pasien lebih patuh terhadap obat asma
kohort prospektif yang menilai hubungan oral dibandingkan dengan obat hirup.55 Obat yang
depresi dengan kepatuhan terhadap lebih mudah digunakan lebih diterima oleh
kortikosteroid hirup dan oral sampai dengan 2 pasien dengan demikian kepatuhan juga
minggu setelah pasien pulang perawatan meningkat. Hasil ini berbeda dengan penelitian
didapatkan depresi berhubungan dengan ini dikarenakan responden yang menggunakan
kepatuhan yang rendah dengan OR 11,4 (IK 2,2- obat oral hanya 4 % dari seluruh subyek
58,2). Penelitian Smith dkk ini dilakukan pada
53
penelitian.
pasien rawat inap dimana mayoritas sudah
Menggunakan skala Morisky didapatkan
mengalami beberapa kali perawatan di rumah sebanyak
sakit akibat eksaserbasi asma sehingga didapatkan
62.4 % pasien menghentikan sendiri pemakaian
angka depresi yang tinggi.53 Berbeda dengan
obat bila merasa sudah perbaikan dan 60.8 %
responden penelitian ini dimana kebanyakan
pasien pernah lupa memakai obat dalam 6 bulan
adalah pasien rawat jalan.
terakhir. Pada penelitian ini hanya 37,6 % pasien
Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan yang takut akan efek samping pengobatan.
depresi ringan-sedang kepatuhan berobat masih Penelitian kohort prospektif oleh Apter dkk, pada
cukup baik. Pada pasien depresi dengan 50 pasien asma yang diikuti selama 42 hari
komponen ansietas keinginan berobat masih didapatkan kepatuhan rata-rata 63 % dan alasan
menonjol sehingga kepatuhan cukup baik. pasien untuk ketidakpatuhan terutama karena
Ansietas terkait dengan peningkatan lupa (40%).57 Penelitian lain di Australia pada 83
penggunaan pelayanan kesehatan.52 Sementara pasien asma didapatkan kepatuhan terhadap obat
depresi umumnya dianggap sebagai pencegahan yang diresepkan sebesar 38 % dan
pendahuluan untuk ketidakpatuhan, hubungan penyebab utama yang teridentifikasi adalah
antara depresi dan kepatuhan mungkin dua karena lupa.58 Analisis bivariat hubungan pasien
arah. Depresi dapat menghambat kepatuhan dan dengan keluarga dengan kepatuhan berobat
perilaku kesehatan lainnya, dan ketidakpatuhan pasien asma tidak terkontrol
dapat berefek pada kesehatan fisik yang dapat
meningkatkan risiko untuk depresi.54

Analisis bivariat hubungan sediaan obat


yang digunakan dengan kepatuhan berobat pasien
asma tidak terkontrol didapatkan tidak
bermakna. Suatu tinjauan sistematik oleh Bender
dkk, mengenai metode pemberian obat dan
hubungannya dengan kepatuhan didapatkan
42
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
didapatkan tidak bermakna. Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan pendapatan <$30.000
didapatkan mayoritas hubungan pasien dengan berhubungan dengan kepatuhan terhadap
keluarga baik (92,8 pengobatan yang lebih rendah.30

%). Peranan keluarga terutama berupa Perbedaan ini dapat disebabkan pada
mengingatkan minum obat (36,8 %) dan penelitian ini biaya pengobatan 72 % responden
mengingatkan kontrol (32 %).59 Penelitian ditanggung asuransi kesehatan ASKES dan 16 %
menunjukkan pasien yang memiliki dukungan ditanggung oleh jaminan warga miskin (GAKIN).
emosional, bantuan dari anggota keluarga, Begitu juga dengan penelitian William dkk dimana
teman atau penyedia layanan kesehatan lebih semua responden ditanggung oleh asuransi.62
mungkin untuk menjadi patuh terhadap Sementara pendapatan tidak memprediksi
pengobatan.60,61 kepatuhan, namun dengan kemiskinan membuat
kepatuhan terhadap pengobatan asma lebih
Penelitian oleh Kyngas dkk, pada 1061
sulit. Hambatan kepatuhan berkaitan dengan
remaja dengan asma, epilepsi, rheumatoid
pendapatan yang rendah dapat termasuk
arthitis dan diabetes melitus didapatkan
pengobatan yang tidak konsisten,
dukungan dari perawat, dokter, orang tua dan
ketidakmampuan untuk membayar untuk obat
teman-teman merupakan faktor yang signifikan
asma, kurangnya transportasi, disfungsi
secara statistik dalam memprediksi kepatuhan.
keluarga dan penyalahgunaan zat.20
Prediktor paling kuat adalah dukungan dari
perawat.61 Dukungan sosial membantu pasien Analisis bivariat hubungan asuransi
dalam mengurangi sikap negatif terhadap kesehatan dengan kepatuhan berobat pasien
pengobatan, memiliki motivasi dan asma tidak terkontrol didapatkan tidak
mengingatkan untuk berobat.59 bermakna. Penelitian kohort prospektif oleh
Lacasse dkk, pada 124 pasien asma dewasa
Analisis bivariat hubungan tingkat
ringan- sedang didapatkan asuransi tidak
penghasilan dengan kepatuhan berobat pasien
berhubungan dengan kepatuhan.63 Berbeda
asma tidak terkontrol didapatkan tidak
dengan penelitian oleh Apter dkk,
bermakna. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian William dkk pada 1064 pasien asma
yang bertujuan menilai kepatuhan terhadap
kortikosteroid hirup berdasarkan informasi
pengambilan obat melalui resep elektronik dan
data farmasi. Pada penelitian ini juga tidak
didapatkan hubungan yang bermakna antara
penghasilan dengan kepatuhan terhadap
kortikosteroid hirup.62 Berbeda dengan
penelitian oleh Apter dkk, pada 85 pasien asma
dewasa dengan asma persisten sedang dan berat,

43
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

pada 85 pasien asma dewasa dengan asma persisten faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan
sedang dan berat, didapatkan hubungan antara pasien.64
adanya asuransi kesehatan dengan kepatuhan
Namun terlepas dari instruksi dokter,
berobat pasien asma.30
keyakinan pasien tentang penyakit dan
Analisis bivariat hubungan antara keyakinan kebutuhan terhadap obat, sangat berkorelasi
pasien bahwa telah diberikan pengobatan yang dengan motivasi kepatuhan mereka.18 Pasien
terbaik oleh dokter dengan kepatuhan berobat biasanya mengikuti saran pengobatan jika mereka
pasien asma tidak terkontrol didapatkan tidak merasa pengobatan tersebut merupakan jalan
bermakna. Hasil ini sesuai dengan penelitian terbaik untuk menjaga kesehatan mereka dan
oleh Apter dkk, komunikasi efektif dengan jika mereka mengerti mengenai penyakit mereka
penyelia kesehatan tidak berhubungan dengan dan keuntungan dari pengobatan.66
kepatuhan.30 Kemungkinan penyebabnya adalah
Kelebihan pada penelitian ini adalah penilaian
karena pada kuesioner hanya dinilai persepsi
faktor- faktor yang berhubungan dengan
pasien terhadap pengobatan dokter namun
kepatuhan dilakukan khusus pada pasien asma
tidak mengenai seberapa efektif pemberian
tidak terkontrol yang belum pernah dilakukan
informasi oleh dokter.
sebelumnya. Penelitian ini dilakukan di
Suatu penelitian oleh Stavropoulou yang Indonesia yang tentunya mempunyai
melibatkan 45.700 individu yang ikut serta dalam karakteristik berbeda dengan pasien-pasien asma
Survei Sosial Eropa dari 24 negara di Eropa di negara lain.
didapatkan hasil hubungan dokter pasien secara
Sebagaimana kekurangan yang lazim dijumpai
bermakna berdampak pada keputusan untuk
pada desain potong lintang, hubungan sebab
ketidakpatuhan terhadap pengobatan.64
akibat (temporal relationship) tidak terlalu kuat.
Keengganan untuk mengajukan pertanyaan
Sulit menentukan sebab dan akibat karena
kepada dokter merupakan faktor signifikan yang
pengambilan data pada saat yang bersamaan.
menyebabkan ketidakpatuhan, menunjukkan
Selain itu pada penelitian ini tidak semua faktor
bahwa ketika orang tidak memperjelas
yang mempengaruhi kepatuhan berobat diteliti.
pertanyaan yang mereka miliki, mereka dapat
meninggalkan konsultasi dengan kebingungan
tentang pengobatan mereka.64 Penelitian oleh
Farber dkk, kesalahpahaman terhadap obat anti
inflamasi dikaitkan dengan kepatuhan yang
menurun dalam penggunaannya sehari-hari (OR
0,18, IK 0,11-0,29).65 Temuan ini menunjukkan
bahwa asimetri informasi tampaknya menjadi
44
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
Penilaian kepatuhanhanya menggunakan menilai bahwa validitas ekterna II dari penelitian
metode wawancara yang bersifat kurang baik.
subjektif.
Berdasarkan uraian di atas, maka generalisasi
Untuk menilai seberapa jauh hasil penelitian hasil dari penelitian ini hanya bisa dilakukan dan
ini bisa diaplikasikan pada populasi yang lebih luas, terbatas pada pasien-pasien asma yang berobat
sesuai dengan prinsip representasi sampel pada poliklinik rumah sakit besar di Indonesia.
terhadap populasi dan teknik pengambilan
sampel (sampling), maka penilaian generalisasi
SIMPULAN
dilakukan terhadap validitas interna serta
Proporsi kepatuhan berobat yang rendah pada
validitas eksterna I dan II.
pasien asma tidak terkontrol sebesar 56
Penilaian terhadap validitas interna %.Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan
dilakukan dengan memperhatikan apakah kepatuhan berobat pada pasien asma tidak
subyek yang menyelesaikan penelitian dapat terkontrol. Tidak didapatkan hubungan antara
merepresentasikan sampel yang memenuhi usia, status pendidikan, depresi, sediaan obat,
kriteria pemilihan subyek. Pada penelitian ini hubungan pasien dengan keluarga, tingkat
semua subyek sesuai dengan jumlah sampel yang penghasilan, keyakinan pasien terhadap
memenuhi kriteria pemilihan dapat pengobatan dokter, asuransi kesehatan dengan
menyelesaikan penelitian. Atas dasar itu, kepatuhan berobat pasien asma tidak terkontrol.
validitas interna dari penelitian ini baik. Untuk
validitas eksterna I, penilaian dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
terhadap representasi subyek yang direkrut sesuai 1. Meltzer EO, Busse WW, Wenzel SE, Belozeroff V, Weng HH, Feng J, et al. Use
of the Asthma Control Questionnaire to predict future risk of asthma
dengan kriteria pemilihan terhadap populasi exacerbation. J Allergy Clin Immunol. 2011;127(1):167-72.
2. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma
terjangkau. Populasi terjangkau penelitian ini management and prevention. NHLBI/WHO Workshop report.
National Institute of Health Publication. 2010. h 1-75.
adalah penderita asma tidak terkontrol di
RSCM. Teknik perekrutan subyek (sampling) dari
populasi terjangkau diambil dengan metode
consecutive sampling. Berdasarkan hal tersebut,
validitas eksterna I dari penelitian ini dianggap
cukup baik.

Untuk validitas eksterna II, penilaian dilakukan


secara common sense dan berdasarkan
pengetahuan umum yang ada. Dalam hal ini,
perlu dinilai adalah apakah populasi terjangkau
dari penelitian ini merupakan representasi dari
pasien-pasien asma di Indonesia, maka peneliti

45
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri

3. National Heart Lung and Blood Institute. Morbidity and Mortality 2004;114(6):1288-93.
: 2009 chart book on cardiovascular, lung, blood disease. National Heart, 23. Suissa S, Ernst P, Benayoun S, Baltzan M, Cai B. Low-dose inhaled
Lung and Blood Institute. 2009. h 60-73. corticosteroid and the prevention of death from asthma. N Eng J Med.
2000;343:332-6.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Asthma in the US. 2011
[cited 2011 august 10]; Available from: http://www.cdc.gov/ 24. Haynes RB, Ackloo E, Sahota N, McDonald HP, Yao X. Interventions for
VitalSigns/pdf/2011-05-vitalsigns.pdf. enhancing medication adherence. Cochrane Database Syst Rev.
2008(4):CD000011.
5. Sundaru H. perbandingan prevalensi dan derajat asma antara
daerah urban dan rural pada siswa sekolah usia 13-14 tahun
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2005.
6. National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel
Report (EPR3): Guidelines for the diagnosis and management of
asthma: Full report. 2007. h 35-81.
7. Haughney J, Price D, Kaplan A, Chrystyn H, Horne R, May N, et al.
Achieving asthma control in practice: Understanding the reasons for
poor control. Respir Med. 2008;102(12):1681-93.
8. Bateman ED. Can guideline-defined asthma control be achieved?: The
Gaining Optimal Asthma Control Study. Am J Respir Crit Care Med.
2004;170(8):836-44.
9. Rabe KF, Adachi M, Lai CKW, Soriano JB, Vermeire PA, Weiss KB, et al.
Worldwide severity and control of asthma in children and adults: the
global asthma insights and reality surveys. J Allergy Clin Immunol.
2004;114(1):40-7.
10. Chapman K, Rea R, Franssen E. Suboptimal asthma control:
prevalence, detection and consequences in general practice. Eur Respir
J. 2008;31:320-5.
11. Partridge MR, van der Molen T, Myrseth SE, Busse WW. Attitudes and
actions of asthma patients on regular maintenance therapy: the
INSPIRE study. BMC Pulm Med. 2006;6(1):13-21.
12. Susilawati J. Uji keandalan dan kesahihan kuesioner tes kontrol asma
pada pasien asma dewasa (tesis). Jakarta: Program Dokter Spesialis Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia; 2007. h31-6.
13. Maulani I. hubungan indeks massa tubuh, lingkar pinggang dan
persentase lemak tubuh dengan tingkatkontrol asma (tesis).
Jakarta: Program Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia; 2010. h38-45.
14. Sullivan SD, Rasouliyan L, Russo PA, Kamath T, Chipps BE. Extent, patterns,
and burden of uncontrolled disease in severe or difficult- to-treat
asthma. Allergy. 2007;62(2):126-133.
15. Fuhlbrigge AL. The burden of asthma in the United States: level and
distribution are dependent on interpretation of the National Asthma
Education and Prevention Program Guidelines. Am J Respir Crit Care Med.
2002;166(8):1044-9.
16. Scott L MT, Bollinger ME, Samuelson S, Galant S, Clement L, O’Cull K,
Jones F, Jones CA. Asthma morbidity among inner-city adolescents
receiving guidelines-based therapy. J Allergy Clin Immunol.
2011;128:56-63.
17. Smith J, Mildenhall S, Noble MJ, Mugford M, Shepstone L, Harrison
B. Clinician-assessed poor compliance identifies adults with severe
asthma who are at risk of adverse outcomes. J Asthma.
2005;42(6):437-45.

18. Bender BG, Bender SE. Patient-identified barriers to asthma


treatment adherence: responses to interviews, focus groups, and
questionnaires. Immunol Allergy Clin North Am. 2005;25(1):107- 30.
19. Rand CS WR. Measuring adherence to asthma medication
regimens. Am J Respir Crit Care Med. 1994;49(2):S69-78.
20. World Health Organization. Adherence to long-term therapies:
evidence for action. World Health Organization. 2003.
21. Schatz M, Cook EF, Nakahiro R, Petitti D. Inhaled corticosteroids and allergy
specialty care reduce emergency hospital use for asthma. J Allergy Clin
Immunol. 2003;111(3):503-8.
22. Williams LK, Pladevall M, Xi H, Peterson EL, Joseph C, Lafata JE, et al.
Relationship between adherence to inhaled corticosteroids and poor
outcomes among adults with asthma. J Allergy Clin Immunol.

46
Ferliani, Heru Sundaru, Sukamto Koesnoe, Hamzah Shatri
25. Fish L, Lung CL. adherence to asthma herapy. Ann Allergy Asthma CD001117.
Immunol 2001. 2001;86 (Suppl):24-30.
26. Clatworthy J, Price D, Ryan D, Haughney J, Horne R. The value of self-
report assessment of adherence, rhinitis and smoking in relation to
asthma control. Prim Care R J. 2009;18(4):300-5.
27. Soriano JB, Rabe KF, Vermeire PA. Predictors of poor asthma control in
European adults. J Asthma. 2003;40(7):803-13.
28. Cazzola M, Puxeddu E, Bettoncelli G, Novelli L, Segreti A, Cricelli C,
CalzettaL . The prevalence of asthma and COPD inItaly: A practice- based
study. Respir Med. 2011;105(3):386-91.
29. Sinclair A, Tolsma D. Gender differences in asthma experience and
disease care in a managed care organization. J Asthma.
2006;43:363-7.
30. Apter A, Boston R, George M, Norfleet A, Tenhave T, Coyne J, et al.
Modifiable barriers to adherence to inhaled steroids among adults
with asthma: It's not just black and white. J Allergy Clin Immunol.
2003;111(6):1219-26.
31. Corsico AG, Cazzoletti L, de Marco R, Janson C, Jarvis D, Zoia MC, et al.
Factors affecting adherence to asthma treatment in an
international cohort of young and middle-aged adults. Respir Med.
2007;101(6):1363-7.
32. Chatkin J, Blanco D, Scaglia N, Tonietto R, Wagner M, Fritscher
C. Compliance with maintenance treatment of asthma. J Bras
Pneumol. 2006;32(4):277-83.

33. Dimatteo M. Patient adherence to pharmacotherapy: the


importance of effective communication. Formulary.
1995;30(10):596-8, 601-2, 5.
34. Rhee H, Belyea MJ, Ciurzynski S, Brasch J. Barriers to asthma self-
management in adolescents: Relationships to psychosocial factors.
Pediatr Pulmonol. 2009;44(2):183-91.
35. Mathur AG. Drugs don't work if you don't take them: Emerging role
of the pharmacist counsellor in patient compliance. Indian J of
Rheumatol. 2012;7(1):1-2.
36. Ponnusankar S, Surulivelrajan M, Anandamoorthy N, Suresh B.
Assessment of impact of medication counseling on patients’
medication knowledge and compliance in an outpatient clinic in
South India. Patient Educ Couns. 2004;54(1):55-60.
37. Gascon J, Sanchez-ortuno M, Llor B, Skidmore D, Saturno P. Why
hypertensive patients do not comply with the treatment. J Fam
Pract. 2004;21(2):125-30.
38. Lawson VL. Understanding why people with type 1 diabetes do not
attend for specialist advice: A qualitative analysis of the views of
people with insulin-dependent diabetes who do not attend
diabetes clinic. J Health Psychol. 2005;10(3):409-23.
39. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Asma bronkial: faktor risiko,
mekanisme, klasifikasi, diagnosis, obat asma. Dalam: Alergi dasar, ed I.
Jakarta: Interna Publishing. 2009. h 157-97.
40. Kumar A, Gershwin M. Self management in asthma. In: Gershwin M,
Albertson T, Ed. Bronchial asthma: A guide for practical
understanding and treatment,. 5th ed. New Jersey: Humana Press. h.
343-54.
41. Boulet LP. Approach to adults with asthma. In: Adkinson NF,
Bochner BS, Busse WW, Holgate ST, Lemanske RF, Simons FER, Ed.
Middleton's Allergy: Principles and Practice. 7th ed. Canada: Mosby;
2008. h. 1345-65.
42. Partridge MR. Education and self management. In: Barnes P, Drazen JM,
Rennard S, Thomson N, Ed. Asthma and COPD. 2nd ed. San Diego:
Academic Press; 2009. h. 847-53.
43. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Program penatalaksanaan
asma. Konsensus Asma. 2003:22-6.
44. Gibson PG, Ram FSF, Powell H. Asthma education. Respir Med.
2003;97(9):1036-44.
45. Basheti IA, Armour CL, Bosnic-Anticevich SZ, Reddel HK. Evaluation of a
novel educational strategy, including inhaler-based reminder labels, to
improve asthma inhaler technique. Patient Educ Couns.
2008;72(1):26-33.
46. Gibson P,Powell H, Wilson A, Abramson M, Haywood P,Bauman A, et al.
Self-management education and regular practitioner review for adults
with asthma (Cochrane Review). Cochrane Database Syst Rev. 2009:

47
47. GibsonP,Powell H, Wilson A, Abramson M, Haywood P,BaumanA,
et al. Limited patient education programs for adults with
asthma (Cochrane Review). Cochrane Database Syst Rev.2008:
CD001005.
48. Barnes PJ, Woolcock AJ. Difficult asthma. Eur Respir J.
1998;12(5):1209-18.
49. Garcia G, Adler M, Humbert M. Difficult asthma. Allergy.
2003;58:114-21.
50. Shore S. Obesity and asthma: cause for concern. Curr Opin
Pharmacol. 2006;6(3):230-6.
51. Leggett JJ. Prevalence of gastroesophageal reflux in difficult
asthma: relationship to asthma outcome. Chest.
2005;127(4):1227-31.
52. DiMatteo MR, Lepper HS, Croghan TW. Depression is a risk factor
for noncompliance with medical treatment. Arch Intern
Med. 2000;160:2101-7.
53. Smith A, Krisnan JA, Bilderback A, Riekert KA, Rand CS, Bartlett
SJ. Depressive symptoms and adherence to asthma therapy
after hospital discharge. Chest. 2006;130(4):1034-8.
54. Wagner GJ, Goggin K, Remien RH, Rosen MI, Simoni J, Bangsberg
DR, et al. A Closer Look at Depression and Its Relationship to HIV
Antiretroviral Adherence. Ann Behav Med. 2011;42(3):352-60.
55. Bender BG, Sazonov V, Krobot KJ. Impact of medication delivery
method on patient adherence. Dalam: Harver H, Kotset H,
Ed. Asthma, health and society: a pubic health perspective. New
York: Springer; 2010. h107-15.
56. Stoloff SW, Boushey HA. Severity, control, and responsiveness
in asthma. J Allergy Clin Immunol. 2006;117(3):544-8.
57. Apter AJ RS, Affleck G, Barrows E, Zuwallack RL. Adherence with
twice daily dosing of inhaled steroid. Am J Respir Crit Care
Med. 1998(157):1810-17.
58. Franks TJ, Burton D, Simpson M. Patient medication
knowledge and adherence to asthma pharmacotherapy- a pilot
study in rural Australia. Ther Clin Risk Manag. 2005;1(1):33-8.
59. Jin J, Sklar GE, Oh V, Li SC. Factors affecting therapeutic compliance:
A review from the patient’s perspective. Ther Clin Risk
Manag. 2008;4(1):269–86.
60. Kyngas H, Rissanen M. Support as a crucial predictor of good
compliance of adolescents with a chronic disease. J Clin
Nurs. 2001;10(6):767-74.
61. Kyngas H. Compliance of adolescents with asthma. Nurs Health Sci.
1999;1(3):195-202.
62. Williams LK, Joseph CL, Peterson EL, Wells K, Wang M, Chowdhry
VK, et al. Patients with asthma who do not fill their inhaled
corticosteroids: A study of primary nonadherence. J Allergy
Clin Immunol. 2007;120(5):1153-9.
63. Lacasse Y, Archibald H, Ernst E, Boulet L. patterns and determinants
of compliance with inhaled steroids in adults with asthma.
Can Respir J. 2005;12(4):211-7.
64. Stavropoulou C. Non-adherence to medication and doctor–
patient relationship: Evidence from a European survey. Patient
Educ Couns. 2011;83(1):7-13.
65. Farber HJ, Capra AM, Finkelstein JA, Lozano P, Quesenberry
CP, Jensvold NG, et al. Misunderstanding of asthma
controller medications: association with nonadherence. J
Asthma. 2003;40(1):17-25.
66. Cochrane G, Horne R, Chanez P. Compliance in asthma. Respir Med.
1999;93:763-9.

48
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Asma adalah penyakit yang cukup umum dikalangan masyarakat terbukti dari prevalensi data
yang menunjukkan banyaknya orang yang memiliki penyakit asma di luar negeri maupun di
Indonesia. Penyakit asma tidak bisa disepelekan karena berhubungan dengan pertukaran gas dan
kesehatan paru yang bisa saja menyebabkan komplikasi serius, oleh sebab itu diperlukan
pengetahuan tentang penyakit asma itu sendiri dan pengetahuan tentang pelayanan asuhan
keperawatan untuk menangani pasien asma.

SARAN
Perawat harus memiliki pengetahuan tentang penyakit asma itu sendiri tidak hanya di bagian
asuhan keperawatan namun juga pengetahuan patofisiologi, tanda dan gejala, serta komplikasi
yang bisa disebabkan oleh penyakit asma untuk penanganan lebih lanjut pada pasien asma.

49
DAFTAR PUSTAKA

DiGiulio, M., Dkk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing.

Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Susan C, Smeltzer. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Ed 12. Jakarta : EGC,

Ferliani,dkk.(2015). Kepatuhan Pasien Asma Tidak Terkontrol dan Faktor-Faktor yang


Berhubungan. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol.2, No.3. diperoleh 05 November
2019,dari http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/79

Rohman, Dodi. “BAB II Dodi Rohman”. Diakses pada 6 November 2019 dari
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.ump.ac.id/648/3
/BAB%2520II_DODI%2520ROHMAN_KEPERAWATAN%2520S1%252715.pdf&ved=2a
hUKEwjppOasuNTlAhVYSX0KHdu8AtcQFjACegQIARAB&usg=AOvVaw16IS93DS9SL
CIEbkDghq66

http://repository.ump.ac.id/648/3/BAB%20II_DODI%20ROHMAN_KEPERAWATAN%20S1
%2715.pdf

Menteri Kesehatan RI http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk10232008.pdf

50

Anda mungkin juga menyukai