Anda di halaman 1dari 18

KONSEP DASAR MEDIK

A. Laparatomi
1. Definisi
Laparatomi adalah pembedahan yang dilakuakan pada usus akibat
terjadinya perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus (Arif
Mansjoer, 2010). Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput
perut dengan operasi (Lakaman, 2011).
2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2012), etilogi harus dilakukan laparatomi adalah :
a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam).
b. Peritonitis.
c. Perdarahan saluran cerna.
d. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
e. Massa ada abdomen.
3. Klasifikasi
Jenis-jenis laparatomi menurut Smeltzer (2012), yaitu :
a. Mid-line incision.
b. Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang
(12,5 cm).
c. Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi dibagian atas misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
d. Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang dibagian
bawah ± 4 cm diatas anterior spinalilika , misalnya pada operasi
appendictomy. Latihan-latihan fisik seperti latihan nafas dalam, latihan
batuk, menggerakkan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong,
latihan alih baring dan turun dari tempat tidur semuanya dilakukan hari
ke 2 ;ost operasi.
4. Komplikasi
Menurut Arif Mansjoer (2010), komplikasi yang dapat terjadi adalah :
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul jika daerah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki,
ambulasi dini post operasi.
b. Infeksi, infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam pasca operasi.
Organisme yang paling serimg menimbulkan infeksi adalah
stapilococus aurens, organisme gram positif. Stapilococus
mengakibatkan pernananahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik
dan antiseptik.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi.
d. Ventilasi paru tidak adekuat.
e. Gangguan kardiovaskuler seperti, hipertensi dan aritmia jantung.
f. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
g. Gangguan rasa nyaman.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit, dan analisis urine.
b. Radiologi : bila diindikasikan melakukan laparatomi.

B. Hernia Inguinalis
1. Definisi
Hernia inguinalis adalah hernia berisi abdomen yang menonjol di
daerah sela paha (regio inguinalis). Hernia inguinalis indirek atau lateralis
keluar dari peritonium melalui celah anulus inguinalis internal yang terletak
di lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia masuk ke
kanalis inguinalis yang dapat menonjol keluar dari anulus inguinalis
eksternal (Haryono, 2012).
Hernia inguinalis lateralis adalah tonjolan dari abdomen di lateral
pembuluh epigastrika inferior melalui dua pintu yaitu anulus dan kanalis
inguinalis (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa hernia
inguinalis lateralis adalah penonjolan isi abdomen yang abnormal melalui
celah dinding abdomen atau anulus inguinalis yang dikarenakan tekanan
atau otot abdomen yang lemah.
2. Etiologi
Hal yang mengakibatkan hernia menurut Haryono (2012) adalah :
a. Kelainan kongenital atau kelainan bawaan
b. Kelainan didapat, meliputi :
1) Jaringan kelemahan
2) Luasnya daerah di dalam ligamen inguinal
3) Trauma
4) Kegemukan
5) Melakukan pekerjaan berat
6) Terlalu mengejan saat buang air kecil atau besar
3. Patofisiologi
Tonjolan yang semakin besar, lama kelamaan tidak bisa masuk kembali
secara spontan maupun dengan berbaring tetapi membutuhkan dorongan
dengan jari yang disebut hernia reponable. Jika kondisi seperti ini dibiarkan
saja maka dapat terjadi perlengketan dan lama kelamaan perlengketan
tersebut menyebabkan tonjolan yang tidak dapat dimasukan kembali dan
disebut hernia irreponable. Untuk mencegah terjadinya komplikasi pada
hernia maka dilakukan pembedahan. Dari pembedahan tersebut terdapat
luka insisi yang biasanya dapat menimbulkan nyeri yang dapat membuat
tidak nyaman sehingga mengurangi pergerakan dan resiko infeksi. ( Liu &
Campbell, 2011 ).
Hernia berkembang ketika intra abdominal mengalami pertumbuhan
tekanan seperti tekanan pada saat mengangkat sesuatu yang berat, pada saat
buang air besar atau batuk yang kuat atau bersin dan perpindahan bagian
usus kedaerah otot abdominal, tekanan yang berlebihan pada daerah
abdominal itu tentu saja akan menyebabkan suatu kelemahan mungkin
disebabkan dinding abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya pada
daerah tersebut dimana kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses
perkembangan yang cukup lama, pembedahan abdominal dan kegemukan.
Pertama-tama terjadi kerusakan yang sangat kecil pada dinding abdominal,
kemudian terjadi hernia. Karena organ-organ selalu selalu saja melakukan
pekerjaan yang berat dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama,
sehingga terjadilah penonjolan dan mengakibatkan kerusakan yang sangat
parah.sehingga akhirnya menyebabkan kantung yang terdapat dalam perut
menjadi atau mengalami kelemahan jika suplai darah terganggu maka
berbahaya dan dapat menyebabkan ganggren (Oswari, E. 2000).
Hernia inguinalis dapat terjadi karena kongenital atau karena sebab
yang didapat. Insiden hernia meningkat dengan bertambahnya umur karena
meningkatnya penyakit yang meninggikan tekanan intra abdomen dan
jaringan penunjang berkurang kekuatannya. Dalam keadaan relaksasi otot
dinding perut, bagian yang membatasi anulus internus turut kendur. Pada
keadaan ini tekanan intra abdomen tidak tinggi dan kanalis inguinalis
berjalan lebih vertikal. Bila otot dinding perut berkontraksi kanalis
inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus inguinalis tertutup sehingga
dapat mencegah masuknya usus ke dalam kanalis inguinalis. Pada orang
dewasa kanalis tersebut sudah tertutup, tetapi karena kelemahan daerah
tersebut maka akan sering menimbulkan hernia yang disebabkan keadaan
peningkatan tekanan intra abdomen (Nettina, 2001).
4. Pathway
5. Tanda dan Gejala
a. Penonjolan di daerah inguinal
b. Nyeri pada benjolan/bila terjadi strangulasi.
c. Obstruksi usus yang ditandai dengan muntah, nyeri abdomen seperti
kram dan distensi abdomen.
d. Terdengar bising usus pada benjolan
e. Kembung
f. Perubahan pola eliminasi BAB
g. Gelisah
h. Dehidrasi
i. Hernia biasanya terjadi/tampak di atas area yang terkena pada saat
pasien berdiri atau mendorong.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya kadar gas dalam
usus/obstruksi usus.
b. Hitung darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan
hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit), peningkatan sel darah putih
(Leukosit : >10.000– 18.000/mm3) dan ketidak seimbangan elektrolit.
7. Komplikasi
a. Terjadi perlekatan antara isi hernia dengan kantong hernia, sehingga isi
hernia tidak dapat dimasukkan kembali (hernia inguinalis lateralis
ireponibilis). Pada keadaan ini belum ada gangguan penyaluran isi usus.
b. Terjadi penekanan pada cincin hernia, akibatnya makin banyak usus
yang masuk. Cincin hernia menjadi relatif sempit dan dapat
menimbulkan gangguan penyaluran isi usus. Keadaan ini disebut hernia
inguinalis lateralis incarcerata.
c. Bila incarcerata dibiarkan, maka timbul edema sehingga terjadi
penekanan pembuluh darah dan terjadi nekrosis. Keadaan ini disebut
hernia inguinalis lateralis strangulata.
d. Timbul edema bila terjadi obstruksi usus yang kemudian menekan
pembuluh darah dan kemudian timbul nekrosis.
e. Bila terjadi penyumbatan dan perdarahan akan timbul perut kembung,
muntah dan obstipasi.
f. Kerusakan pada pasokan darah, testis atau saraf jika pasien laki-laki,
g. Pendarahan yang berlebihan/infeksi luka bedah,
h. Komplikasi lama merupakan atropi testis karena lesi.
i. Bila isi perut terjepit dapat terjadi: shock, demam, asidosis metabolik,
abses.
j. Hemtoma (luka atau pada skrotum).
k. Retensi urin akut.
l. Infeksi pada luka.
m. Gangguan aktivitas
n. Nyeri kronis.
o. Nyeri dan pembengkakan testis yang menyebabkan atrofi testis
p. Rekurensi hernia (sekitar 2%).
Dampak post herniotomi terhadap sistem tubuh dan system kelangsungan
aktivitas pasien setelah dilakukan post operasi herniotomy antara lain adalah
sebagai berikut:
a) Sistem Gastrointestinal
Pembedahan traktus gastrointestinal sering kali mengganggu proses
fisiologi normal pencernaan dan penyerapan. Mual, muntah dan nyeri dapat
terjadi selama pembedahan ketika digunakan anestesia spinal. Dan
penurunan peristaltik usus ini mengakibatkan distensi abdomen dan gagal
untuk mengeluarkan feses dan flatus. motalitas gastrointestinal dapat
mengakibatkan distensi abdomen dan gagal untuk mengeluarkan feses dan
flatus ( Brunner & Suddarth 2002 : 484 & 455 ).
b) Sistem Neurologi
Luka pembedahan mengakibatkan spasme otot dan pembuluh darah
sehingga merangsang pelepasan mediator kimia ( seratonin, bradikinin,
histamin ). Proses ini merangsang reseptor nyeri kemudian rangsangan
ditransmisikan ke thalamus, kortek cerebri sehingga terasa nyeri. Nyeri akan
merangsang RAS ( Retikular Activating Sistem ) stimulus ini menyebabkan
sikap terjaga dan berkurangnya stimulus untuk mengantuk.
c) Sistem Pernapasan
Peningkatan frekuensi nafas dapat terjadi akibat nyeri pada luka operasi, hal
ini merangsang sinyal dari sum-sum tulang belakang yang dihantarkan
melalui dua jalur yaitu Spinal Thalamus Traktus ( STT ) ke Spinal
Respiratory Traktus ( SRT ). Dari spinal thalamus traktus akan dihantarkan
ke korteks cerebri sehingga nyeri dipersepsikan, sedangkan dari spinal
respirator, traktus akan dihantarkan ke medula oblongata sehingga
mengakibatkan neural inspiratory yang akan meningkatkan frekuensi
pernapasan. Nyeri pada luka operasi dapat menekan pengembanahan rongga
dada dan pasien dapat memerlukan sangat banyak dorongan untuk
beergerak, ambulasi dan bernafas dalam (C.Long, Barbara, 1996 : 251).
d) Sistem Kardiovaskuler
Pada klien post herniotomi biasanya dapat terjadi peningkatan denyut nadi,
hal ini disebabkan dari rasa nyeri akibat luka operasi sehingga
mengakibatkan medula oblongata untuk meningkatkan frekuensi
pernapasan dan merangsang epineprin sehingga menstimulasi jantung untuk
memompa lebih cepat selain itu juga dapat terjadi akibat faktor metabolik,
endokrin dan keadaan yang menghasilkan adrenergik sehingga
dimanifestasikan peningkatan denyut nadi.
e) Sistem Integumen
Luka operasi akan mengakibatkan kerusakan kontinuitas jaringan dan
keterbatasan gerak dapat mengakibatkan kerusakan kulit pada daerah yang
tertekan karena sirkulasi perifer terhambat. Akibat dari keadaan post
operatif seperti peradangan, edema dan perdarahan, sering terjadi
pembekakan skrotum setelah perbaikan hernia inguinal lateral ( C.Long,
Barbara, 1996 : 247 ).
f) Sistem Muskuloskeletal
Nyeri pada luka operasi timbul akibat terputusnya kontinuitas jaringan serta
adanya spasme otot, terjadi penekanan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan metabolisme anaerob sehingga menghasilkan asam laktat,
hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan pergerakan ( otot persendian )
sehingga aktivitas sehari-hari dapat terganggu. Selain itu nyeri akibat luka
operasi dapat mengakibatkan klien mengalami keterbatasan gerak.
g) Sistem Perkemihan
Terjadinya retensi urine dapat terjadi setelah prosedur pembedahan. Retensi
terjadi paling sering setelah pembedahan pada rektum, anus dan vagina
setelah pembedahan pada abdomen bagian bawah, penyebabnya diduga
adalah spasme spinkter kandung kemih (Brunner & Suddarth 2002 : 484).

c. Asuhan Keperawatan
a) Pengkajian
Tahap ini merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dan
menentukan hasil dari tahap berikutnya. Pengkajian dilakukan secara
sistematis mulai dari pengumpulan data, identifikasi dan evaulasi status
kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Pengkajian data fisik berdasarkan pada pengkajian abdomen dapat
menunjukan benjolan pada lipat paha atau area umbilikal. Keluhan
tentang aktivitas yang mempengaruhi ukuran benjolan. Benjolan
mungkin ada secara spontan atau hanya tampak pada aktivitas yang
meningkatkan tekanan intra abdomen, seperti batuk, bersin, mengangkat
berat atau defekasi. Keluhan tentang ketidaknyamanan. Beberapa
ketidaknyamanan dialami karena tegangan yang meningkatkan tekanan
intra abdomen, seperti batuk, bersin, mengangkat berat atau defekasi.
Tentang ketidaknyamanan. Beberapa ketidaknyamanan dialami
karena tegangan. Nyeri menandakan strangulasi dan kebutuhan terhadap
pembedahan segera. Selain itu manifestasi obstruksi usus dapat dideteksi
(bising usus, nada tinggi sampai tidak ada mual/muntah).Data yang
diperoleh atau dikaji tergantung pada tempat terjadinya, beratnya, apakah
akut atau kronik apakah berpengaruh terhadap struktur disekelilingnya
dan banyaknya akar saraf yang terkompresi atau tertekan. Pengkajian
secara teoritis menurut Doengoes (2000) yang dapat muncul diantaranya:
1) Aktivitas/Istirahat
Gejala : Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat,
duduk, mengemudi dalam waktu lama. Membutuhkan matras/papan
yanag keras saat tidur. Penurunan rentang gerak dari ekstremitas pada
salah satu bagian tubuh. Tidak mampu melakukan aktivitas yang
biasa dilakukan.
Tanda : Atropi otot pada bagian yang terkena. Gangguan dalam
berjalan.
2) Eliminasi
Gejala : Konstipasi, mengalami kesulitan dalam defekasi, adanya
inkontinensia atau retensi urine.
3) Integritas Ego
Gejala : Ketakutan akan timbulnya paralisis, ansietas masalah
pekerjaan, finansial keluarga.
Tanda : Tampak cemas, depresi menghindar dari keluarga atau orang
terdekat.
4) Neuro Sensori
Gejala : Kesemutan, kekauan, kelemahan dari tangan atau kaki.
Tanda : Penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, hipotonia.
Nyeri tekan atau spasme otot pada vertebralis. Penurunan persepsi
nyeri (sensorik).
5) Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk
dengan adanya batuk, bersin, membengkokan badan, mengangkat,
defekasi, mengangkat kaki atau fleksi pada leher, nyeri yang tiada
hentinya atau adanya episode nyeri yanag lebih berat secara
intermiten. Nyeri yang menjalar pada kaki, bokong (lumbal) atau
bahu/lengan, kaku pada leher atau servikal. Terdengar adanya suara
‘krek’ saat nyeri bahu timbul/saat trauma atau merasa ‘punggung
patah’. Keterbatasan untuk mobilisasi atau membungkuk kedepan.
Tanda : Sikap dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang tekena.
Perubahan cara berjalan, berjalan dengan terpincang-pincang,
pinggang terangkat pada bagian tubuh yang terkena. Nyeri pada
palpasi.

b) Diagnosa Keperawatan Post Operasi


Menurut Merelyn E, Doengoes (2000), diagnosa keperawatan yang
dapat muncul pada pasien dengan Hernia Scrotalis pasca operasi antara
lain sebagai berikut:
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya konti-
nuitas jaringan dan proses inflamasi luka operasi
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya keterbatasan rentang
gerak dan ketakutan bergerak akibat dari respon nyeri dan prosedur
infasive.
c. Konstipasi berhubungan dengan immobilisasi sekunder akibat post
operasi dan efek anastesi
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan akibat
prosedur invasive/ tindakan operatif dan adanya proses inflamasi luka
post operasi
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan nyeri
akibat terputusnya kontinuitas jaringan akibat prosedur invasive dan
immobilisasi post operasi
f. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan efek tekanan
akibat trauma dan bedah perbaikan/insisi post operasi
g. Resiko tinggi retensi urine yang berhubungan dengan nyeri, trauma
dan penggunaan anestetik selama pembedahan abdomen
h. Kurang pengetahuan klien dan keluarga: potensial komplikasi
Gastrointestinal yang berkenaan dengan adanya hernia post operasi
dan kurangnya informasi.

c) Intervensi Keperawatan
Dari beberapa diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien
dengan Hernia pasca operasi, intervensi pada masing-masing diagnosa
antara lain sebagai berikut ( Doengoes : 2000: 137) :
i. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya konti-
nuitas jaringan, dan proses inflamasi luka operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat
berkurang sampai hilang.
Kriteria hasil :
1) Ekspresi wajah pasien rileks dan tidak menahan nyeri
2) Klien menyatakan nyeri berkurang sampai hilang, skala nyeri
berkurang
3) Tanda–tanda vital dalam batas normal
Intevensi :
1) Monitor tanda–tanda vital pasien sesuai kondisi pasien dan jadwal
Rasional: Tanda-tanda vital merupakan pedoman terhadap perubahan
pada kondisi klien dan abnormalitas pada kondisi klien
2) Kaji nyeri meliputi lokasi, frekuensi, kwalitas dan skala nyeri pasien.
Rasional: Mengetahui status nyeri pada klien
3) Posisikan yang nyaman dengan sokong/tinggikan dengan
ganjal pada posisi anatomi ekstremitas yang sakit dan kurangi
pergerakan dini pada area luka operasi.
Rasional: Latihan aktivitas bertahan mengurangi respon nyeri tapi
tetap pertahan kenyamanan klien dan mengurangi rasa nyeri klien.
4) Ajarkan tekhnik relaksasi dan dextrasi nafas dalam untuk mengurangi
nyeri saat nyeri muncul
Rasional: Nafas dalam dan tekhnik relaksasi mengurangi nyeri secara
bertahap dan dapat dilakukan mandiri.
5) Anjurkan pada keluarga untuk memberikan massase pada area
abdomen yang nyeri tapi bukan area luka operasi.
Rasional: Relaksasi dan pengalihan merupakan rasa mengalihkan
rasa nyeri dan menciptakan kenyamanan klien
6) Kolaborasi dengan tim medis dalam program therapy analgetik
Rasional: Program terapi sebagai system kolaboratif dalam
menyelesaikan masalah nyeri.

ii. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya keterbatasan rentang


gerak dan ketakutan bergerak akibat dari respon nyeri dan prosedur
infasive.
Tujuan :Intoleransi aktifitas dapat teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria hasil :
1) Klien tidak lemah
2) Klien dapat melakukan aktifitas secara mandiri
3) Klien tidak takut bergerak lagi dan mau beraktivitas mandiri.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
Rasional: Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.
2) Awasi tekanan darah, nadi, pernapasan selama dan sesudah aktifitas.
Rasional: Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru
untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan
3) Bantu klien dalam memilih posisi yang nyaman untuk istirahat dan
tidur.
Rasional: Membantu klien seperlunya dalam latihan beraktivitas
4) Dorong partisipasi klien dalam semua aktifitas sesuai kemampuan
individual.
Rasional: Melatih klien untuk beraktivitas secara mandiri dan
meningkatkan kemampuan klien.
5) Dorong dukungan dan bantuan keluarga/orang terdekat dalam latihan
gerak.
Rasional: Melatih klien beraktivitas dan kemandirian klien dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari
6) Berikan lingkungan tenang dan mempertahankan tirah baring.
Rasional: Meningkatkan kenyaman dan kecemasan klien.
7) Bantu aktifitas atau ambulasi pasien sesuai dengan kebutuhan
Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam beraktivitas

iii. Konstipasi berhubungan dengan immobilisasi sekunder akibat post


operasi dan efek anastesi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
BAB secara rutin dan tidak terjadi konstipasi
Kriteria hasil :
1) Pasien bisa BAB minimal 1x dalam sehari
2) Konsistensi feses lunak
3) Nyeri berkurang saat BAB.
4) Tidak ada penumpukan masa feses pada abdomen
Intervensi :
1) Kaji dan observasi adanya kesulitan BAB dan masalah dalam BAB
pasien
Rasional: Mengetahui masalah dan hambatan dalam pola eliminasi
klien
2) Anjurkan pasien untuk alih posisi tiap 2 jam sekali
Rasional: Meningkatkan peristaltik usus dan meningkatkan
kemampuan BAB
3) Anjurkan pada pasien untuk minum banyak 1500–3000cc tiap hari
dan makanan yang mengandung serat.
Rasional: Asupan cairan memungkinkan feses lunak dan klien dapat
melakukan BAB
4) Anjurkan pada pasien makan makanan yang lunak porsi sedikit-
sedikit tapi sering
Rasional: Makanan yang lunak dan berserat sangat mudah dicerna
sehingga system pencernaan membaik dan klien mampu BAB
5) Kaji peristaltik usus setiap pagi dan sesuai kondisi klien
Rasional: Peningkatan peristaltic usus mengidentifikasikan adanya
kelancaran dalam metabolisme pencernaan
6) Anjurkan pasien menghindari mengejan saat BAB
Rasional: Mengejan saat BAB meningkatkan rasa nyeri pada klien.

iv. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan akibat


prosedur invasive/ tindakan operatif dan adanya proses inflamasi luka
post operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi
tidak terjadi.

Kriteria hasil :
1) Tidak terdapat tanda-tanda infeksi seprti pada luka operasi terdapat
pus dan kemerahan, oedem.
2) Tanda–tanda vital dalam batas normalLaboratorium leukosit, dan
hemoglobin normal.
3) Luka kering dan menunjukan penyembuhan
Intervensi :
1) Observasi tanda–tanda vital pasien sesuai kondisi pasien.
Rasional: Tanda-tanda vital merupakan pedoman terhadap perubahan
pada kondisi klien dan abnormalitas pada kondisi klien
2) Kaji adanya tanda–tanda infeksi dan peradangan meliputi adanya
kemerahan sekitar luka dan pus pada luka operasi.
Rasional: Adanya kemerahan, oedem, pus, dan rasa panas pada luka
merupakan adanya infeksi pada luka operasi
3) Lakukan medikasi luka steril/bersih tiap hari.
Rasional: Mensterilkan luka dan menjaga luka agar tetap steril/tidak
infeksi dan cepat sembuh.
4) Pertahankan tekhnik aseptic antiseptik/kesterilan dalam perawatan
luka dan tindakan keperawatan lainnya.
Rasional: Meningkatkan penyembuhan dan menghindari infeksi
pada luka operasi.
5) Jaga personal hygiene pasien.
Rasional: Meningkatkan sterilan pada luka dan personal hygiene
klien
6) Manajemen kebersihan lingkungan pasien.
Rasional: Agar ruangan tetap steril
7) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapy antibiotik
Rasional: Mempercepat penyembuhan luka agar tidak terjadi infeksi.

v. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan nyeri


akibat terputusnya kontinuitas jaringan akibat prosedur invasive dan
immobilisasi post operasi.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit
4) Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
Rasional: tirah baring mengistirahatkan muskuloskelektal sehingga
aktivitas bertahap tidak kelelahan
2) Tinggikan ekstrimitas yang sakit
Rasional: sebagai relaksasi mmengurangi rasa nyeri dan
kenyamanan mobilitas fisik
3) Instruksi klien/bantu dalam latihan rentang gerak pada ekstremitas
yang sakit dan tak sakit.
Rasional: latihan secara bertahap dapat meningkatkan kemandirian
klien dalam beraktivitas.
4) Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
Rasional : keterbatasan gerak dapat dimanfaatkan untuk istirahat dan
kenyamanan klien dan latihan bertahap dapat meningkatkan
kemampuan klien dalam beraktivitas.
5) Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan aktifitas dalam
lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan. Awasi
tekanan darah, nadi dengan melakukan aktivitas
Rasional: untuk meningkatkan kemandirian klien dalam beraktivitas
dan mobilisasi, latihan secara bertahap menghindari kelelahan dan
injury
6) Ubah posisi secara periodic tiap 2 jam
Rasional: meningkatkan kenyamanan dan keamanan klien dan
mencegah dekubitus.

vi. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan efek tekanan akibat


trauma dan bedah perbaikan/insisi post operasi.
Tujuan : Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan
perawatan.
Kriteria hasil :
1) Penyembuhan luka sesuai waktu
2) Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
Intervensi :
1) Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau
drainage.
Rasional: untuk mengetahui tingkat kerusakan integritas kulit dan
derajat keparahan.
2) Monitor tanda-tanda vital dan suhu tubuh pasien
Rasional: tanda-tanda vital untuk memonitor keadaan dan
perubahan status kesehatan klien
3) Lakukan perawatan pada luka operasi sesuai dengan jadwal
Rasional: mencegah keparahan dan memperbaiki jaringan kulit
yang rusak
4) Lakukan alih posisi dengan sering pertahankan kesejajaran tubuh
Rasional: menghindari dekubitus
5) Pertahankan sprei tempat tidut tetap kering dan bebas kerutan
Rsional: menghindari adanya decubitus pada klien
6) Gunakan tempat tidur busa atau kasut udara sesuai indikasi
Rsional: menghindari adanya decubitus pada klien
7) Kolaborasi pemberian antibiotic
Rasional : mempercepat proses penyembuhan luka operasi dan
decubitus.
vii. Resiko tinggi retensi urine yang berhubungan dengan nyeri, trauma dan
penggunaan anestetik selama pembedahan abdomen.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine dan klien mampu memenuhi
keutuhan eliminasi urine dan tidak nyeri saat BAK.
Kriteria hasil :
1) Dalam 8-10 jam pembedahan, pasien berkemih tanpa kesulitan.
2) Haluaran urine  100 ml setiap berkemih dan adekuat (kira-kira
1000-1500 ml) selama periode 24 jam.
Intervensi :
1) Kaji dan catat distensi suprapubik atau keluhan pasien tidak dapat
berkemih.
Rasional: untuk mengetahui masalah dan kelainan dalam pola
eliminasi urine klien.
2) Pantau haluaran urine dan endapan darah pada urine
Rasional: mengetahui jumlah urine yang keluar mencegah adanya
dehidrasi dan overhidrasi dan masalah dalam pola eliminasi klien.
3) Anjurkan klien BAB agar tigak mengejan.
Rasional: mengejan saat BAK akan meningkatkan rasa nyeri
4) Lakukan bleder training
Rasional: untuk meningkatkan kemandirian dalam eliminasi urine

viii. Kurang pengetahuan klien dan keluarga: potensial komplikasi


Gastrointestinal yang berkenaan dengan adanya hernia post operasi dan
kurangnya informasi
Tujuan : Keluarga mampu merawat mengenal masalah hernia dan
pencegahan komplikasi dan perawatan pasien post operasi.
Kriteria hasil :
1) Keluarga mampu menyebutkan mengenai masalah hernia.
2) Keluarga mampu menyebutkan perawatan hernia.

Intervensi :
1) Kaji pengetahuan keluarga tentang pengertian, tanda gejala,
penyebab dan perawatan hernia.
Rasional: mengetahui tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakit yang diderita klien
2) Diskusikan dengan keluarga tentang komplikasi hernia.
Rasional: agar keluarga memahami bagaimana pencegahan
komplikasi dan perawatan setelah operasi
3) Evaluasi semua hal yang telah dilakukan bersama keluarga.
Rasional: agar keluarga memahami bagaimana pencegahan
komplikasi dan perawatan setelah oparasi
4) Beri penyuluhan pada klien dan keluarga tentang penyakit hernia

Anda mungkin juga menyukai