Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Kehamilan Dengan KPD dan Obesitas

Disusun oleh :
dr. Genoveva Maditias Dwi Pertiwi

Pembimbing :
dr. Jose Rizal
dr. Heni Gembirawati

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLK INDONESIA
RSUD PRINGSEWU
2019

1
BAB I
LAPORAN KASUS

ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
1. Identitas

Nama : Ny. Ci Suami : Tn. S


Umur : 39 tahun Umur : 42 tahun
Suku : Lampung Suku : Lampung
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pekerjaan : Petani

2. Keluhan
Utama : Mau melahirkan dengan darah tinggi dan keluar air-air

3. Riwayat Kehamilan Sekarang


4 jam SMRS pasien mengaku perut mules yang menjalar ke pinggang,
hilang timbul, makin lama makin sering dan kuat. Os juga mengaku sejak
semalam keluar air-air yang tidak bisa ditahan, berwarna jernih dan tidak
berbau, riwayat keputihan saat hamil (+), riwayat trauma (-), Riwayat
koitus (-), riwayat keluar darah dan lendir (+). riwayat darah tinggi hamil
ini (+), riwayat darah tinggi hamil sebelumnya (-), riwayat darah tinggi
sebelum hamil (-), riwayat darah tinggi dalam keluarga (-), riwayat sakit
kepala (-), riwayat mual muntah (-), riwayat pandangan kabur (-), riwayat
nyeri perut (-), Os mengaku hamil cukup bulan dan gerakan janin masih
dirasakan.

4. Riwayat Haid
Menarche : 17 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur
Jumlahnya : Jumlah darah normal, tidak nyeri
Lamanya : ± 5 hari
Warnanya : Merah darah
Baunya : Dalam batas normal

2
HPHT : 27 Januari 2016

5. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, lamanya 20 tahun.Usia menikah 20 tahun

6. Riwayat Kehamilan – Persalinan – Nifas terdahulu

No. Tgl/Tahun Tempat Usia Penolong Penyulit Jenis BBL Keadaan


Persalinan Persalinan Kehamilan Kelamin

1. 1999 Rumah 38 minggu Dukun - Laki-laki 3000 Hidup

2. 2003 Rumah 38 minggu Dukun - Laki-laku 2800 Hidup

3. Hamil ini

7. Riwayat Penyakit/ Kebiasaan Terdahulu


Pasien mengaku tidak pernah menderita penyakit sebelumnya .Riwayat
operasi disangkal. Kebiasaan merokok, minum alkohol dan
mengkonsumsi obat-obatan disangkal pasien. Pasien juga mengaku tidak
memiliki alergi terhadap makanan dan obat-obatan.

8. Riwayat Penyakit Keluarga


Anggota keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit darah tinggi.

9. Riwayat Kontrasepsi
Pasien mengaku tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi.

10. Riwayat Imunisasi Selama Hamil


Os mendapatkan imunisasi TT sebanyak 3 kali selama kehamilan dan
melakukan kunjungan antenatal ke bidan yang dilakukan sekitar 3 kali.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 160/110 mmHg

3
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 128 kg

2. Status Generalis
Kulit : Dalam batas normal
Kepala : normochepal, rambut hitam dan distribusi merata
Mata : Dalam batas normal
Gigi / mulut : gigi geligi lengkap, karies (-)
Leher : JVP dalam batas normal, pembesaran KGB (-)
Thorax : Mammae membesar dan tegang (+), Hiperpigmentasi
areola (+)
Jantung : ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di ICS 6 linea
midclavicularis sinistra, BJ I = BJ II reguler, murmur (-),
gallop (-). Kesan : batas jantung normal
Paru-paru : simetris, fremitus vokal dan taktil simetris, sonor lapang
paru dalam batas normal, vesikuler (+)/(+), rhonki (-)/(-),
whezing (-)/(-)
Abdomen : cembung, simetris, lesi (-), nyeri tekan (-), massa (-), hepar
dan lien sulit dievaluasi, timpani, nyeri ketuk (-), bising
usus normal
Ekstrimitas : edema (-)/(-), refleks patela (+)/(+), sianosis (-)/(-), akral
hangat (+)/(+)

3. Status Obstetri
Pemeriksaan Luar
Inspeksi
Wajah : Chloasma gravidarum (-)
Payudara : pembesaran payudara (+), puting susu menonjol (+),

4
aerola hiperpigmentasi (+)
Abdomen : membesar, striae (-), linea nigra (-),
bekas operasi (-)

Palpasi
Leopold I : 3 jbpx, TFU 43 cm, bulat, keras, melenting (kepala)
Leopold II : keras memanjang pada bagian kiri
Leopold III : bulat, lunak, tidak melenting (bokong)
Leopold IV : divergen
TBJ : 4600 gram
DJJ : 123 x/menit
His : 2x/10’/30’’

Pemeriksaan Dalam
Inspekulo : Tidak dilakukan pemeriksaan inspekulo
VT : Portio lunak, medial, eff 50%, Ø 4 cm, kepala, HI-II,
ketuban (-), jernih, bau(-)
Tes Lakmus : (+)

USG : AFI = 8,5

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium ( 25 Oktober 2016)

Hematologi
Hb : 11,7 g/Dl SGOT : 33 GDS : 81
Leukosit : 5800 /µL SGPT : 9
Hematokrit : 35% LDH : 662
Trombosit : 137.000 /µL Proteinuria : +++
DIAGNOSIS
G3P2A0 hamil 38 minggu inpartu kala I fase aktif dengan KPD 8 jam +
PEB + partial HELLP sindrom + morbid obesitas, JTH, presentasi kepala
+ makrosomia

5
PENATALAKSANAAN

- Observasi TVI, His, DJJ


- Stabilisasi 1-3 jam
- IVFD RL gtt xx/menit
- Kateter menetap (pantau input output)
- MgSO4 sesuai protokol
- Nifedipin 4x10 mg p.o
- Ampicilin 4x1 gr
- Evaluasi Satgas gestosis
- Rencana terminasi perabdominam
- Konseling tubektomi

PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

6
Follow Up

HARI/
CATATAN INSTRUKSI
TANGGAL

25/10/2016 S/ os mengaku nyeri perut yang P/


12.00 WIB menjalar ke pinggang makin kuat
dan makin sering dirasakan. - Observasi TVI,
His, DJJ
O/ Status present - IVFD RL gtt
BB : 128 kg xx/menit
TB : 165 cm - Kateter menetap
IMT : 46,1 (pantau input
output)
TD : 160/100 mmHg - MgSO4 sesuai
protokol
Nadi : 84 x/menit
- Nifedipin 4x10 mg
RR : 20 x/menit p.o
- Ampicilin 4x1gr
T : 36,5oC - Rencana terminasi
perabdominam
IG : 6 (Persiapan ijn, alat,
Status Obstetri : dan darah)

FUT 2 jbpx (43 cm), Memanjang,


Puki, kepala, His 2x/10’/15”, DJJ
130x, TBJ: 4600 gram
VT: Portio lunak, medial, eff
50%, Ø 5 cm, kepala, HI-II,
ketuban (-)

A/ G3P2A0 hamil 38 minggu


inpartu kala I fase aktif dengan
KPD 11 jam + PEB + partial
HELLP sindrom + morbid
obesitas JTH presentasi kepala +
makrosomia

14.30 WIB O/ Status present Pasien naik ke kamar


operasi
TD : 150/100 mmHg
Nadi : 84 x/menit

7
RR : 20 x/menit
T : 36,5oC

Status Obstetri :
FUT 2 jbpx (43 cm), Memanjang,
Puki, bokong, His 2x/10’/15”, DJJ
130x, TBJ: 4600gram
VT: Portio lunak, medial, eff
50%, Ø 6 cm, kepala, HI-II,
ketuban (-)

A/ G3P2A0 hamil 38 minggu


inpartu kala I fase aktif dengan
KPD 13 jam + PEB + partial
HELLP sindrom + morbid
obesitas JTH presentasi kepala +
makrosomia
15.00 WIB Lahir neonatus hidup perempuan, Bayi dipindahkan ke ruang
BB;2900 gr, PB: 48 cm, A.S 7/8, perinatologi
FT AGA

15.45 WIB Kondisi ibu baik pindah ke ruang R/


pulih sadar di bangsal
 Observasi TVI,
A/ P3A0 post SSTP + tubektomi perdarahan
pomeroy a.i KPD + PEB + Partial  Mobilisasi bertahap
HELLP sindrome + Morbid  Cek lab : Hb
obesitas Bila Hb post operasi < 8
g/dL lakukan transfusi
hingga Hb> 8 g/dL
 IVFD RL gtt xx/menit
 Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12
jam
 Inj. As traneksamat 500
mg/8 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg/12
jam

8
26/10/2016 S/ Nyeri pada jahitan luka P/
operasi, kembung (+), mual
07.00 WIB muntah (-), ASI belum keluar  Observasi TVI
 Mobilisasi bertahap
O/ Status present  IVFD RL gtt xx/menit
 Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12
TD : 150/100 mmHg jam
Nadi : 84 x/menit  Inj. As traneksamat 500
mg/8 jam
RR : 20 x/menit  Inj. Ketorolac 30 mg/ 12
jam
T : 36.7oC  MgSO4 sesuai protokol
Status Obstetri
TFU 3 jbpst, perdarahan aktif
(‒), lokia (+), BAK (+) 700cc

Hasil laboratorium: Hb post


operasi : 10,6 gr/dl

A/ P3A0 post SSTP + tubektomi


pomeroy a.i KPD + PEB+Partial
HELLP sindrome + Morbid
obesitas hari – 1

27/10/2016 S/ Nyeri pada jahitan luka P/


operasi, kembung (+), mual
07.00 WIB muntah (-), ASI belum keluar  Observasi TVI
 Mobilisasi bertahap
O/ Status present  IVFD RL gtt xx/menit
 Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12
TD : 150/90 mmHg jam
Nadi : 84 x/menit  Inj. As traneksamat 500
mg/8 jam
RR : 20 x/menit  Inj. Ketorolac 30 mg/ 12
jam
T : 36.7oC
Status Obstetri
TFU 3jbtps, luka jahitan
operasi baik, perdarahan aktif
(‒), lokia (+), BAK (+)

A/ P3A0 post SSTP + tubektomi


pomeroy a.i KPD + PEB+Partial
HELLP sindrome + Morbid
obesitas hari ke 2

9
28/10/2016 S/ Nyeri pada luka jahitan operasi P/

07.00 WIB O/Status present  Cefadroxil 3x 500 mg


 Paracetamol 3 x 500 mg
TD : 140/90 mmHg  B-complex 3x1 tab
Nadi : 82 x/menit
RR : 20x/menit
T : 36.6 oC

Status Obstetri

TFU 3jbtps, luka jahitan


operasi baik, perdarahan aktif
(‒), lokia (+), BAK (+)

A/ P3A0 post SSTP + tubektomi


pomeroy a.i KPD + PEB+Partial
HELLP sindrome + Morbid
obesitas hari ke 3

29/10/2016 S/ Tidak ada keluhan P/

06.30 WIB O/Status present  Cefadroxil 3x 500 mg


 Paracetamol 3 x 500 mg
TD : 140/90 mmHg  B-complex 3x1 tab
Nadi : 88 x/menit

RR : 20x/menit

T : 36.2oC

Status Obstetri

TFU 3jbpst, luka jahitan


operasi baik, perdarahan aktif
(‒),lokia (+), BAK (+)

A/ P3A0 post SSTP + tubektomi


pomeroy a.i KPD + PEB+Partial
HELLP sindrome + Morbid
obesitas hari ke 4

10.00 WIB Kondisi pasien baik, pasien


dipulangkan

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketuban Pecah Dini (KPD)


Ketuban pecah dini (KPD) merupakan salah satu keadaan yang dapat
menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama
kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup
tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan, dan
kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan
partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama
pada pengelolaan konservatif.

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat


tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam sebelum terjadi inpartu.
Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi pada hamil aterm di atas 37
minggu, sedangkan di bawah 36 minggu, kejadiannya tidak terlalu banyak.
 Pecahnya ketuban sebelum inpartu atau sebelum timbulnya persalinan
minimal lebih dari 1 jam sebelum inpartu.
 Pecahnya ketuban sebelum inpartu yaitu bila diameter serviks pada
primigravida < 3 cm dan multi gravida <5 cm.
 Pecahnya selaput ketuban secara spontan pada umur kehamilan > 28
minggu sebelum waktu persalinan, dapat dibagi menjadi dua :
- PROM  (prelabour rupturs of the membranes) Pecahnya selaput
ketuban pada usia kehamilan > 37 minggu sebelum waktu
persalinan.
- PPROM  (Preterm Prelabour rupturs of the membranes)
pecahnya selaput ketuban pada usia kehamilan < 37 minggu.

Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm (8%), preterm (1-
3%), dan pada midsemester kehamilan (<1%).Secara umum, insidensi dari
KPD terjadi sekitar 7 – 12 % dari semua kehamilan.3,9Sekitar 8-10%
pasien ketuban pecah dini memiliki risiko tinggi infeksi intrauterine akibat

11
interval antara ketuban pecah dan persalinan yang memanjang. Ketuban
pecah dini berhubungan dengan 30 hingga 40% persalinan preterm dimana
sekitar 75% pasien akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini dari
jadwal.

Penyebab dari KPD masih belum jelas, bisa dikarenakan faktor selaput
ketuban itu sendiri ( berkurangnya kekuatan ketuban ) atau faktor infeksi
1,3
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrauterin. Membran fetus
yang normal adalah sangat kuat pada awal kehamilan. Kombinasi akibat
peregangan membran dengan pertumbuhan uterus, seringnya kontraksi
uterus dan gerakan janin memegang peranan dalam melemahnya membran
amnion. KPD pada kehamilan aterm merupakan variasi fisiologis, namun
pada kehamilan preterm melemahnya membran merupakan proses yang
patologis. KPD sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh
adanya infeksi.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang
terikat pada membran melepaskan substrat seperti protease yang
menyebabkan melemahnya membran.Penelitian terakhir menyebutkan
bahwa matriks metaloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat
dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi.

Beberapa faktor predisposisi yang diduga berperan terhadap terjadinya


ketuban pecah dini.3,9,12
1. Faktor selaput ketuban itu sendiri  Selaput ketuban yang kurang elastis
dan tipis
- Adanya infeksi yang terjadi secara langsung mengenai selaput
ketuban maupun ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan
ketuban sepertichorioamnionitis, phyelonefritis, sistitis, cervisitis,
vaginitis.
2. Kelainan kehamilan :
- cervix incompeten menyebabkan dinding ketuban paling bawah
mendapat tekanan paling tinggi
- cephalo-pelvic disproportion
- Peduncular abdomen (perut gantung)

12
- kelainan letak janin (letak sungsang), sehingga tidak ada bagian
terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat
menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah
- hidramnion, kehamilan ganda
Overdistensi uterus mengakibatkan selaput ketuban menjadi lebih tipis
3. Trauma dan tekanan intra abdominal
4. Faktor lain ;
- Umur, usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban
kurang kuat daripada ibu muda
- Paritas (multipara, grandemultipara). Pada kehamilan yang terlalu
sering akan mempengaruhi proses embryogenesis sehingga selaput
ketuban yang terbentuk akan lebih tipis yang akan menyebabkan
selaput ketuban pecah sebelum tanda – tanda inpartu.
- Merokok selama kehamilan
- Defisiensi gizi dari tembaga dan vitamin C
- Riwayat KPD sebelumnya

Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan


jumlah jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta
peningkatan aktivitas kolagenolitik.Degradasi kolagen tersebut terutama
disebabkan oleh matriks metaloproteinase (MMP).MMP merupakan suatu
grup enzim yang dapat memecah komponen-komponen matriks
ektraseluler.Enzim tersebut diproduksi dalam selaput ketuban.MMP-1 dan
MMP-8 berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen fibril (tipe I
dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga
memecah kolagen tipe IV.Pada selaput ketuban juga diproduksi
penghambat metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase
(TIMP).TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan
TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai
aktivitas yang sama dengan TIMP-13. Keutuhan dari selaput ketuban
tetap terjaga selama masa kehamilan oleh karena aktivitas MMP yang
rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi.Saat mendekati
persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan kadar

13
MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP yang akan
menyebabkan terjadinya degradasi matriks ektraseluler selaput ketuban.
Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi
patologis pada selaput ketuban.Aktivitas kolagenase diketahui meningkat
pada kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada
preterm didapatkan kadar protease yang meningkat terutama MMP-9 serta
kadar TIMP-1 yang rendah.

Terjadinya gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi


adanya gangguan pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam
ketuban pecah dini. Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan
kejadian ketuban pecah dini adalah asam askorbat yang berperan dalam
pembentukan struktur triple helix dari kolagen. Zat tersebut kadarnya
didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban pecah dini. Pada
wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah.

Pasien dengan ketuban pecah dini umumnya datang dengan keluhan


keluarnya cairan dalam jumlah cukup banyak secara mendadak dari
vagina.Mungkin juga merasakan ‘kebocoran’ cairan yang terus menerus
atau kesan ‘basah’ di vagina atau perineum.Pemeriksaan yang terbaik
untuk diagnosis pasti adalah melalui observasi langsung keluarnya cairan
amnion dari lubang vagina.

Pada anamnesis didapatkan keluhan antara lain, Penderita merasa basah


pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari
jalan lahir,tidak dapat ditahan, terus menerus. Cairan berbau khas, dan
perlu juga diperhatikan warna keluanya cairan tersebut, his belum teratur
atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah. Dari anamnesis
90% sudah dapat mendiagnosa KPD secara benar.1Jika sudah terjadi
infeksi intra partum ( misalnya amniontis) didapat keluhan demam tinggi,
nyeri abdomen dan keluar cairan pervaginam berbau. Ketuban pecah
sebelum taksiran kelahiran. Umur kehamilan diperkirakan dari hari haid
terakhir3,4

14
Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum seperti tanda-tanda
vital pasien yaitu kesadaran, tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu
badan. Apakah ada tanda infeksi, seperti suhu badan meningkat dan nadi
cepat4Pemeriksaan pada abdomen didapatkan Uterus lunak dan tidak
nyeri tekan. Tinggi fundus uteri (TFU) harus diukur dan dibandingkan
dengan tinggi yang diharapkan menurut haid terakhir. Denyut jantung
janin normal yaitu 120-160x/ menit.3

Pada pemeriksaan obstetric dilakukan pemeriksaan cairan yang keluar


pervaginam yang berisi meconium, vernik kaseosa, rambut lanugo, dan
tidak berbau.Dengan inspekulo :
- Lihat dan perhatikan apakah air ketuban memang keluar dari kanalis
servikalis dan apakah ada bagian yang pecah
- Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari
serviks, adanya prolapse tali pusat atau tidak, ekstremitas bayi
- Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior

Pada pemeriksaan dalam (tidak dianjurkan), didapat cairan di dalam


vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan
dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang
kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan
pemeriksaan dalam karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa
akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina
yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi
patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang
sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan, dan bila
akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan), dan dibatasi
sedikit mungkin.

Pemeriksaan laboratorium terkait dengan pemeriksaan cairan yang keluar


dari vagina (warna, konsentrasi, bau dan pH nya). Cairan yang keluar dari
vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina.

15
- Tes Lakmus (tes Nitrazin)yaitu dengan memeriksa kadar keasaman cairan
vagina. Kertas mustard emas yang sensitive, pH ini akan berubah menjadi
biru tua pada keberadaan bahan basa. pH normal vagina selama kehamilan
adalah 4,5-5,5, pH cairan amniotik adalah 7-7,5. Tempatkan sepotong
kertas nitrazin pada mata pisau spekulum setelah menarik spekulum dari
vagina, jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan
adanya air ketuban (alkalis). Darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan
tes yang positif palsu.
- Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek
dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran
daun pakis.

Pemeriksaan penunjang seperti USG dilakukan untuk menilai jumlah air


ketuban (Amniotic Fluid Index), menentukan umur kehamilan, letak
plasenta, letak janin dan berat janin. 3Amniosenteses yang merupakan
pemeriksaan cairan amnion untuk evaluasi kematangan paru janin {(rasio
L/S: Fosfatidilgliserol, fosfatidi(kolin jenuh)}. Pewarnaan gram dan hitung
koloni kuantitatif membuktikan adanya infeksi intrauterine.
9,15
Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukan peringatan awal
koriomnionitis.12

Secara umum, terdapat 2 jenis penanganan dan penatalaksanaan pada


kasus ketuban pecah dini yaitu:
-
Konservatif,
Rawat di Rumah Sakit, berikan antibiotic ( ampicilin atau eritromisin
4x500mg dan metronidazol 2x500mg selama 7 hari.
 Jika usia kehamilan < 32 – 34 minggu maka pasien dirawat selama
air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak lagi keluar.
 Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, belum inpartu, tidak ada
infeksi dan tes busa negative maka diberikan dexametason IM 5mg
setiap 6 jam sebanyak 4x, observasi tanda-tanda infeksi dan

16
kesejahteraan janin. Terminasi kehamilan pada usia kehamilan 37
minggu
 Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, sudah inpartu, tidak ada
infeksi maka berikan tokolitik (salbutamol), dexametason IM 5mg
setiap 6 jam sebanyak 4x dan induksi persalinan setelah 24 jam
 Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu dan ada infeksi maka beri
antibiotic dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu,
leukosit, tanda-tanda infeksi intra uterin).
Pada usia kehamilan 32 – 37 minggu berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomielin tiap minggu.

Aktif
 Pada kehamilan ≥37 minggu dan taksiran berat janin (TBJ) ≥
2500gram, keadaan ibu dan janin baik, skor pelvic ≥ 5 dan ICA > 5
maka dilakukan induksi dengan oksitosin. Dapat pula diberikan
misoprostol 25µg - 50µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
Bila gagal maka dilakukan seksio sesarea.
 Pada kehamilan ≥37 minggu dan taksiran berat jangin (TBJ) ≥
2500gram, skor pelvic < 5, ICA ≤ 5, keadaan ibu dan janin kurang
baik ( terdapat tanda-tanda infeksi intra partum, NST non-reaktif
atau CST positif, terdapat indikasi obstetric) dan ketuban pecah
≥12 jam maka berikan antibiotic dosis tinggi dan kehamilan
diakhiri dengan seksio sesarea.

2.2 Obesitas
2.2.1 Definisi
Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Body Mass Index
(BMI) ≥ 30 kg/m2. Penentuan obesitas dengan BMI lebih lazim digunakan
dibandingkan dengan metode lain seperti pengukuran ketebalan lipatan
lemak dan lingkar pinggang (waist circumferrencia), penghitungan rasio
waist-to-hip circumferrencia, termasuk juga dengan menggunakan alat-

17
alat seperti USG (Ultrasonografi), CT-scan (Computed Tomography
Scanning) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) (Davies, 2010).
Obesitas dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe android (central body obesity)
yang merujuk pada distribusi lemak ke pusat tubuh dan tipe gynoid (lower
body obesity) dimana distribusi lemak kearah bawah yaitu femoral dan
gluteal.Diantara kedua tipe tersebut tipe android lebih berisiko terjadi
kelainan metabolik seperti insulin resisten, dislipidemia, hipertensi,
diabetes (metabolik sindrom). Hal tersebut disebabkan oleh karena lemak
pada visceral (central body obesity) lebih aktif terjadi lipolisis dan
sensitivitas terhadap insulin menurun.

2.2.2 Prevalensi dan Risiko Obesitas dalam Kehamilan


Wanita hamil dengan obesitas mencapai 28% dari keseluruhan kehamilan
dengan 8% dikategorikan sebagai “Extremely obese” (BMI ≥ 40 kg/m2)
dan jumlah penderitanya mengalami peningkatan setiap tahun. Keadaan
ini menunjukan suatu kondisi yang sangat serius mengingat komplikasi
yang ditimbulkannya baik terhadap ibu, fetus, neonatus serta potensial
komplikasi yang dapat ditimbulkannya pada kehidupan selanjutnya serta
secara ekonomi akan membutuhkan biaya yang lebih banyak (Gunatilake,
2011).

2.2.3 Patofisiologi
Distribusi jaringan lemak pada berbagai organ yang berbeda juga akan
memberikan implikasi morbiditas yang berbeda pula. Secara spesifik,
lemak yang berlebihan di daerah abdomen dan intraabdomen berimplikasi
terhadap morbiditas lebih signifikan dibandingkan lemak berlebih di
daerah bokong atau ekstremitas bawah. Banyak komplikasi yang
ditimbulkan oleh obesitas pada wanita seperti diabetes mellitus, hipertensi,
resistensi insulin dan hiperlipidemia berhubungan erat dengan distribusi
lemak yang berlebih di daerah intraabdomen/tubuh bagian atas
dibandingkan dengan dibagian lain, mekanisme bagaimana hal tersebut
dapat terjadi sampai saat ini belum diketahui dengan jelas tetapi fakta

18
menunjukan bahwa lemak di daerah abdomen bersifat lebih lipolytically
active dibandingkan dengan lemak di daerah yang lainnya. Lepasnya asam
lemak bebas dalam sirkulasi dapat menyebabkan efek yang buruk terhadap
metabolisme terutama di hati, adipokines dan cytokines yang disekresikan
oleh adiposit viseral yang berperan terhadap terjadinya komplikasi dari
obesitas sampai saat ini masih dalam penelitian (Flier, 2008). Bukti
menunjukan bahwa berat badan dipengaruhi oleh regulasi endokrin dan
komponen saraf dalam pembentukan energi dan penggunaannya. Regulasi
dari sistemyang komplek tersebut sangat penting karena jika sedikit saja
terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan dan penggunaan energi
maka akan berpengaruh besar terhadap berat badan. Obesitas terjadi jika
ada ketidakseimbangan antara asupan makanan dengan aktivitas
fisik.Regulasi utama terjadinya respon adaptasi tersebut adalah leptin yang
merupakan derivate hormone adiposit, yang mana mempengaruhi otak
terutama daerah hipotalamus terhadap nafsu makan, penggunaan energi,
dan fungsi neuroendokrin (Flier, 2008).

Nafsu makan dipengaruhi oleh banyak faktor di otak terutama di


hipotalamus, sinyal sinyal tersebut akan saling bertautan di pusat
hipotalamus termasuk neural aferen, hormon (leptin, insulin, kortisol dan
peptide), dan metabolit. Nervus vagus membawa informasi yang penting
dari organ viseral termasuk saluran pencernaan.Hormon seperti ghrelin
yang mana terbentuk diabdomen yang distimulasi oleh makanan peptide
yy (PYY) dan cholecystokinin yang dibentuk di usus halus sinyalnya akan
dihantarkan secara langsung ke otak atau melalui nervus vagus. Sedangkan
untuk metabolit seperti glukosa mempengaruhi nafsu makan melalui efek
seperti keadaan hipoglikemi tetapi efek tersebut bukan merupakan regulasi
utama yang mempengaruhi nafsu makan. Sinyal-sinyal yang dihantarkan
baik oleh hormon, neural aferen dan metabolit akan mempengaruhi
hipotalamus untuk melepaskan peptidanya (Neuropeptide Y (NPY),
Agouti-related peptide (AgRP), α melanocyte stimulating hormone (α
MSH) dan Melanin concentrating hormone (MCH) yang mana akan

19
terintegrasi dengan serotonergic, catecholaminergic, endocannabinoid,
dan jalur sinyal opioid. Selain itu faktor fisiologik dan kebudayaan juga
sangat berpengaruh terhadap nafsu makan (Flier, 2008). Jaringan adipose
terdiri dari sel adipose termasuk preadiposit dan makrofag juga stromal
dan pembuluh darah.Massa adipose meningkat seiring dengan membesar
dan bertambahnya sel adiposit.Yang menjadi karakteristik jaringan
adipose pada obesitas adalah meningkatnya jumlah makrofag (Flier,
2008). Selain diketahui sebagai tempat penyimpanan lemak, adiposit juga
merupakan sel endokrin yang mengeluarkan sejumlah hormon yang
berfungsi dalam metabolisme seperti leptin, TNF α, IL-6, faktor
komplemen (faktor D), protrombotik (Plasminogen activator inhibitor I),
dan komponen yang meregulasi tekanan darah (angiotensinogen).
Adiponektin yang merupakan derivat adipose banyak mengandung protein
dImana kadarnya menurun pada obesitas dapat meningkatkan sensitivitas
insulin dan oksidasi lemak, serta bersifat protektif terhadap pembuluh
darah.Berbeda dengan resitin dan RBP4 yang meningkat kadarnya pada
obesitas bersifat menghambat insulin. Faktor-faktor tersebut diatas serta
faktor lainnya yang sampai saat ini belum teridentifikasi memainkan
peranan penting terhadap patofisiologi dari homeostasis lemak, sensitivitas
insulin, kontrol tekanan darah, koagulasi dan pembuluh darah serta
terjadinya obesitas (Lynch dkk., 2012).

2.2.4 Komplikasi Obesitas dalam Kehamilan


 Abortus spontan
Risiko abortus spontan pada wanita obesitas meningkat, Lashen dkk
mengidentifikasi pada suatu penelitian case control didapatkan OR
abortus spontan sebesar 1,2. Didapatkan juga peningkatan abortus
berulang (>3 kali) pada populasi obesitas dengan OR 3,5. Obesitas
berkaitan erat dengan abortus baik itu pada wanita dengan PCOS
(Polycystic Ovarian Syndrome) ataupun pada wanita dengan morfologi
ovarium normal, disebutkan bahwa 50% wanita obesitas mengalami
PCOSbandingkan dengan wanita berat badan normal sekitar 30%.

20
Pada suatu metaanalisa terhadap 13 penelitian tentang gonadotropin
induksi ovulasi pada wanita dengan gonadotropin normal yang
anovulatori infertil didapatkan bahwa obesitas dan insulin resistensi
berpengaruh terhadap hasil luaran yang buruk terhadap terapi.Abortus
spontan pada obesitas meningkat seiring dengan menurunnya
sensitivitas insulin (Davies, 2010). Mekanisme lain yang mencoba
menjelaskan patofisiologi abortus pada obesitas adalah meningkatnya
agen-agen protrombotik dan inflamasi oleh jaringan adipose.
Plasminogen Activator Inhibitor type 1 (PAI-1) berhubungan dengan
meningkatnya abortus spontan pada obesitas, penatalaksanaan dengan
metformin tampaknya mengurangi PAI-1 dan kejadian abortus (Jarvie,
2010).

 Komplikasi medis
Obesitas meningkatkan risiko terjadinya kelainan medis dalam
kehamilan seperti diabetes gestasional, preeklampsia, penyakit
tromboemboli, obstruksi saluran nafas (sleep apneu), asma, dan low
back pain. Pada kehamilan terjadi suatu keadaan inflamasi dan insulin
resisten, hal tersebut fisiologis sebagai kompensasi terhadap
perkembangan hasil konsepsi namun akan memberikan dampak yang
buruk apabila kehamilan dialami oleh wanita dengan overweight dan
obesitas (Roberts dkk., 2011). Pada wanita obesitas berisiko 3 kali
untuk menderita diabetes dalam kehamilan, oleh karena keadaan
obesitas menyebabkan disregulasi keadaan inflamasi dan metabolisme
tubuh sehingga sangat berpotensi untuk timbulnya hipertensi dan
diabetes.Mediator inflamasi berasal dari adiposit yaitu adipokines,
faktor inflamasi tersebut berhubungan dengan sistem komplemen yang
juga berasal dari jaringan lemak (Dennedy, 2012). Dari literatur juga
disebutkan bahwa pada keadaan obesitas kadar vitamin D lebih rendah
dibandingkan dengan wanita hamil dengan berat badan normal dimana
keadaan ini dapat berhubungan dengan terjadinya gestasional diabetes
dan preeklampsia serta terhadap perkembangan otak dan tulang bayi

21
(Karlsson,2014). Sistem komplemen merupakan suatu komplek yang
terdiri dari > 30 jenis protein yang sangat penting peranannya dalam
imunitas bawaan, secara spesifik ada 3 fungsi dari sistem komplemen
yaitu, sebagai pertahanan melawan infeksi piogenik, sebagai jembatan
antara imunitas bawaan dengan imunitas adaptasi dan untuk membuang
komplek imun, badan apoptosis serta produk yang berasal dari
inflamasi, trauma dan infeksi. Dari penelitian didapatkan beberapa
komplemen yang meningkat pada awal kehamilan berhubungan dengan
terjadinya preeklampsia antara lain C3a dan Bb, peningkatan
komplemen ini ditemukan pada ibu hamil dengan obesitas sehingga
dikemukakan suatu hipotesis bahwa pada wanita dengan obesitas yang
belum hamil dan ditemukan peningkatan komplemen yang tersebut
diatas maka akan berisiko tinggi untuk menderita preeklampsia pada
kehamilannya. Meningkatnya komplemen C3a akan berisiko 8,8 kali
untuk terjadinya preeklampsia sedangkan komplemen Bb berisiko 10
kali (Lynch dkk., 2012).

 Komplikasi perinatal dan postpartum


Obesitas meningkatkan risiko terjadinya perdarahan dan infeksi
postpartum, termasuk kegagalan dalam proses laktasi, hal tersebut
mungkin disebabkan oleh respon prolaktin pada wanita dengan obesitas
sehingga akan meningkatkan penggunaan susu formula yang mana
cenderung menimbulkan obesitas pada bayi tersebut (Depaivadkk.,
2012).Dari beberapa literatur menunjukkan bukti bahwa kontraksi
uterus pada wanita obesitas terganggu (Huda,2010).Pada obesitas terjadi
gangguan proliferasi limfosit dan penurunan produksi CD8+ dan NKT
sel sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi luka jahit paska
persalinan, infeksi saluran kemih, serta penggunaan antibiotik yang
lebih lama dibandingkan dengan wanita berat badan normal (Sarbattama
dkk., 2013).

22
 Komplikasi pada bayi
Komplikasi yang ditimbulkan oleh obesitas terhadap hasil konsepsi
dimulai sejak awal konsepi, antenatal, intrapartum dan postpartum
bahkan sampai pada saat dewasa. Komplikasi yang bisa terjadi antara
lain :
1. Kelainan kongenital
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan risiko kelainan
kongenital sehubungan dengan obesitas pada ibu. Kelainan tersebut
antara lain defek tabung saraf (DTS), defek jantung, abnormalitas
saluran cerna, omfalokel, orofacial cleft dan kelainan kongenital
lainnya pada sistem saraf pusat (Kither, 2012). Dari beberapa
penelitian menunjukkan risiko terjadinya defek tabung saraf meningkat
seiring dengan peningkatan BMI dibandingkan dengan BMI normal.
Terjadinya kelainan kongenital tersebut belum sepenuhnya dipahami
patofisiologinya, diperkirakan sehubungan dengan kadar hiperglikemia
yang memicu radikal bebas sehingga agen vasokonstriktor seperti
tromboksan meningkat berbanding terbalik dengan agen vasodilator
seperti prostasiklin yang menurun akibatnya aliran darah terganggu
termasuk disini adalah berkurangnya asupan nutrisi terlebih saat
organogenesis. Dilain pihak dalam percobaan pada binatang
menunjukkan bahwa suplai bermacam nutrisi yang berlebih seperti
glukosa dan asam amino dapat bersifat embriotoksis dimana keadaan
tersebut memicu oksigen reaktif terhadap protein, lemak dan DNA di
mitochondria sehingga terjadi oksidasi dan kerusakan sel (Stotland,
2009).

2. Prematuritas
Dari beberapa literatur menunjukkan perbedaan pendapat bahwa
obesitas menyebabkan prematuritas, tetapi lebih cenderung
prematuritas disebabkan oleh penyakit yang diderita oleh ibu yang

23
mana risiko kejadiannya meningkat apabila ibu mengalami obesitas
(Vaswani, 2013).
3. Makrosomia
Pada suatu penelitian kohort prospektif menunjukan bahwa peningkatan
BMI berkorelasi dengan peningkatan kejadian aspirasi mekonium, gawat
janin dan rendahnya apgar skor.Wanita dengan obesitas, pregestasional
diabetes, gestasional diabetes berisiko untuk melahirkan bayi makrosomia,
yaitu bayi dengan berat badan >90 persentil (LGA, Large for Gestasional
Age) atau >4,5kg atau > 2 SD. Dalam penelitian menunjukkan dari 100
bayi yang lahir dengan LGA, 11 diantaranya berasal dari ibu dengan
obesitas, sedangkan 4 lahir dari ibu dengan pregestasional diabetes, hal
tersebut menunjukkan bahwa prevalensi bayi LGA lebih sering pada
wanita dengan obesitas dibandingkan wanita dengan pregestasional
diabetes (Buschur,2012).Dari literatur disebutkan bahwa kadar trigliserid
wanita obesitas merupakan prediktor yang baik untuk memperkirakan bayi
makrosomia pada wanita tersebut baik dengan atau tanpa disertai diabetes
dalam kehamilan (Shaikh, 2010).

4. Antepartum stillbirth
Dari penelitian didapatkan bahwa peningkatan BMI sebelum hamil
berhubungan dengan kejadian stillbirth, patofisiologi yang menerangkan
peningkatan risiko terjadinya hal tersebut hingga saat ini belum
jelas.Kemungkinannya adalah berhubungan dengan penyakit yang
ditimbulkan oleh obesitas seperti diabetes mellitus dan hipertensi.
Penjelasan lain penyebabnya adalah oleh karena sleep apnoe yang diikuti
dengan fetal hipoksia, kelainan metabolisme ibu seperti hiperlipidemia
sehingga terjadi plasenta arterosklerosis berakibat menurunnya aliran
darah ke plasenta atau kesulitan ibu dalam menilai perburukan gerakan
bayi (Huda,2010). Risiko terjadinya stillbirthpada wanita hamil dengan
obesitas 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan wanita dengan BMI normal.
Risiko stillbirthpada obesitas meningkat seiring pertambahan usia
kehamilan. Studi epidemiologi menunjukkan pada obesitas kelas III risiko

24
terjadinya stillbirth 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan obesitas kelas I.
Studi tersebut juga menyatakan bahwa wanita hamil dengan BMI
overweight, obesitas kelas I, dan obesitas kelas II risiko stillbirth pada usia
kehamilan 30-42 minggu dalam grafik ditunjukkan linier, berbeda pada
obesitas kelas III danBMI > 50 kg/m2 dimana risikonya meningkatcepat
seiring dengan bertambahnya usia kehamilan (Yao dkk., 2014).

Pada pasien obesitas yang telah dilakukan skrining gula darah pada
trimester awal dan hasilnya normal maka dapat dilakukan pemeriksaan
ulang pada usia kehamilan 24-28 minggu. Secara epidemiologi wanita
hamil dengan obesitas memiliki risiko 2-3 kali untuk terjadinya IUFD
(Intra Uterine Fetal Death), walaupun faktor-faktor co-morbidseperti
diabetes mellitus dan hipertensi sudah terkontrol. Mekanisme pasti
terjadinya hal tersebut sampai saat ini belum secara jelas daapt dipahami,
namun beberapa hipotesis mencoba menjelaskan bagaimana terjadinya hal
itu yaitu bahwa obesitas meningkatkan mediator inflamasi yang berakibat
pada disfungsi endothelial,termasuk kadar gula darah yang tidak terkontrol
pada diabetes mellitus yang tidak terdiagnosa sebelumnya juga
memainkan peranan penting untuk terjadinya fetal anomali.Sehingga hal
ini menjadi alasan untuk melakukan pemeriksaan antenatal yang lebih
sering pada trimester ke-3 (Gunatilake, 2011).

Wanita hamil dengan obesitas 2 kali berisiko melahirkan bayi makrosomia


dengan segala sekuele yang ditimbulkannya walaupun faktor
predisposisinya seperti diabetes mellitus sudah dikontrol.Bukan hanya
bayi makrosomia yang ditemukan pada kehamilan dengan obesitas tetapi
juga didapatkan bayi IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) hal ini
terjadi terlebih apabila sudah ada penyakit penyerta seperti diabetes
mellitus dan hipertensi. Oleh karena sulitnya mengevaluasi pertumbuhan
janin melalui pengukuran tinggi fundus uterus (TFU) sehubungan dengan
anatomi wanita obesitas maka pengukuran dengan USG sangat
dianjurkan.Informasi yang didapatkan digunakan sebagai dasar pemilihan

25
mode of delivery (MOD) (Gunatilake, 2011). Berikut adalah manajemen
praktis sehubungan dengan wanita hamil dengan berat badan lebih atau
obesitas (Shaikh, 2010) :
a. Konseling prakonsepsi
 Perubahan gaya hidup
 Konsumsi asam folat 5 mg jika BMI > 35
 Pemberian vitamin D 10 ug selama hamil dan menyusui
b. Antenatal
 Dokumentasi tinggi dan berat badan selama kehamilan
 Dokumentasikan obesitas sebagai faktor risiko dan konsultasikan pada
disiplin ilmu lain secara tepat
 Ukur tekanan darah dengan menggunakan ukuran cuff yang sesuai
 Identifikasi faktor risiko tromboemboli dan berikan pencegahan yang
tepat
 Tawarkan pemeriksaan gula darah
 Tawarkan untuk konsultasi dengan ahli anestesi dan rencana persalinan
c. Perinatal
 Perencanaan persalinan di fasilitas kesehatan yang tersedia ahli
kebidanan dan anestesi
 Antisipasi terhadap kesulitan sehubungan dengan tindakan intubasi
dan epidural
 Manajemen aktif kala III
 Pemberian antibiotik profilaksis sebelum tindakan bedah
 Identifikasi faktor risiko terjadinya tromboemboli dan gunakan
pencegahan yang tepat
d. Postpartum
 Motivasi untuk pemberian ASI
 Pemberian informasi dan edukasi sehubungan dengan perubahan pola
hidup dan perencanaan kehamilan yang berikutnya
 Jika sebelumnya dengan diagnosa diabetes mellitus gestasional maka
sarankan pemeriksaan rutin sehubungan dengan kemungkinan
terjadinya diabetes mellitus tipe II

26
4. Ultrasonografi (USG)
Waktu yang tepat untuk skrining anatomi janin adalah pada usia kehamilan
18-22 minggu, kemampuan sonografer untuk mengevaluasi sangat
dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien. ± 15% dari struktur normal yang
tampak akan kurang optimal pada wanita dengan BMI diatas 90 persentil.
Pada wanita tersebut hanya 63% dari struktur yang akan tampak dengan jelas.
Struktur anatomi secara umum akan kurang jelas seiring dengan peningkatan
BMI termasuk denyut jantung janin, tulang belakang, diafragma, ginjal dan
tali pusat. Visualisasi tulang belakang fetus dilaporkan berkurang dari 43%
menjadi 29% pada wanita obesitas dibandingkan dengan BMI normal
sehingga denganmengulang evaluasi 2-4 minggu kemudian akan mengurangi
tidak optimalnya penilaian sebelumnya. Penilaian anatomi janin pada wanita
obesitas sebaiknya dilakukan pada usia kehamilan 20-22 minggu. Suatu
tantangan terhadap penggunaan USG pada wanita obesitas dimana terjadi
peningkatan risiko kelainan kongenital. Nuthalapathy dan Rouse mereview 17
penelitian yang dilakukan sejak tahun 1978-2003 didapatkan hubungan antara
BMI sebelum hamil dengan kejadian kelainan kongenital, mereka melaporkan
terjadi peningkatan 2 kali lipat defek tabung saraf. Perkiraan berat badan janin
dengan USG tidak lebih superior dibandingkan dengan pemeriksaan
fisik.Meskipun kedua metode tersebut memiliki kesalahan sebesar 10%, pada
suatu laporan yang disampaikan oleh Field dkk.30% perkiraan berat badan
janin dengan USG pada wanita obesitas setelah melahirkan menunjukkan
perbedaan > 10% dengan berat badan sebenarnya ((Schaefer-Graf, 2012).

27
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, Gary F., 2005. Obstetri Williams. Edisi 21.Jakarta : EGC.

Lim, Kee-Hak, 2009.Preeclampsia, Harvard Medical School. Available from


:http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview. [Accesed
15Oktober 2016].

Mochtar, Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi.


Edisi 2. Jilid I. Jakarta : EGC.

Mochtar, Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi.


Edisi 2. Jilid II. Jakarta : EGC.

Pernoll, Martin L., dan Benson, Ralph C., 1987. Current Obstetric and
Gynecologic Diagnosis and Treatment.Edisi 6. Norwalk, Connecticut/ Los
Altos, California : Appleton and Lange.

POGI. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Pre-Eklampsia. Jakarta : POGI

Wiknjosastro, H., 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Balitbangkes. Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.


2013. 263-265

Kerrigan, A.M.; Kingdon, C. Maternal obesity and pregnancy: a retrospective


study. Elsevier. 2010. 26:138-146

28

Anda mungkin juga menyukai