Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan

keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa bangsa di

dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi

menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan

kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan

dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan

pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut

atau keadaan lainnya yang mengakibatkan

kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.

Berdasarkan Deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa Negara mengambil

inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua

penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke58 tahun 2005 di Jenewa, World

Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan

kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan

dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke58

mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan

melalui Universal Health Coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi

kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO agar mendorong negara-negara

anggota untuk 3 mengevaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap

pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju Universal Health Coverage. Di

Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi

warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan
diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang

Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang

sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di

bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan

terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam

program jaminan kesehatan sosial. Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di

atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat

melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Usaha ke arah itu

sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk

jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan

PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima

pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu,

pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-

skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan

menjadi sulit terkendali. Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-

Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini

mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan

diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS

Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional,

pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara

lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI);
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN

(Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional). Sesungguhnya keinginan untuk mendirikan

BPJS baru telah dibahas dalam proses penyusunan UU SJSN. Perdebatannya berlangsung

sangat alot. Berbagai pertimbangan tentang cost-benefit, Nasionalisme, keadilan antar

daerah dan antar golongan pekerjaan, serta pertimbangan kondisi geografis serta

ekonomis yang berbeda-beda telah pula dibahas mendalam. Apa yang dirumuskan dalam

UU SJSN, UU no 40/04, merupakan kompromi optimal. Konsekuensi logis dari sebuah

Negara demokrasi adalah bahwa rumusan suatu UU yang telah diundangkan harus

dilaksanakan, baik yang tadinya pro maupun yang tadinya kontra terhadap suatu isi atau

pengaturan. Setelah disetujui DPR, wakil rakyat, maka rumusan suatu UU mengikat

semua pihak. Sangatlah tidak layak dan tidak matang, apabila UU tersebut sudah divonis

tidak mengakomodir kepentingan kita, sebelum UU itu dilaksanakan. Kita harus belajar

konsekuen dan berani menjalankan sebuah keputusan UU, meskipun ada aspirasi atau

keinginan kita yang berbeda dengan yang dirumuskan UU SJSN. Boleh saja kita tidak

setuju dengan isi suatu UU dan tidak ada satupun UU yang isinya 100% disetujui dan

didukung oleh seluruh rakyat. Atau, jika seseorang atau sekelompok orang yakin bahwa

UU SJSN itu merugikan kepentingan lebih banyak rakyat, maka ia atau mereka dapat

mengajukan alternatif ke DPR untuk merevisi atau membuat UU baru. Inilah hakikat

negara demokrasi.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Singkat BPJS

Jaminan pemeliharaan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda. Dan setelah kemerdekaan, pada tahun 1949, setelah pengakuan kedaulatan oleh
Pemerintah Belanda, upaya untuk menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, khususnya pegawai negeri sipil beserta keluarga, tetap dilanjutkan. Prof. G.A.
Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan yang menjabat pada saat itu, mengajukan sebuah
gagasan untuk perlu segera menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta
(universal health insurance) yang saat itu mulai diterapkan di banyak negara maju dan tengah
berkembang pesat. Pada saat itu kepesertaannya baru mencakup pegawai negeri sipil beserta
anggota keluarganya saja. Namun Siwabessy yakin suatu hari nanti, klimaks dari
pembangunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia akan tercapai melalui suatu sistem
yang dapat menjamin kesehatan seluruh warga bangsa.
Pada 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 1968
dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang
mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negara dan penerima pensiun beserta
keluarganya. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah status dari sebuah badan di
lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN, yaitu PERUM HUSADA BHAKTI
(PHB), yang melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis
kemerdekaan, dan anggota keluarganya. Pada tahun 1992, PHB berubah status menjadi PT
Askes (Persero) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero)
mulai menjangkau karyawan BUMN melalui program Askes Komersial. Pada Januari 2005,
PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk melaksanakan program jaminan kesehatan
bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin
dengan sasaran peserta masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang
iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat. PT Askes (Persero) juga menciptakan Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang
belum tercover oleh Jamkesmas, Askes Sosial, maupun asuransi swasta. Hingga saat itu, ada
lebih dari 200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang telah menjadi peserta PJKMU. PJKMU
adalah Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang pengelolaannya diserahkan kepada PT
Askes (Persero). Langkah menuju cakupan kesehatan semesta pun semakin nyata dengan
resmi beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, sebagai transformasi dari PT
Askes (Persero). Hal ini berawal pada tahun 2004 saat pemerintah mengeluarkan UU Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian pada tahun
2011 pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program
jaminan sosial di bidang kesehatan, sehingga PT Askes (Persero) pun berubah menjadi BPJS
Kesehatan.
Melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, negara hadir di tengah kita untuk memastikan seluruh
penduduk Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.

2.2 Pengertian

BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan


Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk
menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama
untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis
Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.

BPJS Kesehatan merupakan penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan yang
merupakan salah satu dari lima program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu
Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan
Jaminan Kematian sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek ) merupakan


program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan
pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1
Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.

BPJS Kesehatan juga menjalankan fungsi pemerintahan (governing function) di bidang


pelayanan umum (public services) yang sebelumnya sebagian dijalankan oleh badan usaha
milik negara dan sebagian lainnya oleh lembaga pemerintahan. Gabungan antara kedua
fungsi badan usaha dan fungsi pemerintahan itulah, yang dewasa ini, tercermin dalam status
BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik yang menjalankan fungsi pelayanan umum di
bidang penyelenggaraan jaminan sosial nasional.

BPJS Kesehatan juga dibentuk dengan modal awal dibiayai dari APBN dan selanjutnya
memiliki kekayaan tersendiri yang meliputi aset BPJS Kesehatan dan aset dana jaminan
sosial dari sumber-sumber sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Kewenangan
BPJS Kesehatan meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia dan dapat mewakili Indonesia
atas nama negara dalam hubungan dengan badan-badan Internasional. Kewenangan ini
merupakan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan badan hukum maupun lembaga
negara lainnya. Maka dari itu, BPJS Kesehatan merupakan salah satu bentuk Badan Hukum
Milik Negara (BHMN), sehingga pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan kepada
Presiden sebagai kepala pemerintahan negara. BPJS Kesehatan sebelumnya
bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero),
namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi
BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.

2.3 Dasar Hukum

1. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan
Sosial Kesehatan;

2. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial;

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan


Kesehatan.

2.4 Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan

2.4.1 Hak Peserta

 Mendapatkan kartu peserta sebagai identitas peserta untuk memperoleh pelayanan


kesehatan.
 Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur
pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Mendapatkan pelayann kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja dengan BPJS
Kesehatan, dan
 Menyampaikan keluhan / pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis kepada
BPJS Kesehatan.
2.4.2 Kewajiban Peserta

 Mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai peserta BPJS Kesehatan.


 Membayar iuran
 Memberikan data dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar
 Melaporkan perubahan data dirinya dan anggota keluarganya, antara lain perubahan
golongan,pangkat atau besaran gaji, pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran,
pindah alamat dan pindah fasilitas kesehatan tingkat pertama.
 Menjaga kartu peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang yang
tidak berhak.
 Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.

2.5 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan meliputi :


1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama : Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama adalah
pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer) meliputi
pelayanan rawat jalan dan rawat inap yang diberikan oleh:
 Puskesmas atau yang setara
 Praktik Mandiri Dokter
 Praktik Mandiri Dokter Gigi
 Klinik pertama atau yang setara termasuk fasilitas kesehatan tingkat pertama
milik TNI/Polri
 Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara
 Faskes Penunjang: Apotik dan Laboratorium

2. Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)


a. Manfaat yang ditanggung
1) pelayanan promosi kesehatan dan pencegahan (promotif preventif):
a) penyuluhan kesehatan perorangan;
b) imunisasi rutin
c) Keluarga Berencana meliputi konseling dan pelayanan
kontrasepsi, termasuk vasektomi dan tubektomi bekerja sama
dengan BKKBN
d) skrining riwayat kesehatan dan pelayanan penapisan atau skrining
kesehatan tertentu, yang diberikan untuk mendeteksi risiko
penyakit dengan metode tertentu atau untuk mendeteksi risiko
penyakit dan mencegah dampak lanjutan risiko penyakit tertentu
e) peningkatan kesehatan bagi peserta penderita penyakit kronis

2) pelayanan kuratif dan rehabilitatif (pengobatan) mencakup:


a) adminitrasi pelayanan;
b) pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis;
c) tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
d) pelayanan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai;
e) pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama

3) pemeriksaan, pengobatan dan tindakan pelayanan kesehatan gigi tingkat


pertama.

b. Prosedur pelayanan
1) Peserta datang ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tempat
peserta terdaftar dan mengikuti prosedur pelayanan kesehatan,
menunjukkan kartu identitas peserta JKN-KIS/KIS Digital dengan status
aktif dan/atau identitas lain yang diperlukan (KTP, SIM, KK).
2) Peserta memperoleh pelayanan kesehatan pada FKTP tempat peserta
terdaftar.
3) Apabila peserta melakukan kunjungan ke luar domisili karena tujuan
tertentu yang bukan merupakan kegiatan yang rutin, atau dalam keadaan
kedaruratan medis, peserta dapat mengakses pelayanan RJTP pada FKTP
lain yang di luar wilayah FKTP terdaftar, paling banyak 3 (tiga) kali
kunjungan dalam waktu maksimal 1 (satu) bulan di FKTP yang sama.
4) Setelah mendapatkan pelayanan, peserta menandatangani bukti pelayanan
pada lembar bukti pelayanan yang disediakan oleh masing-masing FKTP.
5) Atas indikasi medis apabila peserta memerlukan pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan, peserta akan dirujuk Ke Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan,
sesuai dengan sistem rujukan berjenjang secara online.

3. Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP)


Manfaat yang ditanggung :

1. pendaftaran dan administrasi;


2. akomodasi rawat inap;
3. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis;
4. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
5. pelayanan kebidanan, ibu, bayi dan balita meliputi:
a) persalinan pervaginam bukan risiko tinggi;
b) persalinan dengan komplikasi dan/atau penyulit pervaginam bagi
Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatus Esssensial Dasar);
c) pertolongan neonatal dengan komplikasi;
6. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; dan
7. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama.

4. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan


Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan adalah upaya pelayanan
kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang
meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat
inap di ruang perawatan khusus, yang diberikan oleh :

 Klinik utama atau yang setara.


 Rumah Sakit Umum baik milik Pemerintah maupun Swasta
 Rumah Sakit Khusus
 Faskes Penunjang: Apotik, Optik dan Laboratorium.
5. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL)
Manfaat yang ditanggung
1. administrasi pelayanan;
2. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis dasar yang dilakukan di
unit gawat darurat;
3. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi spesialistik;
4. tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai dengan
indikasi medis;
5. pelayanan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai;
6. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan (laboratorium, radiologi dan
penunjang diagnostik lainnya) sesuai dengan indikasi medis;
7. rehabilitasi medis; dan
8. pelayanan darah.

6. Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL)


a. Manfaat yang ditanggung
1. perawatan inap non intensif; dan
2. perawatan inap intensif (ICU, ICCU, NICU, PICU).

2.6. Pembiayaan

2.6.1 Pembiayaan BPJS

Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh
Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16,
Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran
per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah
pelayanan kesehatan yang diberikan.

Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan.
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA CBG’s
adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit.

2.6.2 Pembayar Iuran

1. Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar oleh
Pemerintah.

2. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga
Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri,
pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% (lima
persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% (empat persen)
dibayar oleh pemberi kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh peserta.

3. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan
Swasta sebesar 5% ( lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan :
4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh
Peserta.

4. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4
dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% (satu
persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima
upah.

5. Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara kandung/ipar,
asisten rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta
bukan pekerja adalah sebesar:

a. Sebesar Rp. 42.000,- (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.

b. Sebesar Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.

c. Sebesar Rp. 160.000,- (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan
dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
6. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda,
atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, iurannya ditetapkan
sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per
bulan, dibayar oleh Pemerintah.

7. Pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan

Tidak ada denda keterlambatan pembayaran iuran terhitung mulai tanggal 1 Juli
2016 denda dikenakan apabila dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak status
kepesertaan diaktifkan kembali, peserta yang bersangkutan memperoleh pelayanan
kesehatan rawat inap, maka dikenakan denda sebesar 2,5% dari biaya
pelayanan kesehatan untuk setiap bulan tertunggak, dengan ketentuan :

1. Jumlah bulan tertunggak paling banyak 24 (dua puluh empat) bulan.

2. Besar denda paling tinggi Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

2.6.3 Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan

Secara umum pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan diatur dalam Pasal 24 UU SJSN baik
mengenai cara menetapkan besarnya pembayaran, waktu pembayaran dan pengembangan
sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Jaminan Kesehatan. Mengenai besarnya pembayararan kepada Fasilitas Kesehatan untuk
setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi Fasilitas
Kesehatan di wilayah tersebut.

UU SJSN tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “wilayah”,
apakah sama dengan wilayah administratife pemerintahan atau wilayah kerja BPJS
Kesehatan. Karena itu dalam peratuan pelaksanaan UU SJSN soal ini perlu dijelaskan agar
ada kepastian hukum.

Mengenai waktu pembayaran ditentukan bahwa BPJS wajib membayar Fasilitas Kesehatan
atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
permintaan pembayaran diterima.

Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2)UU SJSN dikemukakan “Ketentuan ini menghendaki agar
BPJS membayar Fasilitas Kesehatan secara efektif dan efisien. BPJS dapat memberikan
anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani sejumlah peserta
atau membayar sejumlah tetap per kapita per bulan (kapitasi). Anggaran tersebut sudah
mencakup jasa medis,biaya perawatan, biaya penunjang, dan biaya obat-obatan yang
penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit. Dengan demikian, sebuah
rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin.”

Selanjutnya UU SJSN menentukan juga bahwa BPJS mengembangkan sistem pembayaran


pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas Jaminan Kesehatan. Ihwal
pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan diatur secara rinci dalam Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

Besaran dan Waktu Pembayaran diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013
mengatur secara teknis operasional mengenai besaran dan waktu pembayaran kepada
Fasilitas Kesehatan.

Pasal 37 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menentukan bahwa besaran pembayaran
kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS Kesehatan dengan
asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran sebagaimana tersebut diatas
Menteri Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program Jaminan Kesehatan yang
diberikan. Lebih lanjut ditentukan bahwa asosiasi Fasilitas Kesehatan yang dimaksud dalam
ketentuan diatas ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Berkenaan dengan besaran pembayaran Fasilitas Kesehatan Menteri Kesehatan berperan


dalam dua hal yaitu:

 Memutuskan besaran pembayaran atas program Jaminan Kesehatan dalam hal tidak
ada kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah
atas besaran pembayaran kepada Fasisitas Kesehatan.
 Peranan Menteri Kesehatan dalam hal ini diperlukan untuk memberi jalan keluar jika
tidak tercapai kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan asosiasi Fasilitas Kesehatan
di wilayah yang bersangkutan.
Menetapkan asosiasi Fasilitas Kesehatan.

Mengenai waktu pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan Pasal 38 UU BPJS mewajibkan


BPJS membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta,paling
lambat 15(lima belas)hari sejak dokumen klaim diterima lengkap.

Ketentuan ini memperjelas penghitugan waktu pembayaran yaitu dihitung sejak dokumen
klaim diterima lengkap.Sayangnya tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan “dokumen klaim diterima lengkap”.Hal ini perlu penjelasan agar tidak terjadi
perselisihan antara BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan mengenai lengkap atau
belum lengkapnya dokumen klaim.

Cara Pembayaran untuk Fasilitas Kesehatan

Cara pembayaran untuk Fasilitas Kesehatan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:

 Pembayaran untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, menurut Pasal 39 ayat (1)
dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 dilakukan secara
praupaya oleh BPJS Kesehatan berdasarkan kapitasi atas jumlah Peserta yang
terdaftar di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Dalam hal Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan
kapitasi, BPJS Kesehatan diberikan kewenangan untuk melakukan pembayaran
dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna. Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2013 tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “mekanisme lain yang
lebih berhasil guna.” BPJS Kesehatan diberikan keleluasaan untuk menentukannya.

 Untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan, Pasal 39 ayat (3) Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menentukan bahwa pembayaran oleh BPJS
Kesehatan dilakukan berdasarkan cara Indonesian Case Based Grups (INA CBG’s).
Perlu ditambahkan bahwa besaran kapitasi dan INA CBG,s ditinjau sekurang-
kurangnya setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi
dengan Menteri Keuangan. Peninjauan besaran kapitasi dan INA CBG’s perlu
dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan keadaan guna menjamin
kesinambungan pelayanan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
 Untuk pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak
menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan menurut Pasal 40 ayat (1) Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013, dibayar dengan penggantian biaya. Biaya tersebut
ditagihkan langsung oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan. BPJS
Kesehatan memberikan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan dimaksud setara
dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut. Fasilitas Kesehatan tersebut diatas tidak
diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada Peserta.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya
pelayanan gawat darurat diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan.

2.6 Kepesertaan

Semua penduduk Indonesia WAJIB menjadi peserta JKN-KIS yang dikelola oleh BPJS
Kesehatan termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di
Indonesia dan telah membayar iuran, yang dibagi atas jenis kepesertaan sebagai berikut:
1. Penerima Bantuan Iuran-Jaminan Kesehatan (PBI-JK), merupakan program
Jaminan Kesehatan fakir miskin dan orang tidak mampu yang dibayar oleh Pemerintah
Pusat melalui APBN dan Pemerintah Daerah melalui APBD.
2. Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non PBI) terdiri dari:
a. Pekerja Penerima Upah (PPU) adalah setiap orang yang bekerja pada
pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah, yang terdiri dari PPU
Penyelenggara Negara dan PPU Non Penyelenggara Negara.
1) PPU Penyelenggara Negara terdiri dari Pejabat Negara, Pegawai
Negeri Sipil (PNS) Pusat/Daerah, PNS yang dipekerjakan di
BUMN/BUMD, TNI/PNS TNI, POLRI/PNS POLRI, DPRD dan
Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN).
2) PPU Non Penyelenggara Negara terdiri dari Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan
Swasta
b. Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) adalah setiap orang yang bekerja
atau berusaha atas risiko sendiri, yang terdiri dari:
Notaris/Pengacara/LSM, Dokter/Bidan Praktek Swasta,
Pedangang/Penyedia Jasa, Petani/Peternak, Nelayan, Supir, Ojek, Montir
dan pekerja lain yang mampu membayar iuran.
c. Bukan Pekerja (BP) adalah setiap orang yang bukan termasuk masyarakat
yang didaftarkan dan iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat/Daerah,
PPU serta PBPU, yang terdiri dari: BP Penyelenggara Negara dan BP Non
Penyelenggara Negara.
1) BP Penyelenggara Negara terdiri dari Penerima Pensiun (PP)
Pejabat Negara, PP PNS Pusat/Daerah, PP TNI, PP POLRI, Veteran
dan Perintis Kemerdekaan.
2) BP Non Penyelenggara Negara terdiri dari Investor, Pemberi Kerja
dan BP lain yang mampu membayar iuran.

ANGGOTA KELUARGA YANG DITANGGUNG


Anggota keluarga yang ditanggung sebagai Peserta JKN-KIS tergantung pada jenis
kepesertaannya sebagai berikut:
1. Peserta PBI-JK yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat, anggota
keluarga yang ditanggung adalah yang didaftarkan oleh Kementerian
Kesehatan berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI.
2. Peserta PBI-JK yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Daerah, anggota
keluarga yang ditanggung adalah yang didaftarkan dan ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
3. Peserta PPU meliputi istri/suami yang sah dan maksimal 3 (tiga) orang anak,
dengan kriteria:
a. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan
sendiri;
b. Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua
puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
c. Apabila anak ke-1 (kesatu) sampai dengan anak ke-3 (ketiga) sudah
tidak ditanggung, maka status anak tersebut dapat digantikan oleh anak
berikutnya sesuai dengan urutan kelahiran dengan jumlah maksimal
yang ditanggung adalah 3 (tiga) orang anak yang sah.
d. Peserta yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 5 (lima)
orang termasuk peserta, dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang
lain dengan membayar iuran tambahan.
4. Peserta PBPU dan BP meliputi istri/suami yang sah, seluruh anak dan anggota
keluarga lain yang terdapat dalam satu Kartu Keluarga (KK).
2.7 Pelayanan
1. Jenis Pelayanan
Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu \berupa
pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non
medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan
kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.

2. Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh
pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh
Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

3. Kompensasi Pelayanan
Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna
memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan
kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan
atau penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan
untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.

4. Penyelenggara Pelayanan Kesehatan


Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin
kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan
rekredensialing.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah


badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan.

2. BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama


dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS
Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s.

3. BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang


diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan
di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tariff yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan.

3.2 Saran

1. Sustainabilitas program atau bahwa program jaminan sosial harus berkelanjutan


selama negara ini ada, oleh karena itu harus dikelola secara prudent, efisien dengan
tetap mengacu pada budaya pengelolaan korporasi.

2. Kenyataannya 80% penyakit yang ditangani rumah sakit rujukan di Provinsi adalah
penyakit yang seharusnya ditangani di Puskesmas. Tingkat okupansi tempat tidur
yang tinggi di RS Rujukan Provinsi bukan indikator kesuksesan suatu Jaminan
Kesehatan. Hal ini berdampak pada beban fiskal daerah yang terlalu tinggi. Oleh
karenanya Pelaksanaan Jaminan Kesehatan membutuhkan sistem rujukan
berjenjang dan terstruktur maka setiap Provinsi harap segera menyusun peraturan
terkait sistem rujukan.
DAFTAR PUSTAKA

 Chriswardani S. 2012. Kesiapan sumber daya manusia dlm mewujudkan universal


health coverage di indonesia : Jogjakarta.
 Keputusan menteri kesehatan republik indonesia Nomor 326 Tahun 2013 Tentang
Penyiapan kegiatan penyelenggaraan Jaminan kesehatan nasional.
 Kementerian kesehatan republik indonesia. 2013. Buku pegangan sosialisasi Jaminan
kesehatan nasional (JKN) Dalam sistem jaminan sosial nasional : Jakarta.
 Mukti, Ali Gufron. Rencana Kebijakan Implementasi Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Kemenkes RI : Surabaya.
 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan
Kesehatan.
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 Tentang
Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan.
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.
 Putri p, novana. 2013. Konsep pelayanan primer di era JKN. Direktorat bina upaya
kesehatan dasar Ditjen bina upaya kesehatan Kemenkes RI : Jakarta.
 Tridarwati, Sri Endang. BPJS Kesehatan. PT. ASKES : Jawa Tengah.
 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS).
 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
 Makalah Magister Manajemen Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Malahayati – Slamet Kuntoro

Anda mungkin juga menyukai