Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa bangsa di
Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi
menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan
dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan
pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut
inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua
penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke58 tahun 2005 di Jenewa, World
dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke58
kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO agar mendorong negara-negara
Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi
warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan
diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang
Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam
program jaminan kesehatan sosial. Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di
melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Usaha ke arah itu
jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan
PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima
pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu,
skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan
menjadi sulit terkendali. Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-
Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini
mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan
diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS
pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara
lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI);
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN
BPJS baru telah dibahas dalam proses penyusunan UU SJSN. Perdebatannya berlangsung
daerah dan antar golongan pekerjaan, serta pertimbangan kondisi geografis serta
ekonomis yang berbeda-beda telah pula dibahas mendalam. Apa yang dirumuskan dalam
Negara demokrasi adalah bahwa rumusan suatu UU yang telah diundangkan harus
dilaksanakan, baik yang tadinya pro maupun yang tadinya kontra terhadap suatu isi atau
pengaturan. Setelah disetujui DPR, wakil rakyat, maka rumusan suatu UU mengikat
semua pihak. Sangatlah tidak layak dan tidak matang, apabila UU tersebut sudah divonis
tidak mengakomodir kepentingan kita, sebelum UU itu dilaksanakan. Kita harus belajar
konsekuen dan berani menjalankan sebuah keputusan UU, meskipun ada aspirasi atau
keinginan kita yang berbeda dengan yang dirumuskan UU SJSN. Boleh saja kita tidak
setuju dengan isi suatu UU dan tidak ada satupun UU yang isinya 100% disetujui dan
didukung oleh seluruh rakyat. Atau, jika seseorang atau sekelompok orang yakin bahwa
UU SJSN itu merugikan kepentingan lebih banyak rakyat, maka ia atau mereka dapat
mengajukan alternatif ke DPR untuk merevisi atau membuat UU baru. Inilah hakikat
negara demokrasi.
BAB II PEMBAHASAN
Jaminan pemeliharaan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda. Dan setelah kemerdekaan, pada tahun 1949, setelah pengakuan kedaulatan oleh
Pemerintah Belanda, upaya untuk menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, khususnya pegawai negeri sipil beserta keluarga, tetap dilanjutkan. Prof. G.A.
Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan yang menjabat pada saat itu, mengajukan sebuah
gagasan untuk perlu segera menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta
(universal health insurance) yang saat itu mulai diterapkan di banyak negara maju dan tengah
berkembang pesat. Pada saat itu kepesertaannya baru mencakup pegawai negeri sipil beserta
anggota keluarganya saja. Namun Siwabessy yakin suatu hari nanti, klimaks dari
pembangunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia akan tercapai melalui suatu sistem
yang dapat menjamin kesehatan seluruh warga bangsa.
Pada 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 1968
dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang
mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negara dan penerima pensiun beserta
keluarganya. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah status dari sebuah badan di
lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN, yaitu PERUM HUSADA BHAKTI
(PHB), yang melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis
kemerdekaan, dan anggota keluarganya. Pada tahun 1992, PHB berubah status menjadi PT
Askes (Persero) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero)
mulai menjangkau karyawan BUMN melalui program Askes Komersial. Pada Januari 2005,
PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk melaksanakan program jaminan kesehatan
bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin
dengan sasaran peserta masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang
iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat. PT Askes (Persero) juga menciptakan Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang
belum tercover oleh Jamkesmas, Askes Sosial, maupun asuransi swasta. Hingga saat itu, ada
lebih dari 200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang telah menjadi peserta PJKMU. PJKMU
adalah Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang pengelolaannya diserahkan kepada PT
Askes (Persero). Langkah menuju cakupan kesehatan semesta pun semakin nyata dengan
resmi beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, sebagai transformasi dari PT
Askes (Persero). Hal ini berawal pada tahun 2004 saat pemerintah mengeluarkan UU Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian pada tahun
2011 pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program
jaminan sosial di bidang kesehatan, sehingga PT Askes (Persero) pun berubah menjadi BPJS
Kesehatan.
Melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, negara hadir di tengah kita untuk memastikan seluruh
penduduk Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.
2.2 Pengertian
BPJS Kesehatan merupakan penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan yang
merupakan salah satu dari lima program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu
Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan
Jaminan Kematian sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
BPJS Kesehatan juga dibentuk dengan modal awal dibiayai dari APBN dan selanjutnya
memiliki kekayaan tersendiri yang meliputi aset BPJS Kesehatan dan aset dana jaminan
sosial dari sumber-sumber sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Kewenangan
BPJS Kesehatan meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia dan dapat mewakili Indonesia
atas nama negara dalam hubungan dengan badan-badan Internasional. Kewenangan ini
merupakan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan badan hukum maupun lembaga
negara lainnya. Maka dari itu, BPJS Kesehatan merupakan salah satu bentuk Badan Hukum
Milik Negara (BHMN), sehingga pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan kepada
Presiden sebagai kepala pemerintahan negara. BPJS Kesehatan sebelumnya
bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero),
namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi
BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.
1. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan
Sosial Kesehatan;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
b. Prosedur pelayanan
1) Peserta datang ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tempat
peserta terdaftar dan mengikuti prosedur pelayanan kesehatan,
menunjukkan kartu identitas peserta JKN-KIS/KIS Digital dengan status
aktif dan/atau identitas lain yang diperlukan (KTP, SIM, KK).
2) Peserta memperoleh pelayanan kesehatan pada FKTP tempat peserta
terdaftar.
3) Apabila peserta melakukan kunjungan ke luar domisili karena tujuan
tertentu yang bukan merupakan kegiatan yang rutin, atau dalam keadaan
kedaruratan medis, peserta dapat mengakses pelayanan RJTP pada FKTP
lain yang di luar wilayah FKTP terdaftar, paling banyak 3 (tiga) kali
kunjungan dalam waktu maksimal 1 (satu) bulan di FKTP yang sama.
4) Setelah mendapatkan pelayanan, peserta menandatangani bukti pelayanan
pada lembar bukti pelayanan yang disediakan oleh masing-masing FKTP.
5) Atas indikasi medis apabila peserta memerlukan pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan, peserta akan dirujuk Ke Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan,
sesuai dengan sistem rujukan berjenjang secara online.
2.6. Pembiayaan
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh
Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16,
Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran
per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah
pelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan.
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA CBG’s
adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit.
1. Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar oleh
Pemerintah.
2. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga
Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri,
pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% (lima
persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% (empat persen)
dibayar oleh pemberi kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh peserta.
3. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan
Swasta sebesar 5% ( lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan :
4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh
Peserta.
4. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4
dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% (satu
persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima
upah.
5. Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara kandung/ipar,
asisten rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta
bukan pekerja adalah sebesar:
a. Sebesar Rp. 42.000,- (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Sebesar Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.
c. Sebesar Rp. 160.000,- (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan
dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
6. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda,
atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, iurannya ditetapkan
sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per
bulan, dibayar oleh Pemerintah.
Tidak ada denda keterlambatan pembayaran iuran terhitung mulai tanggal 1 Juli
2016 denda dikenakan apabila dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak status
kepesertaan diaktifkan kembali, peserta yang bersangkutan memperoleh pelayanan
kesehatan rawat inap, maka dikenakan denda sebesar 2,5% dari biaya
pelayanan kesehatan untuk setiap bulan tertunggak, dengan ketentuan :
Secara umum pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan diatur dalam Pasal 24 UU SJSN baik
mengenai cara menetapkan besarnya pembayaran, waktu pembayaran dan pengembangan
sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Jaminan Kesehatan. Mengenai besarnya pembayararan kepada Fasilitas Kesehatan untuk
setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi Fasilitas
Kesehatan di wilayah tersebut.
UU SJSN tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “wilayah”,
apakah sama dengan wilayah administratife pemerintahan atau wilayah kerja BPJS
Kesehatan. Karena itu dalam peratuan pelaksanaan UU SJSN soal ini perlu dijelaskan agar
ada kepastian hukum.
Mengenai waktu pembayaran ditentukan bahwa BPJS wajib membayar Fasilitas Kesehatan
atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
permintaan pembayaran diterima.
Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2)UU SJSN dikemukakan “Ketentuan ini menghendaki agar
BPJS membayar Fasilitas Kesehatan secara efektif dan efisien. BPJS dapat memberikan
anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani sejumlah peserta
atau membayar sejumlah tetap per kapita per bulan (kapitasi). Anggaran tersebut sudah
mencakup jasa medis,biaya perawatan, biaya penunjang, dan biaya obat-obatan yang
penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit. Dengan demikian, sebuah
rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin.”
Besaran dan Waktu Pembayaran diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013
mengatur secara teknis operasional mengenai besaran dan waktu pembayaran kepada
Fasilitas Kesehatan.
Pasal 37 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menentukan bahwa besaran pembayaran
kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS Kesehatan dengan
asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran sebagaimana tersebut diatas
Menteri Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program Jaminan Kesehatan yang
diberikan. Lebih lanjut ditentukan bahwa asosiasi Fasilitas Kesehatan yang dimaksud dalam
ketentuan diatas ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Memutuskan besaran pembayaran atas program Jaminan Kesehatan dalam hal tidak
ada kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah
atas besaran pembayaran kepada Fasisitas Kesehatan.
Peranan Menteri Kesehatan dalam hal ini diperlukan untuk memberi jalan keluar jika
tidak tercapai kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan asosiasi Fasilitas Kesehatan
di wilayah yang bersangkutan.
Menetapkan asosiasi Fasilitas Kesehatan.
Ketentuan ini memperjelas penghitugan waktu pembayaran yaitu dihitung sejak dokumen
klaim diterima lengkap.Sayangnya tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan “dokumen klaim diterima lengkap”.Hal ini perlu penjelasan agar tidak terjadi
perselisihan antara BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan mengenai lengkap atau
belum lengkapnya dokumen klaim.
Pembayaran untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, menurut Pasal 39 ayat (1)
dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 dilakukan secara
praupaya oleh BPJS Kesehatan berdasarkan kapitasi atas jumlah Peserta yang
terdaftar di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Dalam hal Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan
kapitasi, BPJS Kesehatan diberikan kewenangan untuk melakukan pembayaran
dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna. Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2013 tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “mekanisme lain yang
lebih berhasil guna.” BPJS Kesehatan diberikan keleluasaan untuk menentukannya.
Untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan, Pasal 39 ayat (3) Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menentukan bahwa pembayaran oleh BPJS
Kesehatan dilakukan berdasarkan cara Indonesian Case Based Grups (INA CBG’s).
Perlu ditambahkan bahwa besaran kapitasi dan INA CBG,s ditinjau sekurang-
kurangnya setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi
dengan Menteri Keuangan. Peninjauan besaran kapitasi dan INA CBG’s perlu
dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan keadaan guna menjamin
kesinambungan pelayanan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Untuk pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak
menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan menurut Pasal 40 ayat (1) Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013, dibayar dengan penggantian biaya. Biaya tersebut
ditagihkan langsung oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan. BPJS
Kesehatan memberikan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan dimaksud setara
dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut. Fasilitas Kesehatan tersebut diatas tidak
diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada Peserta.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya
pelayanan gawat darurat diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan.
2.6 Kepesertaan
Semua penduduk Indonesia WAJIB menjadi peserta JKN-KIS yang dikelola oleh BPJS
Kesehatan termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di
Indonesia dan telah membayar iuran, yang dibagi atas jenis kepesertaan sebagai berikut:
1. Penerima Bantuan Iuran-Jaminan Kesehatan (PBI-JK), merupakan program
Jaminan Kesehatan fakir miskin dan orang tidak mampu yang dibayar oleh Pemerintah
Pusat melalui APBN dan Pemerintah Daerah melalui APBD.
2. Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non PBI) terdiri dari:
a. Pekerja Penerima Upah (PPU) adalah setiap orang yang bekerja pada
pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah, yang terdiri dari PPU
Penyelenggara Negara dan PPU Non Penyelenggara Negara.
1) PPU Penyelenggara Negara terdiri dari Pejabat Negara, Pegawai
Negeri Sipil (PNS) Pusat/Daerah, PNS yang dipekerjakan di
BUMN/BUMD, TNI/PNS TNI, POLRI/PNS POLRI, DPRD dan
Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN).
2) PPU Non Penyelenggara Negara terdiri dari Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan
Swasta
b. Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) adalah setiap orang yang bekerja
atau berusaha atas risiko sendiri, yang terdiri dari:
Notaris/Pengacara/LSM, Dokter/Bidan Praktek Swasta,
Pedangang/Penyedia Jasa, Petani/Peternak, Nelayan, Supir, Ojek, Montir
dan pekerja lain yang mampu membayar iuran.
c. Bukan Pekerja (BP) adalah setiap orang yang bukan termasuk masyarakat
yang didaftarkan dan iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat/Daerah,
PPU serta PBPU, yang terdiri dari: BP Penyelenggara Negara dan BP Non
Penyelenggara Negara.
1) BP Penyelenggara Negara terdiri dari Penerima Pensiun (PP)
Pejabat Negara, PP PNS Pusat/Daerah, PP TNI, PP POLRI, Veteran
dan Perintis Kemerdekaan.
2) BP Non Penyelenggara Negara terdiri dari Investor, Pemberi Kerja
dan BP lain yang mampu membayar iuran.
2. Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh
pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh
Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
3. Kompensasi Pelayanan
Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna
memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan
kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan
atau penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan
untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
2. Kenyataannya 80% penyakit yang ditangani rumah sakit rujukan di Provinsi adalah
penyakit yang seharusnya ditangani di Puskesmas. Tingkat okupansi tempat tidur
yang tinggi di RS Rujukan Provinsi bukan indikator kesuksesan suatu Jaminan
Kesehatan. Hal ini berdampak pada beban fiskal daerah yang terlalu tinggi. Oleh
karenanya Pelaksanaan Jaminan Kesehatan membutuhkan sistem rujukan
berjenjang dan terstruktur maka setiap Provinsi harap segera menyusun peraturan
terkait sistem rujukan.
DAFTAR PUSTAKA