Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

- Latar Belakang

Pepaya merupakan salah satu tanaman yang digemari oleh seluruh lapisan

masyarakat, khususnya di Indonesia. Buah ini tersedia sepanjang tahun tanpa

mengenal musim. Pertumbuhan tanaman pepaya tidak memerlukan kondisi

spesifik, sehingga budidaya yang dilakukan hanya memanfaatkan

perkarangan atau lahan kosong saja. Secara perkembangannya, selama lima

tahun terakhir pepaya termasuk dalam kelompok lima besar produksi buah-

buahan. Komoditas pepaya mempunyai peluang untuk dibudidayakan secara

komersial (Direktorat Jendral Hortikultura, 2008).

Pada beberapa daerah di Indonesia telah ditemukan ada serangan kutu putih

(Paracoccus marginatus William and Granara de Willink, Hemiptera:

Pseudococcidae) pada tanaman pepaya yang mengakibatkan adanya

potensi kerugian ekonomis pada produksi buah papaya (Direktorat Jendral

Hortikultura, 2008).

Serangan hama kutu putih P. marginatus di Indonesia pertama kali dilaporkan

oleh petani dan petugas pengamat hama pada tahun 2008. Serangan
P. marginatus ditemukan pada tanaman pepaya dan beberapa jenis tanaman

lain yang berada di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Depok (Direktorat

Jendral Hortikultura, 2008).

Hama P. marginatus yang berasal dari Meksiko ini sudah menyerang 13

provinsi di Indonesia dengan tingkat kerusakan bervariasi. Direktorat

Perlindungan Tanaman Hortikultura, Departemen Pertanian mencatat P.

marginatus sudah merambah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, Kalimantan Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan

Barat, Banten, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Bali.

Hama ini awalnya menyerang pepaya, tetapi kini menyerang 50 jenis

tanaman, seperti singkong, tomat, dan jarak pagar (Direktorat Jendral

Hortikultura, 2008).

Serangan P. marginatus di Bandar Lampung baru ditemukan pada tahun

2009, banyak tanaman pepaya yang terserang baik secara ringan maupun

berat dan bahkan mati. Hampir seluruh pertanaman pepaya di wilayah

Bandar Lampung terserang hama kutu putih ini. Berdasarkan hasil observasi

beberapa wilayah Lampung yang terserang parah adalah Kedaton, Kemiling,

Panjang, Rajabasa, Tanjung Senang, dan Tanjung Karang Barat (Susilo dkk,

2009).

Mengingat banyaknya serangan kutu P. marginatus pada tanaman pepaya dan

Indonesia merupakan salah satu produsen pepaya terbesar, serta pepaya


adalah komoditas buah andalan petani Indonesia, maka perlu dilakukan

pengendalian terhadap hama kutu putih pepaya yang menyerang tanaman

tersebut untuk menurunkan kerugian ekonomis yang ditimbulkan (Friamsa

dkk, 2009).

Pengendalian atau pencegahan yang dapat dilakukan adalah sanitasi kebun

secara rutin sebagai upaya preventif dan kontrol terhadap hama. Untuk

penanggulangan dapat dilakukan secara komprehensif dari pendekatan

bilogis, fisik, maupun kimiawi. Salah satunya dengan menggunakan musuh

alaminya, namun musuh alami kutu ini belum ditemukan di Indonesia (Sobir,

2009). Penggunaan insektisida kimia mampu membunuh hama dan penyakit

tanaman, namun apabila cara pemakaiannya tidak tepat dapat menimbulkan

dampak negatif bagi lingkungan (Tarumingkeng, 1992).

Upaya pengendalian alternatif adalah penggunaan insektisida nabati yang

ramah lingkungan berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati mudah

terdegradasi di alam, sehingga aman bagi manusia dan lingkungan (Tukimin

dan Rizal, 2002). Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai

insektisida nabati adalah daun gamal (Gliricidia maculata) karena menurut

Tukimin dan Rizal (2002) ekstrak air tanaman ini yang dicampurkan dengan

detergen dan minyak tanah dapat menekan hama kutu daun kapas setelah 24

jam penyemprotan dan mampu membunuh hama kutu daun sebesar 70%

setelah 48 jam pada skala laboratorium.


TINJAUAN PUSTAKA

Kutu Putih (Pseudococcus spp.)


Menurut Kalshoven (1981), kutu putih (Pseudococcus spp.)

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Mollusca

Kelas : Gastropoda

Ordo : Homoptera

Famili : Pseudococcidae

Genus : Pseudococcus

Spesies : Pseudococcus spp.

Kutu betina berbentuk oval memanjang, beruas, tidak bersayap dan

mampu bertelur sampai 300-500 butir,. Telurnya berwarna kuning terbungkus

dalam jaringan seperti lilin yang longgar (Borror, 1971).

Telur menetas setelah 6-20 hari. Peletakan telur berlangsung selama 1 atau

2 minggu kemudian kutu betina mati. Nimfa muda menghisap cairan dari daun

atau buah. Kutu putih bergerak lambat (Metcalf dan Flint, 1992).

Nimfa muda gerakannya lamban dan untuk tumbuh sampai dewasa

memerlukan waktu 1-4 bulan. Bentuk kutu elips, berwarna coklat kekuningan,

panjang ±3 mm, tertutup dengan massa putih seperti lilin yang bertepung.

Sepanjang tepi badannya terdapat tonjolan terpanjang pada bagian belakang

(Rukmana dan Sugandi, 2002).


Kutu Pseudococcus spp. cepat berkembang di daerah ketinggian 600

mdpl. Hidup secara koloni di bawah tanah dan kadang ditemukan di permukaan

buah. Siklus hidup kutu ini sekitar 20-40 hari. Induk betina menghasilkan telur

sampai 300 butir (Kalshoven, 1981).

Gambar 1 : Kutu putih (Pseudococcus spp.)


Diunduh dari www.ditlin.hortikultura.deptan.go.id (22 Februari 2010)

Gejala Serangan

Penyebaran kutu dapat disebabkan oleh angin, terbawa bibit, terbawa

orang, maupun terbawa serangga lain dan terbawa burung. Keberadaan kutu yang

cukup tinggi dan bersifat polipag mempunyai potensi menyebar yang sangat

cepat. Disamping itu, dari sifat biologisnya yang merusak tanaman dengan cara

menghisap cairan tanaman serta mengeluarkan racun, mengakibatkan terjadinya

khlorosis, kerdil, malformasi daun, daun muda dan buah rontok, banyak

menghasilkan eksudat berupa embun madu sampai menimbulkan kematian

tanaman. Dengan demikian kutu putih ini memiliki potensi dapat merugikan

ekonomis yang cukup tinggi (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010).

Hama ini merusak dengan cara mengisap cairan tanaman. Kuncup bunga

dan buah muda yang diserang menjadi kering karena kehabisan cairan. Buah yang

diserang menimbulkan kualitasnya menurun (Tjahjadi, 2002).


Kutu putih merusak penampilan buah manggis. Kutu muda hidup dan

menghisap cairan kelopak bunga, tunas atau buah muda. Kutu dewasa

mengeluarkan semacam tepung putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya

(Kuntarsih, 2005).

Kutu putih dewasa mengeluarkan cairan seperti gula yang selanjutnya

dapat menarik semut hitam dan menyebabkan timbulnya jelaga pada buah.

Walaupun rasa buah kurang terpengaruh, kulit buah yang kotor menyebabkan

kualitas buah menurun (Balai Penelitian Tanaman Buah, 2006).

Gambar 2 : Gejala serangan kutu putih (Pseudococcus spp.)


Diunduh dari www.ditlin.hortikultura.deptan.go.id (22 Februari 2010)

Pengendalian Kutu Putih (Pseudococcus spp.)

Cara kultur teknis

- Mengurangi kepadatan tajuk agar tidak terlalu rapat dan saling menutupi;

- Mengurangi kepadatan buah.

Cara kimiawi

- Mencegah semut dengan memberi kapur anti semut;

- Menyemprot dengan insektisida dan fungisida yang efektif dan terdaftar (bila

ada jelaga hitam).


Insektisida Nabati

Insektisida botani diperoleh dari tembakau, akar tuba, nimba, pyrethrum

(Chrysanthenum cinerariaefolium) dan lainnya (Hall dan Julius, 1999).

Insektisida botani diambil secara langsung dari tanaman atau hasil

tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang paling tua dan banyak

digunakan untuk pengendalian hama sebelum insektisida organik sintetik

ditemukan (Untung, 1996).

Nimba (Azadirachta indica A. Juss)

Tanaman nimba mengandung bahan aktif azadiraktin (C35H44O16),

meliantriol dan nimbin. Azadiraktin mengandung sekitar 17 komponen sehingga

sulit untuk menentukan jenis komponen yang paling berperan sebagai pestisida.

Kematian hama akibat dari penggunaan nimba terjadi pada pergantian instar-instar

berikutnya atau pada proses metamorfosis. Nimba tidak membunuh hama secara

cepat, tetapi berpengaruh terhadap hama pada daya makan, pertumbuhan, daya

reproduksi, proses ganti kulit, hambatan pembentukan serangga dewasa,

menghambat perkawinan, menghambat pembentukan kitin dan komunikasi

seksual (Kardinan, 2004).

Biji dan daun nimba mengandung beberapa jenis metabolit sekunder yang

aktif sebagai pestisida, diantaranya azadirachtin, salanin, meliatriol, dan nimbin.

Senyawa kimia tersebut dapat berperan sebagai penghambat pertumbuhan

serangga, penolak makan (antifeedant), dan repelen bagi serangga. Metabolit lain

yang terdapat di dalam mimba adalah mimbandiol, 3-desasetil salanin, salanol,

azadiron, azadiradion, epoksiazadiradion, gedunin, dan alkaloid. Kematian

serangga dapat terjadi dalam beberapa hari, tergantung dari stadia dan siklus
hidup serangga target. Akan tetapi, apabila termakan dalam jumlah kecil saja

mengakibatkan serangga tidak bergerak dan berhenti makan. Aktivitas residu

insektisida dari azadirachtin ini umumnya terjadi antara 7-10 hari atau lebih lama

lagi, tergantung dari jenis serangga dan aplikasinya (Samsudin, 2010b).

Gambar 3 : Rumus bangun azadiraktin


Diunduh dari www.totallysynthetic.com (08 Maret 2010)

Tanaman nimba (Azadirachta indica) mengandung zat toksik bagi

serangga hama. Serangga yang menjadi hama di lapangan maupun pada bahan

simpan mengalami kelainan tingkah laku akibat bahan efektif yang dikandung

pada nimba (Gruber dan Karganilla, 1989).

Berbagai zat aktif terkandung dalam nimba diantaranya adalah

azadirachtin, salanin, meliantriol, nimbin, dan nimbidin. Semua zat aktif tersebut

bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tanaman nimba (Azadirachta indica) ini

aman dikonsumsi oleh manusia dan mampu membunuh bakteri serta mikroba

berbahaya (Rohmayati dan Khotimah, 2010).

Mahoni (Swietenia macrophylla Jacq.)

Mahoni mengandung senyawa limonoid, saponin dan flavonoida yang

bersifat menghambat makan dan perkembangan serangga. Larutan hasil perasan

biji mahoni dengan konsentrasi 3% sangat efektif untuk mengendalikan kutu daun

(Macrosiphoniella sanborni) pada tanaman krisan. Larutan ini dibuat dengan cara
mencampurkan 3 gram biji mahoni dalam 100 ml air, kemudian dihaluskan

dengan blender. Cairan kemudian disaring dan dapat disemprotkan pada daun

krisan yang terserang. Tingkat mortalitas yang dihasilkan bisa mencapai 90%

lebih pada hari keempat setelah aplikasi (Rimansyah, 2010).

Biji mahoni mengandung senyawa flavonoid, saponin dan swietenin.

Flavonoid dapat menimbulkan kelayuan pada saraf serta kerusakan pada spirakel

yang mengakibatkan serangga tidak bisa bernafas dan akhirnya mati. Saponin

menunjukkan aksi sebagai racun dan antifeedant pada kutu Lepidoptera, kumbang

dan berbagai serangga lain. Sedangkan sweitenin merupakan termasuk senyawa

limonoid yang bersifat sebagai antifeedant dan penghambat pertumbuhan

(Rosyidah, 2007).

Gambar 4: Rumus bangun flavonoid


Diunduh dari www.wikipedia.org (30 Oktober 2010)

Ekstrak biji mahoni dengan konsentrasi 2,5%, mengandung deterjen 0,1%

dan direbus selama 5 menit memiliki aktifitas insektisida terhadap hama pengisap

buah lada, yaitu menyebabkan menurunnya populasi nimfa dan imago

(Rachmawati, 2010).

Penggunaan insektisida golongan piretroid, pestisida nabati cengkeh,

nimba, jarak kepyar pada pertanaman lada di Bangka dapat mengurangi populasi

kutu putih. Penggunaan ekstrak air tembakau (10 g/l), mimba (50 g/l),

monokrotofos (2 ml formulasi/l), karbofuran 3G (25 g/pH) terhadap kutu


Planococcus pada tanaman lada di Bangka menunjukkan bahwa tembakau dan

mimba sama efektifnya dengan penggunaan insektisida sintetik (karbofuran dan

monokrotofos) setelah delapan minggu (Balfas, 2009).

Setiap makhluk hidup mempunyai batas toleransi terhadap racun dimana

makhluk tersebut tidak mati. Lewat batas tersebut akan menimbulkan kematian

pada makhluk hidup yang diuji. Proses kematian akan semakin cepat dengan

pertambahan dosis yang digunakan (Natawigena, 2000).

Kapur (Kitosan)

Perkembangan kesehatan akibat residu pestisida pada buah dan sayur telah

menggeser pola pengendalian hama dan penyakit dari penggunaan pestisida ke

pengendalian secara biologi. Salah satu bahan alami yang telah direkomendasikan

adalah kitosan yang dihasilkan dari proses deasetilasi kitin cangkang kepiting atau

eksoskeleton udang. Kitosan melindungi buah melalui 2 mekanisme : fisik dan

kimiawi. Secara fisik, kitosan membentuk lapisan film yang membungkus

permukaan produk dan mengatur pertukaran gas dan kelembapan. Secara

kimiawi, kitosan bersifat merangsang respon resistensi pasca panen pada jaringan

tanaman (Pamekas, 2007).

Kitin merupakan polimer karbohidrat yang terbentuk melalui ikatan

ß (1- 4) antara monomer-monomer nacetylglucosamine. Kitosan yang merupakan

senyawa turunan kitin mempunyai lebih banyak keunggulan bila ditinjau dari segi

ekonomi maupun aplikasinya. Sumber utama yang dapat digunakan untuk

pengembangan lebih lanjut adalah kitin dari jenis udang-udangan (Crustaceae)

(Subadiyasa, 1997).
Kitosan merupakan produk hasil turunan kitin dengan rumus Nasetil- D-

Glukosamin, merupakan polimer kationik yang mempunyai jumlah monomer

sekitar 2000-3000 monomer dan tidak toksik Kitosan umumnya dibuat dari

limbah hasil industri perikanan, seperti udang, kepiting dan rajungan, yaitu dari

bagian kepala, kulit ataupun karapas. Larutan kitosan berfungsi sebagai edible

coating. Lapisan edible yang terbentuk pada permukaan dapat memperpanjang

masa simpan dengan cara menahan laju respirasi, transmisi, dan pertumbuhan

mikroba (Suptijah et al., 2008).

Gambar 5: Rumus bangun kitosan


Diunduh dari www.wikipedia.org (30 Oktober 2010)

Kitosan berkerja sebagai racun perut, sehingga dapat mengganggu sistem

pencernaan hama dan secara perlahan akan mematikan hama. Kitosan selain

ramah terhadap lingkungan, bahan baku limbah golongan crustacea khususnya

rajungan juga mudah didapatkan sehingga sumber daya lokal yang selama ini

dimiliki dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan kimia (Zakiah, et al., 2007)

Kitosan diproduksi dengan proses deasetilasi lapisan kitin yang terdapat di

cangkang hewan crustaceae (udang-udangan) seperti udang, lobster, dan kepiting.

Di bidang pertanian, kitosan bukan hanya mampu membentuk lapisan tipis

permeabel terhadap gas sehingga dilaporkan mampu rnenghambat pemasakan

buah, tetapi juga dilaporkan mampu berfungsi sebagai biofungisida. Karena peran
gandanya ini, dan diklaim 100% aman bagi kesehatan, perannya di bidang

pertanian menjadi semakin popular. Walaupun demikian, informasi ilmiah tentang

penggunaannya sebagai pelapis buah (fruit coating) pada buah-buah tropis sulit

diperoleh (Widodo, 2009).

Dalam industri pangan, kitin dan kitosan bermanfaat sebagai pengawet dan

penstabil warna produk. Secara kimia kitin adalah molekul besar (polimer).

Senyawa ini tidak dapat disintesis secara kimia dan tersusun oleh satuan molekul

N-asetil-D-glukosamin. Kalau bagian asetil ini dibuang, maka kita akan

memperoleh kitosan. Struktur ini memiliki fungsi yang lebih bervariasi beberapa

contoh aplikasi kitin dan kitosan dalam bidang nutrisi (suplemen dan sumber

serat), pangan (nutraceutical, flavor, pembentuk tekstur, emulsifier, penjernih

minuman), medis (mengobati luka, contact lens, membran untuk dialisis darah,

antitumor), kesehatan kulit dan rambut (krim pelembab, hair care product),

lingkungan dan pertanian (penjernih air, menyimpan benih, fertilizer dan

fungisida) lain-lain (proses finishing kertas dan menyerap warna pada produk cat)

(Suhartono, 2006).

Anda mungkin juga menyukai