Anda di halaman 1dari 36

BOOK REVIEW: TELAAH MATAN HADIS

SEBUAH TAWARAN METODOLOGIS

DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Umi Sumbulah, M. Ag.

Oleh
Syauqie Fuady
NIM. 1978002

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2019
BOOK REVIEW:
Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis

Syauqie Fuady
NIM. 19780002

Judul Buku : Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis


Penulis : Prof. Dr. Muh Zuhri
Penerbit : LESFI
Tahun : 2003
Halaman : 161 + x

A. Biografi Penulis

Prof. Dr. H.Muh. Zuhri, M.A. terlahir pada tanggal 26 Maret 1953 di

Klaten. Beliau menyelesaikan S1-nya pada tahun 1976 di Fakultas Syariah

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selanjutnya menempuh S2 dan

mendapatkan gelar master pada jurusan Studi Islam pada tahun 1989. Tahun

1994 Menyelesaikan S3-nya dan memperoleh gelar Doktor di IAIN Jakarta

dalam bidang Tafsir Hadits Ahkam. Beliau juga Mantan Ketua STAIN

Salatiga, selain itu beliau juga mempunyai pengalaman kerja diantaranya

sebagai Dosen pascasarjana Studi Hadis UMS (Universitas Muhammadiyah

Surakarta), UIN Yogyakarta, UMY (UniversitassMuhammadiyahYogyakarta)

di tahun 1998 dan Hukum Islam Keluargaadi UMY pada tahun 2000. Diantara

karya buku beliau adalah: Metode, Sejarah dan Hadis Nabi ditahun 2006, juga

beliau menulis buku Studi Matan Hadis di tahun 2008.1

1
http://iainsalatiga.ac.id/web/about/staff/guru-besar/ Diakses pada 23 November 2019.

1
2

B. Kegelisahan Akademik

Tadinya pembelajaran Hadis lebih ditekankan pada pemahaman

matan yang tertulis dalam kitab-kitab Hadis, dengan asumsi, Hadis yang

tertulis itu otentik sepenuhnya dari Rasulullah Saw. Bukan hanya itu,

mengamalkan agama pun tidak boleh terlalu jauh dari teks Hadis. Di samping

itu, pelajaran Musthalah Hadis atau Ulumul Hadis juga disampaikan. Tetapi

kelihatannya ilmu ini tidak praktis karena asumsi otentisitas Hadis tersebut.

Setelah orang semakin kritis, kajian terhadap Hadis tidak sebatas itu. Para

pemerhati Hadis ingin secara serius mengetahui bagaimana cara mengkritisi

Hadis seperti yang pernah dilakukan para ulama terdahulu. Bukankah Imam al-

Bukhari itu mempunyai hafalan ratusan ribu Hadis, tetapi yang ditulis kurang

dari sepuluh ribu Hadis disebabkan prilaku kritisnya terhadap periwayatan?

Ternyata Hadis bukan hanya diminati dikalangan orang islam. Hadis

yang merupakan bagian dari sejarah Islam, tidak luput dari sasaran lslamolog.

Jangankan Hadis, Alquran pun menjadi sasaran kritik mereka. Karena argumen

yang mereka gunakan itu rasional, sementara, agama Islam mengajarkan

rasionalitas, maka analisis mereka dirasa perlu ditanggapi secara rasional pula.

Pemikiran rasional tentang Hadis akhirnya berkembang di kalangan umat

Islam. Karena itu terjadi pro kontra terhadap Hadis. Ada yang membela Hadis

secara habis-habisan, ada juga menerima Hadis dengan seleksi ketat, ada pula

menerima Hadis seleksi agak longgar, ada pula yang dikesankan menolak

semua Hadis. Pembelaan Hadis secara total tidak perlu Ilmu Hadis secara

mendalam, begitu juga penolakannya yang total. Karena sikap apriori semacam
3

itu memang tidak memerlukannya. Ilmu ini diperlukan bagi sikap kritis dan

selektif, apakah ketat ataukah longgar. Kritik terhadap Hadis sudah sangat

populer, pada aspek sanad dan matan.

Dalam Buku ini lebih menekankan pada aspek pemahaman matan

Hadis. Bagi umat Islam, Hadis tidak akan bertentangan dengan ajaran Islam

secara keseluruhan, baik yang terkandung dalam Alquran maupun pengetahuan

dharuri. Dimaksudkan dengan pemahaman Hadis adalah dalam kerangka ini.

Karena itu hasil pemahaman Hadis dapat menimbulkan sikap peningkatan

prilaku keagamaan, tetapi dapat juga menimbulkan sikap penolakan terhadap

kandungan Hadis tersebut. Arti penolakan di sini, tidak yakin kalau Hadis yang

sedang dicermati itu berasal dari Rasulullah karena menyimpang dari ajaran

Islam. 2

C. Logika dan Sistematika

Sistematika penulisan buku ini memuat 5 bab yakni pada Bab I,

Pendahuluan yang memuat Perbandingan Hadis dengan Alquran dan juga

perkembangan Hadis dalam kurun ilmu fiqh dan ilmu kalam. Bab II, Duduk

persoalan Hadis dan Sunnah yang sub babnya adalah: Pertautan antara Hadis

dan Sunnah, mengambil al-Sunnah sebagai anutan, wujud Hadis dan

Muatannya, persepsi terhadap Hadis dan perbedaan pendapat, cinta kepada

Rasulullah proposional, penilaian baik dan buruk dan sunnah dan Fazlur

Rahman, sanad Hadis. Bab III, Berisi Kritik dan pemahaman terhadap suatu

2
Muh. Zuhri, TelaahhMatan Hadis: SebuahhTawaran Metodologis. (Yogyakarta: Lesfi, 2003), x-
ix.
4

hadis: yang memuat langkah dan pendekatan yang sub babnya antara lain:

Kritik matan Hadis, pendekatan untuk memahami dan kritik, hermeneutika:

wacana pendekatan, skema keringkasan pemahaman dan kritik hadis. Bab IV,

Kritik sanad & matan hadits-hadits futuristik, yang sub babnya terdiri dari:

Kritik sanad Hadis tema futuristik dan matan Hadis-Hadis tema futuristik. Bab

V, Penutup.

D. Metode Penulisan Buku

Dalam metode penulisan buku ini, penulis menawarkan sebuah

metodologis telaah matan hadis yang didalam dalam buku ini memuat gagasan

penulis dari berbagai buku-buku ‘ulumul hadis dan literatur-literatur yang lain.

serta diperkaya oleh penulis dengan analisisnya dari pengumpulan berbagai

riwayat dalam kitab hadis dengan tema futuristik yang memiliki kandungan

yang mirip untuk dibandingkan dan dilihat pola periwayatannya untuk

mengetahui maksud hadis dan kemungkinan variasi makna yang dikandung

dalam hadis.yang kemudian dari hadis-hadis yang berbeda tersebut diteliti

berdasarkan standar penelitian hadis.

E. Gagasan Yang Ditawarkan

Pada Bab I, Pendahuluan berisi tentang Perbandingan Hadis dengan

Alquran dan juga perkembangan Hadis dalam kurun ilmu fiqh dan ilmu kalam.

Untuk mempelajari hadis perlu sering membandingkankannya dengan

Alquran. Ketka kita hendak mencari dalil ayat Alquran kita membuka kitab

hadis. Tetapi, kitab hadis yang mana yang harus dibuka, itu persoalan. 3

3
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 2-3.
5

Hadits dalam agama Islam adalah sumber hukum kedua yang

kedudukannya satu tingkat lebih rendah dari pada Alquran. Dari segi kekuatan

dalalahnya, Alquran adalah mutawatir yang qath’i, sedangkan hadis

kebanyakan khabar ahad dimana hanya memiliki dhalalah dzanni. Meskipun

ada hadis sampai pada martabat mutawatir namun hanya sedikit jumlahnya.4

Berbeda dengan Alquran yang bersifat qath’il wurud (dipastikan

berasal dari Allah Swt.), dimana seluruh ayatnya terjamin berasal dari Allah

Swt.. Sedangkan hadits nabi ada yang dipastikan bersumber dari Nabi, ada juga

yang diragukan, bahkan ada juga yang tidak bersumber dari beliau. Untuk

mendeteksi perihal yang terkait dengan hadits nabi tersebut, para muhadditsin

telah menyusun ilmu yang dikenal dengan ‘ulumul hadis atau disebut juga ilmu

ushul hadits, qawa’idul hadits atau musthalah hadits.5

Pada Bab II, Duduk persoalan hadis dan sunnah. Sunnah disandarkan

terhadap Rasulullah Saw. baik itu berupa ucapan, perbuatan, maupun

ketetapan. Apa yang diteladankan oleh Rasulullah Saw. dalam mempraktekkan

agama ini direkam oleh shahabat, kemudian diceritakan kepada orang lain, baik

melalui lisan maupun catatan. Sebagai bahan cerita yang berupa redaksi (baik

lisan maupun tulisan) maka ia disebut “cerita”, dalam istilah arab disebut

Hadis.6

Sunnah, hadits, atsar dan khabar merupakan sinonim, yakni sesuatu

yang terhadap Rasulullah Saw., shahabat, tabi’in, baik itu berupa perkataan,

4
Muhammad Ahmad, UlumullHadis (Bandung: CV PustakaaSetia, 2004), 27.
5
Idrii, StudiiHadis (Jakarta:kKencana, 2010), v.
6
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 20-21.
6

perbuatan, ketetapan, atau sifat-sifat. Sedangkan perbedaan antara datang dari

Rasulullah Saw., sahabat, atau tabi’in, adalah keterangan-keterangan dalam

periwayatannya.7

Pada Bab III, berisi tentang kritik dan pemahaman terhadap hadis.

Kritik matan hadits dimasa sahabat pernah dilakukan oleh shahabat senior

Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar dengan caranya masing-masing

disaat Nabi Muhammad Sudah tiada. Pada masa pasca shahabat, dilakukan

oleh para ulama terutama saat ada penyebaran Hadits maudu’ (palsu) yang

ditunggangi kepentingan tertentu, terutama politik. Kritik matan hadits

dilaksanakan dengan berbagai alat uji. 8 Hadits diuji dengan ajaran yang

terdapat dalam Alquran. Uji hadits bukan menguji kebenaran Rasulullah tetapi

menguji para periwayat.9

Asumsi sebagian intelektual kontemporer yang menilai bahwa

muhaddisin tempo dulu kurang memerhatikan pada kritik matan hadits.

Menurut mereka, muhaddisin klasik tidak banyak memerankan akal dalam

mengkritisi dan mengkaji hadits-hadits. Kemudian oleh sebagian pengkaji

hadits di Barat diwarisi dan dikembangkan. Sebagian orang mengira mungkin

bahwa muhaddisin klasik tidak banyak menggunakan akal dalam mengkritisi

sebuah hadis. Padahal sebenarnya, setiap kajian terhadap teks apapun tidak bisa

dilakukan tanpa memerankan fungsi akal. Akan tetapi para muhaddisin klasik,

7
Muhammad ‘Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathifu fi Ushulil Haditsi As-Syariifi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 47.
8
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 43-45.
9
Ibid., 53.
7

dalam mengkaji matan hadis menuhankan terhadap akal semata, akan tetapi

memposisikan akal tadi secara proporsional.10

Alasan ulama hadits cenderung mendahulukan penelitian dan kritik

sanad dari matan ini adalah adanya adagium yang menyatakan bahwa

penelitian hadits itu barulah mempunyai arti apabila sanad hadis tersebut sudah

jelas-jelas terpenuhi syarat kesahihannya. Karena bagaimanapun validnya

suatu matan, tidak akan pernah dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah

Saw. tanpa adanya sebuah sanad. Bahkan ada yang mengatakannya sebagai

hadits palsu. Dengan alasan demikianlah, maka para ulama hadits lebih

mendahulukan kegiatan penelitian sanad dari matan hadits.11

Pada kasus-kasus yang bersifat kontekstual bisa saja orang terkurung

oleh formalisme tekstual, atau sebaliknya kasus-kasus yang sangat tekstual

dibolak-balik sehingga makna kesucian agama menjadi hilang. Oleh sebab itu,

kiranya sangat diperlukan postulat atau asumsi dasar keilmuan Islam sebagai

acuan dan titik awal kajian teks hadits. 12

Selain dipahami secara tekstual, Hadits Nabi itu ada pula yang

dipahami secara kontekstual. Penyampaikan hadits nabi saat masa shahabat

dimana historis dan latar belakangnya yang berbeda dengan zaman saat ini.

Dari itu ketika hadits Nabi dipahami secara tekstual, terkesan tidak rasional dan

10
LaluuHeri Afrizal, “Selisik atas Metodologi Kritik Matan UlamaaHadis”, Kalimah, Vol. 14, No.
2 (September, 2016), 191.
11
Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Malang Press,
2008), 14.
12
Daniel Djuned, Ilmu Hadis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), 31-31.
8

bertentangan dengan kondisi saat ini, maka disinilah pentingnya pendekatan

pemahaman secara kontekstual.13

Kritik matan penting untung dikembangkan dengan mengaplikasikan

metode hermeneutik dalam memahami sebuah teks hadits, agar dapat menolak

pola pikir tasaahul dalam pendaifan sebuah hadits, pun juga sekaligus

menghasilkan makna hadits yang shaalih likulli zamaan wal makaan.14

Kitab-kitab yang membahas kritik matan masih belum ditemukan di

awal perkembangan studi hadits. Akan tetapi, kitab tentang matan telah ada

bersamaaan dengan berkembamgnya studi hadits.kitab yang membahas

tentang matan hadis, awal adanya dalam bentuk penyelesaian hadist-hadits

kontroversi, baik kontroversi versi hadits dengan hadits shahih. Hadits dengan

akal, maupun dengan Alquran.15 Secara umum, kritik matan yang dilakukan

oleh pemikir new modernism sunnah berkisar pada alasan, bahwa matan hadits

kontra dengan logika, atau dengan Alquran, dan dengan hadis lain.16

Dalam mengkaji teks Hadits untuk diambil sebagai sunnah atau

ditolak, diperlukan sarana-sarana dan pendekatan-pendekatan yang perlu

diperhatikan terhadap teks hadits tersebut. Ada beberapa tawaran oleh ulama

tradisional yang dikemukakan sebagai kontribusi ilmiah mereka karena

13
Subhan, “HadissKontekstual: StudiiKritik MatannHadis”, Mazahib, Vol. 10, No. 2 (Desember,
2012), 84.
14
Suryadi, “RekonstruksiiKritik SanaddDan Matan Dalam StudiiHadis”, Esensia, Vol. 16, No. 2
(Oktober, 2015).
15
Bustamin & M. Isa H.A. Salam, MetodologiiKritik Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindooPersada,
2004), 61.
16
AbdullMajid Khon, Pemikiranndalam Sunah: Pendektan IlmuuHadis (Jakarta: Kencana, 2011),
268.
9

kepeduliannya pada masyarakat islam dan agama. Yakni: 1).Ilmu Gharib

Hadis, 2).Mukhtaliful Hadis, 3).Ilmu Asbabul Wurud Hadis, 4).Ilmu Nasakh

wal Mansukh, 5).llmu ‘Ilal Hadis, dan lain-lain.

“Terlepas dari bobot informasi Hadis, ada beberapa hal yang kita perlu

diperhatiin untuk memahami Hadits Rasulullah. Hadits yang berposisi untuk

menafsirkan isi Alquran, bukanlah sebaliknya. Alquran dan Hadits merupakan

rujukan, dimana untuk sampai pada aktualisasi prilaku perlu sebuah proses.

Ayat Alquran ditafsirkan & dipersepsikan oleh umat Islam “(ulama’nya).”Dari

penafsiran & persepsi itu muncullah perilaku-perilaku keagamaan.“Jadi,

perilaku keagamaan tersebut tidak secara langsung tercipta oleh ayat Alquran

atau Hadis Nabi, akan tetapi oleh penafsiran & persepsi. Kemudian,

dikarebnakan tanggapan dan kecondongan seseorang dengan lainnya tidak

sama, maka hasilnya tidak akan selalu sama, sehingga perilaku keagamaan

mereka juga bermacam-macam meskipun ayat Alqurannya sama, Haditsnya

pun juga sama. Pendapat yang berbeda dari persepsi yang berbeda tidak

terhindari. 17

1. Pendekatan Kebahasaan

a. Mengatasi lafadz yang sulit dengan asumsi riwayat bil ma’na.

Disebutkan bahwa kebanyakan Hadits Rasulullah Saw. itu

diriwayatkan bukan dengan lafadz (riwayat bil lafadz) tetapi dengan

17
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 54.
10

makna (riwayat bil ma'na), Variasi bahasa tidak lagi hanya

mencerminkan keadaan pada masa Rasulullah Saw.. Karena itu gaya

bahasa yang menjadi acuan untuk memahami Hadits cukup panjang.

Beda halnya dengan Alquran , yang hanya menggunakan gaya bahasa

pada masa Rasulullah. 18

Konsep riwayah bil ma’na ini, dikalangan masyarakat Islam

masih sering dipahami kurang tepat. Sebagian mereka ada yang

memahami bahwa setiap perbedaan redaksi pada hadits disebabkan

oleh riwayah bil ma’na. sehingga menurut mereka, riwayah bil ma’na

itu mencakup semua hadis yang membahas redaksi yang berbeda

dengan tema yang sama. Maka, jika mereka menemukan sebuah hadis

dengan tema yang sama dengan redaksi yang berbeda-beda, akan

langsung dikatakan bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan secara

makna.19

Persoalan ini ada terkait dengan kebolehan atau tidaknya

periwayatan dengan cara itu. karena adanya perkataan Rasulullah Saw.

yang membolehkan dan melarang, selain itu juga adanya kehawatiran

tentang kebolehan tersebut berpeluang pada perubahan makna hadits

sebagai konsekuensinya dari perubahan teks tersebut. Apabila

dibiarkan berefek pada kemungkinan terjadinya pemutarbalikkan fakta

dan perubahan ajaran agama. Mayoritas ulama’ hanya saja

18
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 54-55.
19
SalamahhNoorhidayati, KritikkTeks Hadis (Yogyakarta:tTeras, 2009), 46.
11

memperbolehkan dengan beberapa hadits, sebagai bentuk kemudahan

terhadap periwayatan sebuah hadits.20

Ada suatu Hadits:

ِ
‫صلهى هللاُ معلمْيه مو مسله مم ذم م‬
‫ات‬ ِ‫ول ه‬
‫اَّلل م‬ ُ ‫ قم مام فِينما مر ُس‬:‫ول‬
ُ ‫ يم ُق‬،‫ض بْ من مسا ِريمةم‬ ِ ‫ مَِسع‬...
‫ت الْع ْرمَب م‬
ُ ْ

‫ول‬
‫يل مَي مر ُس م‬ ِ ِ ‫ وذمرفم‬،‫ وِجلمت ِمْن ها الْ ُقلُوب‬،ً‫ فموعظمنما موعِظمةً بلِيغمة‬،‫ي وٍم‬
‫ فمق م‬،‫ت مْن مها الْعُيُو ُن‬
ْ ‫ُ مم‬ ‫مْ م م م ْ م م ْ م‬

‫ موال هس ْم ِع‬،ِ‫اَّلل‬
‫«علمْي ُك ْم بِتم ْق موى ه‬ ‫ فم مق م‬،‫اع مه ْد إِلمْي نما بِ مع ْه ٍد‬
‫ م‬:‫ال‬
ِ ِ‫ه‬
ْ ‫ فم‬،‫ مو معظْتم نما مم ْوعِظمةم ُم مود ٍع‬:‫اَّلل‬

ً ‫اختِ مَلفًا مش ِد‬


‫ مو ُسن ِهة‬،‫ فم معلمْي ُك ْم بِ ُسن ِهِت‬،‫يدا‬ ِ ِ ِ ِ ‫والطه‬
ْ ‫ مو مس ممَتْو من م ْن بم ْعدي‬،‫ موإِ ْن معْب ًدا محبمشيًّا‬،‫اعة‬
‫م م‬

ِ ‫ وإِ هَي ُكم و ْاْلُمور الْمح مد مَث‬،‫ضوا علمي ها َِبلنهو ِاج ِذ‬ ِ ِِ ِ
...‫ت‬ ُْ ‫م ْم ُم‬ ‫ مع ُّ م ْ م م‬،‫ني‬ ‫ين الْ مم ْهديِ م‬
‫ا ْْلُلم مفاء الهراشد م‬

“Hadits diatas amat populer sekarang, akan tetapi tidak begitu

populer di masa awal.“Hadits yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari

empat kitab Hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang shahabat,

beliau adalah ‘Irbadh. Hadis ini masuk dalam kitab-kitab Hadis (Abu

Daud, Ibn Majah, al-Darimi) dengan jalur Ahmad bin Hanbal. Dalam

artian, Hadits tersebut “menyendiri”.”Dikarenakan melalui jalur

Ahmad maka Hadits ini bernilai hasan, maka ditulis dalam kitab-kitab

Hadits mana pun nilainya yang paling tinggi juga hasan.’Ia memuat

nasehat bahwa ketika suatu saat setelah wafatnya Nabi Muhammad

20
Hedhri Nadhiran, “PeriwayatannHadis BillMakna ImplikasiiDan PenerapannyaaSebagai Uji
KritikkMatan Di EraaModern”, JurnallIlmu AgamaaUIN RadennFatah, Vol. 14, No.2 (2013), 188.
12

terjadi perselisihan umat agar berpegangan kepada sunah Rasulullah

dan sunah Khulafaur Rasyidun al-Mahdiyyuun. Persoalannya, siapakah

yang maksud dengan Khulafaur Rasyidun tersebut? Apakah itu

keempat khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) itu? Didalam

fakta ‘sejarah, Khulafaur Rasyidun itu adalah keempat orang itu.

Jikalau ini yang dimaksud oleh Rasulullah, apakah saat beliau

Rasulullah menyampaikan sabdahnya, para mukhathab memahami

bahwa yang dimaksudkan beliau empat orang itu? Apakah

Sayyidina’Umar,‘Usman, dan ‘Ali mendengar Hadits itu sudah

menyadari bahwa mereka masing-masing merasa akan menjadi

Khalifah? Jawabannya “tidak”. Jadi kalau begitu, lafadz “Khulafaur

Rasyidun” pada Hadits tersebut tidak bisa dipahami oleh para shahabat

sebagai mukhathab andaikan mereka berempat mendengarkan Hadits

tersebut. Mengatakan sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh shahabat

adalah suatu yang mustahil. Dengan demikian dapat dipahami bahwa

ada peluang mengatakan bahwa periwayat Hadits ada sebuah tendensi

politik dalam meriwayatkan Hadits tersebut dan ‘diperkirakan orang

yang tidak menyukai pada ‘dinasti pasca Khulafaur Rasyidun yang

dikenal dalam’sejarah. Jikalau hendak membela’asumsi bahwa Hadits

ini autentik dari Rasulullah Saw., kita kembali kepada riwaayat bil

ma'na. Kita’dapat mengatakan bahwa term persis Hadits ini bukan

“Khulafaa aI-Raasyiduun” akan tetapi pengungkapan lain yang mana

ide pokoknya “orang-orang yang”berpikiran”cemerlang dan sangat


13

setia terhadap Rasulullah Saw.”. Secara Lughoh, arti “Khulafaa al-

Raasyiduun” orang-orang“sepeninggal Rasulullah Saw. yang kurang

lebihnya cerrdas dan setia seperti itu.

Tetapi bisa jadi juga, Hadits tersebut redaksinya memang

memakai term “Khulafaa al-Raasyiduun” yang bukan dimaksudkan

untuk dimaknai Khalifah yang“empat orang”sepeninggalan Rasulullah

Saw.. Maknanya, orang berpikiran cemerlang dan setia sepeninggal

beliau. Kalau itu maknanya, maka “Khulafaa aI-Raasyiduun” itu masih

ada sampai saat ini, sepanjang mereka benar-benar tulus dan cemerlang

berpikir,“tidak harus menjabat sebagai pemimpin negara. Bagaimana

pun, istilah “Khulafa al-Rasyidun” dalam sejarah muncul belakangan,

setelah pemerintahan Islam ditangani dengan sistem kerajaan. Karena

kesulitan memberi label para penguasa yang arif sebelum masa dinasti,

maka istilah “Khulafa al-Rasyidun” yang terdapat dalam Hadis

ditempelkan buat mereka berempat. Periwayatan Hadis ini dengan

maksud membentuk opini tertentu jelas punya muatan politis, kendati

misinya baik.21

b. Ilmu Gharib Hadis

“Karena Sebuah Hadis tersebut menggunakan bahasa ‘arab,

maka langkah awal yang diambil adalah lafadz yang sulit. Bagi para

shahabat sebagai mukhathab, sesuatu yang disampaikan oleh

21
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 54-55.
14

Rasulullah Saw., secara etimologi, tidak ada yang sukar. Para shahabat

terdiri dari kabilah-kabilah, dimana untuk mengemukakan sesuatu yang

terkadang menggunakan variasi bahasa yang berbeda-beda. Rasulullah

bisa menyesuaikan diri beliau dalam hal ini.”Ketika sampai

beberapa”generasi, akan terasa oleh pengamat Hadits bahwa istilah itu

asing, lebih-lebih pengamat Hadits tidak seluruhnya menggunakan

bahasa Arab sebagai bahasa induknya. Karena itulah para ulama Hadits

berkepentingan menyusun Ilmu Ghariib Hadits.

Ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang

makna term “asing” pada suatu Hadits, beliau menjawab “bertanyalah

terhadap orang yang ahli dalm bidang gharib Hadits, karena saya tidak

menyukai membahas tentang Hadits Rasulullah Saw. berpatokan hanya

dengan perkiraan.” Kemudian, disaat ditanyakan kepada Syu’bah

tentang makna sebuah kata, beliau menyatakan, “tanyakan kepada al-

Ashmu’i, dia lebih memahami hal ini.” kayaknya kata yang

dikehendaki adalah “as-saqb” pada Hadis yang berbunyi ‫اجلار أحق بسقبه‬

Jawab al-Ashmu’i, “Aku tidak menafsirkan Hadits Rasulullah ini.

Orang Arab mengartikan as-saqb artinya aI-laziq (oranggyangg

berhimpitann rumah). JadiiHadits itu aartinya, tetanggaayang

berhimpitannituumempunyaiihakk(ditawariiterlebihh dahuluu untuk

menjuall sesuatu) dari pada tetanggaayang jjauh. Sebuah Hadis

berbunyi:
15

ْ ‫مع ْن امِب ُهمر ميرةم مع ِن النهىب صلعم "ان ْلجد نمفس مرب ُك ْم‬
‫ ان‬: ‫من ْقبل اليمن" وىف رواية‬

‫من ْقبل اليمن‬


ْ ‫ْلجد نمفس الهر ْْحن‬

Yang didiskusikan kata-kata sukamya adalah kata nafas

(bergaris bawah). Menurut penelitian Ibn Qutaibah maupun Ibn al-

Atsir, kata nafas di sini artinya udara segar dari Allah. Ani kalimat yang

terkandung dalam Hadis itu, “saya mendapatkan pertolongan Allah

yang disimbolkan dengan udara segar, melalui bantuan dan perjuangan

keras dan peran orang Yaman dalam rangka menegakkan masyarakat

Madinah.” Perlu dicatat di sini bahwa orang seperti Abu Hurairah, suku

Khazraj dan Aus adalah berasal dari Yaman. Untuk sampai kepada arti

“udara segar” tadi para ahli membandingnya dengan doa yang berbunyi

‫ اللهم نفسى عىن‬yang artinya, ya Allah lapangkanlah dariku persoalan

beratku.

Begitu pentingnya Ilmu ini sehingga diperkirakan pada abad

ke 3 H sudah ada ulama yang tertarik menekuninya. Al-Suyuti

menyatakan, menurut al-Hakim, orang pertama menyusun Kitab

Gharib al-Hadits adalah Al-Nadhr bin Syamail, tetapi ada yang

mengatakan, Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Matsna; kemudian alNadhr,

lalu al-Ashmu’i. Kemudian masih terdapat beberapa ulama generasi

berikutnya yang tertarik menulis ilmu ini, seperti, Ibn Qutaibah al-
16

Dainuri (w. 276 H), Abu Sulaiman al-Khatthabi (w. 288 H), dan Ibn al-

Atsir al-Jazri (w. 606 H). 22

c. Memahami Kalimat

Setelah tidak ada kata-kata sulit, belum otomatis sebuah Hadits

bisa segera dipahami. Kita melanjutkan dengan memahami kalimat.

Kemana arah informasi itu ditujukan, apakah informasi itu masih

berlaku, suatu perintah berlaku umum atau untuk kelompok tertentu,

situasi tertentu, dan seterusnya, merupakan sederetan pertanyaan yang

mengantarkan kita memahami kalimat yang terkandung pada Hadits

Nabi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka

memahami kalimat Hadits.

1) Tema “Haqiqi dan Majazi”

Menggunakan kata kiasan dalam mengungkapkan sebuah

ide merupakan gejala universal di semua bahasa, Arab, Inggris,

Belanda, Indonesia, dan sebagainya. Dalam Hadis kita sering

menjumpai kata kiasan. Namanya juga kiasan, maka arti kalimat

secara harfiyah tidak terjadi. Dalam Ilmu Balaghoh, menyebut

“singa itu sedang berpidato” lebih tepat dan lebih ringkas serta

lebih menggambarkan keutuhan dibanding dengan menyebutkan

“si polan yang gagah berani itu sedang berpidato.” Alquran juga

menggunakan gaya bahasa ini berulang kali.

22
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…,56-58.
17

Ketika kita membaca sebuah Hadits, yang muncul pertama

dipikirannkita setelahhtidak ada kata-kata sulitt adalah, kalimattini

berisi kkiasan atau ttidak. Tergesa-gesalahh oranggberkata bahwa

kalimattyanggterkandung dalammHadits itu bertentangan ddengan

kenyataan, atau tidakkmasuk akal hanyaakarena terdapat kkata

kiasan pada Hadis. Seperti Hadis yanggberbunyi “...kketahuilah

bahwassurga itu beradaadi bawahhbayang-bayang pedang?”

Kalimattini tidak bisaatidak, harus ddipahami sebagaikkiasan.

Mustahilbketika surga ituubenar-benar beradaadi bawahbbayang-

bayang pedang, akan tetapi yang dikehendaki dalam Hadis ini, surga

ituudiraih dengan kerjakkeras, kesungguhannserta ketulusansseperti

perjuangannberperang melawannmusuh-musuh Allah.23

2) Mendapatkan Asbabul Wurud

Kalau dalarn Ilmu Tafsir kita mengenal asbabun nuzul,

maka dalam mempelajari Hadis kita mengenal asbabul wurud. Yaitu

hal atau peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadis, sebagai

hubungan kausa. Asbab al-wurud diperlukan untuk mengetahui

hadits yang bermuatan norma hukum, utamanya lagi hukum sosial.

Sebab, hukum bisa berubah karena perubahan atau perbedaan sebab,

situasi dan ‘illat. Asbabul wurud tidak dibutuhkan untuk memahami

Hadis yang bermuatan informasi alam gaib atau akidah karena tema

23
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 58-60.
18

ini tidak terpengaruh olehssituasi apapun. Sebuah Hadits yang tidak

ada lafadz sukarbberbunyi

‫ليس من الرب الصوم ىف السفر‬

“Tidak baiklahbberpuasa bagioorangbbepergian. ”

Tanpammengetahui sebabbtimbulnya Hadis ini makaaia

tidak dapatdditerimakkarena bertentanganddengan ayat Alquran ,

bahwa musafirddan orang sakit sertaoorang “tua” boleh

meninggalkannpuasa Ramadhan. Tetapi berpuasaalebih baikkjika

merekaamengetahui.TTegasnya, menurutaayat Alquran, surah al-

Baqarahhayat 185, bagi seorang seorang musafir, puasa itu lebih

baik dari pada ia meninggalkannyasSunatan. dalam Hadits tersebut,

bagi musafirllebih baik tidak berpuasa Itu namanya saling

bertentangan. Hadis itu muncul jika dalam suatu perjalanan di terik

padang mahsar, ada seorang shahabat merasa kepayahan

menjalankan puasa Ramadhan. Ketika orang berpuasa itu supaya

lapar, tampaknya benar; tetapi perintah puasa tidak bertujuan agar

orang merasa kelaparan. Menyaksikan orang kelaparan dan

kehausan ini Rasulullah Saw. memberi solusi, “tidak baik orang

bepergian melaksanakan puasa.” Dengan mengetahui sabab/ wurud

Hadis kita tidak mengatakan bahwa Hadis ini bertentangan

dengannayat Alquran, justru kita bisaamengambil sikap, kapan


19

seharusnyammenerapkan ayat Alquran, dan kapanppula kita

menerapkannHadis Nabi ini.

Sabab wurud Hadisssering kali dimuatddalam Hadis itu

sendiri ketikaaperiwayat menuturkan sebuahpperistiwa secarauutuh.

Akan tetapi terkadanggperiwayat hanya mengutipppotongan Hadis

tertentu karena ia hanyaaberkepentingan terhadappotongan Hadis

tersebut untuk dijadikanddalil dalam kasus tertentu pula. Dalam

tradisipperiwayatan Hadis, sebuah matanddiriwayatkanooleh

perawi berulang-ulanggkarena diriwayatkan melaluibbeberapa

jalur. Semakin banyakkjalur (utamanya sejak generasi shahabat)

maka semakinnterlihat bahwa materi Hadis ituppopuler (mendekati

mutawatir). Salah satu jalurddicantumkan sabab wurudnya (kalau

memang ada), scmentara jalur lain tidak disebutkan. Di sini perlu

kita sadari bahwa tidak semua Hadis dapat ditemukan sabab

Wurudnya, seperti halnya tidak semuaaayat Alquran dapat kita

temukan sababnnuzulnya. Dalam hal ini kita tidak bisa

memaksakan.

Menurut penulis buku ini, teori sababulwwurud perlu

dikembangkan dalammlangka mengetahui kontek sosialbbudaya,

biasa disebut settingssosial ketika Hadis itummuncul. Pemahaman

fiqh menegaskanbbahwa kaum pria yang melaksanakan

ibadahhhaji, ketika melaksanakan thawaf disunnatkan dengannlari-

lari kecil karenaddalam Hadis disebutkan bahwa Rasulullah


20

melaksanakannya seperti itu. Sekiranya kita mengkaji lebih jauh

mengapa hal itu dilakukan, niscaya kesimpulannyabbisa lain. Ketika

itu orangqQuraisy kafir mnemberi komentar bahwaoorang Islam itu

lamban dannloyo. Thawaf punddilakukan dengan susahppayah.

Mendengar komentar itu Rasulullah dengan parasshahabat

menunjukkan ketegarannfisiknya, thawafddengan lari-lari kecil.

Begitu juga dengan sa’i Shafa Marwah, diriwayatkan Rasulullah

naik onta. Pertanyaannya, apakahssa’i mengendarai onta termasuk

sunnah Rasul karena beliau melakukannaya? Alangkahhrepotnya

bila ituudilakukan. Dan, jumlah onta tidak mencukupi bagi jemaah

haji.

Para ulamaUUshul Fiqh, karena merasabbertanggung jawab

dalam kepastianhhukum, mengadakan penelitianmmendalam untuk

merumuskannjenis-jenis nash, baik darissisi kata-kata maupun

kalimat. Mereka mencari mana nas yangqqath’i dan mana yang

dhanni pemahamannya. Nas yang pemahamannya hanyassatu, tidak

ada kemungkinan lain disebut qath’i, sementara yang

pemahamannya ada ragamkkemungkinan disebutZzhanni. Akhirnya

mereka sampaippada temuan bahwannas-nas agama itu adayyang

“jelas” (wadhih) dan adayyang “tidak jelas” (ghairwwadhih). Ini

tidak hitam-putih, tetapi ada kadar yang berjenjang. Nas yang

wadhih terbagimmenjadi zhahir; nash, mufassar, dannmuhkam.

Adapun nas yang ghair wadhih terbagi menjadikkhafi, musykil,


21

mujmal,mmutasyabih,ddan nas-nas yang perlu ditakwil. Rumusan

semacam ini diperoleh melalui proses yang sangat melelahkan.

Asbabul wurud memberi kontribusi besar dalam hal ini. 24

2. Penalarann Induktif.

Cara ini biasa digunakan sebagai salah satu pisau analisis ilmiah.

Ia menempatkan teks, dalam hal ini Hadis, sebagai data/empiri yang

dibentang bersama teks-teks lain agar “berbicara sendiri-sendiri”

selanjutnya ditarik kesimpulan. Dalam ijtihad Ushul Fiqh kita mengenal

ijtihad istiqra‘I seperti yang dipopulerkan oleh as-Syathibi. Dalam

penafsiran Alquran kita mengenal Tafsir Maudhu’i seperti yang

dipopulerkan oleh al-Farmawi. Yaitu, untuk memahami sebuah ayat

Alquran kita perlu mendatangkan ayat-ayat Alquran yang berbicara

tentanggsebuah temaddari ayat yang 4 sedang kita cermati. Cara ini dapat

mengantar kita untuk mendapatkan validitas. Bisa jadi sampai kepada

kesimpulan, temyata Hadis yang dicermati tidakvvalid, kemudian

ditinggalkan. Bila kesimpulannya Hadis ituvvalid, ia dijadikan teoriuuntuk

dikembangkan. Terhadap ayat Alquran tidak mungkinkkita sampai kepada

kesimpulanbbahwa ayat itu tidak valid, karena semuaaayat Alquran itu

qath ’iyyul wurud. Perlu dicatat di sini bahwa tidak semua Hadis harus

dipahami dengan cara ini, seperti terhadap Hadis-hadis yang muatannya

24
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 62-64.
22

tidak rumit dan praktis. Penalaran induktif diperlukan terhadap Hadis-

hadis yang bermuatan konsep atau rumit.

a. Menghadapkan Hadis dengan Alquran dan dengan Hadits Secara

Integrated.

Sebagaimana seringgdisebutkan bahwa Hadissitu catatan

tentanggkehidupan Rasulullah, maka teoribbesarnya, Hadis berfungsi

menjelaskan atau menjadiccontoh bagaimana melaksanakannajaran

Alquran . Kalau Alquran itu bersifatkkonsep, maka Hadis lebihbbersifat

operasional dan praktis. Sering kali Hadis itubberupa reaksisspontan.

Ada kalanyaajawaban atasppertanyaan shahabat,tteguran,ppetunjuk

dan contohpprilaku ibadahttertentu. Itu semua mengesankanbbahwa

Hadissitu “parsial”, dalamaarti, informasinyaaterlepas dari idebbesar

Alquran. Karena itu ketika kita raguuterhadap sebuah Hadis makakkita

boleh bersikapbbahwa kalau memang ia benarddari Rasulullah Saw.,

tidak akanbbertentangan dengan kandungannAlquran . Hadis yang

sedang dicermatipperlu didudukan sebagai menjelaskannajaran

Alquran dalam surat apaadan ayat yanggmana. Perlu didudukkanppula,

apakah Hadis tersebutmmenjelaskan isuupenting Alquran atau tidak.

Antara lain sebuahHHadis tentang perintah patuh kepada pemimpin.

‫ومن‬
‫ م‬،‫اَّللم‬
‫اع ه‬ ‫اع ِِن ف مق ْد أطم م‬
‫عن اب هريرة رضي هللا عنه أن رسول هللا صلعم قال ممن أطم م‬

ِ ‫صى ِأم ِريي ف مق ْد مع‬


‫صان‬ ‫ومن مع م‬
ِ
‫أطاع أم ِريي ف مق ْد م‬
‫ م‬،‫أطاع ِِن‬ ‫ومن م‬‫اَّللم م‬
‫صى ه‬ ‫ص ِان ف مق ْد مع م‬
‫مع م‬
23

(Baranggsiapa taatkkepadaku maka iaataat kepada Allah,

barangasiapa durhakakkepadaku ia durhakakkepada Allah. Barang

siapaataat kepadaaamirku makaaia taatkkepadaku. Baranggsiapa

durhakaakepada amirkummaka ia durhakaakepadaku).

Hadisslain menyebutkan:

‫اعةُ معلمى امل ْرِء‬


‫م‬ ‫ ال هس ْم ُع موالطه‬:‫مع ْن معْب ِد هللا بن عُمر مر ِضي هللا معْن ُه مما معن النهيب صلعم قال‬
‫م‬
‫م‬
ٍِ ِ ِ ٍِ ِ ِ ِ
‫ فمإِذما أُممر ِبمْعصيمة فمَلم َسمْ مع موالم طم م‬،‫ مما مَلْ يُ ْؤمم ْر ِبمْعصيمة‬،‫ب مومك ِرهم‬
‫اعةم‬ ‫مح ه‬ ‫املُ ْسل ِم ف م‬
‫يما أ م‬

Hadis tersebut mengandung perintah taat kepada pemimpin

masyarakat (ulul amri) yang berada dalam sistem masyarakat

Rasulullah. Perintah sang pemimpin, baik itu memberatkan atau

menyenangkan supaya dipatuhi, kecuali perintah menuju maksiat.

Hadis ini dapat kita hadapkan dengan ayat Alquran , “Taatlah kamu

kepada Allah dan Rasulnya, begitu pula kepada Ulil Amri darimu.”

Dengan demikian, dari segi matan, Hadis ini dapat diperkirakan

menjelaskan ayat tersebut, setidaknya sejalan dengan pesan Alquran.

Tentu, peluang mendiskusikan tentang siapa yang dimaksudkan dengan

ulul amri masih ada. Dewasaaini kita tidakmmengenal lembaga Ulil

Amri. Yang ada lembaga legislatif atau eksekutif. Dulu, Ulil Amri

yanggdipahami adalah paraapemegang kekuasaan, diambil dari

artihharfiahnya, “pemilik perinta”. Secaraahermeneutik, pemegang

kekuasaannyang ada sekarang agaknya dapatddimasukkan dalam ulil


24

amr. KarenaHHadis ini tidak mutawatir, maka berpeluanguuntuk

dicurigai sebagaiHHadis rekayasa paraapenguasa. Agarppenguasa

tidak tergoyahkannoleh pembangkanganddan pemberontakan,

diperlukannHadis-Hadis yangmmelegitimasi kedudukannya. Tetapi

harussdiingat bahwaHHadis ini tidak berdirissendiri, tetapi

“mendampingi” ayat Alquran yanggmemerintahkan taatkkepada Allah,

Rasulullah dannulil amri. 25

b. Menghadapkan Hadis Dengan Ilmu Pengetahuan

Tidak semuaHHadis itu bermuatan dogmaaagama, ajaranrritual

ataupun norna-normassosial saja, tetapi adajjuga Hadis yangmmasuk

dalammlorong ilmuppengetahuan. Dimaksud dengan ilmu pengetahuan

dissini bisa saja ilmuaakidah, ilmuuhukum, ilmuufisika, ilmuusejarah,

dan sebagainya. Kitaaambil contoh Hadis yanggmenyebutkan bahwa

sayapplalat itu masing-masingaada racunnya dannpenawarnya. Di

antara redaksinya berbunyi:

،‫احْي ِه َسا‬ ِ ‫الذَبب ِِف إِ مَن ِء أمح ِد ُكم فمام ُقلُوه فمإِ هن ِِف أ‬
‫محد مجنم م‬
‫م‬ ُ ْ ْ ‫م‬ ُ ‫أن النهيب صلعم قال إِذما موقم مع ُّ م‬

ِ ‫ وانهه ي مقدم السم وي ؤ ِخر‬،‫وِِف ْاْلخ ِر ِش مفاء‬


‫الش مفاء‬ ‫ُم‬ ُُ ‫ً م‬ ‫م‬ ‫م‬

Hadissini menyebutkan, bila adaalalat kecemplung keewadah

(berisi air minum) supayaaditenggelamkan karenaasalah satuusayapnya

25
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 64-67.
25

mengandung racun dan sayap satunya lagi mengandung obat

penawarnya. Hadis ini tidak berbicara tentang syari’at agama, tetapi

tentang kehidupan duniawi. Karena itu mengkritisi Hadis semacam ini

tidak terlalu terbebani rasa salah atau dosa. Hadis ini secara mudah

ditolak karena tidak dapat diterima akal. Dalam pandangan umum, lalat

itu hewan pembawa penyakit yang harus disingkiri, bahkan diberantas.

Betapa banyak orang terserang penyakit karena mengkonsumsi

makanan yang dihinggapi lalat. Bahkan, lalat dikenal sebagai serangga

yang selalu menularkan penyakit perut yang berbahaya dengan cara

hinggap di sana-sini dengan memindahkan bibit penyakit. 26

Dalam buku Al-Ishabah Fi Shihhati Hadis Ad-Dzubabah

karya Khalil Ibrahim Mala Khathir, dinyatakan bahwa ada kelompok

ahli di bidang biologi dari Universitas King Abdul Aziz dan Universitas

Kairo, melakukan penelitian dengan cara mencelupkan seluruh fisik

hewan lalat yang hinggap dalam sebuah tabung berisi air, susu, dan

makanan. Para peneliti tersebut menemukan bahwa pencelupan lalat ke

dalam cairan semisal air, susu, jus, dan makanan lainnya dapat

menurunkan jumlah mikroba dari pada lalat yang hinggap itu dibiarkan

terbang atau langsung dibuang tanpa dicelupkan lebih dahulu seluruh

bagian fisik tubuhnya. Penelitian tersebut menegaskan bahwa

26
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 77-78.
26

pencelupan seluruh fisik tubuh lalat ke dalam benda cair dapat

memunaskan mikroba pembawa penyakit (patogen).27

Sisi inilah hanyalah satu dari sekian banyak mukjizat hadits

Rasulullah. Bahkan, sisi ini saja sebenarnya cukup untuk mematahkan

klaim orang-orang yang meragukan kemurnian hadits Rasulullah.

Kendati demikian, tetap mengakui adanya hadis daif, garib, maudhu,

mudhtarib, syadz, mardud, matruk, mu’allal, munkar, dan hadis-hadis

lain yang tidak layak dianggap dari Rasulullah.28

3. Penalaran Deduktif

Di samping penalaranniinduktif, penalarann deduktiff sering

diaplikasikan untuk memahami Hadits Rasulullah. Ada satu Hadis

berbunyi:

‫اَّللُ معلمْي ِه مو مسله مم‬


‫صلهى ه‬ ِ‫ول ه‬ ٍ ِ‫عن أمنمس بن مال‬
‫ك مر ِض مي ه‬
‫اَّلل م‬ ‫اَّللُ معْنهُ قال َسعت رسول هللا مر ُس م‬ ‫ُ ُْ م‬

‫ص ْل مرِْحمه‬
ِ ‫ط لمه ِِف ِرْزقِ ِه وي ْنسأم لمه ِِف أمثمِرِه فم ْلي‬
‫م‬ ُ ‫مُ م‬ ُ ‫ب أم ْن يُْب مس م‬
‫مح ه‬
‫ « مم ْن أ م‬:‫ال‬
‫قم م‬

Menurut Hadits diatas, menyambung silaturahmi bisa

melapangkan dan memperbanyak rizqi juga memperpanjang umur

seseorang. Dapat diuraikan Secara deduktif bahwa orang yang suka

menyambung silaturahmi tersebut memperbanyak teman dan saudara juga

27
Zaghlul al-Najjar, Al-I’jaz al-‘Ilmi fii as-Sunnah an- Nabawiyah,Terj. Yodi Indrayadi & Tim
Penerjemah Zaman (Jakarta: Zaman, 2013), 386.
28
Ibid., 34.
27

mempersedikit musuh. Beban psikis lebih ringan dibandingkan dengan

seseorang yang di manamana mempunyai musuh. Mempunyai banyak

teman juga lebih termudahkan lancar arus komunikasi dan informasi serta

tumbuhnya rasa saling percaya. Lumrahnya, masalah rizqi berhubungan

dengan kurang lancarnya arus komunikasi dan informasi. Maka visa

dikatakan bahwa mempunyai banyak teman dari hasil silatur rahmi

melapangkan dan memperlancar rizqi. Pensyarah Hadits tempo dulu sering

dilakukan dalam penalaran ini. 29

4. Hermeneutika: Wacana Pendekatan

Belakangan dikembangkan di dunia akademik apa yang disebut

Hermeneutika. Hermeneutika dalam definisi yang paling awal dirujukkan

terhadap dewa Yunani Kuno yang bernama Hermes, dimana bertugas

menyampaikan sebuah berita dari Kayangan ke manusia. Menurut Hossein

Nasr, sebagaimana dikutip Komarudin Hidayat, Hermes tiada lain Nabi

Idris. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam bahasa Yunani dikenal

Hermeneuein yang berarti upaya mengintrepetasi atau menjelaskan serta

menelusuri makna dasar kalimat yang tidak jelas, kabur dan kontradiktif

bagi pembaca. Kalau itu arti hermeneutika, di dalam tradisi Islam ada

istilah Tafsir untuk Alquran dan syarh untuk al-Hadits. Tentu, karena

berangkat dari latar belakang yang tidak sama, di sana-sini ada tata kerja

yang tidak sama. 30

29
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 83.
30
Ibid., 84.
28

Hermeneutika adalah salah satu metodologi dalam

menginterpretasi simbol, baik berupa text maupun metatext. hermeneutik

dalam intinya yakni “memahami” (verstegen/ to understand). Oleh

sebabnya, hermeneutika ini memerlukan seperangkat pendekatan dan

metode lain seperti linguistik, fenomenologi, teologi, filologi, sosiologi,

filsafat, antropologi, psikologi, semantik, analisis wacana, dan sebagainya.

Jadi hermeunitika ini tidak bisa berdiri sendiri.31 Dikorelasikan dengan

studi hadis, hermenutika ini adalah “alat bantu” (bukan pengganti) untuk

mempertajam intrepetasi. Sehingga, studi-studi hadits yang diandalkan

sekarang, akan lebih nyata keefektivitasannya apabila dilengkapi dengan

pendekatan hermeneutik ini yang mengkaji bukan hanya teks, tetapi juga

penggagas (Nabi Muhammad Saw.), Pembaca (rijalul hadits, mukharrijul

hadits, serta mufassir) dan kontekstualitasnya.32 Yusuf Qardhawi juga

mempunyai tawaran memehami hadits dengan metode hermeunetiknya.

Dalam metodenya beliau lebih menekankan pemahaman hadits pada

maqashid syariah dan memperhatikan asbabul wurud hadits serta berusaha

mendapatkan signifikansi kontekstualnya. Upaya dalam pemahaman

hadits, pola fikir beliau telah terkonstruksi sedemikian rupa, sehingga

untuk memahami hadits selalu memperhatikan sisi internal dari hadis

tanpa melupakan menggunakan pendekatan eksternal. Disinilah titik temu

31
Hauqola, “Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks”, Teologia, Vol. 24, No. 1,
(Januari-Juni, 2013).
32
Hasan Su’aidi, “Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail”, Religia, Vol. 20, No.1 (2017), 47.
‫‪29‬‬

‫‪antara tujuan pemahaman hermeneutika dengan pehamahan hadits Yusuf‬‬

‫‪Qardhawi. 33‬‬

‫‪F. Contoh Aplikasif Metodologis.‬‬

‫‪Pada Bab IV, berisi tentang kritik sanad dan matan hadis-hadis‬‬

‫‪futuristik, diantaranya ada hadits tentang prilaku Nabi Isa menghadapi Salib,‬‬

‫‪jizyah dan celeng. Hadis tema ini diriwayatkan beberapa ulama besar, seperti‬‬

‫‪Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, at-Turmudzi, Abu Daud.‬‬

‫‪Imam Bukhari meriwayatkan‬‬

‫ب أمنههُ مَِس مع أ ممَب ُهمريْ مرمة مر ِض مي‬ ‫ث‪ ،‬مع ِن ابْ ِن ِش مه ٍ‬ ‫ٍ‬
‫اب‪ ،‬مع ِن ابْ ِن املسيِ ِ‬
‫ُم‬ ‫محدهثمنما قُتم ْي بمةُ بْ ُن مسعِيد‪ ،‬محدهثمنما اللهْي ُ‬
‫وش مك هن أم ْن يمْن ِزمل‬ ‫اَّللِ صلهى هللا علمي ِه وسلهم‪« :‬واله ِذي نم ْف ِسي بِي ِدهِ‪ ،‬لمي ِ‬
‫م ُ‬ ‫ول ه م ُ م ْ م م م م‬ ‫ال مر ُس ُ‬
‫ول‪ :‬قم م‬
‫اَّللُ معْنهُ‪ ،‬يم ُق ُ‬ ‫ه‬
‫يض املا ُل مح هَّت‬ ‫م‬ ‫ض مع اجلِْزيمةم‪ ،‬مويمِف‬ ‫ِ‬
‫يب‪ ،‬مويم ْقتُ مل اْلْن ِز مير‪ ،‬مويم م‬
‫م‬
‫صلِ‬ ‫فِي ُكم ابن مرمَي ح مكما م ْق ِسطًا‪ ،‬فميك ِ‬
‫ْسمر ال ه‬ ‫م‬ ‫ْ ْ ُ مْ م م ً ُ‬
‫م‬
‫محد»‬ ‫الم يم ْقبم لمهُ أ م‬
‫‪Imam Muslim meriwayatkan‬‬
‫ث‪ ،‬مع ِن ابْ ِن ِش مه ٍ‬ ‫ٍِ‬
‫اب‪،‬‬ ‫مخ مربممَن اللهْي ُ‬
‫محدهثمنما قُتم ْي بمةُ بْ ُن مسعيد‪ ،‬محدهثمنما لمْيث‪ ،‬ح‪ ،‬مو محدهثمنما ُُمم هم ُد بْ ُن ُرْم ٍح‪ ،‬أ ْ‬
‫«واله ِذي نم ْف ِسي‬ ‫ِ‬
‫صلهى هللاُ معلمْيه مو مسله مم‪ :‬م‬
‫ال رس ُ ِ‬
‫ول هللا م‬ ‫ول‪ :‬قم م م ُ‬ ‫ب‪ ،‬أمنههُ مَِس مع أ ممَب ُهمريْ مرةم‪ ،‬يم ُق ُ‬ ‫مع ِن ابْ ِن الْمسيِ ِ‬
‫ُم‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِِ ِ‬
‫يب‪،‬‬
‫صل م‬ ‫صلهى هللاُ معلمْيه مو مسله مم مح مك ًما ُم ْقسطًا‪ ،‬فميمكْسمر ال ه‬ ‫بِيمده‪ ،‬لميُوش مك هن أم ْن يمْن ِزمل في ُك ْم ابْ ُن مم ْرمَيم م‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫محد»‬‫ال مح هَّت مال يم ْقبم لمهُ أ م‬ ‫يض الْ مم ُ‬
‫ض مع ا ْجل ْزيمةم‪ ،‬مويمف ُ‬ ‫مويم ْقتُ مل ا ْْلْن ِز مير‪ ،‬مويم م‬
‫‪Imam at-Turmudzi meriwayatkan‬‬

‫يد بْ ِن املسيِ ِ‬ ‫اب‪ ،‬عن سعِ ِ‬ ‫ث بْن س ْع ٍد‪ ،‬معن ابْ ِن ِش مه ٍ‬


‫ب‪ ،‬مع ْن أِمِب‬ ‫ُم‬ ‫مْ م‬ ‫ْ‬ ‫ال‪ :‬محدهثمنما اللهْي ُ ُ م‬‫محدهثمنما قُتم ْي بمةُ قم م‬
‫وش مك هن أم ْن يمْن ِزمل فِي ُك ْم ابْ ُن‬
‫ال‪« :‬واله ِذي نم ْف ِسي بِي ِد ِه لمي ِ‬
‫م ُ‬
‫اَّللِ صلهى ه ِ‬
‫اَّللُ معلمْيه مو مسله مم قم م م‬ ‫ول ه م‬ ‫ُهمريْ مرةم‪ ،‬أم هن مر ُس م‬
‫ال مح هَّت مال يم ْقبم لمهُ‬‫يض امل ُ‬ ‫ُ‬ ‫ض ُع اجلِْزيمةم‪ ،‬مويمِف‬ ‫ِ‬
‫يب‪ ،‬مويم ْقتُ ُل اْلْن ِز مير‪ ،‬مويم م‬
‫م‬
‫صلِ‬ ‫مرمَي ح مكما م ْق ِسطًا‪ ،‬فميك ِ‬
‫ْس ُر ال ه‬ ‫م‬ ‫مْ م م ً ُ‬
‫م‬
‫محد»‬ ‫أم‬
‫‪Abu Daud meriwayatkan‬‬

‫‪Siti Fahimah, “Hermeneutika Hadis: Tinjauan Pemikiran Yusuf Al-Qordhowi dalam Memahami‬‬
‫‪33‬‬

‫‪Hadis”, Refleksi, Vol 16, No. 1 (April, 2017), 84-84.‬‬


30

ِ ٍِ
‫ مع ْن معْبد الهر ْْحم ِن بْ ِن م‬،‫ مع ْن قمتم مادةم‬،‫ محدهثمنما مَهه ُام بْ ُن مَْي مَي‬،‫محدهثمنما ُه ْدبمةُ بْ ُن مخالد‬
،‫ مع ْن أِمِب ُهمريْ مرةم‬،‫آد مم‬
‫ فمإِذما‬،‫ موإِنههُ مَن ِزل‬- ‫يسى‬ ِ ‫صلهى هللاُ معلمْي ِه مو مسله مم قم م‬
‫ يم ْع ِِن ع م‬- ‫يب‬ ٌّ ِ‫س بمْي ِِن موبمْي نمهُ نم‬‫ " لمْي م‬:‫ال‬ ‫هيب م‬‫أم هن النِ ه‬
ِ
ُ‫ موإِ ْن مَلْ يُصْبه‬،‫ مكأم هن مرأْ مسهُ يم ْقطُُر‬،‫ني‬ ِ ْ ‫صرتم‬
‫ني ُم ه م‬ ‫ بمْ م‬،‫اض‬ ِ ‫ مر ُجل مم ْربُوع إِ مل ا ْْلُ ْممرِة موالْبم يم‬:ُ‫اع ِرفُوه‬ْ ‫مرأميْتُ ُموهُ فم‬
ِ ِ ‫ فمي ُد ُّق ال ه‬،‫اْلس مَلِم‬
‫اَّللُ ِِف‬
‫ك ه‬ ُ ‫ مويُ ْهل‬،‫ض ُع ا ْجلِْزيمةم‬ ِ
‫ مويم م‬،‫ مويم ْقتُ ُل ا ْْلنْ ِز مير‬،‫يب‬ ‫صل م‬ ‫م‬ ْ ِْ ‫هاس معلمى‬
ِ
‫ فميُ مقات ُل الن م‬،‫بململ‬
ِ ِ ‫ث ِِف ْاْلمر‬ ِ ُ ِ‫ وي هل‬،‫اْلس مَلم‬ ِ ِِ
‫ ُثُه‬،ً‫ني مسنمة‬ ‫ض أ ْمربمع م‬ ْ ُ ‫ فميم ْم ُك‬،‫ال‬ ‫يح ال هد هج م‬ ‫ك الْ ممس م‬ ْ ُ ‫مزممانه الْملم مل ُكله مها إِهال ِْ ْ م م‬
"‫صلِي معلمْي ِه الْ ُم ْسلِ ُمو من‬‫يُتم مو هىف فميُ م‬
Ibnu Majah meriwayatkan

ِ ِ‫ عن سع‬،‫الزه ِر ِي‬
ِ ِ‫يد بْ ِن الْمسي‬ ‫محدهثمنما أمبُو بم ْك ِر بْ ُن أِمِب مشْي بمةم قم م‬
،‫ب‬ ‫ُم‬ ‫ مع ِن ُّ ْ م ْ م‬،‫ محدهثمنما ُس ْفيما ُن بْ ُن عُيم ْي نمةم‬:‫ال‬
ِ ِ ‫ قم م‬،‫صلهى هللاُ معلمْي ِه مو مسله مم‬ ِ ِ‫ مع ِن الن‬،‫مع ْن أِمِب ُهمريْ مرةم‬
‫يسى ابْ ُن مم ْرمَيم‬
‫اعةُ مح هَّت يمنْزمل ع م‬ ‫وم ال هس م‬ ُ ‫«ال تم ُق‬‫ م‬:‫ال‬ ‫هيب م‬
ِ ِ ِ ِ ‫ْسر ال ه‬ ِ ِ ِ
‫ال‬
ُ ‫يض الْ مم‬ ‫ مويم م‬،‫ مويم ْقتُ ُل ا ْْلنْ ِز مير‬،‫يب‬
ُ ‫ مويمف‬،‫ض ُع ا ْجل ْزيمةم‬ ‫صل م‬ ُ ‫ فميمك‬،‫ موإ مم ًاما مع ْدًال‬،‫مح مك ًما ُم ْقسطًا‬
»‫محد‬
‫مح هَّت مال يم ْقبم لمهُ أ م‬
Hadis-hadis di atas dengan redaksi yang berdekatan, mengandung informasi

penting bahwa kedatangan Nabi Isa ibn Maryam itu sudah dekat. Ia datang

sebelum Hari Kiamat menjadi pembawa keadilan, memecah salib, membunuh

celeng, dan membebaskan pajak Ketika itu keadaan makmur di gambarkan

dengan tidak diperlukan penarikan pajak dan harta melimpah sehingga tidak

seorang pun mau menerima sedekah. Dalam riwayat Abu Daud ada redaksi

“ketika itu Allah akan menghancurkan semua agama kecuali Islam dan Nabi

Isa akan menghancurkan Dajjal. Ia tinggal di bumi selama 40 tahun.” Yang

selalu menjadi persoalan adalah, Hadis yang melalui satu jalur shahabat (Abu

Hurairah) itu setelah sampai pada tingkat imam-imam Hadis, redaksinya

menjadi beragam. Bahkan, ada kalimat pada seorang periwayat (Abu Daud)

yang tidak terdapat pada periwayat lain. Perbedaan redaksi menurut ulama

Hadis menggambarkan bahwa Hadis-hadis ini riwayat bil ma’na. Dari Hadis di

atas dapat dibuat bagan sanad sebagai berikut:


31

Dari sanad hadis-hadis itu dapat diketahui bahwa Hadis Nabi itu

melalui seorang shahabat (Abu Hurairah). Dengan demikian Hadis ini

termasuk kategori ahad. Kemudian, Hadis ini diriwayatkan kepada dua orang,

seterusnya, diriwayatkan oleh lima imam ahli Hadis. Dilihat dari segi

persambungan sanad, berdasarkan informasi rijal di masing-masing Hadis

sesuai dengan nomor dan periwayatnya, diketahui bahwa semua sanad dari

semua jalur (Ibn Majah, al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, Abu Daud)

bersambung sampai dengan Nabi. Dari segi kualitas sanad dapat dilaporkan

sebagai berikut. Pada jalur Abu Daud para tokohnya terpercaya.

Hanya, terdapat tokoh bernama Abdur Rahman bin Adam yang

berpredikat shaduq, dan bernama Hammam bin Yahya yang dikenal ‫ثقة وربما‬

‫( وهم‬cermat tetapi terkadang diragukan). Karena itu Hadis jalur Abu Daud ini

Hadisnya hasan. Pada jalur Ibn Majah, semua tokohnya terpercaya, tidak cacat.

Hanya, Sufyan bin Uyainah dikenal ‫ثقة حافظ تغير حفظه بأخره وربما دلس عن الثقات‬

Bagi ulama yang “ketat” Hadis dengan sanad semacam ini dimasukkan hasan.

Adapun Hadis melalui jalur al-Bukhari, Muslim dan al-Tunnudzi, semua

tokohnya terpercaya, tidak cacat. Dengan demikian, Hadis melalui tiga jalur

yang disebut terakhir ini berpredikat shahih. Sebagaimana disebut dalam ilmu

Hadis, bila sebuah Hadis diriwayatkan melalui banyak jalur, di jalur tertentu

nilai Hadisnya shahih dan di jalur lain nilainya hasan, maka kesahihannya tidak

terganggu, sebaliknya, yang nilainya kurang baik dapat terangkat oleh yang

lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa pada jalur Abu Daud terdapat

“tambahan redaksi” yang berbunyi ‫ َويُ ْه ِلكُ ْال َمسِي َح‬،‫اْلس ََْل َم‬
ِ ْ ‫َّللاُ فِي زَ َما ِن ِه ْالمِ لَ َل ُكله َها ِإ هَّل‬
‫َويُ ْه ِلكُ ه‬
32

َ َ‫ض أ َ ْربَعِين‬
‫سنَة‬ ِ ‫ث فِي ْاْل َ ْر‬
ُ ‫ فَيَ ْم ُك‬،َ‫“( الدهجهال‬ketika itu Allah akan menghancurkan semua

agama kecuali Islam dan Nabi Isa akan menghancurkan Dajjal. Ia tinggal di

bumi selama 40 tahun.”) Maka informasi ini nilainya tetap tidak shahih karena

tidak didukung oleh periwayatan jalur lain. 34

Perbedaan redaksi menurut ulama hadis menggambar bahwa hadis-

hadis ini riwayat bil ma’na hadits prediktif ini mengaitkan antara berbagai

peristiwa dengan datangnya hari kiamat. Adalah naluri manusia tidak mau

terjerumus dalam neraka. Maka dampak hadis ini memberi motivasi psikologis

orang beramal untuk persiapan kebahagiaan akhirat dan menghalangi orang

berbuat berbuat dosa. Ketika hadis ini dipahami apa adanya, ada beberapa

kesulitan. Misalnya, Nabi Isa yang turun dengan tugas memecah salib dan

membunuh celeng diimajinasikan sebagai sosok yang berkeringat, kesana ke

mari dengan membawa palu godam dan senjata parang. Ini semua sulit diterima

akal. Karenanya. Analisis bahwa agama sering menggunakan bahasa simbol

sangat membantu memahami hadis-hadis seperti ini. Untuk memahami pesan

yang disini, pendekatan heremeneutik sangat diperlukan. Dengan ini sebuah

hadis dhaif, misalnya, tidak langsung dibuang, tetapi dapat dijadikan data

penelitian, setara dengan hadis shahih karena masih berada dalam lingkup

sebuah pembicaraan. 35

34
Muh.zZuhri, TelaahhMatan…, 117-120.
35
Ibid., 152-153.
33

G. Apresiasi dan Kritik Reviewer

Memperhatikan berbagai tawaran metodolis pendekatan untuk

memahami dan melakukan kritik terhadap Hadis, buku ini rasanya penting

untuk dibaca dan hadir menjadi methodological breakthrough dalam kajian-

kajian tentang Islam terutama dalam kritik terhadap hadis. Sebagaimana yang

dibahas di buku tersebut, berbagai pendekatan untuk memahami dan

melakukan kritik terhadap hadis yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Muh. Zuhri

yang antara lain: Pendekatan kebahasaan, pendekatan induktif dan pendekatan

deduktif serta hermeneutika sebagai wacana pendekatan. Meski demikian,

buku ini masih kurangnya contoh kritik Hadis secara detail dari masing-masing

pendekatan tersebut dan tidak ada contohnya dari hermeneutika meskipun itu

wacana pendekatan dalam buku ini.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ahmad, Muhammad. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.


Al-Maliki, Muhammad Alawi. Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi
Al-Syariifi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Najjar, Zaghlul Al-I’jaz al-‘Ilmi fi al-Sunnah al- Nabawiyah,Terj. Yodi
Indrayadi & Tim Penerjemah Zaman. Jakarta: Zaman, 2013.
Bustamin & M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
Djuned, Daniel. Ilmu Hadis. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.
Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.
Khon, Abdul Majid. Pemikiran dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis. Jakarta:
Kencana, 2011.
Noorhidayati, Salamah. Kritik Teks Hadis. Yogyakarta: Teras, 2009.
Sumbulah, Umi. Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN
Malang Press, 2008.
Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta:
Lesfi, 2003.

B. Jurnal

Afrizal, Lalu Heri “Selisik atas Metodologi Kritik Matan Ulama Hadis”,
Kalimah, Vol. 14, No. 2. September, 2016.
Fahimah, Siti “Hermeneutika Hadis: Tinjauan Pemikiran Yusuf Al-Qordhowi
dalam Memahami Hadis”, Refleksi, Vol 16, No. 1. April, 2017.
Hauqola, “Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks”, Teologia,
Vol. 24, No. 1. Januari-Juni, 2013.
Nadhiran, Hedhri “Periwayatan Hadis Bil Makna Implikasi Dan Penerapannya
Sebagai Uji Kritik Matan di Era Modern”, Jurnal Ilmu Agama UIN
Raden Fatah, Vol. 14, No.2. 2013.
Su’aidi, Hasan. “Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail”, Religia, Vol. 20, No.1.
2017.
Subhan, “Hadis Kontekstual: Studi Kritik Matan Hadis”, Mazahib, Vol. 10,
No. 2. Desember, 2012.
Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad Dan Matan Dalam Studi Hadis”, Esensia,
Vol. 16, No. 2. Oktober, 2015.

C. Internet

http://iainsalatiga.ac.id/web/about/staff/guru-besar/

Anda mungkin juga menyukai