Referat Traumatik Amputasi
Referat Traumatik Amputasi
TRAUMATIK AMPUTASI
Disusun oleh:
Janecia Valeska
00000002274
Pembimbing:
JAKARTA
DAFTAR ISI
BAB I .............................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 3
BAB II............................................................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................. 4
2.1. Definisi ............................................................................................................................. 4
2.2. Epidemiologi .................................................................................................................... 4
Tabel 1. Penyebab Traumatik Amputasi, dari kelompok usia7 ............................................... 6
2.3. Patofisiologi ..................................................................................................................... 6
2.4. Tatalaksana ....................................................................................................................... 9
2.4.1. Sebelum masuk rumah sakit ..................................................................................... 9
2.4.2. Tatalaksana di Rumah Sakit.................................................................................... 11
Tabel 2. Faktor-faktor yang dipertimbangkan untuk replantasi................................... 13
Amputasi Jari ............................................................................................................................ 14
Teknik Rekonstruksi Flap ..................................................................................................... 17
Amputasi Ekstrimitas Bawah .................................................................................................... 21
Amputasi Ekstrimitas Atas ....................................................................................................... 22
Komplikasi ................................................................................................................................ 23
Konsekuensi Traumatik Amputasi ............................................................................................ 23
BAB III ......................................................................................................................................... 25
KESIMPULAN ............................................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 26
2
BAB I
PENDAHULUAN
Traumatik amputasi adalah luka konflik yang sangat mengganggu secara emosional,
seperti yang sering ditayangkan di film-film untuk mengilustrasikan perang. Pada dua dekade
terakhir, kesadaran akan traumatik amputasi meningkat karena prevalensi veteran-veteran yang
hidup dengan amputasi. Traumatik amputasi tetap menjadi luka yang sering terjadi, khususnya
setelah adanya ledakan. Seringkali amputasi juga diperlukan untuk luka-luka yang tidak dapat
diselamatkan atau untuk menyelamatkan hidup orang tersebut. Banyak komplikasi yang dapat
terjadi apabila terjadinya amputasi, seperti perdarahan, syok dan infeksi.
Mayoritas penyebab amputasi adalah karena hal-hal yang tidak traumatik, contohnya
seperti diabetes, penyakit arteri perifer, dan kanker. Tetapi hampir setengah penyebab dari
kehilangan tungkai di Amerika adalah akibat amputasi.1 Traumatik amputasi berhubungan
dengan jumlah morbiditas dan mortalitas yang signifikan, hampir sebanyak 15%.2 Amputasi
yang paling sering terjadi adalah pada jari-jari, yaitu sebanyak 69%, dan amputasi pada lengan
atas bagian proksimal sebanyak 9%.3 Kebanyakan kasus amputasi ditangani oleh tenaga medis
yang bukan spesialis, sebelum dirujuk ke unit bedah. Pengalaman militer mendemonstrasikan
bahwa tatalaksana dan stabilisasi yang cepat pada pasien dengan traumatik amputasi akan
mempengaruhi keselamatan pasien. Karena itu, penanganan yang baik pada traumatik amputasi
memerlukan triase yang cepat dan efisien, dengan kolaborasi tenaga medis kegawatdaruratan dan
spesialis bedah untuk menangani pasien-pasien tersebut dengan efektif.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Trauma merupakan sebuah akibat dari sebuah proses yang berimplikasi terhadap fisik,
mental, ataupun psikologi bagi orang yang mengalami kejadian tersebut. Sedangkan amputasi
adalah sebuah tindakan yang bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan seseorang dari kematian
dengan cara yang menyebabkan cacat menetap pada diri pasien. Trauma dapat mengakibatkan
kerusakan permanen pada pembuluh darah dan dapat mengakibatkan iskemia pada jaringan
sekitarnya inilah yang menjadi pertimbangan untuk dilakukannya tindakan amputasi pada kasus
trauma.
Amputasi berasal dari kata amputare yang kurang lebih diartikan pancung. Amputasi dapat
diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas,
atau dengan kata lain suatu tindakan pembedahan dengan membuang bagian tubuh. Tindakan ini
merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir apabila masalah organ yang
terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain,
atau apabila kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau
merusak organ tubuh yang lain, seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi. Kegiatan
amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen,
sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sistem kardiovaskuler. Lebih lanjut hal ini dapat
menimbulkan masalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan
penurunan produktifitas. Sedangkan traumatik amputasi merupakan amputasi yang terjadi
sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Walaupun traumatik amputasi dapat terjadi pada
bagian tubuh apapun, biasanya artinya adalah kehilangan parsial atau total dari ekstrimitas tubuh.
2.2. Epidemiologi
Walaupun traumatik amputasi hanya terjadi pada 1% dari semua pasien trauma, mereka
berhubungan dengan jumlah morbiditas dan mortalitas yang signifikan, yaitu hampir sebanyak
4
15%.2 Amputasi yang paling sering terjadi adalah pada jari-jari, yaitu sebanyak 69%, dan
amputasi pada lengan atas bagian proksimal sebanyak 9%.3
Di Iraq dan Afganistan, improvised explosive devices (IEDs) merupakan senjata pilihan dan
penyebab kematian militer yang paling sering antara tahun 2008 dan 2011.4 Hal ini
menyebabkan banyak orang-orang yang selamat dengan traumatik amputasi, dan sering kali
amputasi multipel. Mayoritas kejadian ini adalah karena ledakan, dimana gas di bawah tekanan
tinggi diproduksi dengan cepat dari bahan kimia seperti nitrogliserin atau bubuk mesiu.
Mekanisme terjadinya traumatik amputasi tidak pasti, tetapi kemungkinan tekanan udara dari
ledakan tersebut yang mengavulsi tungkai. Gelombang ledakan awal dapat juga menyebabkan
fraktur.5 Pada sebuah bom bunuh diri yang terjadi di Israel, ditemukan bahwa traumatik amputasi
terjadi sebanyak 41% pada korban jiwa, tetapi hanya 1.3% pada yang selamat.6 Sebuah studi
longitudinal oleh Johnson et al. tentang 251 korban perang yang dirawat di Royal Thai Army
Hospital Bangkok, menemukan bahwa sebanyak 79% cedera ekstrimitas bawah, dan 7% cedera
ekstrimitas atas adalah akibat traumatik amputasi.
Selain dari banyaknya serangan teroris dan kejadian bencana lainnya, amputasi traumatik
pada warga sipil paling sering disebabkan oleh mekanisme tanpa ledakan. Pada orang dewasa,
penyebab traumatik amputasi yang paling sering terjadi adalah trauma tumpul. Hampir setengah
kasus berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas, lalu kecelakaan mesin pabrik, dan mekanisme
lainnya seperti kecelakaan rel kereta.7 Antara 60-80% amputasi adalah pada jari-jari, dan
ekstrimitas bawah adalah lokasi amputasi kedua paling sering.1 Amputasi ekstrimitas bawah
biasanya terjadi pada poros tulang daripada di sendi, dan tempat yang paling sering adalah pada
sepertiga atas dari tibia.8 Amputasi multipel merupakan faktor resiko terjadinya kematian,
dengan angka mortalitas sebesar 23.2%.7
Banyak traumatik amputasi terjadi pada tempat kerja, biasanya terjadi pada pabrik produk-
produk kertas dan kayu, yang sering dialami oleh tukang kayu.9 Kebanyakan amputasi terjadi
saat penggunaan mesin, seperti alat power hand tools, atau akibat ekstrimitas yang terperangkap
di dalam atau antara objek-objek.
5
Tabel 1. Penyebab Traumatik Amputasi, dari kelompok usia7
2.3. Patofisiologi
Mekanisme cedera penting dalam mengevaluasi dan tatalaksana traumatik amputasi. Tipe
mekanisme akan menentukan tingkat kerusakan skeletal, jaringan lunak, vaskular dan saraf,
dengan kemungkinan untuk replantasi. Amputasi guillotine (gambar 1) biasanya terjadi akibat
mesin seperti gergaji, dimana bagian tubuh terputus dari badan. Amputasi ini memiliki batas
sudut yang tegas dengan cedera struktural, maka dari itu ini merupakan tipe amputasi yang
paling mudah untuk replantasi.
Amputasi avulsi terjadi saat jaringan tertarik dan robek, menyebabkan degloving injuries
(gambar 2). Kulit dan jaringan lunaknya dapat terlepas, dan saraf dan suplai vaskularnya dapat
dihancurkan pada tempat yang berbeda dari lokasi pemisahan. Ini akan menurunkan tingkat
kesuksesan penyelamatan tungkai. Contoh yang sering terjadi adalah ring avulsion (gambar 3),
yaitu saat cincin pasien tertarik tiba-tiba oleh suatu objek saat pergerakan yang cepat, seperti
jatuh atau melompat, sehingga ruas jari tertarik dari tempatnya. Tarikan ini dapat menyebabkan
6
terpisahnya bagian jari sehingga menyebabkan amputasi. Crush injuries berhubungan dengan
kerusakan jaringan lunak yang lebih luas, dan bisa terlokalisir atau meluas dari sudut luka,
tergantung pada tenaga cedera. Cedera ini memerlukan debridemen untuk jaringan sehat, dan
memiliki tingkat kesuksesan lebih rendah untuk dilakukan penyambungan kembali.10
Mekanisme yang paling buruk pada traumatik amputasi adalah dari ledakan, yang
menyebabkan cedera kompleks dengan kerusakan struktural global (Gambar 1). Mekanisme
ledakan terjadi dalam 2 langkah. Gas diproduksi secara cepat di bawah tekanan tinggi,
menyebabkan ledakan yang terjadi dengan cepat dari lokasi awal ledakan. Gelombang ledakan
pertama akan terkena tulang terlebih dahulu, menyebabkan fraktur. Lalu angin ledakan
selanjutnya akan menyebabkan produk ledakan dan debris sekitar terkena tungkai, menyebabkan
hancurnya jaringan lunak dan stres lebih pada tulang yang sudah rusak, sehingga terjadi avulse
tungkai dan atau amputasi. Fenomena dua gelombang ini menyebabkan cedera yang mengenai
semua jaringan sehingga terjadinya kehilangan jaringan lunak luas, kerusakan saraf dan vaskular
yang seringkali terjadi pada tempat yang proksimal dari cedera tulang.11 12
7
Gambar 2. Cedera Ledakan Ekstrimitas Atas
Efek dari cedera ledakan pada ekstrimitas dapat dibagi menjadi 3 zona. Zona 1 adalah area
terdekat kepada lokasi cedera, dimana adanya traumatik amputasi dengan destruksi luas kulit,
tendon, otot dan struktur neurovaskular. Cedera jaringan lunak terkontaminasi luas, sehingga
sulit untuk diselamatkan. Zona 2 mencakup cedera fokal yang terlokalisir pada struktur
neurovaskular. Laserasi pembuluh darah dan perdarahan endo dan epineural menyebabkan
vasospasme, aliran darah yang terganggu, dan edema saraf. Zona 3 adalah adalah area kerusakan
yang paling distal dari lokasi cedera. Area ini mencakup arteriol kecil yang teravulsi dari
pembuluh utama, aliran balik vena yang terganggu, dan demyelinasi saraf perifer (gambar 5).12
Zona-zona cedera ini mendeskripsikan efek luas dari ledakan pada ekstrimitas, yang
menyebabkan replantasi hampir mustahil.
8
Gambar 3. Zona luka setelah ledakan
2.4. Tatalaksana
Perdarahan harus dikontrol dengan tekanan langsung. Dulunya turniket digunakan untuk
mengontrol perdarahan ekstrimitas setelah amputasi. Tetapi penggunaan turniket berhubungan
dengan komplikasi yang mengancam jiwa, karena itu turniket hanya digunakan sebagai pilihan
terakhir. Komplikasi dari penggunaan turniket dapat berupa nekrosis tekanan akibat kurangnya
nutrisi ke jaringan, neuropraxia dan perdarahan paradoxical. Perdarahan paradoxical adalah
komplikasi yang seringkali terjadi pada turniket vena yang tidak mengontrol arteri dengan
cukup. Walaupun turniket ini dapat mengontrol perdarahan awal secara adekuat, aliran darah
arteri distal terus menerus dengan tidak adanya aliran balik vena dapat menyebabkan
9
pembengkakan vena distal, pengumpulan darah, dan edema. Tungkai yang semakin menebal
dapat menyebabkan sindrom kompartemen, dan pembentukan hematom yang melebar. Ini akan
mengurangi kontrol perdarahan dan syok hipovolemik. Hal ini terjadi dengan cepat dan lebih
buruk daripada apabila tidak menggunakan turniket sama sekali. Karena itu sebaiknya
perdarahan dikontrol cukup dengan balut tekan.
Setelah perdarahan dikontrol, dan pasien sudah distabilisasi, pasien harus dibawa ke
pusat trauma secepatnya. Pada kasus amputasi komplit, bagian tubuh yang teramputasi sebaiknya
dibawa. Secara ideal, hanya satu dokter yang boleh menyentuh bagian yang teramputasi untuk
mencegah penghancuran atau kontaminasi jaringan. Lalu sebaiknya diletakkan di atas kain steril
dan difoto agar dapat diperlihatkan ke dokter lain tanpa mengeluarkan dari tempat penyimpanan
dan mencegah kerusakan jaringan.
Fragmen jaringan apapun sebaiknya disimpan, karena dapat digunakan untuk graft kulit,
tulang atau saraf. Bagian yang teramputasi perlu diteliti dengan baik walaupun sudah terpisah
dari pasien. Deformitas seringkali menunjukan adanya fraktur pada tulang, bila dicurigai adanya
fraktur, dapat dilakukan x-ray pada bagian tubuh tersebut. Untuk melindungi bagian tubuh
tersebut, debris dan kontaminasi harus dibuang, lalu dibungkus dengan kain lembab yang bersih
atau kassa steril yang dibasahi air saline. Lalu pindahkan bagian tubuh ke dalam tempat yang
kedap air, seperti kantong plastik, dan simpan di dalam tempat terisi es seperti cooler (gambar 4).
Tujuannya adalah untuk mempertahankan cold ischemia time dan meningkatkan kesuksesan
replantasi. Cold ischemia time adalah waktu di antara pendinginan jaringan, organ atau bagian
tubuh setelah suplai darah berhenti, dengan waktu dimana suplai darah dikembalikan. Tetapi
bagian yang teramputasi tidak boleh terkena langsung dengan es atau air supaya tidak beku,
karena itu perlu ditempatkan di kantong kedap air terlebih dahulu. Es kering tidak boleh
digunakan karena akan mempresipitasi pembentukan kristal dan merusak jaringan lebih lanjut.
Bila arteri utama dapat ditemukan, cairan preservasi jaringan dapat disalurkan ke dalamnya.
Arteri paling proksimal ditemukan dan dipasang kanul 18 gauge yang dipasang dengan benang
silk dengan 1 liter cairan tersebut pada suhu 10 derajat selsius dan 120 cm tekanan hidrostatik
diinfus ke dalam bagian yang teramputasi.14
10
Gambar 4. Transportasi bagian yang teramputasi
Apabila bagian tubuh teramputasi parsial, debris harus dibuang dan ujung-ujungnya
ditata kembali sebisanya. Lalu bagian tubuhnya harus dilindungi dan dibungkus dengan kassa
dan atau dengan splint untuk mencegah cedera lebih lanjut pada bagian proximal dan distal.
Replantasi
11
Walaupun ilmu kedokteran sudah banyak berkembang, amputasi tetap menjadi prosedur
yang sering dilakukan pada tatalaksana trauma tungkai militer. Adanya kerusakan vaskular yang
memerlukan perbaikan pada pasien yang tidak stabil, adalah faktor utama pada pasien yang
memerlukan amputasi. Maka dari itu, harus ditentukan apakah mau dilakukan amputasi komplit
primer. Amputasi primer atau awal adalah tungkai yang teramputasi sebagai modalitas
tatalaksana primer (kurang dari 12 jam sebelum masuk rumah sakit).
Indikasi anatomis untuk amputasi seperti “tidak bisa direkonstruksi”, seharusnya tidak
boleh digunakan, kecuali kasus tersebut sudah didiskusikan dengan pusat spesialis. Secara
tradisional, adanya rasa baal pada telapak kaki merupakan indikasi amputasi. Tetapi kembalinya
sensasi protektif terjadi pada 50% pasien trauma warga sipil, dan pada 90% pasien militer UK.
Dulunya, keputusan untuk melakukan amputasi primer tergantung pada beberapa sistem skoring.
Sistem skoring yang terkenal adalah Mangled Extremity Severity Score (MESS), yang digunakan
untuk mengklasifikasi ekstrimitas mangled, dan Gustilo-Anderson Classification digunakan
untuk mengklasifikasi fraktur terbuka. Nilai MESS lebih dari 7 berhubungan dengan nilai
amputasi sampai 41%. Tetapi skoring ini dikembangkan lebih dari 15 tahun yang lalu, studi-studi
menunjukan bahwa sistem skoring tersebut memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah
dan tidak memprediksi hasil fungsional. Karena itu skoring tidak dipakai untuk menentukan
amputasi ekstrimitas.
Keputusan untuk replantasi bagian tubuh yang teramputasi memerlukan kolaborasi antara
subspesialis bedah yang berbeda-beda seperti trauma, ortopedi, vaskular dan bedah plastik. Ini
tergantung kepada beberapa faktor, seperti mekanisme dan luasnya luka, status keseluruhan
pasien, dan status rumah sakit/dokter bedah. Rekonstruksi tungkai mikrovaskular sangat
menuntur, memakan waktu, dan dapat terjadi komplikasi seperti infeksi, non-union, atau
12
osteomyelitis. Kegagalan untuk menyelamatkan tungkai berhubungan dengan perawatan di
rumah sakit yang lebih lama, prosedur bedah multipel, nyeri dan trauma psikologis.
Mekanisme dan tipe amputasi traumatik akan menentukan kesuksesan replantasi. Seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya, amputasi guillotine lebih berpotensi untuk replantasi karena
perbedaan dari tingkat luka kulit kelamin. Luka yang terkontaminasi rentan terkena komplikasi
seperti infeksi, iskemia dan kurang memungkinkan untuk replantasi. Waktu iskemia
diminimalisir sampai kurang dari 6 jam untuk memaksimalkan keselamatan tungkai. Restorasi
aliran darah selalu diprioritaskan di atas manajemen cedera skeletal. Berdasarkan faktor-faktor
ini, sebuah studi mengajukan kriteria untuk replantasi yaitu: 1) cold ischemia time kurang dari 6
jam; 2) tidak ada kontaminasi dalam; 3) total kehilangan tulang dan jaringan lunak kurang dari
15-20 cm.15
Replantasi memerlukan waktu operasi yang panjang, karena itu kondisi hemodinamik
pasien dapat menjadi kontraindikasi replantasi. Replantasi biasanya memerlukan intervensi
pembedahan multipel dan waktu pemulihan yang lama, karena itu memerlukan pasien yang siap
dan mau melewati dan bisa mentolerir rehabilitasi yang agresif. 15
Pada kasus dimana replantasi tidak memungkinkan, tujuan pembedahan amputasi komplit
mencakup pembentukan jaringan lunak sehat dengan lapisan yang cukup, dan durabilitas untuk
13
mentoleransi transmisi socket load dan pemakaian prostetik yang lama. Bila ini tidak
memungkinkan, flap atipikal dan pemindahan jaringan dapat ditunda untuk menyediakan solusi
yang tahan lama.
Komplikasi traumatik amputasi terjadi pada seperempat dari semua amputasi. Hal ini
biasanya disebabkan oleh penyembuhan luka yang tertunda, benda asing, dan infeksi. Hal ini
lebih sering terjadi pada amputasi ekstrimitas bawah daripada ekstrimitas atas.7
Amputasi Jari
Amputasi yang paling sering terjadi adalah pada jari-jari, yaitu sebanyak 69%. Cedera
pada jari dapat meliputi jaringan lunak, tulang dan tendon. Tujuan dari tatalaksana pada amputasi
jari adalah untuk mengembalikan sensasi ujung jari, tahan lama, dan ada tumpuan tulang untuk
pertumbuhan kuku. Tatalaksana yang kurang baik dapat menyebabkan jari yang kaku dan
kehilangan fungsi jangka panjang. Karena itu penting untuk para tenaga kesehatan mengetahui
tatalaksana yang benar pada amputasi jari.
14
Gambar 6. Anatomi ujung jari
Anatomi ujung jari (gambar 6):
Mekanisme terjadinya cedera pada jari dapat berupa avulsi, laserasi atau crush. Melalui
pemeriksaan fisik, perhatikan karakteristik dari laserasi, ini akan menjadi panduan untuk
tatalaksana selanjutnya, dan apabila ada atau tidak tulang yang terekspos. Range of motion juga
perlu diperiksa untuk menentukan apakah ada keterlibatan tendon fleksor dan ekstensor.
Tatalaksana pada amputasi digiti dapat berupa nonoperatif dan operatif. Nonoperatif
yaitu penyembuhan dengan intense sekunder dapat dilakukan pada orang dewasa dan anak-anak
tanpa tulang atau tendon yang terekspos dengan kehilangan kulit kurang dari 2 cm. Nonoperatif
dapat juga dilakukan pada anak-anak dengan tulang yang terekspos. Tatalaksana operatif dibagi
menjadi 3 yaitu:
- Primary closure (amputasi revisi): indikasinya pada amputasi jari dengan tulang
terekspos dan kemampuan tulang rongeur secara proksimal tanpa mengkompromi
penyangga tulang ke nail bed.
- Full thickness skin grafting dari regio hipotenar: indikasinya adalah pada
amputasi jari tanpa tulang terekspos dan kehilangan jaringan >2cm.
- Rekonstruksi flap: dilakukan apabila terdapat tulang atau tendon yang terekspos
dimana tulang reongeuring proksimal bukan suatu pilihan.
15
Teknik pembedahan:
- Secondary intention: tatalaksana awal dengan irigasi dan soft dressing. Setelah 7-
10 hari, rendam di campuran air peroksida setiap hari lalu ditutupi dengan balutan
dan protector ujung jari. Penyembuhan total memerlukan 3-5 minggu.
- Full thickness skin grafting dari regio hipotenar: split thickness graft tidak dipakai
karena kontraktil, nyeri, dan tidak tahan lama. Tempat donor ditutup, graft dijahit
di atas defek, bola kapas diletakkan di atas graft membantu untuk
mempertahankan coaptation dengan jaringan di bawahnya. Setelah operasi, bola
kapas dibuang setelah 7 hari, dan dianjurkan untuk bergerak.
- Primary closure dengan pembuangan tulang yang terekspos (amputasi revisi):
harus ablasi matriks kuku yang tersisa untuk mencegah iritasi dari sisa kuku.
Apabila tendon fleksor dan ekstensor tidak bisa dipertahankan, disartikulasi sendi
DIP. Transeksi saraf digiti dan sisa tendon se-proksimal mungkin. Kulit palmar
dibawa ke atas tulang dan dijahit ke kulit bagian dorsal.
- Rekonstruksi flap
16
Digital island artery
Reverse cross finger (utk nail bed sterile matrix dan
kehilangan eponychial fold)
2. Jari Volar Proksimal Cross finger (bila > 30 thn)
Axial flag flap dari jari panjang
3. Jari Dorsal Proksimal & MCP Reverse cross finger
Axial flag flap dari jari panjang
4. Ibu jari Volar Moberg Advancement Volar Flap (bila <2 cm)
FDMA (bila > 2 cm)
Neurovascular Island Flap (sampai 4 cm)
5. Dorsal Ibu Jari FDMA
6. First Web Space Z-Plasty dengan flap 60 derajat
Posterior interosseous fasciocutaneous flap (bila >
75%)
7. Dorsal Tangan Groin flap
17
Gambar 9. V-Y advancement flap
Digital island artery: Indikasinya apabila laserasi ujung jari lurus atau dorsal oblique,
laserasi volar oblique.
Cross finger flap: Indikasinya apabila laserasi ujung jari volar oblique pada pasien > 30
tahun.
Axial flag flap dari jari panjang: laserasi jari volar proksimal, dorsal proksimal dan MCP
Moberg advancement volar flap: bila ibu jari volar > 2 cm.
19
Gambar 14. Moberg advancement flap
Gambar 15. Moberg advancement flap
First dorsal metacarpal artery flap: pada laserasi dorsal ibu jari, laserasi volar ibu jari > 2
cm.
20
Z-plasty dengan flap 60 derajat: first web space lacerations
Posterior interosseous fasciocutaneous flap: first web space lacerations
Groin flap: lesi pada dorsal tangan
Tetapi, tanpa memperhatikan amputasi atau rekonstruksi, mobilisasi awal penting setelah
intervensi operatif apapun. Tetapi walaupun dengan aktivitas menahan beban dan rehabilitasi
agresif, studi-studi menunjukan adanya penurunan densitas tulang pada 40% amputasi
21
ekstrimitas bawah yang berhubungan dengan cedera saat pertempuran. Penurunan densitas
mineral tulang diakibatkan beberapa faktor seperti amputasi pada bagian proksimal, amputasi
bilateral, dan rehabilitasi yang tertunda.
Bila sudah ditentukan untuk dilakukan amputasi primer, level amputasi sangat krusial.
Ekstrimitas atas memerlukan rentang gerak yang luas untuk kegiatan sehari-hari. Level amputasi
akan menentukan rentang gerak pronosupinasi lengan, bahu atau siku, dan pilihan prostetik
fungsional yang tersedia.
22
Traumatik amputasi pada ibu jari menghasilkan defek fungsional yang signifikan, karena
itu perlu direplantasi. Replantasi ibu jari memiliki nilai kesuksesan sebesar 80-90%. Tetapi
replantasi pada digiti rendah, hanya sekitar 7 – 27%. Perbedaan pada percobaan replantasi
berbeda tergantung pada mekanisme cedera dan skoring derajat keparahan cedera. Peningkatan
umur dan komorbiditas tidak berhubungan dengan nilai kesuksesan, dan adanya riwayat
merokok hanya satu-satunya faktor yang ditemukan menurunkan nilai kesuksesan replantasi.
Komplikasi
Komplikasi dini sering terjadi, seperti insufisiensi arteri atau vena pada hampir 80%
selama 2 hari pertama setelah operasi, yang menurun ke 10% setelah 3 hari. Insufisiensi arteri
bermanifestasi sebagai pucat, kehilangan turgor, capillary refill yang pelan, temperatur rendah,
dan tidak adanya nadi. Biasanya hal ini disebabkan oleh agregasi platelet dan memerlukan revisi
anastomosis segera. Insufisiensi vena bermanifestasi sebagai warna keunguan, pembengkakan
pembuluh, capillary refill yang cepat, temperature rendah dan masih ada nadi. Ini biasa
disebabkan oleh penggumpalan fibrin, dan dapat diobati dengan revisi anastomosis vena.
Komplikasi tertunda dapat berupa intoleransi dingin, adesi tendon yang memerlukan operasi
tenolisis atau grafting tendon, neuroma dan gangguan sensasi.16
Sebanyak 50-95% pasien akan menderita nyeri kronik. Nyeri kronik dapat disebabkan
oleh nyeri phantom limb, nyeri tungkai residual, nyeri tungkai kontralateral, dan nyeri punggung.
Nyeri phantom limb adalah nyeri pada tungkai yang sudah tidak ada (sudah teramputasi) dan
dapat terjadi sebanyak 85%.16 Tidak ada perbedaan signifikan dalam prevalensi nyeri phantom
23
pada etiologi, umur pasien, level amputasi, peningkatan komorbiditas, depresi, dan umur muda
berhubungan dengan intensitas nyeri phantom yang mengganggu pasien. Sekitar 55% pasien
dengan nyeri phantom limb juga mengalami nyeri tungkai residual. Derajat nyeri tungkai
residual bergantung kepada adanya sensitisasi neuroma (49%), nyeri somatik (41%) dan sindrom
nyeri regional kompleks (20%).
Tatalaksana nyeri phantom limb atau nyeri residual yang menetap hanya dengan
analgesik tidak efektif. Metode yang penting untuk nyeri kronik pada traumatik amputasi adalah
untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebabnya. Contohnya dengan eksisi neuroma atau
heterotopic ossification dapat meningkatkan prosthetic fitting, menurunkan nyeri dan
meningkatkan mobilisasi. Mengobati nyeri kronik dengan efektif sangat kritis karena adanya
nyeri kronik dapat menghasilkan limitasi psikologis dan fungsional.
24
BAB III
KESIMPULAN
Walaupun traumatik amputasi dapat terjadi ada bagian tubuh apapun, biasanya artinya adalah
kehilangan parsial atau total dari ekstrimitas. Amputasi yang paling sering terjadi adalah pada
jari-jari, yaitu sebanyak 69%, dan amputasi pada lengan atas bagian proksimal sebanyak 9%.
Penyebab amputasi yang paling sering terjadi pada orang dewasa adalah kecelakaan kendaraan
bermotor. Dalam mengevaluasi dan tatalaksana traumatik amputasi, penting untuk menanyakan
mekanisme cedera. Tipe mekanisme akan menentukan tingkat kerusakan skeletal, jaringan lunak,
vaskular dan saraf, dan kemungkinan untuk replantasi. Amputasi guillotine biasanya terjadi
akibat mesin seperti gergaji, dan memiliki batas sudut yang tegas dengan cedera struktural, maka
dari itu ini merupakan tipe amputasi yang paling mudah untuk replantasi. Sedangkan mekanisme
yang paling buruk pada traumatik amputasi adalah dari ledakan, yang menyebabkan cedera
kompleks dengan kerusakan struktural global.
Tatalaksana awal pasien dengan traumatik amputasi sama seperti pasien trauma lainnya
dan harus mengikuti standar Advanced Trauma Life Support (ATLS) yaitu dengan mnemonic
Circulation, Breathing, dan Airway (CAB). Perdarahan dapat dikontrol dengan balut tekan.
Bagian tubuh yang teramputasi sebaiknya dibalut dengan kassa steril dengan air saline dibawa
dalam kantong plastik yang kedap air yang direndam di dalam es untuk mempertahankan cold
ischemia time di bawah 6 jam dan meningkatkan kesuksesan replantasi. Saat pasien sudah
dibawa ke rumah sakit, perlu dipertimbangkan apakah sebaiknya dilakukan replantasi atau
amputasi primer. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dan hal ini perlu didiskusikan
dengan subspesialis bedah yang berbeda-beda seperti trauma, ortopedi, vaskular dan bedah
plastik. Komplikasi yang sering terjadi pada traumatik amputasi adalah insufisiensi arteri atau
vena. Seringkali terjadi nyeri kronik seperti nyeri phantom limb atau nyeri tungkai residual pada
pasien dengan traumatik amputasi.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Ziegler-Graham K, MacKenzie EJ, Ephraim PL, et al. Estimating the prevalence of limb
loss in the United States: 2005 to 2050. Arch Phys Med Rehabil 2008;89:422-429.
2. Delhey P, Huber S, Hanschen M, et al. Significance of traumatic macroamputation in
severely injured patients: An analysis of the Traumaregister DGU®. Shock 2015;43:233-
237.
3. Win, T. and Henderson, J. (2014). Management of traumatic amputations of the upper
limb. BMJ, 348(feb10 1), pp.g255-g255.
4. iCasualties. Traumatic amputation. Available at: http://icasualties.org/OEF/index.aspx
5. Hull JB. Traumatic amputation by explosive blast: pattern of injury in survivors. Br J
Surg 1992; 79: 1303–1306.
6. Almogy G, Luria T, Richter E, et al. Can external signs of trauma guide management?
Lessons learned from suicide bombing attacks in Israel. Arch Surg 2005; 140: 390–393.
7. Barmparas G, Inaba K, Teixeira P, et al. Epidemiology of post-traumatic limb
amputation: A National Trauma Databank analysis. Am Surg 2010;76:1214-1222.
8. Fodor L, Sobec R, Sita-Alb L, et al. Mangled lower extremity: Can we trust the
amputation scores? Int J Burns Trauma 2012;2:51-58.
9. Largo TW, Rosenman KD. Michigan work-related amputations, 2008. J Occup Environ
Med 2013;55:280-285.
10. Blank-Reid C. Traumatic amputations: Unkind cuts. Nursing 2003;33:48-51.
11. Clasper J, Ramasamy A. Traumatic amputations. Br J Pain 2013;7:67-73.
12. Ramasamy A, Hughes A, Carter N, Kendrew J. The effects of explosion on the
musculoskeletal system. Trauma 2013;15:128-139.
13. Willis G, Reynolds J. Traumatic amputations. Emerg Med Rep 2011;32:285-296.
26
16. Hadley SR, Capo JT. Digit replantation: The first 50 years. Bull Hosp Jt Dis
2015;73:148-155.
17. Ephraim PL, Wegener ST, MacKenzie EJ, et al. Phantom pain, residual limb pain, and
back pain in amputees: Results of a national survey. Arch Phys Med Rehabil
2005;86:1910-1919.
27