Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Pakar yang lebih awal mencurahkan perhatian dan gagasan terhadap


masalah implementasi ialah Douglas R. Bunker di depan forum the American
Association for the Advancement of Science pada tahun 1970 (Akib dan Tarigan,
2008; Bowman dalam Rabin, 2001: 209). Eugene Bardach mengakui bahwa pada
forum itu untuk pertama kali disajikan secara konseptual mengenai proses
implementasi kebijakan sebagai suatu fenomena sosial politik (Edward III, 1984:
1) atau yang lazim disebut political game (Parsons, 1995: 470) sekaligus sebagai
era pertama dari studi impelementasi kebijakan (Birkland, 2001: 178). Konsep
implementasi semakin marak dibicarakan seiring dengan banyaknya pakar yang
memberikan kontribusi pemikiran tentang implementasi kebijakan sebagai salah
satu tahap dari proses kebijakan. Wahab (1991: 117) dan beberapa penulis
menempatkan tahap implementasi kebijakan pada posisi yang berbeda, namun pada
prinsipnya setiap kebijakan publik selalu ditindaklanjuti dengan implementasi
kebijakan. Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan tahap yang sangat
menentukan dalam proses kebijakan (Birklan, 2001: 177; Heineman et al., 1997:
60; Ripley dan Franklin, 1986; Wibawa dkk., 1994: 15). Pandangan tersebut
dikuatkan dengan pernyataan Edwards III (1984: 1) bahwa tanpa implementasi
yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan.
Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan
pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input
untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah
dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya
mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi
masyarakat. Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan
dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi
merupakan proses yang memiliki logika bottom-up, dalam arti proses
kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan
dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya
memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang
abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro.
Grindle menyatakan, implementasi merupakan proses umum
tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.17
Sedangkan Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta
baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan. Grindle menambahkan bahwa proses implementasi baru
akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan
telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai
sasaran.
Implemantasi sebagai sebuah upaya untuk menciptakan hubungan
yang memungkinkan bagi kebijakan dapat terealisasikan sebagai sebuah
hasil aktivitas pemerintah. Upaya-upaya tersebut didesain dengan harapan
untuk dapat mewujudkan hasil akhir yang telah dipikirkan. Tujuan dan
sasaran dari kebijakan diterjemahkan ke dalam sebuah program yang
bertujuan untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan.
Singkatnya, implementasi merupakan sebuah proses untuk
mewujudkan rumusan kebijakan menjadi tindakan kebijakan guna
mewujudkan hasil akhir yang diinginkan. Kebijakan dalam penelitian ini
bermakna juga, bagaimana langkah-langkah pemerintah dalam menjawab
pilihan tindakan yang ditempuh oleh pemerintah dapat: (1) kebijakan yang
diambil dapat berjalan secara terus-menerus, (2) dapat diimplementasikan
dengan baik.
Berdasarkan pengertian di atas, maka kebijakan menurut
karakternya adalah langsung mempraktekkan dalam bentuk program-
program dalam proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan meneliti
sebab, akibat, kinerja dan program publik. Kebijakan tersebut sangat
diperlukan dalam praktek pengambilan keputusan di sektor publik, dan
karenanya dibutuhkan oleh para politisi, konsultan, dan pengambilan
keputusan oleh pemerintah. Program-program yang dilakukan oleh
pemerintah senantiasa bisa berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan bisa
memajukan daerahnya dalam mengahadapi kemajuan masa yang akan
datang. Kebijakan diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat untuk
mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.

B. Pendekatan implementasi kebijakan publik


Dalam pelaksanaannya implementasi kebijakan publik memerlukan
model implementasi yang berlainan, karena ada kebijakan publik yang perlu
diimplementasikan secara top-down atau secara bottom-up. Kebijakan-
kebijakan yang bersifat top-down adalah kebijakan yang bersifat secara
strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara, seperti kebijakan
mengenai antiterorisme, berbeda dengan kebijakan yang lebih efektif jika
diimplementasikan secara bottom-up, yang biasanya berkenaan dengan hal-
hal yang tidak secara langsung berkenaan dengan national security, seperti
kebijakan alat kontrasepsi, padi varietas unggul, pengembangan ekonomi
nelayan dan sejenisnya.
Dalam implementasi sebuah kebijakan pilihan yang paling efektif
adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijakan publik
yang partisipatif, artinya bersifat top-down dan bottom-up. Model ini
biasanya lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan dan murah,
bahkan dapat juga dilaksanakan untuk hal-hal yang bersifat national
secutiry.
Dalam penelitian ini pendekatan yang paling sesuai adalah
pendekatan secara partisipatif dimana kebijakan yang telah dibuat oleh
pemerintah dapat direspon dengan baik oleh masyarakat. Satu hal yang
paling penting adalah implementasi kebijakan haruslah menampilkan
keefektifan dari kebijakan itu sendiri.

1. Pendekatan Top – Down


Pendekatan secara satu pihak dari atas ke bawah. Dimana
pendekatan ini menggunakan logika berpikir dari ‘atas’ kemudian
melakukan pemetaan ‘ke bawah’ untuk melihat keberhasilan atau kegagalan
suatu implementasi kebijakan. Pendekatan ini juga sering disebut sebagai
pendekatan policy centered karena fokus perhatian peneliti hanya tertuju
pada kebijakan dan berusaha memperoleh fakta apakah kebijakan tesebut
efektif atau tidak.
Dalam proses implementasi peranan pemerintah sangat besar, pada
pendekatan ini asumsi yang terjadi adalah para pembuat keputusan
merupakan aktor kunci dalam keberhasilan implementasi, sedangkan pihak-
pihak lain yang terlibat dalam proses implementasi dianggap menghambat,
sehingga para pembuat keputusan meremehkan inisiatif strategi yang
berasal dari level birokrasi rendah maupun subsistem-subsistem
kebijaksanaan yang lain.
Biasanya pendekatan ini lebih fokus pada kegagalan implementasi
kebijakan karena menjelaskan persoalan - persoalan atau faktor penghambat
implementasi.
Tahapan kerja dalam pendekatan Top – Down adalah :
a. Memilih kebijakan yang akan dikaji
b. Mempelajari dokumen kebijakan yang ada untuk dapat
mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan yang secara formal
tercantum dalam dokumen kebijakan
c. Mengidentifikasi bentuk - bentuk keluaran kebijakan yang
digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran
kebijakan
d. Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan telah diterima oleh oleh
kelompok sasaran dengan baik (sesuai dengan SOP) yang ada
e. Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan memiliki manfaat bagi
kelompok saasaran
f. Mengidentifikasi apakah muncul dampak setelah kelompok sasaran
memanfaatkan keluaran kebijakan

Pendekatan top down pada umumnya identik dengan command and


control yaitu dimana keberhasilan implementasi kebijakan didasarkan pada
kejelasan perintah dan cara mengawasi atasan kepada bawahan.
Selanjutnya akan dijelaskan pendekatan Top – Down yang didasati
oleh Teori George Edward dimana pendekatan yang digunakan
terhadapap studi Implementasi kebijakan.
Maka dalam menjawab pertimbangan ini melalui empat faktor atau
variabel kritis dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu
Komunikasi
Sumberdaya
Disposisi atau sikap
Struktur birokrasi
Keempat pendekatan ini sedang beroperasi secara simulta dan
berinteraksi satu sama lain untuk membantu atau bersifat merintangi
implementasi kebijakan, pendekatan yang ideal akan harus merefleksikan
kompleksitasnya dengan membicarakannya sekaligus. Meskipun dengan
adanya tujuan untuk meningkatkan pemahaman implementasi kebijakan
semacam sebuah pendekatan akan menjadi gagal sendiri. untuk memahami
perlu dilakukannya penyederhanaa dan untuk melaksanakannya perlu
dibagi penjelasan implementasi menjadi komponen-komponen pokok.
Namun demikian, perlu diingat bahwa implementasi setiap kebajikan adalah
sebuah proses dinamis yang meliputi interaksi berbagai variabel.
Pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi kebijakan
publik, dimulai dari sebuah intisari dan menanyakan. Ada 4 faktor atau
variabel kritis dalam mengimplementasikan kebijakan publik yaitu,
komunikasi, sumber, disposisi atau sikap, dan struktur birokrsi.
a. Komunikasi
Pertama, keputusan kebijakan semakin akurat keputusan
kebijakan dan komando implementasi distransmisikan untuk
mereka yang mesti menjalankannya, semakin tinggi probabilitas
yang mereka implementasikan. Kesalahan transmisi adalah
sebab utama kegagalan implementasi.
Jika mereka terlihat didalam berbagai macam tahap proses
implemetasi setuju dengan sebuah kebijakan, mereka adalah
lebih memungkinkan untuk mentransmisi komunikasi mengenai
hal ini secara akurat. Para pembuat keputusan tingkat tinggi
mesti bergantung pada organ lain untuk mentransmisikan dan
menjalankan keputusan dan komando. Hal ini bertujuan agar
para implemantor tidak salah dalam mengambil keputusan.
Berbagai perintah implementasi adalah lebih memungkinkan
untuk ditransmisikan secara akurat jika sebuah kelompok orang
yang relative kecil yang dan kohesif bertanggung jawab atas
implementasi. Kebijakan mesti diimplementasikan oleh sektor
private khususnya rentan bagi masalah ini.
Ketika komunikasi mengenai implementasi kebijakan ini
dilakukan secara langsung mungkin akan ditransmisikan secara
akurat. Pada sisis lain, ketika para pejabar mengenali anonimitas
untk melayani tujuan akhir politik atau pribadi memiliki alat
tidak langsung untuk berkomunikasi dengan para implementor,
semacam pihak ketiga dan menekankan kebocoran, probabilitas
distorsi secar signifikan meningkat. Semakin bagus
dikembangkan saluran komunikasi untuk mentransmisikan
perintah implementasi, semakin tinggi probabilitas perintah
yang ditransmisikan secara benar. Masalah transmisi muncul
dari tujuan akhirkomunikasi yang menerima sebagaiman tujuan
akhir mengirim. Semakin besar kebijakan yang merangsang
didalam mereka yang harus mengimplementasikannya persepsi
selektif dan keengganan untuk mengetahui tentang kebijakan
dan implikasinya.
Perintah implementasi yang tidak merinciksn tujuan sebuah
kebijkan dan cara mencapainya dlaah umum. Jika komunikasi
tidak jelas maka para implemetor akan mendapatkan diskresi
yang lebih banyak untuk pengalaman di dalam
menginterprestasikan persyaratan kebijakn. Kurangnya
kejelasan mungkin menyebabkan para perubahan kebijakan
yang diantisipasi substansional sebagaimana kemenduaan
dieksploitasi agar memberikan berbagai kepentingan khusus
dalam keduanya baik sektor publik maupun private. Perubahan
yang tidak diantisipasi bisa juga disebabkan oleh “manajemen
dengan aktivitas” sebagaimana implementor bekerja lebih kuat
untuk membuahkan hasil untuk memberikan kompensasi untuk
ketidakpastian mengenai tujuannya.
Petunujuk yang tidak jelas menimbulkan berbagai masalah
komunikasi, namun komunikasi implementasi amat khusus
mungkin mengatasi para implementor dengan rinci, yang
mengarah pada penggantian tujuan, regiditas, atau penjauhan
aturan. Para pembuat keputusan mengalami tugas kesulitan
dalam mengeluarkan berbagi perintah implementasi yang tidak
juga terlalu rinci maupun terlalu tidak spesifik. Ada beberapa
alasan tas kurangnya kejelasan dalam berbagai komunikasi
implementasi. Kebijakan publik pda umumnya kompleks dan
menuntut waktu substansial dan keahlian pada pihk mereka yang
mengeluarkan petunujuk untuk mengimplementasikannya.
Karena kebanyakan pembuatan keputusan puncak juga tidak
memiliki, mereka khususnya membuat keputusan umum.
Suatu sebab fundamental keputusan kebijakan yang tidak
jelas adalah kurangnya konsensusyang sering ada tentang tujuan
sebuah kebijakan. Sringkali tidak mencoba untuk menjelaskan
tujjuan. Sebuah maslaah muncul kemungkinan karrena
pengadila merupakakan ketidakmampuan untuk mengawali
berbagai tindakan. Berhubngan dengan hal itu naming secara
konseptual berbeda dengna kejelasan komunikasi adalah
konsistensinya. Ketika para implementor menerims berbagai
perintah yang tidak konsisten, maka mereka akan tidak mampu
untuk memenuhi semua permintaan yangdibuat karenanya.
Mereka tidk mungkin secara efektif tidak aktif, atau mereka
mungkin memilih diantara petunjuk atas dasar apa yang mereka
pilih.
b. Sumberdaya
Sumberdaya adlah kerisis bagi implementasi kebijakan
efektif. Tanpa dirinyan kebijakan yang ada diatas kertas bukan
merupakan kebijakan sama yang dilakuan dalam prakterknya.
Salah satu konsekuensi kekurangan personalia adalah
inefektivitas dalam secara tidak langsung menjalankan
kebijakan. Sebuah masalah yang bahkan lebih besar adalah
batasan hebat yang sering ada didalam memonitor aktivitas
implementasi lain atau atau didalam pengaturan perilaku.
Staff yang tidak cukup khususnya kritis bagi implementasi
ketika kebijakan yang terlibat ini merupakan salah satu yang
timbul pada masyarakat tidak menyambut kendala ini, apakah
hal ini merupkan persyaratan hibah, kebijakan peraturan, atau
undang-undang criminal. Karena kebijakan semacam inipada
umumnya melibatkan aktivitas desentralisasi tinggi, seorang staf
besar diperlukan jika perilaku itu buuh di monitoring.
Keterampilan sebagaimana jumlahnya adalah sebuah
karakteristik penting dari staf untuk implementasi. Semua
pejabat pulbik yang terlalu sering memiliki kekurangan dalam
keahlian, baik subsatansif maupun manajerial, membutuhkan
waktu untuk mengimplementasikan kebijakan secara efektif.
Mendelegasikan tanggung jawab bagi implementasi sebuah
kebijakan kepad sebuah yuridis pemerintahan biasanya hanya
memperparah masalah. Semakin teknis kebijakan yang terlibat
mka semakin banyak keahlian yang disyaratkan pada pihak
implementor, semakin banyak kekuranga personalia terampil
akan merintangi implementasi kebijakan. Personalia yang
berpengalaman dan terampil ini sering kali digunkan oleh sektor
private yang biasanya bisa memberikan kompensasi lebih tinggi.
Sumber kritis kedua dalam implementasi kebijakn adalaah
informasi. para implementor perlu tahu cara melaksanakan
kebijakan dimana mereka diarahkan untuk diimplementasikan.
Jika kebijakan adalah inovatif sangat teknis, menemukan
seseorang yang yag mengerti bagaimana cara
mengimplementasikannya tentu sulit. Sering kali para
implementor harus belajar tentang pekerjaan sebagaimana
mereka mentolerir. Konsekuens berbagai tindakan hanya bisa
ditebak karen kurangnya hubungna diantara prilaku
implementasi dan hasil kebijakan.
Dengan memonitor kepatuhan seseorang dengan persyratan
kebijakan junga menuntut informasi. meskipun para
implementor sering kali kekurangn data yang diperlukan pada
tindakan-tindakan pejabat unin swasta. Sebagai hasil kurangnya
informasi ini, beberapa kebijakan tidak pernh
diimplementasikan.
Kurangnya staf adalah masalah primer dalam mengakuisisi
data yang diperlukan umtuk mendukung persyaratan kebijakan.
Kadang peraturan pemerintah lebih jauh membatasi akuisisi
informasi yang relevan. Swasta berada dalam posisis yang
kurang untuk memonitoring implementasi kebijakan didalam
sektor swasta karena kurangnya pengetahuan mengenai
kebijakan publik komplek dan biaya dalam waktu, uang dan
retribusu ekonomi yang memungkinkan terlibat didalam
penemuan dan pelaporan pelanggaran peraturan.
Kewenangan merupakan sumber penting lain dalam
implementasi kebijkan. Kewenangan ada dalam berbagai bentuk
dari pemberian bantuan hingga perilaku yng menghalangi. Ada
dalam peraturna lain diaman kewenangan yang cukup adalah
paling sering kekurangan bahkan hampirb tidak ada meskipun
dalam bentuk sekalipun.
Kewenangan mungkin tidak tepat lagi bagi berbagai tgas
terhadapanya dialokasikan. Pemerintah mngkin tidak mampu
untk memanipulasi dana dari yuridisi tingkat yng lebih tinggi
untuk menjauhi sanksi bagi penyalahgunaan dana. Kewenangan
juga mungkin terlalu kuat namun tidak handal. Ketika
wewenang perlu diamalkan mulai tingkat lain pemerintah atau
diantara dua atau lebih banyak cabang pemerintah, penundaan
dan komplikasi mungkin terjadi. Kewenangan melalui individu
dan institusi dalam sektor swasta yang sering bertanggung jawab
untuk implementasi kebijakan, biasany sangat terbatas keduanya
baik di dalam formulir maupun dalam kenyataan.
Kurangnya otoritas efektif yang mengarah pada para pejabat
untuk mengadopsi pelayanan bukan sebuah orientasi peraturan
terhadap mereka yang terlibat di dalam peraturan. Salah datu
motivasi dibelakang pendekatan ini adalah kerjasama melaui
kreasi toleransi.
c. Disposisi
Implementasi memiliki diskresi yang hebat dalam
mengimplementasikan kebijakan, komunikasi dari atasan
seringkali tidak jelas atau tidakkonsisten, dan kebanyakan
implementor menikmati ketergantungan substansi dari
atasannya. Beberapa kebijakan didalam “zona pengabaian”
administrator, yang lain mendapatkan sambutan kuat. Kebijakan
ini mungkin konflik dengan pandangan kebijakan substantive
implementor atau kepentingan personal atau organisasional. Ada
disini bahwa disposisi menimbulkan rintangan kepada
implementasi
Beberapa kierja birokrasi ini membatasi perspektif para
pejabat pemerintah terhadap keduanya baik kebijakan
substantive maupun kesehatan orgnisasinya. Ada sebuah tedensi
untuk orang-orang yang setuju dengan kepercayaan aktivitas
sebuah dinas untuk ditarik bekerja dan direktuit karenanya.
Masyarakat yang disesuaikan dengan aktivitas pemerinth secara
umum cenderung bekerja dalam sektor publik. Semua dari hal
ini membantu untuk menghasilakan sebuah lingkungan yang
relative homogeny bagi pembutan kebijakan yang pandangan
propinsia (parochial) mudah untukdikembangkan dan
dipertahankan. Masyarakat didalam posisi kewenangan kainnya
juga sering menghendaki pelayanan untuk selanjutnya
mendukung orientasi yang lbih sempit diantara para birokrat.
Karena pengaruh ini mungkin birokrat kurang cenderung
kurang menghargai kebijakan daripada pembuat kebijakan
tersebut. Para implementor mungkin bereaksi terhadap
kebijakan bukan hanya dari sudut pandang substantive
parochial, namun juga dari sebuah sudut pandang melindungi
kesehatan organisasinya. Kondisi ini menempatkan dasar bagi
penyimpangan dalam implementasi kebijakan yang disebabkan
oleh disposisi implementor, penyimpangna yang muncul dalam
berbagai bentuk.
Disposisi mungkin merintangi implementasi ketika
implementor begitu saja tidk setuju dengan bahkan dari suatu
kebijakan dan penolakannya mengarahkan bukan utuk
mlakukannya. Dalam berbagi contoh, mungkin pejabat puncak
cebderung dari pembentukan kebijkan krena mengantisipasi
opoisisi. Kadang implementasi dicegah oleh situasi yang lebiih
kompleks, seperti ketika para implementor mununda
implementasi kebijakan ysng mungkin disetujui secara abstrak
supaya bisa meningkatkan kesempatan mencapai tujuan
kebijakan lain yang bersaing. Para implementor juga mungkin
menjauhi dampak penuh dari sebuah kebijakn dengan secara
selektif menerima persyaratannya, mengabaikan sertidaknya
beberapa dari mereka yang berada dalam keganjilan dengan
pandangan mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk
nampak ada dalam kepatuhan dengan hukum sementara
menjauhi komsekuensi penuhnya.
Unit-unit birokrasi berbeda memungkinkan untuk memiliki
pandangan berbeda dalam kebijakan. Penilkan intra dan
interdinas menghalangi kerjasama dan merintangi implementasi.
Di dalam bidang kebijakan tunggal, setiap agen relevan
kemungkinan memiliki prioritas berbeda komitmen berbeda,
dan metode penangannan masalah yang berbeda. Perbedaan
yang sama mungkin muncul diantara perbedaan dengan
tanggungjawab program berbeda di dalam suatu dinas.
Perbedaan ini tidak kondusif untuk menciptakan kepercaan
mutual dan hubungan kerja yang erat yang seringkali perlu untk
implementasi efektif.
Disposisi individu didalam sektor private mungkin
signifikan dalam implementasi kebijakan. Porsi besar bagi
penduduk ini terlibat didalam implementasi dari satu atau lebih
banyak kebijakan, dan upaya implementasinya pada umumnya
tidak terlalu jelas. Dengan demikian potensi atas penyimpangan
didalam implementasi adalah substansi jika warga tidak
menyetuji suatu kebijakan. Disposisi individu terhadap tipe
tertentu sistem pemberian pelayanan mungkin juga mencegah
implementasi karena mungkin mencegah orang-orang ini dari
mengambil keuntungan dari manfaat yang tersedia.
Disposisi para imlementor mencegah berbagai rintangan
bagi implementasi kebijakan, nsmun para pejabat puncak
terbatas didalam kemmpuannya untuk menggantikan personalia
yang tengah ada dengan orang-orang yang lebih responsive
terhadap kebijaknya. Keputusan personalia juga terbats karena
kurangnya pengetahuan pejabat punck mengenai orang-orang
yang berbakat dan oleh sekumpulan bakat kecil yang tersedia
untuk pemerintah negara bagian dan daerah.
Presiden mungkin mencoba mengontrol pengangkatan yang
dibuat oleh orang yang diangkat, semacam anggota cabinet,
namun hal ini memungkinkan menjadi sebuah proses kasar
dengan ruangan substansial atas kesalahan. Kebanyakan
birokrasi terlindungi oleh perlindungan layanan sipil dan untuk
semua tujuan praktisi kebal dari penolakan. Kebebasan dari
atasan nominalnya memberikan birokrat banyak kebebasan
didalam implementasi dan diskresi independensi ini
memungkinkannya tidak selalu digunakan untuk memajukan
tujuan pembuat keputusan tingkat tinggi. Ketidakpercayaan
dintara para eksekutif pimpinan dan bagian lain dari birokrasi ini
namun demikian tercipta.
Dengan mentransfer personalia pada posisi lain di dalam
pelayanan sipil merupakan salah satu teknik memperhatikan
dengan implementor yang menantang, namun negativitasnya
yang menjadi sifatnya semacam pendekatan dan kemampuan
birikrt ini untuk berjuang transfer secara berhasil membatasi
utilitasnya. Jika semua lainnya ini gagal, para eksekutif kadan
biasa mengesampingkan personalia yang tengah ada memakai
ysng lain, khususnya ketika dinas-dinas baru terbentuk untuk
menjalankan fungsi dalam sektor publik. Meskipun potensi bsru
dalam strategi ini, program yang baru dipertalikan dengna
kebijakan yang ada. Ketika tekanan ini diterapkan kepada para
implemntor apakan dari superior dlam sebuah dinas, organisasi
lain, badan pembuat undan-undang, atau kepentingan yang
terorganisir, mereka cenderung bertindak didalam arak tekanan.
Akan tetapi, kebanyakan tekanan ada diluar control langsung
pejabat puncak yang kemampuannya harus mengamalkan sanksi
terbatas. Penghargaan adalah sama-sama sulit untuk
diselenggarakan.
Efek penghargaan ini mungkin diringankan oleh dua faktor.
Pertama, mereka yang sebenarnya memiliki control melalui
distribusi dari penghargaan apa yang ada mungkin bertentangan
atau mengabaikan pada kebijakan yang diperkirakan
diimplementasikan. Kedua, tekanan kelompok sebaya mungkin
membatai lebih lanjut dampak penghargaan ketika implementor
merespon terhadap mereka dengannya mereka bekerja dan
mungkin harus bergantung untuk melakukan pekerjaannya.
Otoritas kadang memberikan “pemanis” dalam bentuk dana
atau peraturan kehilangan secara moral untuk pemerintah tingkat
yang leboh rendah untuk mereka dalam sektor private untuk
mendorong perilaku yang akan membantu implementasi
kebijakan tertentu. Lebih khusus bagaimanapun juga sanksi
negative bergntng padanya.
Sebuah isu penting dalam pemakaian insentif adalah
pengukuran kinerja. Jika hal ini dilakukan tanpa sensitivitas
pada tjuan kebijakan yang berbeda dan kualitas utugas yang
ditampilkan pengganti tujuan mungkin terjadi. Perkembangnan
criteria keberhasilan adalah amat sulit karena tujuan yang tidak
jelas dan berbeda, ukuran output yang kurang, dan petunjuk
implementasi kabur. Dengnan demikian, ukuran yang digunakan
kadang mendorong oara implementor untuk mengejar tujuan
lain daripada yang dimaksud oleh atasannya.
d. Struktur Birokras
Struktur organisasi yang mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh signifikan dalam implementasi kebijakan.
Salah satu dari aspek struktur paling mendasar dari organisasi
apapun adalah prosedur opersasi standar. Rutin untuk
penanganan situasi umum ini adalah lazim dalam keduanya baik
organisasi publik maupun swasta. SOP menyelamatkan
implementor waktu yang berharga, yang memungkinkannya
untuk mengambil jalan pintas dalam berhungan dengan
kebanyakan keputusan harian. Mereka juga memberikan
keseragaman didalam berbagai tindakan para pejabat didalam
organisasi kompleks yang tersebar luas, yang pada gilirnnya bisa
menghasilkan fleksibilitas yang lebih besar dan keadilan yang
lebih bear dalam aplikasi aturan.
Kurangnya sumberdaya yang diperlukan untuk
mengimplementasikan kebijakan secara tepat membantu
mempertimbangkan atas pemakaian sering SOP. Para
implementor jarang mampu menguji seluruhnya dan individu
setiap situasi dengan yang mereka hadapi. Sebagai gantinya
mereka menggantungkan rutinitas yang menyederhanakan
pembuatan keputusan dengan sumberdaya yang tersedia.
Rutinitas yag dirancang untuk situasi khusus pada masa
lampau mungkin menempati perubahan didalam kebijakan
karena mereka tidak tepat untuk situasi yang baru atau program-
program barunya. Bukan hanya SOP kadang mencegah tindakan
tepat, namun juga mungkin menyebabkan personalia mengambil
tindakan pejabat senior tidak ingin lakukan. Tujuan untuk situasi
ini porogramkan kedalam sebuah repertoire prilku
organisasional. SOP adalah yang paling mungkin untuk
merinyangi implementasi kebijkan yang baru yang memerlukan
mode operasi atau tipe personalia baru untuk
mengimplementasikannya. Lagi pula, semakin banyak secuah
kebijakan memerukan perubahan didalam rutinitas sebuah
organisasi, maka makin besar probabilitas SOP yang merintangi
implementasi.
Meskipun masalah implementasi yang SOP bisa sebabkan
kadang mereka mungkin membantu. Organisasi dengan
prosedur perencanaan fleksibel dan kontrol substansional
melalui program fleksibel mungkin lebih bisa diadaptasi untuk
tanggung jawab baru daripada birokrasi tanpa karakteristik ini.
Ciri kedua dari struktur birokrasi yang secara signifikan
mempengaruhi implementasi kebijakanadalah fragmentasi
organisasional. Tanggung jawab untuk bidang kebijakan sering
kali tersebar diantara beberapa organisasi, sering secara radikal
desentralisasi kekuatan untuk mencapai tujuan kebijakan.
Kongres dan badan pembuat undang-undang lainnya menulis
banyak dinas yang terpisah ke dalam undang-undang supaya
bisa mengamatinya lebih dekat lagi dan merincikan prilakunya.
Konsolidasi berbagai dinas akan memunahkan akses khususnya
terhdap para pejabat atau merubah secara subsansial mendukung
fragmentasi.
Pengaruh pada struktur birokrasi ini didukung oleh
konstitusi negara bagian dan pakta kota, yag memberikan
mandate sebuah struktur administrasi yang tidak lengkap, dan
program hibah federal yang terpecah-pecah yang mendorong
pemerintah negara bagian dan lokal untuk mencerminkan
fragmentasi pada tingkat nasional. Merintangi koordinasi
kemungkinan merupakan kensekuensi yang terburuk dan
fragmentasi birokrasi. Prioritas agen ini berbeda, dan birokrat
tidak suka untuk mengkoordinasikan tindakanya dengan
rekanannya dalam agen lain. meskioun penyebaran dan
kewenangan dan sumberdaya untuk mengimplementasi
kebijakan efektif ini diperburuk ketika struktur pemerintahan
terfragmentasi.
Focus sempit dari berbagai agen disebabkan oleh
fragmentasi yang memiliki dua konsekuensi lain membahayakan
bagi implementasi. Kadang tanggungjawab untuk suatu bidang
kebijakan adalah begitu fragmentasi dimana tidak ada satupun
berakhir seraya melakukan fungsi-fungsi tertentu.

2. Pendekatan Bottom-Up
Teori-teori yang termasuk dalam pendekatan Bottom-up ini tidak
ada yang menyertakan model alur kerja implementasi sebagaimana pada
kebanyakan teori-teori dengan pendekatan Rasional-Top-down. Ketiadaan
model alur demikian mudah dipahami karena pendekatan ini justru
menekankan pada peran level-street bureaucracy, atau implementor pada
hirarchi paling bawah yang mengimplementasikan kebijakan di lapangan
dan berhadapan langsung dengan kelompok sasarannya. Model
instruksi/SOP yang serta kontrol prosedur yang terlalu ketat justru
seringkali membuat implementasi kebijakan gagal mencapai tujuan
kebijakan. Output atau kinerja formal mungkin terpenuhi dalam
implementasi, namun Outcomes/dampak perubahan yang diharapkan oleh
kebijakan justru bisa tak tercapai.
Kebijakan-kebijakan yang merujuk kelompok sasaran secara
langsung sebagai target perubahan, akan lebih cocok menggunakan
pendekatan ini, karena memberikan keleluasaan (diskresi) pada
implementor untuk menyesuaikan cara pengimplementasian sesuai dengan
kondisi, situasi dan kepentingan kelompok sasaran yang dihadapi, yang
tidak diperhitungkan atau seringkali dipandang seragam oleh kebijakan-
kebijakan yang bersifat top-down. Kebijakan-kebijakan ini misalnya
kebijakan yang bertujuan memberikan layanan kesehatan, pendidikan,
peningkatan perekonomian di pedesaan, dlsb dan mengharuskan
implementor lapis terbawah berhadapan langsung dengan kelompok
sasarannya (misal dokter, perawat kesehatan di Puskesmas, guru, dlsb).
1.1 Michael Lipsky : Street-level Bureaucracy
Tentu saja tokoh pertama dan utama dari pendekatan ini
adalah Lipsky, yang istilahnya untuk menggambarkan
implementor paling bawah (Street-Level bureaucracy) tetap
digunakan sampai sekarang. Pemikiran itu ia cetuskan dalam
sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 1971, namun baru
diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1980 (Hill & Hupe,
2002, 52).
Lipsky menekankan perlunya para pembuat
keputusan/kebijakan untuk melihat dan mempertimbangkan
kebutuhan dan pemikiran para professionaltersebut, sebab
seringkali mereka berhadapan dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat yang tak ada habisnya sementara sumberdaya yang
ada terbatas. Mereka harus memutar otak dan berdiskresi agar
dapat memberikan layanan ideal sebagaimana yang dituntut
pada mereka (karena merekalah yang pertamakali mendapatkan
kritik dari masyarakat yang tidak puas, bukan pembuat
keputusan) sementara mereka menghadapi kondisi-kondisi yang
jauh dari ideal. Tidak sebagaimana pandangan para penganut
pendekatan Top-down yang mengkatagorikan para profesional
yang melayani masyarakat tersebut sebagai salah satu unsur
dalam proses kerja implementasi, Lipsky menekankan perlunya
para para pembuat kebijakan memandang mereka sebagai input
dalam proses pembuatan kebijakan.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kecenderungan untuk
mengontrol kinerja mereka secara hirarchial justru akan
mengakibatkan para professional memilih bekerja secara
stereotip sesuai SOP dan mengabaikan kebutuhan masyarakat
yag harus dilayani. Karenanya, menurut Lipsky dibutuhkan
pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam sistem
pengendalian untuk memenuhi akuntabilitas publik, yakni
terpenuhinya harapan masyarakat yang dilayani, bukan
terpenuhinya kebutuhan birokrasi administrasi.

3.Pendekatan Sintesa
1.1 Donald P. Warwick : Pendekatan Transaksional
Donald P. Warwick melalui pendekatan transaksional
mengembangkan model yang prinsipnya bertolak dari pandangan
bahwa guna memahami berbagai masalah pada tahap pelaksanaan
rencana atau kebijakan, maka keterkaitan antara perencanaan dan
implementasi tidak dapat diabaikan. Proses perencanaan itu sendiri tidak
dapat dilihat sebagai suatu proses yang terpisah dengan pelaksanaan.
Pada tahap implementasi berbagai kekuatan akan saling berebut
berpengaruh, baik kekuatan yang mendorong atau memperlancar
(facilitating condition), maupun kekuatan yang menghambat (impeding
condition) pelaksanaan program atau proyek. Faktor-faktor tersebut
adalah:
A. Faktor Pendukung (facilitating conditions), terdiri dari:
1. Komitmen pimpinan politik (commitment of political
leaders): Adanya komitmen dari pimpinan pemerintahan
dalam pelaksanaan suatu proyek menjadi hal yang utama,
karena pimpinan politik adalah yang memiliki kekuasaan di
daerah.
2. Kemampuan organisasi (organizational capacity):
3. Komitmen para pelaksana (the commitment of
implementors): If the generals are ready to move to captain
and toops will follow.
4. Dukungan kelompok kepentingan (interest group support) :
Implementasi kebijakan sering lebih sering mendapat
dukungan dari kelompok kepentingan dalam masyarakat
manakala mereka terkait langsung dengan kebijakan.
B. Faktor Penghambat (impeding conditions), terdiri atas:
1. Banyaknya aktor yang terlibat : Semakin banyak pihak yang
terlibat dan turut mempengaruhi pelaksanaan, maka semakin
rumit komunikasi dalam pengambilan keputusan dan makin
besar kemungkinan terjadi hambatan dalam implementasi
program tersebut.
2. Terdapat komitmen atau loyalitas ganda : Hal ini disebabkan
adanya tugas ganda yang dirangkai dan dijabat oleh suatu
organisasi, sehingga perhatian pelaksana menjadi terpecah.
3. Kerumitan yang melekat pada proyek-proyek itu sendiri
(intrinsic complexity) : hambatan yang biasanya melekat
adalah disebabkan oleh faktor-faktor teknis, faktor ekonomi,
pengadaan pangan dan faktor perilaku pelaksana atau
masyarakat.
4. Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak :
Semakin banyak jenjang pengambilan keputusan atau
memiliki prosedur yang harus disetujui oleh pihak yang
berwenang, maka akan memerlukan waktu lama dalam
pelaksanaannya.
5. Faktor lain, yaitu waktu dan perubahan kepemimpinan :
Perubahan kepemimpinan baik pada tingkat pimpinan
pelaksana maupun dalam organisasi di daerah sedikit banyak
mempunyai pengaruh terhadap proyek atau program.

Menurut Warwick agar implementasi memperoleh hasil


sebagaimana yang diharapkan oleh penerima layanan, maka harus
ada komunikasi transaksional antara rencana dan implementasi dan
sebaliknya. Implementasi tidak harus kaku mengikuti rencana
namun dapat disesuaikan dengan situasi-situasi lokal yang dihadapi.
Sebaliknya implementasi tidak dapat berjalan tanpa rencana yang
jelas. Transaksi ini juga berlangsung antar aktor-aktor yang terlibat
dalam proses implementasi, maupun antara implementers dengan
kelompok masyarakat.
BAB III
Kesimpulan

Penggunakan pendekatan top down, bottom up dan sintesa. Pendekatan


secara satu pihak dari atas ke bawah. Dimana pendekatan ini menggunakan logika
berpikir dari ‘atas’ kemudian melakukan pemetaan ‘ke bawah’ untuk melihat
keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi kebijakan. Pendekatan top down
akan menguntungkan pada sebuah situasi dimana para pembuat kebijakan mampu
mengatur dan mengontrol situasi, dan dana yg terbatas
Pendekatan Top-down menguntungkan jika bersifat terpusat dan dampak
kebijakan ditujukan secara umum. Teori-teori yang termasuk dalam pendekatan
Bottom-up ini tidak ada yang menyertakan model alur kerja implementasi
sebagaimana pada kebanyakan teori-teori dengan pendekatan Rasional-Top-down.
Pendekatan Bottom up, menguntungkan pada situasi dimana implementator
mempunyai kebebasan untuk melakukan inovasi tanpa ada dependensi kekuasaan
dengan melihat dinamika daerah atau lingkungan kebijakan yg berbeda
Donald P. Warwick melalui pendekatan transaksional mengembangkan
model yang prinsipnya bertolak dari pandangan bahwa guna memahami berbagai
masalah pada tahap pelaksanaan rencana atau kebijakan, maka keterkaitan antara
perencanaan dan implementasi tidak dapat diabaikan.
Daftar Fustaka

Wibawa, Samodra.1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada
Grindle, Merilee S. (Ed). 1980. Politics and Apolicy Implementation in the Third
World, New Jersey: Princetown University Press.
Wayne Parsons (2005), Pengantar dan praktek Analisis Kebijaakan
Drs. Hessel Nogi S. Tangkilisan, M.Si (2003) Implementasi Kebijakan Publik
Wayne Parsons: Public Policy: Prenada Media, Jakarta, 2005.

Anda mungkin juga menyukai