Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Gullain Barre Sindrome adalah gangguan yang jarang mengenai tubuh, dimana
sistem kekebalan tubuh menyerang bagian saraf. Penyakit ini biasanya terjadi satu
atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis,
atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Penyebab pasti penyakit ini
belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi saluran pernafasan atau
pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering
terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma
Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan
perawatan segera.
Menurut WHO insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai
1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical
Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000
orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah
3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data
di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan merupakan
penyakit autoimun yang menyebabkan demielinisasi pada akar saraf tepi. Sampai
saat ini penyebab pasti penyakit ini masih dalam perdebatan. Mikroorganisme
penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada
pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang. Sindrom ini dapat pula

1
didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi,
anestesi dan sebagainya. Namun teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan
imunobiologik.
1.2.TUJUAN
1.2.1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami tentang Syndrom Gaullain-Barre dan
Asuhan Keperawatan Kritis pada pasien dengan Syndrom Gaulain-Barre.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa/i mampu memahami tentang konsep Syndrom Gaulain-Barre.
2. Agar mahasiswa/i mampu memahami tentang Konsep Asuhan Keperawan Kritis
pada Pasien dengan Syndrom Gaulain- Barre.
3. Agar mahasiswa/i mampu memahami tentang evidence base practice pada
Syndrom Gaulain-Barre.

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1.KONSEP TEORI
2.1.1. Definisi
Sindrom gaulain- barre dianggap sebagai neuropati perifer inflamatorik yaitu
limfosit dan makrofag melepaskan mielin dari akson. Reaksi inflamatorik difus
dapat di lihat pada sistem saraf perifer, saraf kranial dan radiks saraf kranial.
Kondisi ini disebut sabagai sindrom, bukan penyakit, karena kombinasi tanda dan
gejala yang di jumpai pada pasien.
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain
Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang
menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila
parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang
menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita
rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan
rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.

2.1.2. Etiologi
Etiologi sindrom gaulain-barre belum jelas, namun respons autoimun diduga
kuat sebagai penyebabnya. Kejadian yang sering kali mendahului atau menyertai
sindrom ini adalah infeksi. Kadang kala, vaksinasi di ketahui memicu sindrom
gaulain- barre.
Sekitar 50% orang menderita sindrom gaulain-barre mengalami penyakit demam
ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan gejala. Infeksi demam biasanya terjadi di
pernafasan dan pencernaan. Minat yang signifikan muncul pada infeksi tersebut dan
pembentukan auto antibodi. Beberapa studi menunjukkan hubungan antara temuan
klinis dan infeksi campylobacter jejuni serta antara temuan klinis dan infeksi sito
megalovirus. Pada kelompok pertama, pasien cenderung mengalami sindrom
gaulain-barre motorik murni dengan keterlibatan motorik distal dominan dan
kelemahan dengan awitan cepat. Pada kelompok kedua, terdapat keterlibatan

3
sensorik yang lebih besar. Saraf kranial lebih sering terkena, demikian juga otot
proksimal.
Sekitar 25% pasien yag menderita sindrorm ini memiliki antibodi terhadap
sitomegalovirus dan virus eppstein-barr. Perubahan respon imun tehadap antigen
saraf perifer dianggap berperan dalam timbulnya gangguan ini.
GBS dapat disebabkan oleh kerusakan sistem kekebalan. Kerusakan sistem
kekebalan tersebut menimbulkan pembengkakan syaraf peripheral, sehingga
mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang.
2.1.3. Patofisiologi
Pada sindrom gaulain- barre, selubung mielin yang mengelilingi akson hilang.
Selubung mielin tersebut sangat rentan terhadap cedera karena banyak agens dan
kondisi trauma fisik, hipoksemia, bahan kimia beracun, insufisiensi vaskular, dan
reaksi imunologis. Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap
kondisi merugikan ini.
Akson yang bermielin menghantarkan impuls saraf lebih cepat daripada akson
yang tidak bermielin. Disepanjang rangkaian serabut bermielin terdapat interupsi di
selubung yang di sebut nodur Ranvier, tempat terjadinya kontak langsung anatara
membran sel akson dan cairan ekstraseluler. Membran ini sangat permeabel pada
nodus ini, yang menimbulkan koduksi yang sangat baik. Perpindahan ion ke dalam
dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya di nodus ranvier; oleh karena itu,
impuls saraf di sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari nodus satu ke
nodus yang lain (disebut konduksi saltatori) dengan cepat. Hilangnya selubung
mielin pada sindrom gaulain-barre menyebabkan konduksi salatatori tidak dapat di
lakukan dan transmisi impuls saraf di batalkan.
Teori saat ini mengenai penyakit sindrom gaulain- barre menyebutkan bahwa
sel-T limfosit primer adalah penyebab inflamasi. Sel bermigrasi melalui dinding
pembuluh menuju saraf perifer. Hasilnya adalah edema dan inflamasi perivaskuler.
Makrofag kemudian menghancurkan mielin.
Teori lain menyebutkan bahwa penyebab sindrom ini adalah proses dimeialinasi
dimulai oleh serangan antibodi pada mielin di awal proses penyakit. Dimielinisasi

4
menyebabkan atrofi akson, yang melibatkan perlambatan atau penghambatan
konduksi saraf.
2.1.4. Manifestasi Klinis
Sindrom dapat terjadi dengan cepat dalam hitungan jam atau hari, atau dapat
membutuhkan waktu hingga 3-4 minggu untuk berkembang. Sebagian besar pasien
memperlihatkan kelemahan terbesar pada beberapa minggu pertama penyakit.
Pasien berada dalam kondisi terlemahnya pada minggu ketiga sakit.
Pada awalnya, parlisis flaksid dan asenden terjadi dengan cepat. Pasien paling
sering terkana dengan pola yang simetris. Pasien pertam-tama menyadari kelemahan
di ekstremitas bawah yang dapat dengan cepat meluas hingga mencakup kelemahan
dan sensasi abnormal di lengan. Refleks tendon profunda biasanya hilang, bahkan
pada tahp terawal sekalipun. Saraf trunkus dan kranial dapat terkena. Otot
pernapasan dapat terkena, yang menyebabkan gangguan pernafasan.
Gangguan otonom seperti retensi urin dan hipotensi ortostatik juga dapat terjadi.
Refleks tendon superfisial dan profunda juga dapat hilang. Beberapa pasien
mengalami nyeri tekan dan nyeri pada penekanan dalam atau pergerakan beberapa
otot.
Gejala sensorik parastesia, termasuk matirasa dan kesemutan, dapat terjadi.
Banyak pasien mengeluh nyeri. Sindrom ini memiliki sifat nyeri dan sering kali di
bandingkan dengan rasa otot yang bekerja terlalu berlebihan jika saraf keranial
terkena, saraf kranial VII, nerfus fasialis, seringkali terkena. Sindrom gaulain- barre
tidak mempengaruhi tingkat kedaran, fungsi pupil, atau fungsi serebral.
Gejala dapat memburuk selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat
berhenti pada sewaktu-waktu. Fungsi mototorik dapat kembali dengan urutan
desenden. Demileinasi terjadi dengan cepat, namun laju remialinasi sekitar 1-2 mm
perhari.

5
2.1.5. Pemeriksaan diagnostik
1. Spinal tap (tusuk lumbalis)/(lumbar puncture)
Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang
belakang di daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis
tertentu perubahan yang biasanya terjadi pada orang yang memiliki sindrom
Guillain-Barre. Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya
pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama
jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai
naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS
tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Jika memiliki GBS, tes ini
dapatmenunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang
belakangtanpa tanda infeksi lain.
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai
blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset
gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase
penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan
yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi
EMG.

6
3. Pemeriksaan Darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal,
sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada
kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus,
menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung;
umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV
ataupun EBV.
4. EKG
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan
voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
5. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
6. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada
fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama
dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat
Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung
saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada
ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang
(limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati,
limpa, jantung, dan organ lainnya.

7
2.1.6. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Klinis
Guillain Barre Syndrome dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Yang
diperlukan adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi
sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot
pernapasan. Apa bila terjadi keadaan demikian, maka penderita segera di rawat
di ruang intensif :
1. Pengobatan imunosupresan :
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih
ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai
sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) cyclophosphamid : Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia,
muntah, mual dan sakit kepala.
2. Plasmaferesis
Plasmaferesis untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang
besar,terutama untuk kasus yang akut. Di negara-negera barat,
plasmaferesis mulai sering dilakukan namun demikian belum diperoleh
kesimpulan yang pasti. Dengan cara ini plasma sejumlah 200-
250ml/kgbb dalam 4-6x pemberian selang waktu sehari diganti dengan
cairan yang berisi kombinasi garam dan 5% albumin. Plasmaparesis
atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor
autoantibodi yang beredar.

8
3. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada
perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, nmulut,faring dan
trakea.infeksi paru dan saluaran kencing harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas
darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada
tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera di bantu
dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di perlukan untuk
waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada
secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan
pasti pada kaki lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin
di perlukan untuk mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh,
dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai
untuk melati dan meningkatkan kekuatan otot.
4. Roboransia saraf
Roboransia saraf dapat diberikan terutama secara parenteral. Apabila
terjadi kesulitan menguyah atau menelan,sebagai akibat kelumpuhan
otot-otot wajah dan menelan maka perlu dipasang pipa hidung lambung
(nasogastric tube) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan
cairan.
2.2.ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
2.2.1. Pengkajian
Untuk pasien yang menderita sindrom Gaulain-barre pengkajian saksama
dan rencana yang di susun membantu meminimalkan komplikasi imobilitas dan
memudahkan pasien kepusat rehabilitasi tanpa defisit. Meskipun pasien yang
menderita sindrom gaulain-barre sakit kritis, mereka memiliki kesempatan yang
baik untuk kembali kekehidupan produktif jika dapat melewati tahap akut.
Apabila di duga terjadi sindrom gaulain-barre, pasien di rawat di rumahsakit
untuk memantau apakah pasien mengalami perburukan. Karena sifat progresif
penyakit tersebut, pengkajian harus di fokuskan pada pemeriksaan neurologis,

9
yaitu, saraf kranial yang terkena, kelemahan motorik, dan perubahan sensorik,
defisit saraf kranial mengidentifikasi apakah pasien berisiko mengalami aspirasi.
Tingkat mati rasa, kesemutan, dan nyeri yang dialami pasien harus dikaji.
Pengkajian kardiovaskuler di lakukan untuk memantau tekanan darah dan
frekuansi jantung. Status pernapasan pasien juga harus di pantau dan FVC di kaji
setidaknya setiap shift. Fungsi gastrointestinal dan saluaran kemih harus terus
diawasi. Pasien berisiko mengalami konstipasi dan infeksi saluran kemih.
Komplikasi imobilitas lainnya adalah kemungkinan ulkus dekubitus dan DVT.
2.2.2. Diagnosa
Penentuan Diagnosa Kritis
Diagnosis sindrom gailain-barre sangat bergantung pada riwayat pasien
dan perburukan gejala klinis. Seperti yang di sebutkan, awitan biasanya tiba-tiba
dan riwayat menunjukkan ada penyakit pernapasan atas atau gastrointestinal
yang terjadi 1 sampai dengan 4 minggu sebelum terjadinya awitan neorologis.
Riwayat awitan gejala dapat menunjukkan sindrom ini karena gejala sindrom
gaullain-barre biasanya di mulai dengan kelemahan atau parastesia di
ekstremitas bawah dan mulai dengan pola yang simetris.
Pungsi lumbal dapat di lakukan dan menunjukkan adanya peningkatan
protein. Pemeriksaan konduksi saraf juga dapat merekam transmisi implus di
sepanjang serabut saraf. Pada pasien yang menderita sindrom gaullain-barre,
kecepatan konduksi dapat menurun.
Pemeriksaan fungsi paru di lakukan saat di curigai adanya sindrom
Gaullain-barre untuk menetapkan nilai dasara yang di gunakan sebagai
pembanding saat penyakit mulai memburuk. Penurunan kapasitas fungsi paru
dapat menunjukkan adanya kebutuhan akan ventilasi mekanis dan
penatalaksanaan di ICU.
2.2.3. Intervensi
Saat merawat pasien yag menderita sindrom gaulain-barre, tujuan
utamanya adalah mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, mempertahankan
fungsi sistem tubuh, mengatasi dengan cepat krisis yang mengancam hidup, dan
memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga. Dalam hal status

10
neurologis pasien, kelemahan akan menyebabkan hambatan mobilitas. Aktivitas
rencana peregerakan harus di lakukan minimal sekali pershift untuk
meminimalkan risiko terjadinya kontraktur pada pasien. Tindakan untuk
mempertahankan kesejahteraan tubuh juga harus di lakukan. Tindakan seperti
pemasangan belat di lakukan untuk mencegah hiperfleksi pergelangan tangan
dan kulai kaki. Terapi fisik harus di lakukan pada awal masa perawatan di rumah
sakit dan di lanjutkan selama periode pemulihan.
Terkenanya saraf kranial menempatkan pasien pada risiko aspirasi.
Nutrtisi yang adekuat harus di pertahankan. Jika pasien tidak dapat makan
peroral, pemberian makanan melalui selang dapat di berikan selain itu, karena
intubasi atau gangguan komunikasi verbal, komunikasi alternatif harus
kembangkan dengan menggunakan papan komunikasi, sikap tubuh, dan sinyal
sederhana seperti kedipan mata.
Gagal nafas adalah komplikasi GBS yang paling berat. Kelemahan otot
napas menempatkan pasien pada resiko tinggi hipoventilasi dan infeksi paru
berulang. 50 % pasien yang menderita GBS mengalami beberapa gangguan
napas, yang menyebabkan penurunan volume tidal dan kapasitas vital atau
kemungkinan henti nafas kompleks. Trakheos tomy dapat di indikasikan jika
pasien membutuh ventilasi mekanis jangka panjang. Jika ada sistem saraf
autonom yang terkena, perubahan tekanan darah (hipotensi/ hipertensi) dan
frekuansi jantung secara drastis, atau keduanya dapat terjadi. Pemantauan
jantung memungkinkan pengidentifikasi pasien dan pengobatan arytmia secara
cepat. Manufer valsafah, batuk, dan pengisapan dapat memicu gangguan sistem
saraf otonom. Pasien harus di pantau dengan ketat. Tindakan yang dapat
memberikan rasa nyaman di terapkan. Sebagai contoh, perubahan posisi yang
sering dapat membantu. Ketika terjadi remielinasi, rasa tidak nyaman seringkali
timbul dan pasien dapat mengeluhkan mati rasa serta nyeri. Hal ini merupakan
tanda yang baik untuk pasien karena proses penyakit mengalami refensi.
Meskipun pasien mengalami ketidakmampuan fisik, ia sepenuhnya dengan
kondisi sekitarnya. Penting untuk memberikan dukungan emosi dan penguatan
di setiap fase perawatan di rumah sakit. Pasien dapat mengalami rasa tidak

11
berdaya dan tidak mempunyai harapan. Penjelasan yang sering mengenai
intrervensi dan kemajuan yang di alami dapat membantu pasien. Pasien harus di
berikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam asuhan sebanyak yang dapat di
lakukannya.
2.2.4. Manajemen untuk perawatan SGB
1. Manajemen Kegagalan Respirasi
SGB merupakan penyakit neuropati perifer yang paling sering menimbulkan
paralisis respiratori. Manifestasi klinis yang menjadi prediksi kondisi
kegagalan respirasi antara lain: takipnea, takikardi, ketidaksimetrisan
pergerakan dada, abdomen, kapasitas vital paru <20 ml/kg, tekanan inspirasi
maksimal <30 cmH2O, dan tekanan ekspirasi maksimal <40 cm H2O
(Meena, Khadilkar, dan Murthy, 2011). Faktor lain yang menjadi penyebab
kegagalan respirasi seperti kelemahan wajah, kelemahan bulbar, dan
kelemahan otot leher. Intubasi diperlukan bila pasien memerlukan bantuan
ventilasi mekanik, bila kegagalan napas terus terjadi maka perlu
dipertimbangkan tindakan trakeostomi.
2. Manajemen Disfungsi Otonom
Disfungsi otonom merupakan salah satu penyebab kematian pada penderita
SGB. Gangguan sistem kardio dan gangguan hemodinamik yang manifestasi
klinisnya antara lain: hipertensi, postural hipotensi, dan takikardi (Meena,
Khadilkar, & Murthy, 2011). Manifestasi klinis tersebut gangguan motilitas
gastrointestinal, hiponatremia, nyeri dan gejala sensori yang juga muncul.
Manajemen pada sekumpulan gejala disfungsi otonom antara lain
penggunaan medikasi untuk mengatasi hipertensi, penerapan hiperoksigenasi
pada tindakan penghisapan endotrakeal untuk reduksi pemicu bradikardia
atau sistol, pemasangan selang nasogastrik dan medikasi dengan eritromisin
atau neostigmin.
3. Manajemen Imunoterapi
Manajemen imunoterapi untuk mengatasi penyebab terjadinya demielinisasi
poliradikulopati yaitu terapi penggantian plasma darah atau Plasmaferesis

12
dan pemberian Imunoglobulin melalui intravena. Penggantian plasma dan
terapi.
Plasmaferesis banyak terbukti memberikan perbaikan pada banyak pasien
dengan kasus SGB, namun tetap saja SGB menimbulkan beberapa
kelemahan yang parah dan pemulihan yang tidak sempurna, nyeri dan
kelelahan (Willison, Jacobs, & Doorn, 2015). Penanganan dengan kedua
teknik imunoterapi secara bersamaan pun tidak direkomendasikan karena
tidak membawa hasil yang efektif.
4. Manajemen suportif saat rehabilitasi
Seperti halnya dengan pasca penyakit neurologi lainnya maka sisa dari
defisit neurologi akibat SGB juga memerlukan penanganan rehabilitatif.
Fisioterapi dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi motorik dari penderita.

2.3.EVIDANCE BASSED PRACTICE


2.3.1. Pengalaman Pasien Sindrom Gaillain-Barre (SGB) Pada Saat Kondisi Kritis
Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP DR.Hasan Sadikin Bandung
1. Latar Belakang
Sindrom Guillain-Barre (SGB) yaitu penyakit autoimun yang menyerang
selubung myelin pembungkus saraf perifer, yang merupakan penyebab
utama acute flaccid paralysis (Parry, 1993). SGB umumnya terjadi
didahului oleh adanya infeksi pernafasan, gastrointestinal sekitar 1 – 4
minggu sebelum terjadi serangan neurologik (Asbury, 1981). Gejala
yang ditimbulkan berupa kelemahan dan sensasi kesemutan di kaki dan
tangan, ketidakmampuan berjalan, kesulitan gerakan mata, wajah,
berbicara, mengunyah atau menelan dan rasa sakit di punggung bagian
bawah, sulit mengontrol kandung kemih atau fungsi usus. SGB apabila
tidak tertangani dari awal timbulnya gejala dapat mengakibatkan
kelumpuhan yang bisa menyebabkan kematian (Parry, 1993).
2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam
pengalaman fisik, psikologis, spiritual dan sosial pasien Sindrom

13
Guillain-Barre pada saat kondisi kritis di ruang Intensive Care Unit
(ICU) RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
3. Metode
Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan descriptive phenomenology. Instrumen penelitian adalah
peneliti sebagai human instrument, pedoman wawancara menggunakan
pedoman semi structure interview, alat perekam suara (vioce recorder)
Penelitian ini melibatkan 4 partisipan.
4. Hasil penelitian
Hasil penelitian pengalaman fisik pada saat kondisi kritis didapatkan
lima tema adalah: Badan Lemah,Sesak Nafas,Rasa Baal, Nyeri
Tenggorokan dan Batuk.
Hasil penelitian pengalaman psikologis pada saat kondisi kritis
didapatkan tiga tema adalah: Tidak Percaya, Sedih dan Takut.
Hasil penelitian pengalaman spiritual pada saat kondisi kritis didapatkan
dua tema adalah: Seperti diambang kematian dan Pasrah.
Hasil penelitian pengalaman sosial pada saat kondisi kritis didapatkan
tiga tema yaitu: Dukungan keluarga yang positif, Tidak bisa berbicara
dan Tidak bisa berinteraksi.
5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada hasil penelitian dan pembahasannya, maka
dapat ditarik beberapa simpulan dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Peneliti dapat mengidentifikasi pengalaman pasien Sindrom Guillain-
Barre, pada saat kondisi kritis.
b. Peneliti dapat mengidentifikasi Pengalaman fisik pada saat kondisi
kritis adalah: 1) Badan Lemah, 2) Sesak, Nafas, 3) Rasa Baal, 4)
Nyeri tenggorokan dan 5) Batuk.
c. Pengalaman psikologis pada saat kondisi kritis adalah: 1) Tidak
Percaya 2) Sedih dan 3) Takut.
d. Pengalaman spiritual pada saat kondisi kritis adalah: 1) Seperti
diambang kematian dan 2) Pasrah

14
e. Pengalaman sosial pada saat kondisi kritis adalah: 1) Dukungan
keluarga positif 2) Tidak bisa berbicara dan 3) Tidak bisa
berinteraksi.
2.3.2. Pola Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Pasien Gaullain-Barre
Syndrom (DBS) DiRuang Rawat Inap Sub Depertemen Penyakit Saraf
Rumkital Dr. Ramelean Surabaya
1. Latar Belakang
Terapi kausatif pada pasien GBS dilakukan dengan cara pemberian
imunoterapi seperti imunoglobulin intravena dan Plasma Exchange
yang bertujuan untuk mengatasi penyebab autoimun pada pasien GBS.
Penggunaan imunoglobulin intravena dikatakan aman dan efektif dalam
pengobatan penyakit GBS yang parah dan dapat digunakan untuk semua
umur. Pemberian imunoglobulin dapat memberikan hasil berupa
perbaikan fungsi motorik yang signifikan pada pasien GBS sampai
sekitar 55%.
2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola penggunaan
imunoglobulin intravena pada pasien Guillain-Barre Syndrome di
Ruang Rawat Inap Sub Departemen Penyakit Saraf Rumkital Dr.
Ramelan Surabaya meliputi jenis, dosis, waktu dan lama pemberian.
3. Metode
Penelitian ini dilakukan secara observasional dan retrospektif dengan
metode total sampling terhadap rekam medik pasien di ruang rawat inap
Sub Departemen Penyakit Saraf Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
periode Januari 2012 – Januari 2015.
4. Hasil
Dari hasil penelitian ini diperoleh data pasien dengan diagnosis akhir
GBS dan mendapatkan terapi imunoglobulin intravena sejumlah 6
pasien.
Dosis imunoglobulin yang diberikan didasarkan pada berat badan dari
pasien. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,4 g / kgBB setiap hari

15
selama 5 hari berturut – turut. Pada penelitian ini, tidak dicantumkan
dosis imunoglobulin yang diberikan pada keenam pasien. Tetapi, dosis
dapat dihitung dari jumlah vial yang diberikan pada setiap pasien.
Sebanyak 1 pasien (16,67%) yang mendapatkan imunoglobulin dengan
dosis yang sudah sesuai yakni 0,4 g/kgBB. Dan sebanyak 4 pasien
(66,67%) yang mendapatkan dosis dibawah 0,4 g/kgBB serta 1 pasien
(16,67%) mendapatkan dosis diatas 0,4 g/kgBB. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh kondisi klinis dari masing – masing pasien seperti
adanya penyakit penyerta ataupun komplikasi yang terjadi pada pasien
tersebut. Drug Related Problems (DRP) yang mungkin terjadi adalah
efek samping dan interaksi obat.
5. Kesimpulan
Pemberian terapi imunoglobulin intravena pada pasien GBS sebaiknya
ditentukan berdasarkan kondisi klinis dari pasien serta dengan
mempertimbangkan berbagai faktor terkait terapi seperti efek samping,
ketepatan waktu pemberian, cara pemberian dan lama pemberian, karena
apabila berbagai faktor tersebut diperhatikan dengan baik maka akan
diperoleh respon efektifitas yang baik dari terapi imunoglobulin pada
pasien GBS.

16
BAB 3

PENUTUP

3.1.KESIMPULAN
GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan
yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri.
Terjadi kelemahan otot, kehilangan reflex, dan kebas pada lengan, tungkai,
wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut dan berhubungan
dengan proses autoimun. Fokus utama asuhan keperawatan pada penyakit ini
adalah mempertahankan pernapasan, mencegah komplikasi, memberi dukungan
emosional, mengedalikan nyeri, dan memberikan iformasi prognosis penyakit.
Nutrisi, hygiene, dan istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkaN
system imun dari tubuh penderita yang mengalami masalah pada bagian system
imun.
3.2.SARAN
Dalam menyusun makalah ini penulis masih mendapatkan kesulitan karena
kurangnya buku sumber di perpustakaan, sehingga di sarankan kepada institusi
untuk memperbanyak buku sumber yang berhubungan dengan tugas-tugas
mahasiswa sehingga dapat mempermudah dalam menyelesaikan tugas-tugas
dengan baik dan tepat pada waktunya.

17

Anda mungkin juga menyukai