Anda di halaman 1dari 5

Dalam dunia kesehatan kita sering mendengar kata Transisi Epidemiologi, atau beban

ganda penyakit.Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola
kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi
penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular)
justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi
dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain
sebagainya. Ya..mungkin seperti itulah pengertian Transisi Epidemiologi yang saya ketahui.
Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar
Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan kesehatan
di negara industri sejak abad 18. Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa
tokoh seperti Rogers dan Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran
melakukan sedikit revisi. Bagi negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The
age of declining CVD mortality, ageing, lifestyle modification, emerging and resurgent diseases
ditandai dengan angka harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah, serta
penyakit kardiovakular dan kanker, serta 5)The age of aspired quality of life with paradoxical
longevity and persistent inequalities yang menggambarkan harapan masa depan, dengan angka
harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik morbiditas, sehingga
mendorong upaya peningkatan quality of life.
Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara
berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden” yang
ditandai dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi
penyakit menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c)pelayanan kesehatan yang
tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan jenis penyakit beberapa pakar menggati
beban ketiga itu dengan “New Emerging Infectious Disease” Penyakit menular baru/penyakit
lama muncul kembali.
Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan
berada pada fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda kesehatan.
Kita akan membahas beban ini satu-persatu.
Beban pertama yang dihadapi Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit
menular “klasik”. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua
Negara berkembang apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis. Angka
kesakitan dan kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat menjadi masalahnya.
Sebut saja Tuberkulosis (TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria, Leptospirosis dan masih
banyak lagi teman-temannya. Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka
tinggal (baca:endemis). Sudah berpuluh-puluh tahun pemerintah kita mencoba membuat program
memberantas bahkan mengeliminasi penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau pergi dari
Indonesia, Sudah Trilyunan Rupiah dikeluarkan agar mereka mau meninggalkan Indonesia,
Malah trend kasusnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling
mempengaruhi. Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi (Epidemiological
Triangle) yaitu lingkungan, Agent penyebab penyakit, dan pejamu. Ketidakseimbangan ketiga
faktor inilah yang bisa menimbulkan penyakit tersebut. Kita tidak akan membahasnya satu
persatu disini. Informasi lebih jelsnya anda bisa membaca buku tentang Epidemiologi dan
Kesehatan Lingkungan.
Transisi epidemiologi yang dimaksud adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor
penyebab terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang baru. keadaan transisi
epidemiologi ini ditandai dengan perubahan pola frekuensi penyakit.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan kompleks dalam pola kesehatan dan
pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi
(penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin
meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan
meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi dan lain-lain.

2.2 Faktor Penyebab Transisi Epidemiologi


Transisi kesehatan terjadi karena adanya transisi demografi dan transisi
epidemiologi(henry,1993). transisi demografi merupakan akibat adanya
urbanisasi,industrialisasi,meningkatnya pendapatan, tingkat pendidikan, teknologi kesehatan dan
kedokteran di masyarakat. Hal ini akan berdampak pada terjadinya transisi epidemiologi yaitu
perubahan pola kematian yaitu akibat infeksi,angka fertilitas total,umur harapan hidup penduduk
dan meningkatnya penyakit tidak menular atau penyakit kronis.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola
kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi
penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular)
justru semakin meningkat.Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi
dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain
sebagainya.
Transisi epidemiologi dan demografi, juga perkembangan ekonomi
mengakibatkannegara-negara menghadapi peningkatan beban akibat Penyakit Tidak Menular
(PTM).Pada 1999, PTM diperkirakan bertanggung jawab terhadap hampir 60% kematian di
dunia dan 43% dari beban penyakit dunia (WHO, 2000a). Diprediksikan pada tahun 2020
penyakit ini akan mencapai 73 persen kematian di dunia dan 60 persen dari bebanpenyakit dunia
(WHO, 2002).
Meski demikian masih terdapat tantangan baru sebagai akibat perubahan sosial dan
ekonomi:
1. Pola penyakit yang semakin kompleks, Indonesia saat ini berada pada pertengahan transisi
epidemiologi dimana penyakit tidak menular meningkat drastis sementara penyakit menular
masih menjadi penyebab penyakit yang utama. Kemudian saat ini penyakit kardiovaskuler
(jantung) menjadi penyebab dari 30 persen kematian di Jawa dan Bali. Indonesia juga berada
diantara sepuluh negara di dunia dengan penderita diabetes terbesar. Di saat bersamaan penyakit
menular dan bersifat parasit menjadi penyebab dari sekitar 22 persen kematian. Angka kematian
ibu dan bayi di Indonesia juga lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan negara tetangga.
Satu dari dua puluh anak meninggal sebelum mencapai usia lima tahun dan seorang ibu
meninggal akibat proses melahirkan dari setiap 325 kelahiran hidup. Perubahan yang diiringi
semakin kompleksnya pola penyakit merupakan tantangan terbesar bagi sistem kesehatan di
Indonesia.
2. Tingginya ketimpangan regional dan sosial ekonomi dalam sistem kesehatan. Dibanyak
propinsi, angka kematian bayi dan anak terlihat lebih buruk dibandingkan dengan situasi di
beberapa negara Asia termiskin. Kelompok miskin mendapatkan akses kesehatan yang paling
buruk dan umumnya mereka sedikit mendapatkan imunisasi ataupun mendapatkan bantuan
tenaga medis yang terlatih dalam prosesmelahirkan.
Kematian anak sebelum mencapai usia lima tahun dari keluarga termiskin mencapai sekitar
empat kali lebih tinggi dibandingkan anak dari keluarga terkaya. Tingginya tingkat terkena
penyakit, baik yang disebabkan dari penyakit menular maupun penyakit tidak menular, telah
mengurangi kemampuan orang miskin untuk menghasilkan pendapatan, dan hal ini berdampak
pada lingkaran setan kemiskinan.
3. Menurunnya kondisi dan penggunaan fasiitas kesehatan publik serta kecenderungan penyedia
utama fasilitas kesehatan beralih ke pihak swasta. Angka penduduk yang diimunisasi mengalami
penurunan semenjak pertengahan 1990, dimana hanya setengah dari anak-anak di Indonesia yang
diimunisasi. Indonesia bahkan telah tertinggal dibandingkan dengan negara-negara seperti
Filiphina dan Bangladesh. Program kontrol penyakit tuberkulosis (TB) diindikasikan hanya
mengurangi kurang dari sepertiga penduduk yang diperkirakan merupakan penderita baru
tuberkulosis. Secara keseluruhan, pengunaan fasiitas kesehatan umum terus menurun dan
semakinbanyak orang Indonesia memiih fasiitas kesehatan yang disediakan oleh pihak swasta
ketika mereka sakit. Di sebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi
penyediaan fasilitas kesehatan dan saat ini terhitung lebih dari dua pertiga fasiitas ambulans yang
ada disediakan oleh pihak swasta. Juga lebih dari setengah rumah sakit yang tersedia merupakan
rumah sakit swasta, dan sekitar 30-50 persen segala bentuk pelayanan kesehatan diberikan oleh
pihak swasta (satu dekade yang lalu hanya sekitar 10 persen). Dalam masalah kesehatan kaum
miskin cenderung lebih banyak menggunakan staf kesehatan non-medis, sehingga angka
pemanfaatan rumah sakit oleh kaum miskin masih amat rendah.
4. Pembiayaan kesehatan yang rendah dan timpang. Pembiayaan kesehatan saat ini lebih banyak
dikeluarkan dari uang pribadi, dimana pengeluaran kesehatan yang harus dikeluarkan oleh
seseorang mencapai sekitar 75-80 persen dari total biaya kesehatan dan kebanyakan pembiayaan
kesehatan ini berasal dari uang pribadi yang dikeluarkan ketika mereka memanfaatkan pelayanan
kesehatan. Secara keseluruhan, total pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia lebih rendah
dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga (US $ 16 per orang per tahun pada 2001). Hal ini
disebabkan oleh rendahnya pengeluaran pemerintah maupun pribadi untuk kesehatan. Lebih
lanjut, cakupan asuransi amat terbatas, hanya mencakup pekerja di sektor formal dan keluarga
mereka saja, atau hanya sekitar sepertiga penduduk dilindungi oleh asuransi kesehatan formal.
Meski demikian mereka yang telah diasuransikan pun masih harus mengeluarkan sejumlah dana
pribadi yang cukup tinggi untuk sebagian besar pelayanan kesehatan. Akibatnya kaum miskin
masih kurang memanfaatkan pelayanaan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah. Dampaknya,
mereka menerima lebih sedikit subsidi dana pemerintah untuk kesehatan dibandingkan dengan
penduduk yang kaya. Sebanyak 20 persen penduduk termiskin dari total penduduk menerima
kurang dari 10 persen total subsidi kesehatan pemerintah sementara seperlima penduduk terkaya
menikmati lebih dari 40 persen.
5. Desentralisasi menciptakan tantangan dan memberikan kesempatan baru. Saat ini, pemerintah
daerah merupakan pihak utama dalam penyediaan fasiitas kesehatan. Jumlah pengeluaran daerah
untuk kesehatan terhadap total pengeluaran kesehatan meningkat dari 10 persen sebelum
desentralisasi menjadi 50 persen pada tahun 2001. Hal ini dapat membuat pola pengeluaran
kesehatan menjadi lebih responsif terhadap kondisi lokal dan keragaman pola penyakit. Akan
tetapi hal ini akan berdampak juga pada hilangnya skala ekonomis, meningkatnya ketimpangan
pembiayaan kesehatan secara regional dan berkurangnya informasi kesehatan yang penting.
6. Angka penularan HIV/AIDS meningkat namun wabah tersebut sebagian besar masih
terlokalisir. Diperkirakan sekitar 120. 000 penduduk Indonesia terinfeksi oleh HIV/AIDS,
dengan konsentrasi terbesar berada di propinsi dengan penduduk yang sedikit (termasuk Papua)
dan di kota kecil maupun kota besar yang terdapat aktifitas industri, pertambangan, kehutanan
dan perikanan. Virus tersebut menyebar lebih lambat dibandingkan dengan yang diperkirakan
sebelumnya. Akan tetapi penularan virus tersebut meningkat pada kelompok yang berisiko
tinggi, yaitu penduduk yang tidak menerapkan perilaku pencegahan terhadap virus tersebut,
seperti menggunakan kondom pada aktivitas seks komersial atau menggunakan jarum suntik
yang bersih dalam kasus pecandu obat-obatan.

Tiga fase transisi epidemiologi untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah sebagai
berikut
1) The age of pestilence and famine (masa wabah dan kelaparan), ditandai dengan tingginya
angka kematian, rendahnya usia harapan hidup yaitu dibawah 40 tahun, dan pertumbuhan
populasi yang tidak terkontrol. Fase ini terjadi sejak abad 17 d hingga awal abad 20. Pola
penyakit dalam fase ini ditandai dengan peningkatan paparan mikroba, gizi buruk, penyakit
karena penyimpanan makanan yang tidak adekuat, penyakit menular dan penyakit endemik.

2) The age of receding pandemics (masa menurunnya pandemi), ditandai dengan penurunan
angka kematian karena penurunan epidemi, dan peningkatan usia harapan hidup menjadi sekitar
55 tahun. Masa ini terjadi pada pertengahan abad ke 20. Pada fase ini mulai terjadi pergeseran
pola penyakit dan kematian yang awalnya dikarenakan penyakit infeksi, kini disebabkan karena
penyakit degeneratif dan kronik.

3) The age of triple health burden (masa tiga beban kesehatan), ditandai dengan penurunan
signifikan angka kematian dan peningkatan usia harapan hidup menjadi mencapai 70 tahun. Fase
ini terjadi pada akhir abad 20 atau awal abad 21. Frenk dan Gomez-Dantes mengatakan triple
burden of disease pada negara berkembang di fase ini meliputi; (1) Timbunan permasalahan
kesehatan klasik, seperti penyakit infeksi, gizi buruk, dan kematian ibu, (2) Meningkatnya
tantangan penyakit tidak menular, seperti kanker, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit
mental, (3) Munculnya permasalahan kesehatan yang berhubungan dengan globalisasi, seperti
new emerging disease dan permasalahan kesehatan terkait perubahan iklim dan gaya hidup

Anda mungkin juga menyukai