Anda di halaman 1dari 14

“ILMU AL JARH WA AT -TA’DIL “

Makalah ini di ajukan sebagai syarat memenuhi tugas ulumul hadis

Di Susun Oleh :Kelompok 9


Indah Sukriah Btr 0204193145
Melisa Siregar 0204193131
Sa’diyah Hayati Siahaan 0204193159
Dhio Bagus Setya 0204173156
Rina Yati 0204163160
Siti Mariani 0204163158

Dosen Pengampu : Fatimah Zahara S.Ag MA

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA
TA. 2019-2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puja dan puji syukur selalu kita ucapkan kehadirat penguasa seluruh alam yang tiada
yang lain dan tak ada yang lain kecuali Allah Swt. Karena berkat limpahan rahmat, taufik,
hidayah serta inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan tugas makalah Ulumul Hadis dengan judul
“Al-Jarh Wa At-Ta’dil”. Shalawat dan salam senantiasa kita sampaikan kepada keharibaan kita
Rasulullah Muhammad SAW dan semoga kita tetap menjadi hamba-Nya yang takwa dan selalu
dalam keridhaan-Nya aamiin ya rabbal aalamiin.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengaturkan rasa terima kasih yang dalam, kepada
semua pihak yang telah membantu memberikan dukungan dan bimbingan yang sangat berharga
pada penyelesaian makalah ini.
Penulis juga mengucapkan permohonan maaf atas segala kekurangan dalam penulisan makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna
kesempurnaan yang akan datang. Penulis berharap, semoga makalah ini bermanfaat untuk
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya bagi masyarakat Indonesia.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Penulis
Medan, 3 Desember 2019
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................


DAFTAR ISI ..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................


A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................
C. Tujuan Masalah ..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Jarh Wa At-Ta’dil ....................................................................................
B. Objek Bahasan Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil ...............................................................
C. Manfaat ilmu al-jarh wa at-ta’dil ...............................................................................
D. Lafal-Lafal dan Tingkatan Al-Jarh Wa At-Ta’dil ......................................................

BAB III PENUTUP ..............................................................................................................


A. Kesimpulan ...............................................................................................................
B. Saran ........................................................................................................................
C. Daftar Pustaka ..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat islam memiliki dua landasan utama yaitu Al-Quran dan Hadis (sunnah) sebagai
pedoman hidup didunia. Al-quran yang notaben kalam allah, telah dijamin kemurnian dan
keabsahannya. Yakni al-quran shahi likulli zamanin wamakan karena al-quran diturunkan secara
mutawatir. Sedangkan sunnah atau sabda rasul tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga
tidak semua hadis bisa diterima, karena belum tentu setiap hadis itu berasal dari rasulullah. Oleh
karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadis atau biasa disebut dengan istilah
‘Ulumul Hadis’. Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada satu ilmu
yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadis tentang keadaan
setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan
status dan derajat hadis yang diteliti oleh perawi tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Jarh Wa At- Ta’dil ?
2. Apa objek bahasan dan kegunaan ilmu Al- Jarh Wa At-Ta’dil?
3. Bagaimana bentuk lafal-lafal dan tingkatan Al-Jarh Wa At-Ta’dil?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
2. Untuk mengetahui objek bahasan dan kegunaan dari ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
3. Untuk mengetahui bentuk lafal-lafal dan tingkatan Al-Jarh Wa At-Ta’dil
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Jarh Wa At-Ta’dil


Al-jarh secara bahasa: isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau
sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang. Al-jarh menurut istilah: yaitu
terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak
hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya atau melemahkannya hingga
kemudian ditolak. At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang
menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa yaitu apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan seorang
yang ‘adilartinya kesaksiannya diterima dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan
membersihkannya. Al-‘Adlumenurut istilah yaitu orang yang tidak nampak padanya apa yang
dapat merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan
kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadis. At-Ta’dil yaitu pensifatan
perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima
beritanya.
Maka ilmu al-Jarh dan al-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan pada para perawi dan tentang penta’dilannya dengan memakai kata-kata yang
khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.1

B. Objek Bahasan Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil


1. Pentajrihan Rawi
Tajrih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Bid’ah, yakni mempunyai i’tikad berlawanan dengan dasar syariat.
b. Mukhalafah, yakni perlawanan sifat ‘adil dan dhabit seorang rawi yang lain yang lebih
kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.
c. Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun
banyak kesalahan yang dilakukan.

1
Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.82.
d. Jahalah al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya.
e. Da’wa al-inqitha’, yakni mendakwa terputusnya sanad.
2. Penetapan Kecacatan dan Keadilan Seorang Perawi
a. Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua jalan :
1) Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang
rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan
masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai
jalan untuk menetapkan kecacatannya.
2) Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-
sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para muhadditsin.
Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang
laki-laki yang adil.
b. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh :
1) Seorang rawi yang adil.
Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dilkan. Sebab jumlah itu
tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu, jumlah tersebut
tidak menjadi syarat pula untuk men-ta’dil-kan seorang rawi.
2) Setiap orang yang dapat diterima periwayatnya.
Baik laki – laki maupun perempuan dan orang yang merdeka maupun budak, selama ia
mengetahui sebab – sebab yang dapat mengadilkannya.
3) Syarat ulama al -Jarh wa al- Ta’dil
Seorang ulama al-jarh wa-ta’dil harus memenuhi criteria-kriteria yang menjadikannya
objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya ialah :
- Berilmu, bertakwa, wara’ dan jujur
Jika seorang ulama tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat
menghukumi orang lain dengan al-jarh wa al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan
keadilan.
- Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan menjarhkan Al Hafizh Ibnu
Hajar menjelaskan dalam Syarhal-Nukhbah, bahwa tazkiyah (pembersihan
terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan olehnya dengan sepintas
tanpa mendalami dan memeriksanya.
- Mengetahui penggunaan kalimat -kalimat bahasa Arab
Dengan pengetahuan terhadap penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab maka
suatu lafadz yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh
dengan lafadz yang tidak sesuai untuk menjarh.
4) Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan Bagi Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
- Tidak disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka..
Dalam melakukan tazkiyah dan jarh, yang terpenting orang tersebut hendaklah
orang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan, dan orang merdeka atau
hamba.
- Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil
kecuali dengan pernyataan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian
lainnya.Kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al-
jarh wa al-ta’dil.
5) Sebab – sebab Timbulnya Jarh
Beberapa hal yang menyebabkan seseorang men-jarh seorang rawi diantaranya :
- Karena hawa nafsu atau suatu maksud tertentu
- Karena berlainan kepercayaan
- Karena berselisih antara ahli tasawuf dan ahli zhahir
- Karena pembicaranya yang muncul tanpa didasari ilmu
- Samar-samar serta tidak wara’.2

C. Manfaat ilmu al-jarh wa at-ta’dil


Ilmu aljarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi
itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli
sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji

2
Drs. M. Solahudin, M.Ag & Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis, (Bandung,: CV. Pustaka Setia,
2009), h.159
sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain
untuk menerima hadis terpenuhi.
Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan saksama, paling tidak, akan
muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal,
perjalanan hadis semenjak nabi Muhammad saw. Sampai dibukukan mengalami perjalanan yang
begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya
rasulullah saw., kemurnian sebuah hadis perlu mendapat penelitian secara seksama karena
terjadinya pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya
banyak mereka kaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadis yang
disandarkan kepada rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka
buat untuk kepentingan golongannya.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampur
adukkan antara hadis yang benar-benar dari rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis
sahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.3

D. Lafal-Lafal dan Tingkatan Al-Jarh Wa At-Ta’dil


Abu Muhammad abdur rahman ibn abi hatim ar-razi dalam kitab al-jarh wa at-ta’dil
membagi lafal jarh dan ta’dil menjadi empat tingkatan. Az-zahabi dan al-iraqi menambah satu
tingkatan ta’dil yang lebih tinggi daripada tingkatan pertama menurut ar-razi, yaitu penilaian
siqat yang diulang-ulang seperti siqatun-siqatun atau siqatun hujjatun. Pada akhirnya al-hafiz
ibnu hajar al-asqalani menambah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada tingkatan tambahan
az-zahabi dan al-iraqi, yaitu sighat tafdhil seperti ausaq an-nas atau asbat an-nas, sehingga
tingkatan ta’dil akhirnya menjadi enam. Demikian juga ulama lain menambahkan dua tingkatan
jarh selain yang telah dikemukakan ibn abi hatim, sehingga lafal dan tingkatan jarh menjadi
enam pula.
Lafal-lafal dan tingkatan ta’dil (keterpujian) periwayat adalah sebagai berikut :
1. Kata- kata yang menunjukkan kelebihan perawi dalam keadilan dengan menggunakan
lafal-lafal yang berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian

3
Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1974), h. 310-311.
sejenis. Kata-kata ini menempati tingkatan tertinggi,seperti kata fulanun ilaihi al-muntaha
fi as-sabti (fulan orang yang paling top keteguhan hatinya), la a’rifu lahu nazirun fi ad-
dunya (saya tidak mengetahui tandingannya di dunia ), fulanun asbat an-nas hifzon
wa’adalah (fulan orang paling mantap hafalan dan keadilannya), fulanun ausaq al-khalqi
(fulan orang paling siqat), atau fulanun ausaqu man adraktu min al-basyari (fulan orang
yang paling siqat yang kutemukan), siqatun fauqa as-siqah (orang yang siqat melebihi
orang yang siqat ).
2. Kata-kata yang dikuatkan dengan membubuhkan satu sifat dari sifat-sifat yang
menunjukkan keadilan dan kedhabitan perawi, baik yang dibubuhkan tersebut selafaz
(dengan mengulangnya) maupun dengan lafaz yang semakna, seperti kata-kata sabtun-
sabtun (orang yang teguh (lagi) teguh), siqatun-siqatun (orang yang siqat (lagi) siqat),
hujjatun- hujjatun (orang ahli (lagi) ahli), siqatun sabtun (orang yang siqat (lagi) teguh ),
hafizun hujjatun (orang yang hafiz (lagi) ahli ), dhabitun mutqinun (orang yang kuat
ingatan (lagi) meyakinkan ilmunya).
3. Kata-kata yang menunjukkan penilaian siqat tanpa penguat, seperti kata-kata siqatun
(orang yang siqat), hujjatun (orang yang ahli), sabtun (orang yang teguh hati dan
lidahnya).
4. Kata-kata yang menunjukkan keadilan dan kedhabitan tetapi dengan lafaz yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil, seperti kata-kata saduqun (orang yang sangat
jujur), ma’munun (orang yang dapat memegang amanah), la ba’sa bihi (orang yang tidak
cacat).
5. Kata-kata yang menunjukkan kejujuran tetapi tidak diketahui adanya kedhabitan, seperti
kata mahalluhu as-sidqi (orang yang berstatus jujur), jayyidul hadis (orang yang baik
hadisnya), hasanul hadis (orang yang bagus hadisnya), dan muqaribul hadis (orang yang
hadisnya berdekatan dengan hadis orang lain yang siqat).
6. Kata-kata yang mendekati penilain cacat (tajrih), seperti kata saduqun in sya’allah (orang
yang jujur insya allah), fulanun arju bian la ba’sa bihi (orang yang diharapkan siqat),
fulanun shuwailihun (orang yang sedikit kesalihannya), fulanun maqbuhun hadisuhu
(orang yang diterima hadisnya).
Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang
dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan
keenam dapat ditulis dan baru dapat digunakan bila dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh
perawi lain.
Kemudian lafal-lafal dan tingkatan jarh (ketercelaan) periwayat adalah :
1. Kata-kata yang menunjukkan keterlaluan si perawi tentang cacatnya dengan
menggunakan lafal-lafal yang berbentuk af’alu at-tafdhil atau ungkapan lain yang
mengandung pengertian sejenisnya, seperti fulanun akzab an-nas (fulan manusia paling
pembohong), fulanun ilaihi muntaha al-kizbi (orang yang paling menonjol
kebohongannya), audha’un nas (orang paling pembohong), atau fulanun ilaihi al-muntaha
fi al-wadh’i (orang paling menonjol kebohongannya).
2. Kata-kata yang menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafal-lafal berbentuk
sighat mubalaghah, seperti fulanun kazzabun (fulan orang pembohong), fulanun dajjalun
(fulan orang yang penipu), fulanun wadhdha’un (fulan orang yang pendusta).
3. Kata-kata yang menunjukkan tertuduhnya seorang perawi dengan pendusta atau kata-kata
yang semakna, seperti fulanun muttahamun bi al-kizbi (fulan orang yang dituduh dusta),
fulanun mutthamun bi al-wadh’i (fulan orang yang dituduh dusta), fulanun fihin nazru
(fulan orang yang perlu diteliti), fulanun saqitun (fulan orang yang gugur), atau fulanun
laisa bi saqatin (fulan bukan orang siqat).
4. Kata-kata yang menunjukkan sangat lemahnya, seperti mathruh al-hadis (orang yang
dilempas hadisnya), fulanun dha’ifun (fulan orang lemah), fulanun mardud al-hadis
(fulan orang ditolak hadisnya).
5. Kata-kata yang menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan perawi mengenai
hafalannya, seperti fulanun la yuhttaju bihi (fulan orang yang tidak dapat dibuat hujjah
hadisnya), fulanun majhulun (fulan tidak dikenal identitasnya), fulanun mungkar al-hadis
(fulan orang yang mungkar hadisnya), fulanun muththaribul hadis (fulan orang yang
kacau hadisnya), fulanun wahin (fulan orang yang banyak duga-duga).
6. Kata-kata yang menunjukkan bahwa perawi memiliki sifat-sifat kelemahan, tetapi sifat
itu berdekatan dengan adil, seperti dhu’ifa hadisuhu (orang yang didha’ifkan hadisnya),
fulanun maqalun fihi (fulan orang yang diperbincangkan), fulanun fihi khalfun (fulan
orang yang disingkiri), fulanun layyinun (fulan orang yang lunak), fulanun laisa bi al-
hujjah (fulan orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya), dan fulanun laisa bi al-
qawiy (fulan orang yang tidak kuat).4
Orang yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat hadisnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrihkan menurut tingkatan
kelima dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (pembanding).

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang sifat para periwayat,
seperti amanah,tsiqah, adil, dan dhabith, atau sebaliknya, seperti dusta, lalai, dan lupa.
Ilmu ini dikenal juga dengan ilmu mizan al-rijal.Ilmu ini membahas segala sifat
periwayat dan menilai apakah terpuji atau tercela.

4
Ahmad Zuhri dan Fatimah Zahara , Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji dan Fakultas Syariah, 2019), h.
172.
2. Adapun objek bahasan yang dibahas dalam ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil anatara lain Pen-
tajrih-an rawi danPenetapan kecacatan dan keadilan seorang perawi. Ilmu aljarh wa at-
ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima
atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai
seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji
sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang
lain untuk menerima hadis terpenuhi.
3. Lafal-lafal dan tingkatan ta’dil (keterpujian) periwayat adalah sebagai berikut :Kata- kata
yang menunjukkan kelebihan perawi, Kata-kata yang dikuatkan dengan membubuhkan
satu sifat, Kata-kata yang menunjukkan penilaian siqat , Kata-kata yang menunjukkan
keadilan, Kata-kata yang menunjukkan kejujuran, Kata-kata yang mendekati penilain
cacat.
4. Kemudian lafal-lafal dan tingkatan jarh (ketercelaan) periwayat adalah :Kata-kata yang
menunjukkan keterlaluan, Kata-kata yang menunjukkan sangat cacat, Kata-kata yang
menunjukkan tertuduhnya seorang perawi, Kata-kata yang menunjukkan sangat
lemahnya, Kata-kata yang menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan perawi, Kata-
kata yang menunjukkan bahwa perawi memiliki sifat-sifat kelemahan.

B. Saran

Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterima
riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dijadikan
referensi bagi para peminat hadits dalam menentukan sikap pada sebuah hadits. Tentunya
makalah ini masih banyak kekurangan dengan kedhaifan penulis. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua umat islam.
DAFTAR PUSTAKA

Al Qaththan, Syaikh Manna 2005 Pengantar Studi Ilmu Hadits Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits Bandung: PT. Alma’arif
Solahudin. M., & Agus Suyadi. 2009 Ulumul Hadis Bandung: CV. Pustaka Setia
Ahmad Zuhri dan Fatimah Zahara , 2019 Ulumul Hadis, Medan: CV. Manhaji dan Fakultas
Syariah,

Anda mungkin juga menyukai