Anda di halaman 1dari 29

ILMU PENYAKIT SARAF

Kejang
DEFINISI perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai

akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai

pelepasan listrikserebral yang berlebihan.


Gerakan otot tonik atau klonik yang involuntary yang

merupakan serangan berkala, yang disebabkan oleh

lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan.

EPIDEMIOLOGI Prevalensi dinegara sedang berkembang ditemukan lebih

tinggi dari pada negara maju. Dilaporkan prevaqlensi

dinegara maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-

74/1000 orang dinegara sedang berkembang. Daerah

pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi

dibendingkan daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6)

dipedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan.

ETIOLOGI Vaskuler: stroke perdarahan, stroke infark, perdarahan

Subarachnoid, malformasi arteri-vena, thrombosis sinus

venosus.
Infeksi: meningitis, meningoensefalitis, abses otak.
Trauma kepala yang akut atau kronis dengan hematoma

subdural.
Gangguan metabolik: hipo/hypernatremia,

hipo/hiperkalsemia, hipo/hiperkalsemia,

hipo/hipermagnesemia, hipo/hiperglikemia, hiperthiroid,


hiperamonemia, uremia, intoksikasi etanol, kokain,

amfetamin.
Epilepsy
Tumor
Penyakit kolagen: SLE, vaskulitis, sarkoidosis.
Dll: antidepresan, antipsikotik, analgesic, anesthesia local,

simptomimetik, antineoplaastik, bromkodilator.


Defek kongrnital.

PATOGENESIS/ Bangkitan disebabkan oleh karena pelepasan muatan listrik


PATOFISIOLOGI
yang abnormal, sinkron, dan berlebih pada sekelompok

neuron kortikal sehingga mengakibatkan perubahan fungsi

neurologis yang tiba-tiba.

TANDA & GEJALA Anamnesis: mananyakan onset, ada aura yang mendahului

tidak, bagaimana kesadaran pasien saat kejang, pasien

mengompol dan lidah tergigit saat kejang, bangkitan

pertama atau bukan, sudah menggunakan obat anti kejang

sebelumnya, apakah pasien menderita DM, penyakit ginjal

atau immunocompromised, riwayat penggunaan alkohol.


Pemeriksaan fisik; cek tanda vital, lihat apakah terdapat

bekas gigitan di lidah, bibir, mukosa, ada trauma kepala

atau tidak, rangsang meningen +/-, terdapat hematoma,

laserasi, atau fraktur, terdapat ronkhi, murmur, aritmia

cordis, adakah inkontinensia urine, lakukan pemeriksaan

neuroligis yaitu derajat kesadaran, saraf kranial, motoric,

refleks fisiologis atau refleks patologis.

PEMERIKSAAN
PENUNJANG Laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, trombosit, glukosa,

elektrolit, kalsium, magnesium, ureum, kreatinin, analisis

gas darah, toksikologi.


Ct scan kepala dengan zat kontras/ MRI kepala: jika

terdapat defisit neurologis fokal, awitan bangkitan fokal,

bangkitan pertama.
Lumbal punksi: bila dicurigai infeksi SSP
EEG: bila bangkitan diragukan, bila diduga status

epileptikus non-konvulsivus, untuk penentuan pengobatan

jangka panjang, untuk penentuan sindroma epilepsy.

PENATALAKSANAAN Umumnya kejang akan berhenti sendiri dalam waktu 3

menit, apabila masih terdapat kejang > 3 menit pikirkan

status epileptikus.
- bersikaplah tenang, jangan berteriak atau mengguncang

pasien.
- Pastikan pasien terlindung dari trauma dan aspirasi
- Pasisikan pasien dalam posisi lateral decubitus
- Longgarkan pakaian yang mengikat
- Berikan oksigenisasi yang baik
- Jangan masukan apapun kedalam mulut pasien
- Observasi sampai pulih kesadaran
- Bila pasien hipoglikemia, beri glukosa 50% sebanyak

50cc
- Bila pasien dicurigai minum alkohol beri thiamine

100mg (dalam 3-5 menit)


- Beri diazepam 5-10mg iv secara perlahan dalam 2-3

menit, dapat diulang maksimal 20mg.

PROGNOSIS Pada kejang yang pertama tidak memerlukan terapi obat

anti epilepsy. Rekurensi paling sering dalam 2 tahun

pertama:
Tingkat rekurensi akan bertambah bila terdapat:
Abnormalitas dalam pemeriksaan fisik.
Gambaran EEG abnormal
Bentuk bangkitan parsial
Usia <12 atau >60 tahun
Riwayat keluarga (+)
Riwayat kejang demam (+)
Bangkitan timbul saat tidur.

HAL PENTING LAIN DIAGNOSIS BANDING


Hipoglikemia, sinkop, asteriksis, mioklonus, dystonia,

tremor, stroke/TIA, narkolepsi, migren komplikata, panis

attack, sindroma hiperventilasi, bangkitan psikogenik.

Sumber: buku kegawatdaruratan neurologi

EPILEPSI
DEFINISI Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak

dengan berbagai etiologi, dengan gejla tunggal yang khas,

yakni kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron

otak secara berlebihan dan paroksimal.


Bangkitan epilepsy adalah klinis dari bangkita serupa yang

berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan

sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran.

EPIDEMIOLOGI Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara

maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih dari decade 1 dan 2

kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%.

Sebaliknya prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih

tinggi pada usia decade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut.

Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan

usia harapan hidup rata-rata dinegara maju lebih tinggi.


Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin dinegara-

negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi

daripada wanita.

ETIOLOGI 1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit

neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic

dan umumnya berhubungan dengan usia.

2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya

belum diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West,

sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.

Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh

kelainan/lesi structural pada otak, misalnya; cedera kepala,

infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan

peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolic,

kelainan neurodegeneratif.

FAKTOR RISIKO - jika terdapat kelainan neurologis atau perkembngan

sebelum kejang demam pertama.


- Kejang demam kompleks.

Adanya riwayat epilepsy pada orangtua atau sodara kandung


PATOGENESIS/ Neuron memiliki potensial membrane, karena adanya
PATOFISIOLOGI
perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di

luar neuron yang menyebabkan polarisasi pada membran

dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron


bersinapsis dengan neron lain melalui akson dan dendrit.

Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan

menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang

berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan

hiperpolarisasi membrane. Bila eksitasi cukup besar dan

inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suat potensial aksi

akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau

menghambat neuron lain sehingga menyebabkan epilepsy.

KLASIFIKASI 1. Kejang parsial (fokal): bersal dari bagian tertentu

dalam korteks serebri.


- sederhana: tidak ada penurunan kesadaran. Gejela bisa

sensoris, motoris, otonom, atau psikis, tergantung

bagian korteks yang terlibat.


- Kompleks: ada penurunan kesadaran (ditandai dengan

amnesia). Gejalanya biasanya berupa bengong

mendadak yang diikuti dengan automatisme dan

kebingungan pasca serangan.


- Kejang tonik-klonik umum sekunder: kejang parsial

yang berlanjut menjadi kejang tonik-klonik umum.


2. Kejang umum: berasal dari seluruh hemisfer korteks

serebri kiri maupun kanan. Kejang umum tidak

selalu penurunan kesadaran contoh (mioklonik).


- Absens/lena (petit mal): bengong mendadak, tanpa aura,

tampak kebingungan pasca serangan. Berlangsung

hanya sebentar <20 detik, bisa disertai automatisme

maupun tidak.
- Mioklonik: kedutan motorik aritmik (tidak teratur)
- Klonik: kedutan motorik ritmik (teratur), lebih lama dari
mioklonik.
- Tonik: ekstensi atau fleksi tonik mendadak pada kepala,

badan, atau ekstremitas.


- Tonik-klonik umum primer (grand mal): kejang berawal

sebagai ekstensi tonik ekstremitas atas dan bawah yang

berlangsung beberapa detik, kemudian menjadi gerakan

klonik ritmik, dengan kebingungan pasca serangan.


- Atonik: hilangnya tonus postural tubuh secara

mendadak ( pasien tiba-tiba jatuh).

PEMERIKSAAN - Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)Rekaman EEG


PENUNJANG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan
suatu bangkitan untuk:

o Membantu menunjang diagnosis

o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom


epilepsi.

o Membatu menentukanmenentukan prognosis

o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.

- Pemeriksaan pencitraan otakBerguna untuk mendeteksi

lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi dapat

mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi

patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma,

ganglioma, malformasi kavernosus, DNET

( dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous

sclerosiss. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus

kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih

cepat..

- Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan ini mencakup


hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,

trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,

kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi

hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.

PENATALAKSANAAN Dilakukan tindakan terapeutik, obat pilihan utama untuk

serangan epilepsy jenis apapun kecuali petit mal adalah

luminal atau phenytoin. Dosis luminal untuk anak-anak 3-

5mg/kgBB/hari, untuk dewasa 60-120mg/kgBB/hari. Dosis

phenytoin (dilatin, parked avis) untuk anak-anak

5mg/kg/BBdan untuk dewasa 5-15mg/kg/BB/hari. Efek

phenytoin 5mg/kg/BB/hari (kira-kira 300mg sehari) baru

terlihat dalam 5 hari.

PROGNOSIS Pasien epilepsi 1/3 nya akan bebas dari serangan paling sedikit
2 tahun dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir
obat dihentikan.
HAL PENTING LAIN Komplikasi dapat menyebabkan kerusakan otak akibat hipoksia
dan retradasi mental dapat timbul akibat kejang berulang.
Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.
Sumber:

STATUS EPILEPTIKUS
DEFINISI Kejang yang berkepanjangan dimana kejang berlangsung

lebih dari 30 menit atau terjadi gangguan fungsi vital atau

kejang berulang dimana diantara kejang penderita tidak


sadar.

EPIDEMIOLOGI Frekuensi SE (status epileptikus) diperkirakan mencapai 10-

60 per 100.000 penduduk setiap tahun dan bervariasi

dipengaruhi oleh factor ethnic, genetic, sosio-ekonomi, usia,

retradasi mental dan adanya kelainan structural terutama

dilobus frontal.

ETIOLOGI 1. Etiologi epileptik: SE timbul pada penderita yng

mempunyai latar belakang epilepsy sebelumnya. Hal ini

biasanya dipresipitasi oleh kondisi-kondisi tertentu

antara lain: ketaatan yang buruk, perubahan terapi,

penghentian obat golongan barbiturate atau

benzodiazepine, penyalahgunaan obat atau alkohol,

pseudo SE.
2. Etiologi non-epileptik:status epilepsi terjadi pada

penderita yang tidak mempunyai latarbelakang eilepsi

sebelumnya, hal ini disebabkaan oleh latarbelakang

penyakit lainnya seperti: stroke, meningoensefaitis,

trauma kepala akut tumor otak, penyakit demielisasi,

gangfuan metabolik, over dosis obat, inflamasi arteritis,

intoksikasi.

KLASIFIKASI Berdasarkan klinis:

- SE fokal

- SE general Berdasarkan durasi:

← - SE Dini( 5-30 menit)


← - SE menetap/ Established(>30 menit)

← - SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah


mendapat dua atau tiga jenis antikonvulsan awal dengan dosis
adekuat )Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi
menjadi dua kelompok utama:

← - SE-NK Umum

← - SE-NK fokal

PATOGENESIS/
PATOFISIOLOGI
TANDA & GEJALA
PEMERIKSAAN Elektroensefalogram (EEG) merupakan pemeriksaan terpenting
PENUNJANG pada suatu bangkitan epileptik, yang tidak dapat digantikan oleh
pemeriksaan lain.

PENATALAKSANAAN 1. Penatalaksanaan umum


Perbaiki fungsi total: amankan jalan nafas dan lakukan

resusitasi jika diperlukan, pastikan respirasi adekuat,

periksa tekanan darah dan irama jantung, lakukan

pemasangan jalur intravena, pipa naosgastrik, dan

akteter dower.
Pemeriksaan segera: tes darah untuk evaluasi metabolit,

level obat antiepilepsi dan zat toksik. EKG


2. Terapi medikamentosa
- Tahap premonitoring: berikan diazepam 10mg

i.v per rektal.


- Tahap I atau tahap kompensasi (0-30 menit):

berikan diazepam 10mg i.v/pr jika status

berlanjut, ulang pemberian setelah 15 menit.


- Tahap II atau tahap dekompensasi (30-60 menit),

jika status berlanjut setelah 30 menit maka:

penderita harus dipindahkan ke unit perawatan

intensif, berikan fenitoin iv dalam NaCl 0,9%


dosis 15-18 mg/kg dengan kecepatan 50

mg/menit, dengan pengawasan kardiogram dan

tekanan darah, atau berikan phenobarbital 10-20

mg/kg sampai 100 mg/menit dengan

pengawasan tekanan darah dan respirsi.


- Tahap status refrakter (>60 menit), jika status

masih berlanjut setelah 30-60 menit, maka SE

memasuki tahap refrakter. Pada tahap ini

lakukan anestesi umum dengan salah satu dari 2

cara yaitu yang pertama propofol 2mg/kg iv

bolus diikuti dengan drip obat dalam infus

kontinu 5-10mg/kg/jam pada saat awal, dosis

dapat dikurangi 1-3mg/kg/jam jika kejang telah

terkontrol selama 12 jam, turunkan perlahan

selama lebiih dari 12 jam. Yang kedua berikan

thiopental 100-250 mg iv bolus selama lebih dari

20 detik, dengan tambahan bolus 50mg tiap 2-3

menit sampai kejang terkontrol, diikuti dengan

drip infus 3-5 mg/kg/jam untuk mensupresi

cetusan EEG. Penghentian harus perlahan

setelah 12 jam paska kejang terakhir.

PROGNOSIS Prognosis SE tergantung dari jenis etiologinya, mortalitas

20%, biasanya disebabkan oleh penyakit yang

mendasarinya bukan oleh status epilepsinya. Kejadiannya

lebih tinggi pada usia lanjut daripada anak-anak.


HAL PENTING LAIN KOMPLIKASI: Hipotermi , Asidosis , Hipotensi,

Rabdomiolisis , Gagal ginjal, Infeksi , Edema otak

Sumber: buku kegawatdaruratan neurologi

EPILEPSI
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI
FAKTOR RISIKO
PATOGENESIS/
PATOFISIOLOGI
TANDA & GEJALA
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
PENATALAKSANAAN
PROGNOSIS
HAL PENTING LAIN
Sumber:

SKLEROSIS MULTIPEL
DEFINISI Suatu peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang

belakang yang menyerang daerah substansia alba dan

merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda.

EPIDEMIOLOGI Sclerosis multiple adalah salah satu gangguan neurologis

yang paling sering menyerang dewasa muda. Secara global

diperkirakan prevalensi rata-rata sclerosis multiple adalah

30/100.0000. secara regional prevalensi diperkirakan rata-


rata sclerosis multiple adalah terbesar di Eropa

(80/100.000), diikuti oleh Mediterania Timur (14,9),

Amerika (8,3), Pasifik Barat (5), Asia Tenggara (2,8),

Afrika (2,3).

ETIOLOGI Penyebab Multipel Sklerosis adalah suatu proses


autoimmun yang menyerang myelin dan pembentukan sel myelin
pada otak dan medula spinalis, akan tetapi pada Multipel Sklerosis
sebenarnya bukan suatu proses autoimmun murni oleh karena tidak
adanya antigen respon immun yang abnormal. Kausa MS terdiri
dari:
a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan
oligodendroglia
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock
protein sehingga menyebabkan pelepasan sitokin
c. Defek pada oligodendroglia
d. Diet : berhubungan dengan komposisi membran, fungsi
makrofag, sintesa prostaglandin
e. Genetika : penurunan kontrol respon immun
f. Mekanisme lain : toksin, endokrin, stress

FAKTOR RISIKO
PATOGENESIS/ Multipel Sklerosis diyakini terutama dimediasi (namun
PATOFISIOLOGI
tidak eksklusif) oleh autoreaktif sel Th1 secara auto-antigen yang
diaktifkan di perifer oleh mekanisme yang belum dikenalkan
(pilihan termasuk mimikri molekuler dengan faktor peptida
lingkungan menular; super-antigens; kerusakan toleransi imunologi
oleh mekanisme lain, dll). Sel-sel T aktif berploriferasi,
mengekspresikan berbagai reseptor dan molekul adhesi, mensekresi
mediator proinflamasi dan metaloproteinase, mengaktifkan blood-
brain barrier (BBB) dan berinteraksi untuk masuk ke dalam otak,
dimana mereka mengalami reaktivasi oleh autoantigen lokal yang
dihadirkan oleh molekul MHC kelas II diekspresikan pada
mikroglia aktif, astrosit dan makrofag. Ini memulai reaksi inflamasi
lokal di mana sitokin, kemokin dan mediator lain disekresikan oleh
sel-sel aktif, menarik dan mengaktifkan komponen lainnya dari
sistem kekebalan tubuh (makrofag, sel T sitotoksik, sel B, astrosit
dan komplemen) dan menyebabkan serangan terpadu pada mielin,
akson dan glia, yang dimediasi oleh sel sitotoksik dan sitokin,
fagositosis, protease, antibodi antimyelin, komplemen, glutamat,
NO dan intermediet oksigen reaktif lain. Hasil berupa edema,
demielinasi, transeksi aksonal, kehilangan oligodendrocytes dan
aktivasi astrosit berkontribusi terhadap disfungsi neurologis, untuk
pembentukan plak akut diikuti kemudian oleh bekas luka gliotic
dan hilangnya volume otak. Proses lain seperti apoptosis,
pergeseran Th1 ke Th2, pelepasan faktor pertumbuhan dan sitokin
oleh glia aktif, dan perubahan lingkungan sitokin yang
berkontribusi terhadap regulasi dan resolusi dari respon inflamasi
lokal. Hal ini memungkinkan pelepasan blok konduksi, reorganisasi
jalur fungsional pada tingkat selular dan tingkat sistem, remielinasi
dan beberapa aktivitas regeneratif, dan sinyal pemulihan
fungsional. Mekanisme restoratif ini hanya efektif sebagian dan
hanya untuk sementara, seperti akumulasi hilangnya aksonal
ireversibel dari waktu ke waktu secara signifikan, reaktivitas
astrosit menyegel lesi, dan gliosis menyebabkan penghalang fisik
untuk remielinasi lebih lanjut, mengurangi kapasitas untuk
mengakomodasi defisit kumulatif, dan menandai transisi ke tahap
defisit persisten. Kehilangan dukungan trofik dari glia ke akson
dapat berkontribusi pada degenerasi aksonal kronis dan
peningkatan defisit klinis yang merupakan karakteristik dari fase
progresif dari penyakit

TANDA & GEJALA Gangguan sensorik


Parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati, tertusuk-
tusuk jarum dan peniti) mungkin berbeda-beda
tingkatannya dari hari ke hari. Jika lesi terdapat pada
kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi
leher menyebabkan sensasi seperti syok yang berjalan
ke bawah medulla spinalis (tanda Lhermitte). Gangguan
proprioseptif sering menimbulkan ataksia sensorik dan
inkoordinasi lengan. Sensasi getar seringkali
menghilang. Karena gangguan sensorik tak dapat
diperagakan secara obyektif, maka gejala-gejala tersebut
dapat disalah duga sebagai histeria.

2.Gangguan penglihatan
Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan
sebagai gejala-gejala awal. Dapat terjadi kekaburan
penglihatan, lapang pandang yang abnormal dengan
bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada
kedua mata..

3.Kelemahan spastik anggota gerak


Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu
anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara
asimetris pada keempat anggota gerak. Pasien mungkin
mengeluh merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan
pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah
terseret maju, dan pengontrolannya kurang sekali.
Pasien dapat mengeluh tungkainya kadang-kadang
seakan –akan meloncat secara spontan terutama apabila
ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan spatis yang
lebih berat disertai dengan spame otot yang nyeri.
Refleks tendon mungkin hiperaktif dan refleks-refleks
abdominal tidak ada. Respons plantar berupa ekstensor
(tanda Babinski). Tanda-tanda ini merupakan indikasi
terserangnya lintasan kortikospinal.

4. Tanda-tanda serebelum
nistagmus (gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam
arah horisontal atau vertikal) dan ataksia serebelar
dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan volunter,
intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria
5. Disfungsi kandung kemih
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali
menimbulkan gangguan pengaturan sfingter sehingga
timbul keraguan, frekuensi dan urgensi yang
menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih
yang spastis.
6. Gangguan afek
Banyak pasien menderita euforia, suatu perasaan senang
yang tidak realistik. Ini di duga disebabkan terserangnya
substansia alba lobus frontalis. Tanda lain gangguan
serebral dapat berupa hilangnya daya ingat dan
demensia.

PEMERIKSAAN 1. Analisis cairan serebrospinal menunjukkan ikatan oligoclonal


PENUNJANG IgG
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah tes yang paling
sensitif untuk mendeteksi dan menunjukkan lesi Multipel
Sklerosis.
PENATALAKSANAAN 1. Untuk kekambuhan akut, pengobatan standar adalah
pemberian singkat kortikosteroid dosis tinggi (biasanya
metilprednisolon 500-1000 mg / hari selama 3-5 hari secara
intravena, diikuti, dalam banyak kasus, dengan tappering
down dari prednison oral untuk tambahan 1-2 minggu).
2. Pencegahan aktivitas penyakit: Enam obat modifikasi-
penyakit [tiga jenis dari interferon-β (Betaferon / Betaseron,
Avonex dan Rebif), glatiramer asetat (GA, Copaxone,
mitoxantrone (Novantrone) dan natalizumab (Tysabri)]
selama ini telah disetujui untuk pencegahan aktivitas penyakit
Multipel Sklerosis, setelah menunjukkan keberhasilan dalam
mengurangi tingkat kekambuhan dan tingkat keparahan,
memperlambat akumulasi disablitas dan secara positif
mempengaruhi penanda MRI dari aktivitas dan
perkembangan penyakit
3. Pengobatan simtomatik pada Multipel Sklerosis paling baik
disampaikan dengan pendekatan multidisiplin yang
mengintegrasi fisioterapi, intervensi sosial dan psikologis dan
perawatan medis yang bertujuan untuk setiap gejala
individu17.

PROGNOSIS
HAL PENTING LAIN
Sumber: Kapita Selekta Neurologi, Neurologi Praktis, Pedoman Praktis pengobatan Penyakit
Saraf

AMYOTROPHIC LATERAL SCLEROSIS (ALS)


DEFINISI Sklerosis Lateral Amiotropik (ALS), yang juga dikenal sebagai
penyakit Lou Gehrig, adalah kondisi neurologis yang ditandai
dengan timbulnya kelemahan pada otot dan kehilangan koordinasi
yang biasanya dimulai dari anggota tubuh sebelum secara bertahap
menyebar ke seluruh tubuh.
EPIDEMIOLOGI Insidensi penyakit SLA 2 : 100.000 per tahun. Ada kecenderungan
lebih besar pada laki-laki, dengan rasio 1.5 : 1 , dan kondisi ini
lebih sering terjadi pada usia paruh baya dan usia lanjut, dengan
gejala puncak terjadi pada usia sekitar 60 tahun. Sekitar 5-10%
pasien mempunyai riwayat keluarga, yang menunjukkan adanya
penurunan dominan autosomal, dengan onset usia yang lebih muda.
ETIOLOGI Etiologi dan pathogenesis sklerosis lateral amiotrofik tidak

diketahui. Pada sebagian kasus familial, lokus genetik

diketahui terletak di gen superoksida dismutase (SOD1)

tembaga-seng di kromosom 21. gangguan autoimun yang

menyerang kompleks imun pada glomerulus renal dan

membran dasar (basemant), Interferensi metabolik pada

produksi asam nukleat oleh serat syaraf, defisiensi nutrisional

yang berkaitan dengan gangguan pada metabolisme enzim dan

virus yang menyebabkan gangguan metabolik pada neuron

motor.

FAKTOR RISIKO a. Keturunan


10 % pasien dengan ALS diturunkan dari orang tuanya.

Jika anda sekarang menderita ALS, anak anda akan

memiliki 50% kemungkinan terjadinya penyakit ini.


b. Usia
Biasanya gejala penyakit muncul pada usia 40 sampai 60
tahun. Geografi. Orang yang tinggal di Guam, New Guinea

Barat dan beberapa daerah di Jepang memiliki resiko lebih

tinggi terjadinya ALS.


c. Faktor makanan mungkin berpengaruh.
d. Tugas militer.
Studi terkini menyebutkan bahwa orang yang sebelumnya

pernah bertugas militer memiliki resiko lebih tinggi

terjadinya ALS

PATOGENESIS/ Pada ALS yang diturunkan secara genetik terjadi mutasi gen yang
PATOFISIOLOGI bertugas menghasilkan enzim antioksidan, yang melindungi sel
saraf dari radikal bebas. Respon Autoimun. Kadang, sistem imun
seseorang dapat menyerang sel normal di tubuhnya sendiri, hal ini
lah yang terjadi pada ALS
KLASIFIKASI a. Sporadis - bentuk paling umum dari als di amerika serikat -

90 hingga 95 persen dari semua kasus.


b. Familial - terjadi lebih dari sekali dalam keluarga

keturunan ( dominan genetik warisan ) menyumbang

jumlah kasus yang sangat kecil di amerika serikat - 5

sampai 10 persen dari semua kasus


c. Guamanian - sebuah kejadian yang sangat tinggi dari als

terpantau di guam dan kepercayaan territories pasifik di

tahun 1950.

PEMERIKSAAN 1. Tes elektrodiagnostik termasuk didalamnya adalah


PENUNJANG
electromyography (EMG) danNerve Conduction Velocty

( NCV)
2. Pemeriksan darah dan urin termasuk kedalamnya

pemeriksaan serum protein elektroposis, hormon thyroid

dan parathyroid , Konten protein dalam cairan

serebrospinal naik pada sepertiga pasien, namun temuan ini


saja tidak dapat memastikan terjadinya penyakit ALS.
3. Spinal tap
4. X-Ray, contohnya MRI ( Magntic Resonance Imaging)
5. Myelogram dari cervical
6. Biopsi otot maupun saraf bisa memperlihatkan serat

atrofik yang berselang diantara serat-serat normal


7. Pemeriksaan neurologi lainnya
8. Morfologi: Pada pemeriksaan makroskopik, radiks anterior

medulla spinalis menipis; girus prasentral dapat mengalami

atrofi,terutama pada kasus berat. Pemeriksaan mikroskopik

memperlihatkan berkurangnya jumlah neuron kornu

anterior disepanjang medulla spinalis disertai gliosis

reaktif dan hilangnya serat bermielin radiks anterior.

PENATALAKSANAAN pengobatan untuk ALS disebut riluzol untuk mengurangi

kerusakan motor neuron.


a. Breathing care :
Dari waktu ke waktu, otot-otot pernapasan akan menjadi

lemah pada penderita ALS ini. Sebagai dokter akan

mengkaji pernapasan secara teratur dan menyediakan

perangkat atau alat bantu napas. Dalam beberapa kasus,

mungkin dibutuhkan bantuan untuk bernapas melalui

ventilasi mekanis.

b. Physical theraphy
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seorang

terapis fisik / fisiotherapis dapat mengatasi rasa sakit,

berjalan, mobilitas bracing dan peralatan kebutuhan

anda yang membantu mempertahankan kemudahan

dalam melakukan aktivitas. Beberapa langkah termasuk

low-impact latihan untuk menjaga kebugaran, jantung


anda kekuatan otot dan berbagai gerak selama mungkin.

Seorang fisioterapis juga dapat membantu pasien –

pasien ALS menjadi terbiasa untuk berjalan

menggunakan penjepit, walker atau roda yang

membuatnya lebih mudah bagi anda untuk mendapatkan

sekitar. Latihan reguler anda juga dapat membantu

meningkatkan rasa kesejahteraan. Sesuai peregangan

dapat membantu mencegah sakit dan membantu otot-

otot yang masih berfungsi dengan baik


c. Occupational theraphy
Peralatan adaptif dapat membantu pasien ALS untuk

terus melakukan kegiatan sehari-hari seperti berpakaian,

perawatan, makan dan mandi.


d. Speech therapist
Karena ALS mempengaruhi otot-otot anda gunakan

untuk berbicara, komunikasi menjadi masalah sebagai

penyakit berkembang. Speech therapist dapat mengajar

anda adaptif teknik untuk membuat berbicara menjadi

lebih jelas.
e. Dukungan Nutrisi
Seorang dokter baiknya bekerja sama dengan anggota

keluarga pasien untuk menjamin bahwa makan

makanan yang dikonsumsi lebih mudah untuk ditelan

dan memenuhi kebutuhan gizi.


f. Dukungan psikologi dan sosial
Dukungan psikologis sangatlah dibutuhkan dalam

membantu pengelolaan baik dari segi psikis dan

lingkungan sosial agar mengerti kondisi pasien ALS.

KOMPLIKASI Komplikasi dari ALS adalah :


1. Masalah Pernafasan
ALS melumpuhkan otot yang dipergunakan untuk

bernafas. Penyebab kematian utama penderita ALS

adalah gagal nafas, biasanya 3 sampai 5 tahun dari

mulainya gejala awal.


2. Masalah Nutrisi
Saat otot yang mengatur untuk mengunyah terpengaruh,

penderita ALS dapat menderita kekurangan gizi

(malnutrisi) dan kekurangan cairan (dehidrasi). Pasien

juga mempunyai resiko tinggi terjadinya aspirasi

makanan, atau masuknya makanan ke dalam paru-paru,

sehingga menyebabkan radang paru-paru.


3. Penderita ALS memiliki resiko lebih tinggi terjadinya

demensia dan Alzheimer

Sumber:

COMPLETE SPINAL TRANSACTION


DEFINISI kerusakan total medula spinalis akibat lesi transversal yang
menyebabkan hilangnya seluruh fungsi neurologis medula spinalis
di bawah area yang terkena.
EPIDEMIOLOGI Insiden tahunan Cidera Korda Spinalis/Spinal Cord Injury (SCI)
kira-kira 40 kasus per 1 juta populasi di AS atau 12.000 kasus per
tahun. Jumlah populasi di AS pada tahun 2012 yang hidup dengan
SCI sekitar 270.000 orang. Secara keseluruhan, 80,6% SCI terjadi
pada pria. Rata-rata penderita mengalami SCI pada usia 16 –30
tahun.
ETIOLOGI 1. Kompresi Medula Spinalis:
 Fraktur kompresi
 Tumor
 Herniasi diskus
 Spondylosis
 Epidural abcess
 Pott’ disease (TB spinal)
 Oklusi arteri
2. Systemic degeneration
 Multiple sclerosis
 Motor Neuron disease
 Subacute combined degeneration of cord
3. Infeksi
 Transverse myelitis
 Akut: Staphylococcal, Kronis: Tuberculous,
Syphilitic (Neurosyphilis=Tabes Dorsalis)
 Parasit: Hydatid, Cysticercosis, Schistosomiasis,
Falciparum Malaria
 Viral: Thypus Fever, Spotted Fever
 Fungal: Cryptococcus, Actinomycosis,
Coccidiomycosis
4. Autoimun
 Guillain-Barre Syndrome (paraplegia without sensory
loss)
 Kelainan autoimun
 Sindrom post-vaksin (Rabies, Tetanus, Polio)

KLASIFIKASI o TMS Cervical


TMS cervical, di atas Ver. C.III fatal karena dapat
menghilangkan fungsi N. frenikus dan N. interkostales
secara total sehingga dapat menghentikan pernapasan.
o TMS Thoraks
TMS Thoraks bagian atas tidak mengganggu ekstrimitas
atas tapi mengganggu pernapasan dan menimbulkan ileus
paralitik melalui keterlibatan N. splankhnikus. Cidera di
atas T6 menimbulkan autonomic dysreflexia (kehilangan
regulasi kranial)  hipertensi, retensi urin/alvi, berkeringat,
nyeri kepala. TMS thoraks bagian bawah tidak mengganggu
otot abdomen dan pernapasan.
o TMS Lumbal
TMS Lumbal sering menyebabkan gangguan yang berat
karena diikuti kerusakan arteri utama yang menyuplai
medulla spinalis bagian bawah, arteri radikularis mayor
(Adamkiewicz). Hasilnya adalah infark seluruh medulla
spinalis lumbalis dan sakralis.
o Sindrom Epikonus
Sindrom epikonus isebabkan lesi medulla spinalis setinggi
L4-S1: kelemahan rotasi eksterna panggul, ekstensi
panggul, fleksi lutut, fleksi dan ekstensi pergelangan kaki
dan jari-jari kaki.
o Sindrom Konus
Sindrom konus disebabkan oleh lesi medulla spinalis S3 ke
bawah. Sering disebabkan oleh tumor spinal, iskemia atau
herniasi diskus lumbal yang masif. Menifestasi: arefleksia
detrusor  inkontinensia overflow, retensi urin,
inkontinensia alvi, impotensi, saddle anesthesia, hilangnya
reflek ani. Ekstrimitas bawah tidak paresis dan reflek
Achilles tetap ada.

PATOGENESIS/ Patofisiologi kerusakan sel neuron pada medula spinalis


PATOFISIOLOGI
dimulai dari cedera primer. Mekanisme cedera primer dibagi
menjadi empat: 1. Tumbukan ditambah dengan kompresi yang
menetap; 2. Tumbukan saja, tanpa kompresi; 3. Distraksi; dan
4. Laserasi atau transeksi. Laserasi atau transeksi merupakan
bentuk akhir dari mekanisme primer cedera. Berbagai jenis
cedera primer ini menyebabkan hipoksia dan iskemia jaringan
yang akhirnya berujung pada infark yang diawali oleh
substansia grisea (gray matter) medula spinalis. Neuron-neuron
yang melawati daerah ini secara fisik terputur dan mengalami
penipisan myelin. Transmisi saraf juga lama kelamaan akan
terputus oleh karena microhemorrhage atau edema di sekitar
daerah cedera. Dalam satu jam gray matter rusak secara
irreversibel, sedangkan white matter dalam 72 jam.

TANDA & GEJALA Transeksi Medula Spinalis menyebabkan terputusnya


jaras sensoris dari bawah level lesi dan jaras desendens dari atas
lesi.
Kelemahan, baik itu paraplegia maupun tetraplegia
muncul di bawah level lesi akibat terputusnya jaras
corticospinal desenden. Awalnya paralisis bisa berupa flaccid
dan arefleksif akibat spinal shock. Selanjutnya muncul
hipertonus, hiperrefleksia, paraplegia atau tetraplegia disertai
dengan menghilangnya reflek dinding abdomen dan cremaster.
Pada level lesi muncul manifestasi Lower Motor Neuron
(paresis, atrofi, fasciculasi, dan arefleksia) pada distribusi
segmentalnya.
Disfungsi sfingter rektal dan uretral yang menyebabkan
inkontinensia, disfungsi seksual dan tanda-tanda disfungsi
otonom (anhidrosis, perubahan tropis kulit, kegagalan
mengontrol suhu tubuh, dan ketidakstabilan vasomotor)
dibawah level lesi juga muncul.
PEMERIKSAAN 1. Plain foto: Cervical, thoraks, abdomen/lumbal (AP/Lat)
PENUNJANG
untuk melihat adanya fraktur vertebrae. Dapat ditambah
posisi Odontoid (open mouth), Swimmer’s view (untuk
melihat C7 dan T1).
Tanda degenerasi spina:
 Ruang intervertebral menyempit
 Foramina intervertebral menyempit
 Bentukan osteofit
 Pelebaran foramina
2. Darah lengkap, urin lengkap
3. Pungsi Lumbal  analisis CSF
4. MRI Vertebral: merupakan definitive imaging technique
5. Neurofisiologi: EMG (untuk memeriksa continuitas myelin
dan akson)
6. Tes perspirasi  menilai fungsi saraf otonom

PENATALAKSANAAN
PROGNOSIS Pasien dengan cedera tulang belakang komplit memiliki
kesempatan kurang dari 5% unuk pemulihan. Jika kelumpuhan
komplit berlanjut pada 72 jam setelah cedera, tingkat kesembuhan
adalah nol.
Sumber:
SYNDROMA KAUDA EQUINE
DEFINISI Cauda equina syndrome (CES) adalah kondisi neurologis yang
serius di mana terjadi kerusakan pada cauda equina akibat
pemadatan atau penyempitan yang simultan dari radik saraf
lumbosacral multipel dibawah konus medullaris, sehingga
menyebabkan hilangnya fungsi pleksus lumbal secara akut dari
bagian bawah conus medullaris berupa gangguan neuromuscular
dan gejala-gejala urogenital.

EPIDEMIOLOGI Angka kejadian cauda equina syndrome realtif cukup jarang, baik
yang disebakan oleh trauma maupun yang bukan disebakan oleh
trauma di mana dilaporkan hanya 4-7 kasus dari 10.000-100.000
pasien.
ETIOLOGI herniasi, pecahnya diskus intradural, stenosis tulang belakang
sekunder untuk kondisi lain tulang belakang, luka trauma, tumor
primer seperti ependymomas
FAKTOR RISIKO
PATOGENESIS/ CES mungkin akibat dari setiap lesi yang menekan akar saraf
PATOFISIOLOGI
cauda equina. Akar saraf ini sangat rentan terhadap cedera, apabila
memiliki epineurium yang kurang berkembang. Epineurium yang
berkembang dengan baik dapat melindungi cauda equina dari
tegangan dan tarikan.

Sistem mikrovaskuler cauda equina memiliki wilayah yang


relatif hipovaskular pada sepertiga bagian proximal. Peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan difusi dari LCS menambah
pasokan nutrisi. Peningkatan permeabilitas mungkin berhubungan
dengan kecenderungan ke arah pembentukan edema dari akar saraf,
yang dapat mengakibatkan cedera awal dengan keluhan yang
ringan.

cedera pada daerah ini sering menghasilkan gejala lower motor


neuron (LMN) yaitu gejala dan tanda-tanda di dermatom dan
miotom yang lebih rendah dari segmen yang terkena.
TANDA & GEJALA Nyeri punggung bawah (low back pain), unilateral atau bilateral
sciatica, saddle dan perineum hypoesthesia atau anestesi, gangguan
fungsi usus dan kandung kemih, defisit motorik dan sensorik
ekstremitas bawah, berkurang atau tidak ada refleks tungkai bawah.

PEMERIKSAAN  X-foto polos dapat dilakukan dalam kasus-kasus cedera akibat


PENUNJANG
trauma, adanya perubahan destruktif pada vertebra, penyempitan
diskus intervertebralis atau adanya spondilosis, spondilolistesis

 CT dengan atau tanpa kontras. Myelogram lumbar diikuti


dengan CT

 MRI.. MRI direkomendasikan untuk seluruh pasien yang


memiliki gejala urinari yang baru muncul yang berhubungan
dengan nyeri punggung bawah dan ischialgia.

 Pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan darah rutin,


pemeriksaan kimia, kadar gula darah, sedimen, sifilis dan lyme
serologies. Pemeriksaan liquid cerebrospinal (LCS) harus
dilakukan jika ada indikasi, berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik yang ditemukan. Human leucocyt antigen
(HLA)-B27 dapat diperiksa jika ankylosing spondilitis atau
berbagai spondyloarthropati seronegatif diyakinkan sebagai
diagnosa banding.

 Pemeriksaan urodinamik sangat berguna untuk menilai derajat


dan sebab dari disfungsi sphingter, sebaiknya pantau pemulihan
dari fungsi kandung kemih yang disebabkan oleh operasi
dekompresi.

PENATALAKSANAAN Agen vasodilator

Iskemik radik saraf sebagian dapat memungkinkan timbulnya nyeri


dan penurunan kekuatan otot yang dihubungkan dengan cauda
equina sindrom. Berdasarkan penelitian, terapi vasodilator sangat
berguna untuk beberapa pasien.

Agen anti-inflamasi
Agen anti-inflamasi, meliputi steroid dan NSAID, mungkin efektif
pada pasien dengan penyebab inflamasi dan sudah banyak
digunakan dalam pengobatan nyeri punggung, tapi tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa obat-obat tersebut memberikan manfaat
yang signifikan.

Pembedahan
Tujuannya adalah untuk memebebaskan tekanan saraf pada cauda
equina dengan memindahkan alat-alat yang mengkompresi dan
meningkatkan ruang kanalis spinalis.
Rehabilitasi medic dan Fisioterapi
PROGNOSIS o Pasien dengan ischialgia bilateral dilaporkan memiliki
prognosis yang kurang baik dibanding yang mengalami
ishialgia unilateral.
o Pasien dengan gejala anestesi perineal komplit kemungkinan
besar akan menderita paralisis bladder permanen.
o Luasnya defisit sensorik tipe sadel atau perineal merupakan
prediktor perbaikan/penyembuhan yang paling penting. Pasien
dengan defisit unilateral memiliki prognosis yang lebih baik
daripada pasien dengan defisit bilateral.
o Wanita dan pasien dengan disfungsi bowel memiliki outcome
yang lebih buruk.
Sumber:

NEUROGENIC BLADDER
DEFINISI Suatu disfungsi bladder akibat kerusakan system saraf pusat
atau saraf tepi yang terlibat kedalam pengendalian berkemih.
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI A. Kelainan pada sistem saraf pusat :
1. Alzheimer’s disease
2. Meningomielocele
3. Tumor otak atau medulla spinalis
4. Multiple sclerosis
5. Parkinson disease
6. Cedera medulla spinalis
7. Pemulihan stroke
B. Kelainan pada sistem saraf tepi :
1. Neuropati alkoholik
2. Diabetes neuropati
3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
5. Defisiensi vitamin B12

PATOGENESIS/ A. Lesi supra pons


PATOFISIOLOGI
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan
refleks-refleks miksi dan seluruh aktivitasnya diatur
kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian
medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada
umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan
menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus
depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu
anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan
ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung
kemih yang hiperrefleksi.
B. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi
pons dan bagian sacral medula spinalis akan mengganggu
jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan
fungsi sfingter detrusor.
C. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis
spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan
LMN dari fungsi vesica urinaria dan hilangnya sensibilitas
vesica urinaria.
TANDA & GEJALA urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens.
PEMERIKSAAN Urinalisis, kultur urine, sitology urine, USG, pemeriksaan
PENUNJANG urodinamik, pemeriksaan residu urine.
PENATALAKSANAAN 1. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih
dapat dilakukan dengan cara :
 Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau
stimulasi perianal
 Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s
manoeuvre
 Clean intermittent self-catheterisation
 Indwelling urethral catheter
2. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
 Bladder training (bladder drill)
 Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin
3. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda
dengan kelainan neurologis kongenital atau cedera medula
spinalis.

Sumber:

Anda mungkin juga menyukai