Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Obat ototoksik didefinisikan sebagai obat yang memiliki potensi
menimbulkan reaksi toksik pada struktur di telinga dalam seperti koklea, vestibulum,
kanalis semisirkularis dan otolit. Kerusakan pada struktur ini dapat memberikan
gejala berupa gangguan pendengaran, tinitus, dan juga gangguan keseimbangan.
Ganggaun ini dapat bersifat reversibel maupun irreversibel.3

2.2 Anatomi Telinga

Gambar 1. Anatomi Telinga Secara Umum5

Secara anatomi telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam.5
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri daun telinga (aurikula) dan liang telinga (meatus akustikus
eksternus) sampai membrane timpani. Aurikula terdiri dari kulit dan tulang rawan
elastin yang dilindungi oleh perikondrium. Meatus akustikus eksternus (MAE)

3
berbentuk huruf S dengan rangka tulang rawan pada sepertiga luar, sedangkan pada
dua pertiga bagian dalam terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm. MAE
pada anak lebih pendek dan lurus sehingga membran timpani lebih mudah diperiksa
tanpa menggunakan spekulum. Pada sepertiga kulit telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada
seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai
kelenjar serumen.5
2. Telinga Tengah
Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau tympanic cavity.
Telinga tengah berbentuk kubus (kotak). Dinding posteriornya lebih luas daripada
dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji dengan batas-batas sebagai
berikut :5
 Batas luar : membrane timpani
 Batas depan : tuba eustachius
 Batas bawah : vena jugularis
 Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars
vertikalis
 Batas atas : tegmen timpani
 Batas dalam : kanalis semisirkularis horizontalis,kanalis
fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium.

4
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus
longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan
daerah nasofaring dengan telinga tengah.5

Gambar 2. Telinga Bagian Tengah5

3. Telinga Dalam
Telinga dalam berisi organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga dalam
atau labyrinthus terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis dan terdiri atas:
a. Labyrinthus osseus
Terdiri atas tiga bagian: vestibulum, kanalis semisirkularis, dan koklea. Ketiganya
merupakan rongga-rongga yang terletak di dalam substansia kompakta tulang, dan
dilapisi oleh endosteum serta berisi cairan bening, yaitu perilimfe.

5
b. Labyrinthus membranaceus
Terletak di dalam labyrinthus osseus, dan berisi endolimfe dan dikelilingi oleh
perilimfe. Labyrinthus membranaceus terdiri atas:
 Utriculus dan sakulus yang terdapat di dalam vestibulum osseus
 Tiga duktus semisirkularis yang terletak di dalam kanalis semisirkularis
osseus
 Duktus koklearis yang terletak di dalam koklea.

Gambar 3. Anatomi Telinga Dalam5

Labirin tulang berisi cairan perilimfa (seperti cairan ekstraselular dengan


konsentrasi kalium 4 mEq/L dan konsentrasi natrium 139 mEq/L) dan labirin
membran berisi cairan endolimfa (seperti cairan intraselular dengan konsentrasi
kalium 144 mEq/L dan konsentrasi natrium 13 mEq/L). Koklea merupakan saluran
melingkar dengan panjang 35 mm, dibagi menjadi 3 saluran, yaitu skala media, skala
vestibuli, dan skala timpani. Skala media atau duktus koklearis berisi cairan
endolimfa sedangkan skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe.5

6
Perilimfe terletak pada tulang labirin dan bagian luar dari membran labirin.
Cairan ini menyerupai cairan serebrospinal dan terhubung dengan ruang subaraknoid
melalui saluran sempit yang membuka ke arah tulang petrous temporal pada dinding
anterior dari foramen jugular. Perilimfe ini terutama dibentuk dari filtrasi jaringan
vaskular pada ligamen spiral. Fungsi perilimfe sebagai perantara gelombang yang
berasal dari gerakan dari stapes. Gelombang tersebut berjalan melewati perilimfe
pada skala vestibuli dan skala timpani. Ini berakibat pada gerakan dari membran
basilar. Endolimfe terletak dalam membran labirin dan mempunyai komposisi yang
berbeda dari perilimfe (mengandung komposisi ion potasium yang lebih banyak).
Endolimfe kemungkinan dihasilkan oleh stria vaskularis paada dinding dari duktus
koklear dan sel pada duktus semisirkularis. Dan kemungkinan diserap menuju duktus
endolimfatikus. Gerakan dari endolimfe menstimulasi makula dan krista ampularis.
Ini menyebabkan stimulasi dari nervus vestibularis.5
Labirin vestibular memiliki 3 kanal semisirkularis, yaitu kanal lateral atau
horizontal, kanal superior atau anterior, dan kanal inferior atau posterior, semua
mendeteksi akselerasi angular. Pada ujung kanal terdapat daerah yang membesar,
disebut ampula. Ampula berisi krista ampularis dan kupula. Ujung kanal
semisirkularis lateral yang bukan ampula memasuki vestibulum secara posterolateral.
Ujung kanal semisirkularis anterior dan posterior yang bukan ampula bersatu
membentuk krus komunis dan memasuki vestibulum secara posteromedial. 5

Gambar 4. Krista Ampularis5

7
Krista ampularis berbentuk pelana, melekat pada dinding ampula. Sel rambut
terletak pada permukaan krista. Serabut saraf ampularis berjalan dari pusat krista
menuju dasar sel rambut. Silia sel rambut menonjol dari permukaan krista ke kupula
yang berbentuk kipas, struktur gelatin berisi mukopolisakarida.5

Gambar 5. Tipe Sel Rambut Vestibular5

Utrikulus dan sakulus merupakan 2 sakus di labirin membran, berlokasi di


vestibulum. Organ reseptor mereka disebut makula. Makula terdiri dari sel rambut
yang dikelilingi oleh sel pendukung. Silia sel rambut melekat pada membran otolith
gelatinosa. Pada bagian atas membran gelatinosa terdapat lapisan kristal kalsium
karbonat yang disebut otokonia. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus, di
bidang kanal semisirkularis horizontal. Makula sakulus terletak pada dinding
anteromedial sakulus, prinsipnya di bidang vertikal. Oleh karena itu, utrikulus sensitif
pada akselerasi horizontal dan sakulus sensitif pada akselerasi vertical.5

8
2.3 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong.6
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong 4 endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius.6
Serabut-serabut saraf ini berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis
dan menuju kolikulus inferior kotralateral,tetapi sebagian serabut tetap berjalan
ipsilateral. Penyilangan berikutnya terjadi pada lemnikus lateralis dan kolikulus
inferior yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian menuju ke
korteks pedengaran di lobus temporalis.7

9
Gambar 6. Proses Mendengar7
2.4 Epidemiologi
Kasus ototoksik akibat penggunaan obat-obatan tertentu muncul seiring
dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat sehingga mempengaruhi pilihan
masyarakat untuk berobat ke pusat pelayanan kesehatan terdekat. Masalah besar
lainnya juga muncul seiring dengan pengobatan polifarmasi atau adanya advanced
diziiness, yang menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan oleh suatu dosis
standar akibat adanya perubahan farmakokinetik, dosis berlebih, atau akibat interaksi
obat. Toksisitas vestibular akibat aminogikosida terjadi pada 4% pasien dewasa.4

2.5 Mekanisme Ototoksik


Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum begitu
jelas. Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal, yang diikuti
oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaanya menyebabkan gangguan pendengaran
frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-pasien tertentu tidak
mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga deficit mencapai derajat ringan
sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi percakapan.8

10
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan obat
dengan glikosaminoglikan stria vascular, yang menyebabkan perubahan strial dan
perubahan sekunder sel-sel rambut. Antibiotik ototoksik menyebabkan hilangnya
pendengaran dengan mengubah proses-proses biokimia yang penting yang
menyebabkan penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa menyebabkan
kematian sel secara tiba-tiba.8
Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya sel-sel
rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibular. Keruskan vestibuler juga
merupakan efek yang merugikan dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya
menunjukan nistagmus posisional. Pada keadaan berat, kerusakan vestibular dapat
menyebablan ketidakseimbangan dan osilopia. Osilopia yang disebabkan oleh
kerusakan sistem vestibular bilateral adalah ketidakmampuan sistem okuler untuk
menjaga horizon yang stabil.8

2.6 Gejala Klinis


Tinitus dan Vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus biasanya
menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan seringkali keluhan
pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan dengan tulinya sendiri
dimana pada ototoksik tinnitus cirinya kuat dan bernada tinggi berkisar antara 4 KHz
sampai 6 KHz serta biasanya bilateral. Pada kerusakan yang menetap tinnitus lama
kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak pernah hilang, gejala lainnya juga
terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan terutama setelah
perubahan posisi, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia (pandangan
kabur dengan pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya,
menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika mengendarai kendaraan atau
mengenali wajah orang ketika berjalan.9

11
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat
terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya disertai
tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar atau
sedikit menurun. Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada
penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebebkan diuretic kuat dapat pulih
dengan mengehentikan pengobatan dengan segera.9
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit
dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekuensi tinggi. Pada keadaan
lanjut akan mempengaruhi frekuensi percakapan dan ketuliannya akan semakin berat
jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram juga akan ditemukan ciri
penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.9

2.7 Jenis-Jenis Obat Ototoksik


1. Aminoglikosida
a. Definisi
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotik bakterisidal yang berasal dari
berbagai macam Streptomyces. Yang termasuk kelompok obat ini adalah
streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin,
netilmisin.10
b. Epidemiologi
Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas terhadap
koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat terjadinya
akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe telinga
dalam. Akumulasi terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi. Waktu paruh
amioglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik daripada di dalam plasma.
Sebagian besar ototoksisitas bersifat ireversibel dan terjadi akibat destruksi progresif

12
sel-sel epitel sensorik. Aminoglikosida dilaporkan menimbulkan kehilangan
pendengaran pada 33% individu yang diterapi dengan obat ini.11
c. Mekanisme
Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti melalui mekanisme
mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk kompleks aminoglikosida
dengan logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe mengaktifkan
substansi Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion radical, hydrogen
peroxide, hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-substansi tersebut
mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan membuat mitokondria sel
sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c menginisiasi apoptosis sel. Kaskade
inilah yang menyebabkan hilangnya sel-sel rambut pada organ korti. Dengan dosis
yang meningkat serta pemajanan yang diperlama, kerusakan berkembang dari dasar
koklea, tempat suara berfrekuensi tinggi di proses, ke apeks, tempat suara
berfrekuensi rendah di proses. Aminoglikosida diduga juga mengganggu sistem
transpor aktif yang penting untuk mempertahankan kesetimbangan ion pada
endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti
dengan degenerasi saraf pendengaran yang memburuk, sehingga menyebabkan
hilangnya pendengaran secara ireversibel.10,11

Gambar 7. Mekanisme Ototoksisitas Aminoglikosida (AG) pada Sel Rambut11

13
Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari organ korti dan sel
rambut vestibular tipe 1. Sel penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti tidak
terpengaruhi. Salah satu penyebab yang mungkin dari pernyataan sebelumnya adalah
kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu antioksidan endogen intraselular,
pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu terdapat
gradien level glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada apeks
koklea memiliki kadar glutathione yang lebih tinggi dari sel rambut luar di basis
koklea. Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel
rambut sensorik yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat.
Penggunaan aminoglikosida secara berulang, yang dalam setiap pemakaiannya
menyebabkan hilangnya sel lebih banyak lagi, dapat menyebabkan ketulian. Oleh
karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya usia, pasien lanjut usia mungkin
lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat dan furosemid
meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba. Walaupun semua
aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula, beberapa
toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin terutama menimbulkan
efek pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama
mempengaruhi fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama
pada keduanya. Selain itu, 75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama
lebih dari 60 hari menunjukkan gejala 8 nistagmus atau ketidakseimbangan postural.
Pasien yang menerima dosis tinggi dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang
sebaiknya dipantau.10,11
d. Gejala Klinis
Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinitus nada tinggi. Jika
pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan pendengaran dapat terjadi setelah
beberapa hari. Suara mendenging ini dapat bertahan selama beberapa hari hingga 2
minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena persepsi suara dalam rentang frekuensi

14
tinggi (di luar rentang pembicaraan normal) merupakan yang pertama hilang, maka
individu yang terganggu ini terkadang tidak sadar akan kesulitan ini, dan tidak akan
dapat terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan audiometri. Pasien kebanyakan tidak
akan memiliki keluhan gangguan pendengaran hingga pada suatu saat mereka telah
kehilangan 30 dB pada frekuensi 3000 Hz-4000 Hz. Monitoring fungsi pendengaran
penting pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal atau pada pasie yang
mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari dosis normal.10
e. Pencegahan
Pendekatan untuk memberikan perlindungan pada telinga akibat penggunaan
aminoglikosida (otoprotection) mencakup (1) upstream protection menggunakan
antioksidan, free-radical scavengers, metal chelators ; (2) downstream protection,
seperti minoksiklin. Yang selajutnya, karena aminoglikosida masih tetap berada
dalam koklea dalam waktu yang lama setelah terapi dihentikan, minta pada pasien
untuk menghindari lingkungan yang bising selama 6 bulan setelah terapi dihentikan
karena mereka lebih rentan terhadap suara bising.10

2. Eritromisin
a. Definisi
Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya bersifat
bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam 9 konsentrasi yang tinggi terhadap
mikroorganisme yang sangat rentan.10
b. Epidemiologi
Laporan ototoksisitas eritromisin pertama kali dilaporkan pada tahun 1972.
Gangguan pendengaran sementara merupakan komplikasi yang mungkin timbul
dalam pengobatan menggunakan eritromisin. Hal ini teramati setelah pemberian
intravena eritromisin gluseptat atau laktobionat dosis tinggi ( 4 gr/hari) atau konsumsi
oral eritromisin estolat dosis tinggi.10

15
c. Mekanisme
Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin belum sepenuhnya dimengerti dan
lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui. Beberapa penelitian menyatakan
kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada akhirnya mengganggu potesial
ionik. Peneliti lain menyatakan obat ini mempengaruhi jaras pendengaran sentral.
Faktor resiko untuk terjadinya ototoksisitas eritromisisin adalah pasien dengan
gangguan renal, hepar, dan lanjut usia.11
d. Gejala Klinis
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang
pendengaran, tinitus subjektif, dan terkadang vertigo. Pernah dilaporkan bahwa
terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian IV dosis
tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah pengobatan
dihentikan. Antibiotika lain seperti Vankomisin, Viomisin, Minoksiklin dapat
mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi
ginjalnya.11

3. Loop Diuretik
a. Definsi
Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang memblok
pompa Na+ -K + -2Cl—di bagian asenden tebal ansa Henle, sehingga diuretik ini
disebut juga sebagai diuretik loop. Ketiga obat tersebut di atas adalah obat yang
paling ototoksik dari golongan diuretik loop. Diuretik digunakan untuk memodifikasi
komposisi dan/atau volume dari cairan tubuh untuk menangani kondisi seperti
hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis dan sindrom nefrotik.11
b. Epidemiologi
Furosemid dilaporkan memiliki efek langsung pada motilitas sel rambut luar
(outer hair cell) yang akan menimbulkan disfungsi sensori.12

16
c. Mekanisme
Diuretik loop bekerja pada bagian asending loop of Henle ginjal. Target kerja dari
obat ini adalah protein soldium- potassium-2 chloride (Na+-K+-2 Cl-)
cotransporters. Protein ini ternyata banyak ditemukan pada sel epitelial dan non-
epitelial dan juga terlokalisasi pada stria vaskularis koklea. Inhibisi dari kerja protein
ko-transporter tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari sel marginal ke ruang
intrastrial sehingga menimbulkan edema pada ruang intrastrial dan juga pada sel
penyusun stria vaskularis. Kondisi ini akan mempengaruhi potensial endokoklea,
yang penting untuk mempertahankan potensial sel rambut dalam batasan yang
normal.9 Akan terjadi penurunan potensial positif endolimfe. Furosemid dilaporkan
memiliki efek langsung pada motilitas sel rambut luar ( outer hair cell) yang akan
menimbulkan disfungsi sensori.12

Gambar 8. Mekanisme Kerja Diuretik11

Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian intravena secara cepat dan
sangat jarang terjadi pada penggunaan oral, terlebih lagi bila diberikan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal. Faktor resiko lainnya adalah pemberian IV secara cepat (≥
25 mg/menit). Asam etakrinat menginduksi ototoksisitas lebih sering dibandingkan
17
diuretik lainnya. Bila bersamaan digunakan bersama aminoglikosida, dapat
memperberat ototoksisitas yang muncul.Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92
menit pada orang sehat. Pada pasien dengan gagal ginjal, waktu paruh obat ini
memanjang menjadi 3 jam. Kadar plasma > 50 mg/L berkaitan dengan munculnya
gangguan pendengaran.11,12
d. Gejala Klinis
Diuretik loop dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus, gangguan
pendengaran, ketulian, vertigo, dan rasa penuh pada telinga. Gangguan pendengaran
dan ketulian biasanya bersifat reversibel, tetapi tidak selalu.12
e. Pencegahan
Dapat dilakukan dengan penggunaan loop diuretic dengan dosis yang paling
rendah untuk mencapai efek yang diinginkan dan menghindari pemberian secara
cepat. Selain itu termasuk pemberian bersama dengan obat ototoksik lainnya karena
potensiasi dan sinergisme efek ototoksik dari aminoglikosida dan loop diuretic telah
diketahui, pemberian bersama obat-obat ini tidak dianjurkan.12

4. Obat Anti Inflamasi


a. Definisi
Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat
anti inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-
inflamasi, dan pencegah trombosis serebral.13
b. Mekanisme
NSAID diketahui menghambat metabolisme asam arakidonat menjadi
prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga menghambat derivat non-
prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik, dan bila pH semakin
rendah (daerah inflamasi biasanya pH asam) maka semakin besar kelarutannya.
Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara umum menghambat translokasi anion melewati
membran sel, yang berkontribusi pada munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya,

18
salisilat menghambat protein membran (prestin) dari sel rambut luar koklea
memfasilitasi elektromotilitas melalui translokasi transmembran dari anion
monovalen seperti Cl-, sehingga mempengaruhi daya choclear amplifier. Penelitian
pada tulang temporal pasien yang sebelumnya telah diterapi dengan salisilat
menunjukkan struktur koklea yang normal. Hal ini menyatakan bahwa efek
ototoksisitas obat ini adalah reversibel.13
c. Gejala Klinis
Konsentrasi serum asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan dengan kehilangan
pendengaran >30 dB. Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah tuli
sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus. Namun apabila pengobatan dihentikan
pendengaran akan pulih kembali dan tinitus menghilang.13

5. Obat Anti Malaria


a. Definisi
Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan. Pemberian
klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (> 250 mg) untuk
mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan ototoksisitas.10
b. Epidemiologi
Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila digunakan
dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang
fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus,
berkurangnya ketajaman pendengaran, dan vertigo.10
c. Gejala Klinis
Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral, misalnya pada
malaria serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran dan tinitus.
Namun bila pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih kembali dan tinitus
hilang. Klorokuin dan kina dapat melalui plasenta sehingga dapat terjadi tuli
kongenital dan hipoplasia koklea.10

19
6. Obat Anti Tumor
a. Definisi
Cisplatin adalah obat anti kanker merupakan agen kemoterapi yang umum
digunakan dalam terapi tumor ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala
leher. Seperti banyak agen neoplastik lain, cisplatin dapat menyebabkan efek-efek
yang tidak diinginkan antara lain ototoksisitas. Efek ini terjadi pada 30% pasien yang
diterapi dan pada akhirnya menimbulkan ketulian permanen/reversibel.14
b. Epidemiologi
Ciplastatin memiliki potensi ototoksik yang tertinggi dibandingkan dengan
senyawa platinum yang lain. Sekitar 50% pasien kanker kepala dan leher yang diobati
dengan ciplastatin mengalami ototoksik. Ototoksisitas ciplastatin berkaitan dengan
dosis. Sejak pertama kali dikenalkan, dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m2 .
Peningkatan pemberian dosis menimbulkan peningkatan kejadian dan derajat
gangguan pendengaran. Dilaporkan bahwa pada pasien yang mendapatkan terapi
cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran
biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama kali pada frekuensi tinggi ( 6000
Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke frekuensi yang lebih rendah ( 2000 Hz dan 4000 Hz)
dapat terjadi bila terapi dilanjutkan. Gejala ototoksisitas dapat menjadi lebih berat
setelah pemberian obat melalui bolus injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi dengan
cara pemberian secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis.14
c. Mekanisme
Mekanisme ototoksisitas ciplastatin dimediasi oleh produksi radikal bebas dan
kematian sel. Senyawa platinum merusak stria vaskularis dalam skala media dan
menyebabkan kematian sel rambut pada bagian luar. Radikal bebas dihasilkan oleh
NADPH oksidase yang merupakan enzim yang mengkatalisa pembentukan radikal
superoksida. Bentuk NADPH oksidase tertentu, NOX3, diproduksi didalam telinga
bagian dalam dan merupakan sumber pembentukan radikal bebas yang penting dalam

20
koklea, yang dapat berperan dalam terjadinya kehilangan pendengaran. Radikal bebas
yang dihasilkan melalui mekanisme ini kemudian menyebabkan kematian sel
apoptotik yang dimediasi mitokondria dan dimediasi caspase yang pada akhirnya
menyebabkan kehilangan pendengaran yang permanen. Banyak studi penelitian
menyatakan cisplatin menyebabkan kematian sel rambut yang merupakan organ
sensori penting. Setelah diinjeksi secara sistemik, cisplatin terakumulasi di cairan
telinga dalam dan diabsorbsi oleh sel epitel telinga. Platinated DNA ditemukan pada
sel rambut dan sel-sel penunjang. Pajanan cisplatin juga meningkatkan Reactive
Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut dan menyebabkan pengeluaran sitokin-
sitokin tertentu. Namun, studi lain menyatakan target primer cisplatin masih belum
jelas, sel rambut ataukah tipe sel epitel sensori telinga lain. Penelitian sebelumnya
menyebutkan terapi cisplatin menginduksi perubahan struktural pada sel-sel
penunjang koklea.14

Gambar 9. Kehilangan sel rambut setelah 24 jam terapi ciplastatin pada koklea
hewan1

21
Gambar 10. Kehilangan sel rambut ujung distal lebih sering (daerah
frekuensi rendah) terapi ciplastatin pada hewan14

Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa terapi
dengan cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia, dimulai dari
distal/basal ke proksimal/apikal (distal-to-proximal pattern). Pola kerusakan ini
berkaitan erat dengan dimulainya penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi
tinggi terlebih dahulu Selain itu cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria
vaskularis.14

7. Obat Tetes Telinga


Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida
seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian oleh karena obat tersebut
dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun
membran tersebut pada manusia lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon (semacam

22
monyet besar) (± > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus
obat-obatan tersebut.15
Obat tetes telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita infeksi telinga luar.
Beberapa laporan pada literatur menguraikan gejala ototoksisitas muncul setelah
pemberian agen ototopikal pada pasien dengan perforasi membran timpani. Jalur
untuk obat ototopikal melewati telinga tengah ke telinga dalam adalah melewati
tingkap bundar dan menuju perilimfe skala timpani. Membran tingkap bundar terdiri
atas 3 lapisan yang mengandung micropinocytotic vesicles. Vesikel ini memberikan
jalan pada banyak substansi, misalnya elektrolit, peroksidase, dan albumin.
Masuknya substansi tersebut melalui 3 mekanisme yaitu difusi, transpor inter-
epitelial, dan transpor-intraepitelial. Permeabilitas membran tingkap bundar
ditemukan secara eksperimental meningkat 48jam setelah munculnya infeksi telinga
tengah. Selama infeksi kronis (OMSK), membran tingkap bundar menjadi lebih tebal
akibat deposisi dari jaringan ikat dan juga terbentuknya mucosal web. Hal ini
menyebabka membran mejadi kurang permeabel selama inflamasi kronik
berlangsung.15
Ototoksisitas dari penggunaan topikal tetes telinga menampakkan derajat yang
bervariasi dalam derajat toksisitas vestibular dan koklea. Contohnya, pada pasien
dengan kadar plasma aminoglikosida yang tinggi (dalam jangka waktu yang lama),
akan terjadi kerusakan vestibulo-koklea. Namun, pada kadar teraupetikya (kadar
plasma normal), pada beberapa pasien aminoglikosida dapat menimbulkan
ototoksisitas Hal ini disebabkan aminoglikosida dapat berada di telinga dalam,
terbebas dari ekresi renal atau metabolisme hepar. Preparat topikal telinga yang
memiliki efek protektif terhadap koklea dan vestibular adalah iron chelator, salisilat,
kortikosteroid, leupeptin, dan asam lipoik alfa.15

23
2.8 Faktor Resiko
Faktor resiko yang paling umum untuk menimbulkan gangguan pendengaran
akibat pemakaian obat ototoksik antara lain :11
1. Usia lanjut
2. Neonatus
3. Dosis harian dan rute pemberian obat. Rute pemberian obat ototoksik penting
dalam menentukan onset kerusakan pendengaran. Rute yang paling berbahaya
hingga paling aman berturut-turut adalah intraspinal, kemudian intravena,
intramuskular, perkutaneus, dan oral.
4. Pajanan dalam jangka waktu yang lama oleh obat ototoksik
5. Kehamilan
6. Gagal ginjal
7. Insufisiensi hepar
8. Bekerja di lingkungan bising
9. Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya pada diuretik)

24
3

Anda mungkin juga menyukai