File PDF
File PDF
DINI SULISTYANTI
0806333801
DINI SULISTYANTI
0806333801
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan karya ilmiah akhir ini dengan judul “Analisis Praktik Profesi
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien dengan
Hipertiroid Pasca Tiroidektomi di Ruang Rawat Bedah Gedung A RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta” tepat pada waktunya.
Saya menyadari bahwa banyak pihak yang turut membantu dan memberikan
bimbingan kepada saya dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia (FIK UI);
2. Ibu Riri Maria, M.ANP selaku koordinator mata ajar Karya Ilmiah Akhir
FIK UI;
3. Ibu Debbie Dahlia dan Bapak Adam selaku pembimbing akademik dalam
pembuatan Karya Ilmiah Akhir ini;
4. Ibu Ns. Hepi selaku pembimbing klinik dalam pembuatan Karya Ilmiah
Akhir di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta;
5. Orang tua dan keluarga tercinta yang senantiasa memberikan dukungan
serta doa bagi saya
6. Teman-teman angkatan 2008 yang senantiasa berjuang dan bergerak
bersama serta selalu saling memberikan dukungan serta teman baik saya
Yani, Maulia, Elsa, Dwi Janatun, Dwi Haryati.
7. Perawat di ruang rawat bedah gedung A lantai 4 zona A RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta, yang telah mendukung praktik profesi ;
8. Teman-teman satu bimbingan: Yuanita Fransisca, Rahayu Setiyawati,
Dhian Luluh, Dias Syeh T, yang sama-sama berjuang dalam penyusunan
Karya Ilmiah Akhir;
iv
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya ilmiah ini ini masih terdapat
banyak kekurangan sehingga saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini.
Penulis
viii
Hyperthyroidism is one of the health problems that often occur in urban areas.
One of the treatments of hyperthyroidism is a surgery that potentially cause
symptoms of neck discomfort. This paper aimed to explain the basic concepts of
public health nursing in particular urban with hyperthyroid, to implement nursing
care from assessment to evaluation in patients who had undergone thyroid
surgery, and analyze evidence-based practice that has been done. The results of
evidence-based practice application of neck stretching exercises in patients who
had undergone thyroid surgery had effectively reduced postoperative neck
symptoms discomfort after thyroid surgery. Recommendation of this paper is that
nurses need to teach stretching exercises in patients with post thyroidectomy to
reduce neck discomfort symptoms
ix
xi
xii
Salah satu penyakit yang menyerang masyarakat perkotaan adalah penyakit pada
kelenjar tiroid. Tiroid adalah suatu kelenjar endokrin murni berbentuk kupu-kupu
yang terdiri atas dua lobus yang dihubungkan dengan suatu isthmus yang terletak
tepat dibawah kartilago krikoid pada leher Kelenjar tiroid menyekresi dua jenis
hormon yang berbeda. Hormon tiroid bertanggung jawab untuk banyak fungsi
metabolisme penting dalam fisiologi manusia. Mereka meningkatkan tingkat
metabolisme basal, mempengaruhi sintesis protein, membantu untuk mengatur
pertumbuhan tulang panjang dan mempromosikan pematangan neuron (Gardjito,
1997). Ada beberapa gangguan yang mungkin mempengaruhi fungsi normal dari
kelenjar tiroid, termasuk hipertiroidisme, penyakit Graves, gondok menyebar dan
multinodular serta neoplasma.
1 Universitas Indonesia
Data dari RSCM menunjukkan dalam satu bulan kurang lebih terdapat 288 sampai
300 pasien kunjungan dengan penyakit tiroid, 16% pasien tiroid RSCM di
antaranya adalah lelaki, dan sisanya perempuan. Hal ini juga dikatakan
perempuan memiliki risiko lima sampai delapan kali lebih besar dibandingkan
pria (Namirazswara, 2010). Hal ini diperkuat Schimke (1992) yang menyatakan
bahwa hipertiroidisme menyerang wanita lima kali lebih sering dibandingan laki-
laki dan insidennya akan menuncak pada dekade usia ketiga serta keempat.
Keadaan ini dapat timbul setelah terjadinya syok emosional, stres atau infeksi
tetapi makna hubungan ini yang tepat belum dipahami. Penyebab lain
hipertiroidisme yang sering dijumpai adalah tiroiditis dan penggunaan hormon
tiroid yang berlebihan (Smeltzer, et al, 2001). Bertambahnya jumlah penyakit
tiroid ini dapat dihubungkan dengan sosial ekonomi yang rendah, pendidikan
kurang yang biasanya dihubungkan dengan masyarakat urban.
Universitas Indonesia
Berpijak dari fenomena inilah maka penulis tertarik untuk mempelajari dan
menerapkan latihan peregangan pada leher untuk mengurangi gejala
ketidaknyamanan pada leher pasca operasi tiroid (tiroidektomi). Upaya dilakukan
untuk mengevaluasi kegunaan dari latihan peregangan dalam mengurangi gejala
yang tidak menyenangkan pasca-operasi pada pasien yang telah menjalani operasi
tiroid. Latihan peregangan leher ini tidak hanya untuk membantu menyembuhkan
penyakit tiroid pasca tiroidektomi tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Hal ini juga dilakukan untuk mengevaluasi kegunaan dari latihan
peregangan dalam mengurangi gejala yang tidak menyenangkan pasca-operasi
pada pasien yang telah menjalani operasi tiroid.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
5 Universitas Indonesia
obatan, latihan, dan diet (Eigsti, McGuire, & Stone, 2002). Sebuah studi yang
dilakukan oleh Cubbin, LeClere, dan Smith (2000) menyatakan bahwa status
sosial ekonomi adalah faktor dari kondisi sakit, kematian, dan outcome kesehatan
lain.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi masalah kesehatan di daerah perkotaan
ialah lingkungan. Kesehatan lingkungan adalah inti dari kesehatan masyarakat.
WHO (2008) mendefiniskan kesehatan lingkungan meliputi faktor fisik, kimia,
dan biologi di luar manusia serta memeengaruhi perilaku manusia, menekankan
analisis dan kontrol faktor-faktor lingkungan yang berpotensi memengaruhi
kesehatan (Achmadi, 2010). Kesehatan lingkungan meliputi delapan area yaitu
gaya hidup, risiko kerja, kualitas udara, kualitas air, rumah tempat tinggal,
kualitas makanan, kontrol sampah, dan risiko radiasi (McEwen & Nies, 2007).
.
2.2 Hipertiroidisme
2.2.1 Definisi
Hipertiroidisme adalah sekresi hormon tiroid yang berlebihan yang
dimanifestasikan melalui peningkatan kecepatan metabolisme. (Suzanne C.
Smeltzer,2001). Hipertiroidisme adalah suatu ketidakseimbangan metabolik yang
merupakan akibat dari produksi hormon tiroid yang berlebihan. (Marilynn, E.
Doenges,1999). Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respons jaringan-
jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiriod yang berlebihan.
Keadaan ini dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid yang
berlebihan. (Sylvia A. Price, dkk, 2005).
2.2.2 Klasifikasi
Thamrin (2007) mengklasifikasikan hipertiroidisme menjadi empat bagian:
a. Goiter Toksik Difusa (Grave’s Disease)
Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan
tubuh dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi
kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus. Grave’s
disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, gejalanya dapat
Universitas Indonesia
2.2.3 Etiologi
Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit graves, suatu penyakit
tiroid autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk menghasilkan hormon
yang berlebihan. Hipertiroidisme dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid,
hipofisis, atau hipotalamus. Peningkatan TSH akibat malfungsi kelenjar tiroid
akan disertai penurunan TSH dan TRF karena umpan balik negatif hormon tiroid
terhadap pelepasan keduanya. Hipertiroidisme akibat malfungsi hipofisis
memberikan gambaran kadar hormon tiroid dan TSH yang finggi. TRF akan
Tendah karena uinpan balik negatif dari hormon tiroid dan TSH. Hipertiroidisme
akibat malfungsi hipotalamus akan memperlihatkan hormon tiroid yang finggi
disertai TSH dan TRH yang berlebihan.
Universitas Indonesia
2.2.4 Patofisiologi
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika. Pada
kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga
kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan
sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat
beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel
meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15
kali lebih besar daripada normal.
Universitas Indonesia
2.2.5 Tiroidektomi
2.2.5.1 Klasifikasi Tiroidektomi
Tiroidektomi subtotal atau total merupakan tindakan yang dapat dilaksanakan
sebagai terapi primer terhadap karsinoma tiroid, hipertiroidisme atau
hiperparatiroidisme. Tiroidektomi subtotal yaitu mengangkat sebagian kelenjar
tiroid. Lobus kiri atau kanan yang mengalami pembesaran diangkat dan
diharapkan kelenjar yang masih tersisa masih dapat memenuhi kebutuhan tubuh
akan hormon-hormon tiroid sehingga tidak diperlukan terapi penggantian hormon
(Rumahorbo,1999). Tiroidektomi total yaitu mengangkat seluruh kelenjar tiroid.
Klien yang menjalani tindakan ini harus mendapat terapi hormon pengganti yang
besar dosisnya beragam pada setiap individu dan dapat dipengaruhi oleh usia,
pekerjaan, dan aktifitas (Rumahorbo,1999).
Menurut George dan Rowe (1998), Proses pembedahan pada tiroid tergantung
pada patologi yang mendasari, intervensi bedah akan melibatkan salah satu dari
lima pendekatan yang berbeda. Ini termasuk: (a) lobektomi tiroid parsial
(pengangkatan bagian atas atau bawah dari satu lobus), (b) lobektomi tiroid
(pengangkatan satu seluruh lobus), (c) lobektomi tiroid dengan isthmusectomy
(pengangkatan satu lobus dan isthmus), (d) tiroidektomi subtotal (pengangkatan
satu lobus, isthmus, dan mayoritas dari lobus berlawanan), dan (e) tiroidektomi
total (pengangkatan seluruh kelenjar).
Universitas Indonesia
b. Infeksi.
Infeksi pascaoperasi adalah risiko semua jenis operasi. Adanya cairan yang
keluar dan bau yang timbul dari luka operasi harus dinilai dan dilaporkan.
Pemantauan suhu dan jumlah darah lengkap untuk tanda-tanda infeksi
adalah fungsi keperawatan yang penting. Pemberian terapi antibiotik dan
perawatan luka secara teliti, dapat mengurangi insiden infeksi pasca-operasi.
c. Defisit Paratiroid.
Hal ini dikarenakan kelenjar paratiroid berada di kedua sisi kelenjar tiroid,
hipoparatiroidisme merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat
tiroidektomi. Gejala-gejala hipoparatiroidisme biasanya terjadi 24 sampai 72
jam setelah operasi. Pasien akan menunjukkan tingkat kalsium serum rendah
(hypocalcemia), dan mungkin mengeluh mati rasa dan kesemutan pada
tangan, kaki, dan bibir. Intervensi ditujukan untuk memulihkan kadar
kalsium normal untuk mencegah terjadinya kejang dan stridor laring (Prim,
De Diego, Hardisson, Madero, & Gavilan, 2001).
Kadar kalsium serum harus diukur setiap hari jika pasien bergejala. Perawat
harus menilai untuk mati rasa atau kesemutan di sekitar bibir atau tangan.
Trousseau dan Chvostek tanda menunjukkan hipokalsemia dan potensi
tetani. Tanda Trousseau positif kejang karpal yang disebabkan oleh oklusi
Universitas Indonesia
arteri lengan dengan manset tekanan darah. Tanda Chvostek yang positif
dtimbulkan dengan menekan saraf wajah dan mengamati kesemutan pada
daerah wajah khususnya dibawah pelipis. Gejala hipokalsemia diperlakukan
dengan penggantian kalsium, seperti 10% larutan kalsium glukonat
intravena (Clement, 1998; LeMone & Burke, 2000).
2.3.2 Tujuan
Latihan rentang gerak ini memiliki beberapa tujuan, antara lain :
1. Latihan rentang gerak dapat mempertahankan atau meningkatkan kekuatan
dan kelenturan otot
2. Mempertahankan fungsi kardiorespiratori
3. Mencegah kontraktur dan kekakuan pada persendian
2.3.3 Pengkajian
Ketika mengkaji rentang gerak, perawat menanyakan pertanyaan dan
mengobservasi dalam mengumpulkan data tentang:
a. Tinjau catatan pasien untuk memeriksa pengkajian keperawatan pada saat
klien masuk, program dokter, diagnosis medis, pemeriksaan fisik dan
kemajuan dokter guna menentukan batasan mobilitas sendi.
b. Pertimbangkan kemampuan pasien untuk melakukan rentang gerak aktif
dan pasif/ keterbatasan gerak.
c. Kaji latihan rentang gerakan persendian saat ini sebagai data dasar.
d. Kaji adanya kekakuan sendi dan gerakan yang tidak sama.
Universitas Indonesia
e. Catat setiap adanya masalah pada sendi (keadaan sendi yang akan dilatih)
yang dapat menghambat pergerakan sendi, seperti:
- Pembengkakan
- Nyeri
- kemerahan
f. Kemampuan keluarga atau pemberi perawatan primer, kesediannya,
motivasinya untuk membantu pasien melakukan latihan fisik yang tidak
mampu dilakukannya secara mandiri.
Universitas Indonesia
b. Gerakan Bahu
a) Angkat tangan dari posisi samping mengarah ke atas kepala
b) Kembalikan tangan ke samping tubuh
c) Gerakkan tangan di belakang tubuh
d) Angkat tangan ke arah samping dan menjauhi tubuh
e) Tarik tangan ke arah mendekati tubuh
f) Dengan siku ditekuk, putar bahu dengan menggerakkan tangan ke
dalam dan ke arah luar bagian belakang tubuh
g) Dengan siku ditekuk, gerakkan tangan sampai ke arah luar dan
samping kepala
h) Gerakkan tangan dalam melingkar penuh
Universitas Indonesia
b. Keluhan Utama
Pasien merasa ada benjolan di leher bagian depan sejak 15 tahun yang lalu
e. Aktivitas/Istirahat
a) Gejala (Subjektif)
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga. Keterbatasan karena penyakit : Pasien
merasa tidak bebas dalam menggerakkan lehernya karena terdapat
14 Universitas Indonesia
benjolan sebesar kepalan tangan pasien. Tidur : 5-6 jam. Tidur siang :
Tidak pernah tidur siang. Kebiasan tidur : tidak ada. Insomnia : tidak
ada. Rasa segar saat bangun : jarang dirasakan
b) Tanda (Objektif)
Status mental : compus mentis. Postur tubuh : Agak bungkuk. Rentang
gerak :bebas tas terbatas pada ekstremitas, namun terbatas pada bagian
leher dan merasa ada yang mengganjal karena terdapat benjolan.
Deformitas : tidak ada. Tremor : tidak ada
Kekuatan otot 4 4 4 4 | 4 4 4 4, massa atau tonus otot : Baik
4444|4444
f. Sirkulasi
a) Gejala (Subjektif)
Riwayat penyakit hipertensi : tidak ada, kelainan jantung :
kardiomegali ringan. Diabetes Mellitus : tidak ada. Edema pada kaki :
tidak ada. Flebitis : tidak ada. Penyembuhan luka lambat : tidak ada.
Ekstremitas : kesemutan : tidak ada, kebas : tidak ada, batuk : ada.
Perubahan frekuensi atau jumlah urin : tidak ada.
b) Tanda (Objektif)
Tekanan darah : 110/80 mmHg, Nadi : 80x/menit. Palpasi Nadi :
Karotis : ada, temporal : ada, jugularis : ada, radialis : ada, femoralis :
ada, popliteal : ada, postibial : ada, dorsalis pedis : ada. Palpasi Jantung
: getaran : ada, dorongan : tidak ada, bunyi Jantung : 80x/menit, kuat
dan teratur, S1 : ada, S2 : ada, murmur/gallop : tidak ada. Bunyi nafas
: vesikuler, wheezing : tidak ada, ronchi : tidak ada, distensi vena
jugularis : tidak ada. Ekstremitas : suhu : 36,7oC. tidak terlihat pucat.
Capillary Refill time : < 2detik. Homan‟s signs : tidak ada, varises :
tidak ada. Abnormalitas kuku : tidak ada, penyebaran rambut merata,
membran mukosa : lembab, warna bibir : pink, agak pucat. Punggung
kuku : pink, konjungtiva : tidak anemis, sklera : tidak ikterik
Universitas Indonesia
g. Integritas Ego
a) Gejala (Subjektif)
Faktor Stres : penyakitnya dan konflik peran dalam merawat suaminya
yang terbaring sakit dirumah yang sudah total care. Cara menangani
stress : difikirkan dan berdoa. Masalah-masalah finansial : pasien
memperoleh biaya pengobatan dan pengobatan dari Kartu Jakarta
Sehat. Agama : Islam. Kegiatan keagamaan : sholat dan berdoa.
Perubahan pada gaya hidup : pasien terlihat lebih murung dan cemas
selama proses hospitalisasi. Perasaan ketidakberdayaan : tidak ada,
keputusasaan : tidak ada.
b) Tanda (Objektif)
Status emosional : pasien terlihat cemas. Respon fisiologis yang
terobservasi : pasien terlihat lebih murung dan pendiam
h. Eliminasi
a) Gejala (subjektif)
Pola BAB : 1x/hari. Penggunaan laksatif : tidak ada, karakteristik feses
: lunak, kuning kecoklatan. Riwayat perdarahan : tidak ada, hemoroid :
tidak ada. Konstipasi : tidak ada. Diare : tidak ada, Pola BAK : 2-3
x/hari. Karakteristik urin : kuning muda. Kateter urin : tidak terpasang,
nyeri saat BAK : tidak ada. Riwayat penyakit ginjal atau kandung
kemih : tidak ada. Penggunaan diuretic : tidak ada.
b) Tanda (objektif)
Nyeri tekan : tidak ada. Abdomen : rata, tidak ada lesi. Hemoroid :
tidak ada. Bising usus : 4 x/menit
i. Makanan/cairan
a) Gejala (Subjektif)
Diit : biasa, tipe : nasi, sayur, dan lauk. Jumlah makanan perhari :2-3
kali. Makan terakhir : tanggal 20 Mei 2013 pukul 10.00 WIB.
Universitas Indonesia
b) Tanda (Objektif)
Berat badan : 41 Kg, Tinggi Badan : 150 cm. Bentuk Tubuh : Tegap.
Turgor kulit : agak kering. Membran mukosa : lembab. Edema : tidak
ada. Pembesaran Tiroid : ada, pada leher sebelah kanan sebesar
kepalan tangan pasien. Halitosis : Tidak ada. Kondisi gigi : normal.
Bising usus : 4x/menit
j. Higiene
a) Gejala (Subjektif)
Aktivitas sehari-hari : mengurus suami yang sedang sakit dirumah
karena sudah total care. Mobilitas : bebas bergerak, terbatas pada
bagian leher.
b) Tanda (Objektif)
Penampilan umum : baik, agak cemas. Cara berpakaian : rapi. Bau
badan : tidak ada, kondisi kulit kepala : kutu : tidak ada, ketombe :
tidak ada, berminyak : ya.
k. Neurosensori
a) Gejala (Subjektif)
Rasa ingin pingsan/pusing : tidak ada, pusing jarang terasa. Sakit
kepala : tidak ada, kesemutan : tidak ada. Stroke : tidak ada. Kejang :
tidak ada. Mata : penglihatan kabur : tidak terasa. Telinga : tidak ada
pengeluaran cairan. Epistaksis : tidak ada.
b) Tanda (Objektif)
Status mental : orientasi waktu, tempat, dan orang : baik, masih dapat
mengingat dengan benar. Kesadaran : compus menitis, dan kooperatif.
Halusinasi : tidak ada. Memori jangka pendek dan panjang : masih
dapat mengingat dengan baik. Kacamata : tidak memakai. Kontak
lensa : tidak memakai. Alat bantu dengar : tidak ada. Genggaman
tangan : kuat. Postur : tegak. Paralisis : tidak ada.
Universitas Indonesia
l. Nyeri
Sebelum operasi, benjolan tidak terasa nyeri
Setelah Operasi :
a) Gejala (Subjektif)
Lokasi : leher klien, luka operasi. Intensitas : sedang, VAS/Skala nyeri
: 2. Frekuensi : 3-4 x/hari. Kualitas : Nyeri tekan. Durasi : ±1 menit.
Penjalaran : tidak ada. Faktor pencetus : Saat sedang menelan. Cara
menghilangkan nyeri : Obat dan istirahat.
b) Tanda (Objektif)
Pasien terlihat mengerutkan muka, menjaga area yang sakit, dan
penyempitan fokus terhadap rasa nyeri yang dirasakannya.
m. Pernafasan
a) Gejala (Subjektif)
Dispnea yang berhubungan dengan batuk/sputum : tidak ada. Riwayat
penyakit : asma : tidak ada, bronchitis : tidak ada. Emfisema : tidak
ada. Pneumonia : tidak ada. TB : tidak ada. Perokok : disangkal.
Penggunaan alat bantu nafas : tidak ada
b) Tanda (Objektif)
Pernafasan : 17 x/menit. Pengembangan paru : simetris. Nafas cuping
hidung : tidak ada. Penggunaan otot-otot bantu nafas : tidak ada. Bunyi
Nafas : vesikuler. Sianosis : tidak ada. Fungsi mental : baik
n. Keamanan
a) Gejala (Subjektif)
Alergi/sensitivitas : tidak ada. Perubahan reaksi imun sebelumnya :
tidak ada. Riwayat penyakit hubungan seksual : tidak ada. Transfusi
darah : tidak pernah. Riwayat cedera/kecelakaan : tidak pernah. Fraktur
/ dislokasi : tidak ada. Arthritis/sendi tidak stabil : tidak stabil. Masalah
punggung : tidak ada. Perubahan pada tahi lalat : tidak ada. Kerusakan
penglihatan/pendengaran : tidak ada. Ambulatory : tidak ada.
Universitas Indonesia
b) Tanda (Objektif)
Suhu : 36.7oC. integritas kulit : baik. Tonus otot : baik, tidak atrofi.
Cara berjalan : normal. ROM : bebas terbatas pada bagian leher.
Parastesia/paralisis : tidak ada
o. Seksualitas
a) Gejala (Subjektif)
Aktif melakukan hubungan seksual : tidak dikaji. Penggunaan kondom
: tidak pernah. Masalah seksual : tidak dikaji. Perubahan terakhir :
tidak dikaji
b) Tanda (Objektif)
Usia menarche : 12 tahun. Lamanya siklus : 6 hari, sudah menopause
sejak usia 48 tahun. Melakukan pemeriksaan payudara sendiri : tidak
pernah. Pap smear : tidak pernah
p. Interaksi Sosial
a) Gejala (Subjektif)
Status perkawinan : menikah. Lama : 30 tahun. Hidup dengan suami.
Masalah/stress : penyakitnya dan suaminya yang sedang sakit dan total
care dirumah. Peran dalam struktur keluarga : istri, ibu, dan nenek.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit : financial dan
waktu pengobatan. Penggunaan alat bantu komunikasi : tidak ada,
laringektomi : tidak ada.
b) Tanda (Objektif)
Bicara : normal. Alat bantu bicara : tidak ada. Komunikasi
verbal/nonverbal dengan keluarga : ada. Pola interaksi keluarga : baik.
q. Penyuluhan/ pembelajaran
Bahasa dominan : bahasa Indonesia. Melek huruf : ya. Tingkat pendidikan
: SD. Ketidakmampuan belajar khusus : tidak ada. Keterbatasan kognitif :
tidak ada. Keyakinan kesehatan yang dilakukan : tidak ada. Diagnosa
medis saat masuk RS : SMNT bilateral suspek ganas T3N0M0. Alasan
Universitas Indonesia
r. Hasil Labolatorium :
Kimia Klinik
16 <27
- SGOT
9 <34
- SGPT
21 <50
- Ur
0.7 0.6-1.2
- Cr
81 <140
- GDS
Elektrolit
141 132 – 147
- Na
3.56 3,3 - 5,4
- K
102,5 94 – 111
- Cl
Hormon Tiroid
0.770 ↓ 0.930 - 1.7
- T4 Bebas
0.940 0.270 – 4.20
- TSH sensitif
Universitas Indonesia
Tabel 3.2 Labolatorium tanggal 22 Mei 2013 (24 jam Post operasi)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
- Hemoglobin 10.5 ↓ d/dL 12 – 15
- Hematokrit 31.8 ↓ % 36 – 46
- Eritrosit 3. 59↓ 10^6/µL 3,8 – 4,8
- MCV/VER 88.2 fL 80 – 95
- MCH/HER 29.2 pg 27 – 31
- MCHC/KHER 33.0 g/dL 32 – 36
- Jumlah Leukosit 9.16 10^3/µL 5 – 10
- Jumlah Trombosit 210 10^3/µL 150 – 400
Universitas Indonesia
Sinistra :
Inspeksi : Tampak benjolan seukuran telur ayam, warna kulit sewarna
dengan sekitarnya
Palpasi : teraba benjolan padat, permukaan bernodul, tepi rata, batas
tegas, ukuran 5x4x2 cm, dapat digerakan, tidak ada nyeri tekan
t. Pemeriksaan mikroskopis
a. Thyroid Scan ( 22/01/2013)
Struma multi nodosa dengan cold nodule multiple, thyrois uptake total
dalam batas normal
b. Rontgen Thorax PA (25/03/2013)
Proses lama paru kanan, kardiomegali ringan, massa region colli kanan
dengan penyempitan trakea (struma)
c. USG abdomen ( 20/03/2013)
Kista simple ginjal kanan, tak tampak kelainan pada organ abdomen
atas lainnya yang tervisualisasi
d. USG Thyroid (20/03/2013)
Nodul padat multiple dengan degenerasi kistik dan septasi pada kedua
lobus thyroid lebih prominen dilobus kanan yang mendesak trakea ke
kiri
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2. Post-operasi
DO : Resiko ketidakseimbangan
- Pasien terlihat lemah namun sudah dapat nutrisi: kurang dari kebutuhan
duduk (22/Mei/2013, Post-operasi)
- Pasien sudah makan setengah porsi pagi ini
- TTV :
TD : 100/70 mmHg N: 80x/menit
RR : 16 x/menit Suhu : afebris
- Hasil cek darah setelah operasi belum ada,
masih menunggu 24 jam setelah operasi
- BB : 41 kg, TB : 150 cm, IMT : 18
- Pasien mendapat terapi ranitidine 2x50 mg
(IV), dan ondansentron 1x/hr
DS :
3. DO :
- Klien terpasang drain, produksi: hemoragic Nyeri Akut
- Terdapat luka operasi dileher klien, horizontal (22/Mei/2013, Post-operasi)
- Luka operasi klien tertutup kassa
- Klien terlihat menyernyitkan alis matanya
ketika menelan
- TTV :
TD : 100/70 mmHg RR : 16x/menit
N : 80 x/menit suhu : Afebris
Skala nyeri/VAS : 2
DS :
- Klien mengatakan masih sakit ketika menelan
dan didaerah leher
- Klien juga masih membatasi gerak leher karena
nyeri
4. DO :
- Klien terpasang drain, produksi ada, hemoragic Resiko Infeksi
- Terdapat luka operasi dileher klien, luka (22/Mei/2013, post-operasi)
horizontal dan tertutup kassa
- Hasil leukosit, belum ada masih menunggu
pemeriksaan lab darah 24 jam setelah post-
operasi
- TTV :
TD : 100/70 mmHg RR : 16x/menit
N : 80 x/menit suhu : Afebris
- Tidak terlihat kemerahan atau flebitis disekitar
luka operasi
DS :
- klien mengatakan luka operasi terkadang masih
terasa sakit.
- Pasien mengatakan luka operasi tidak terasa
gatal ataupun panas
5. DO :
- Suara klien masih serak dan terlihat sulit Ganggguan komunikasi verbal
berkomunikasi (22/Mei/2013)
- Klien pasca operasi total tyroidectomy
- Klien masih terpasang drain, produksi ada,
hemoragic
- Terkadang klien menggunakan bahasa non-
verbal
DS :
- Klien mengatakan suaranya masih serak dan
susah untuk berbicara
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Diagnosa Keperawatan 2 :
Resiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan mual dan muntah.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
pasien akan:
- Pasien dapat menghabiskan makanan sesuai porsi yang diberikan
Universitas Indonesia
- Berat badan berada pada rentang normal untuk tinggi dan usia
pasien
- Mengonsumsi nutrisi secara adekuat.
- Terbebas dari tanda-tanda malnutrisi
Rencana Intervensi :
Mandiri
1. Mengidentifikasi status nutrisi pasien dengan menghitung Indek Masa
Tubuh (IMT).
Rasional: IMT adalah salah satu indikator untuk menentukan status
nutrisi pasien. IMT < 18 mengindikasikan status nutrisi kurang.
2. Mengidentifikasi kondisi/gejala yang dialami pasien yang
berkontribusi terhadap penurunan asupan nutrisi, misalnya rasa mual,
muntah, nyeri abdomen, atau rasa „begah‟ di perut.
Rasional: untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan etiologi.
3. Memberikan makanan yang tidak terlalu padat dan kaya akan
kandungan protein, menyajikan dalam bentuk menarik dengan interval
waktu tertentu.
Rasional: makanan yang tidak terlalu padat dan kaya akan kandungan
protein dapat diterima pasien sebagai makanan harian.
4. Memotivasi pasien untuk menghabiskan makanannya dan menjelaskan
pentingnya asupan yang cukup selama sakit
Rasional : Pengertian tentang pentingnya asupan nutrisi yang cukup
dapat membantu pasien kooperatif dalam proses perawatan
Kolaborasi :
5. Memberikan pengobatan antiemetic sebelum makan sesuai resep
Rasional: adanya mual dapat menurunkan nafsu makan.
6. Memberikan suplemen vitamin, misalnya A,D,E,K
Rasional: untuk memperbaiki kondisi malnutrisi
Discharge planning :
7. Pertahankan diet tinggi kalsium dan tinggi protein
Rasional : pengangkatan tiroid akan berpengaruh pada kalsium tubuh
sehingga diperlukan asupan kalsium yang memadai. Diet tinggi protein
Universitas Indonesia
Diagnosa Keperawatan 3 :
Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah terhadap jaringan
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang VAS < 3
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 5 x 24 jam, diharapkan
pasien akan:
- Klien mengatakan nyeri hilang atau berkurang dengan skala nyeri
<3
- Klien tidak terlihat merintih
- Ekspresi wajah klien rileks
Rencana Intervensi :
Mandiri :
1. Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
Rasional : Menentukan tindakan yang tepat sesuai etiologi nyeri
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
Rasional : Reaksi nonverbal dapat menjadi indikator nyeri yang dirasakan
klien
3. Berikan lingkungan yang tenang untuk klien
Rasional : lingkungan yang tenang dapat menimbulkan kenyamanan bagi
klien
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Diagnosa Keperawatan 4 :
Resiko infeksi berhubungan dengan insisi operasi adanya luka di area
leher.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 5 x 24 jam, diharapkan
pasien akan:
- bebas dari gejala infeksi
- angka leukosit normal (5000-10.000)
- TTV dalam batas Normal
Rencana Intervensi :
Mandiri :
1. Pantau tanda-tanda terjadinya infeksi sekitar luka
Rasional : tanda infeksi seperti kemerahan, rasa panas disekitar luka dapat
mengindikasikan terjadinya infeksi
2. Observasi TTV dan peningkatan suhu
Rasional : mengindikasi terjadinya infeksi
3. Anjurkan klien dan keluarga untuk cuci tangan sebelum dan setelah kontak
dengan klien.
Rasional : cuci tangan dapat menurunkan resiko infeksi
4. Gunakan sabun anti microba untuk mencuci tangan.
Rasional : sabun anti microba dapat membunuh bakteri dan menurunkan
resiko infeksi
5. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
Rasional : dapat mencegah penyebaran infeksi
6. Tingkatkan intake nutrisi dan cairan yang adekuat
Rasional : intake yang adekuat dapat meningkatkan kekebalan sistem
imunitas tubuh
7. Rawat luka insisi dengan teknik steril
Rasional : Dapat mencegah masuknya bakteri
8. Pantau pengecekan lab darah terutama leukosit
Universitas Indonesia
Diagnosa Keperawatan 5 :
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara atau
kerusakan saraf laring.
Tujuan : Klien dapat berkomunikasi dengan normal
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 5 x 24 jam, diharapkan
pasien akan:
- Mampu menciptakan metode komunikasi yang dapat dipahami
- Nyeri berkurang atau hilang
- Klien merasa nyaman
Rencana Keperawatan :
Mandiri :
1. Kaji fungsi bicara secara periodic, anjurkan untuk tidak bicara terus
menerus
Rasional : menurunkan tegangan pada pita suara
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
S:
1. Mengobservasi TTV - Klien mengatakan masih sakit ketika menelan dan didaerah
10.00 2. Nyeri 2. Mengkaji tingkat nyeri yang dirasakan leher
pasien secara komprehensif - Klien juga masih membatasi gerak leher karena nyeri
3. Mengobservasi reaksi non-verbal dari nyeri
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
S:
11.30 3. Resiko Infeksi 1. Memantau tanda-tanda infeksi - Pasien mengatakan tidak merasa gatal dan panas pada luka
2. Mengkaji dan mengobservasi keadaan operasi
sekitar luka operasi O:
3. Mengobservasi produksi drain yang - Klien terpasang drain, produksi ada, hemoragic
terpasang - Terdapat luka operasi dileher klien, luka horizontal dan
4. Kolaborasi pemberian antibiotic untuk tertutup kassa
mencegah infeksi. - Hasil leukosit 22 Mei 2013 9.16 x 10^3.
- TTV :
TD : 100/70 mmHg RR : 17x/menit
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
P:
1. Kaji fungsi bicara secara periodik.
2. Laporkan peningkatan suara serak dan kelemahan bicara
S:
1. Memantau tanda-tanda infeksi
19.00 2. Resiko Infeksi - Pasien mengatakan tidak terasa gatal di luka operasinya
2. Mengkaji dan mengobservasi keadaan
3. Nyeri - Pasien mengatakan sekarang tidak takut lagi melakukan
sekitar luka operasi
peregangan lengan sesuai yang diajarkan
3. Mengobservasi produksi drain yang
O:
terpasang
- Klien terpasang drain, produksi ada, serose-hemoragic
4. Motivasi dalam melakukan teknik nafas
- Terdapat luka operasi dileher klien, luka horizontal dan
dalam
tertutup kassa
5. Melakukan teknik peregangan leher
- Tidak terlihat kemerahan dan gatal pada sekitar luka operasi
bersama
- TTV :
6. Kolaborasi pemberian antibiotic untuk
TD : 120/70 mmHg RR : 17x/menit
mencegah infeksi dan obat anti-nyeri
N : 86 x/menit suhu : Afebris
- Tidak terlihat rembesan, kemerahan atau flebitis disekitar
luka operasi
- Leukosit tanggal 24 Mei : 8,96 dalam batas normal
- Pasien terlihat lebih percaya diri dalam melakukan latihan
peregangan leher
- Pasien mendapat terapi antibiotic : cefazolin 1gr pukul
16.00
A:
- Masalah resiko infeksi teratasi sebagian
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit tipe A. Rumah sakit
ini mempunyai visi menjadi Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional, yang
senantiasa memberikan pelayanan kesehatan berkualitas dan terjangkau. Misinya
antara lain, memberikan pelayanan kesehatan paripurna dan bermutu serta
terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, menjadi tempat pendidikan dan
penelitian kesehatan, tempat penelitian dan pengembangan dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui manajemen yang dinamis dan
akuntabel.
Data dari RSCM menunjukkan dalam satu bulan kurang lebih terdapat 288 sampai
300 pasien kunjungan dengan penyakit tiroid, 16% pasien tiroid RSCM di
antaranya adalah lelaki, dan sisanya perempuan. Atau bisa juga dikatakan
perempuan memiliki risiko lima sampai delapan kali lebih besar dibandingkan
pria. (Namirazswara, 2010). Hal ini diperkuat Schimke (1992) yang menyatakan
bahwa hipertiroidisme menyerang wanita lima kali lebih sering dibandingan laki-
laki dan insidennya akan menuncak pada dekade usia ketiga serta keempat.
44 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
massa region colli kanan dengan penyempitan trakea (struma), USG abdomen
(20/03/2013) menunjukkan kista simple ginjal kanan, tak tampak kelainan pada
organ abdomen atas lainnya yang tervisualisasi, dan USG Thyroid (20/03/2013)
yang menyimpulkan nodul padat multiple dengan degenerasi kistik dan septasi
pada kedua lobus thyroid lebih prominen dilobus kanan yang mendesak trakea ke
kiri.
Ny.M dioperasi sehari setelah masuk kedalam ruang perawatan. Ny. M dilakukan
operasi total tiroidektomi karena saat diinsisi tidak ditemukan jaringan tiroid yang
masih sehat. Setelah dioperasi, pasien kembali keruangan dengan luka operasi
yang memanjang horizontal dileher dan terpasang drain. Pasien merasa mual
muntah setelah operasi karena efek samping dari general anestesi (anestesi
umum).
Masalah keperawatan yang muncul disini adalah resiko nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh. Masalah ini muncul karena IMT pasien 18,22 masuk dalam
kategori kurus ringan. Menurut WHO, batas indeks massa tubuh perempuan
dewasa normal berkisar antara18,7-23,9. Disini intervensi yang dilakukan adalah
menjelaskan pentingnya asupan gizi bagi pasien yang sedang sakit, menganjurkan
kepada pasien untuk makan sedikit tetapi sering. Hal ini dilakukan untuk
menghindari mual dan muntah. Masalah keperawatanyang ada hubungannya
dengan nutrisi adalah resiko infeksi. Anjuran diet tinggi protein juga diberikan
untuk mencegah infeksi. Menurut Baradero (2009), pasien malnutrisi yang tidak
punya cadangan karbohidrat dan lemak, akan memakai cadangan protein dalam
tubuh untuk menghasilkan energi, mempertahankan fungsi metabolik, dan
memperbaiki sel. Oleh karena itu, kekurangan protein pada pasien post operasi,
dapat mengakibatkan penyembuhan luka yang lambat, dehisensi (luka terbuka),
dan infeksi.
Hari pertama pasca pembedahan, pasien terlihat kaku dan tidak menggerakkan
leher serta bahunya. Ny.M beralasan bahwa luka operasinya masih terasa nyeri
dan takut berakibat buruk pada luka operasi jika Ia menggerakkan lehernya. Nyeri
Universitas Indonesia
disini diakibatkan karena adanya kerusakan jaringan kulit akibat luka insisi. Nyeri
merupakan rangsangan yang sering dialami pasien dengan berbagai gangguan.
Rangsangan nyeri melibatkan mekanisme Gate Control of Pain. Teknik relaksasi
yang diajarkan pada pasien adalah teknik relaksasi nafas dalam. Teknik relaksasi
dapat meningkatkan kontrol diri saat klien merasa tidak nyaman dengan nyeri dan
dapat dilakukan pada klien sehat maupun sakit (Potter & Perry, 2005).
Masalah keperawatan lain yang terjadi pada Ny. M adalah hambatan mobilisasi
pada daerah leher pasien. Pengaruh immobilisasi terutama pada lansia berpenyakit
kronik lebih cepat dibandingkan dengan klien yang lebih muda (Potter & Perry,
2005). Jika Ny.M tidak menggerakkan lehernya selama masih terdapat luka
operasi dilehernya, maka hal ini dapat berpotensi mengalami kontraktur pada
leher dan dapat mengalami gejala ketidaknyamanan leher pasca tiroidektomi.
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi masalah ini adalah dengan
mengedukasi latihan peregangan leher seperti yang telah dilakukan oleh Yuuki
Takamura di Jepang pada tahun 2002. Dalam hal ini, diperlukan intervensi
kolaborasi baik dari dokter maupun perawat untuk meyakinkan pasien pasca
tiroidektomi agar mau melakukan latihan perenggangan leher dan bahunya dalam
rangka mencegah kontraktur leher dan mengurangi gejala ketidaknyamanan pada
leher pasca tiroidektomi.
Universitas Indonesia
Disini kelompok peregangan diberikan contoh latihan yang dapat dilakukan dalam
leaflet pada gambar 4.1. Latihan peregangan dilakukan pada setidaknya tiga kali
sehari mulai pagi setelah operasi. Pasien diberitahu terlebih dahulu bahwa luka
pembedahan tidak akan membuka atau berdarah sebagai akibat dari latihan
peregangan, dengan demikian latihan dimulai yang pada awalnya dipandu oleh
seorang dokter. Hal ini penting untuk mendorong pasien agar mau menggerakkan
leher dan bahu mereka secara perlahan dan seluruhnya. Selanjutnya pasien dapat
melakukan latihan dengan sendiri selama proses perawatan. Setelah mereka keluar
dari rumah sakit, latihan juga masih harus dilakukan. Kepatuhan latihan
peregangan diperiksa oleh perawat atau dokter selama konsultasi sehari-hari
mereka.
Universitas Indonesia
Berdasarkan pengamatan klinis penulis selama praktik, pasien yang tidak bergerak
leher atau bahu setelah operasi cenderung melaporkan lebih
gejala ketidaknyamanan leher yang lebih parah. Mereka terlihat kaku dan tidak
mau menggerakkan leher dan bahunya setelah operasi dengan alasan takut luka
operasinya terbuka atau bertambah parah. Padahal menurut Perry dan Potter
(1994), pengaruh immobilisasi terutama pada lansia berpenyakit kronik lebih
cepat dibandingkan dengan klien yang lebih muda.
Pada pasien kelolaan yaitu Ny. M (62 tahun), terlihat tidak mau menggerakkan
leher dan bahunya pada sehari setelah operasi. Pasien mengatakan bahwa luka
masih terasa nyeri bila digerakkan dan takut jika menggerakkan leher dan
bahunya akan berdampak pada terbukanya luka operasi di lehernya. Intervensi
kolaborasi yang telah dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri pada luka operasi
klien adalah dengan memberikan analgetik, ketorolac 2x30 mg. Sedangkan
intervensi mandiri yang telah dilakukan pada pasien untuk mengurangi rasa nyeri
adalah teknik relaksasi nafas dalam. Hal ini dilakukan agar nyeri yang dirasakan
pasien dapat hilang ataupun berkurang.
Universitas Indonesia
Setelah nyeri telah teratasi, pada hari kedua pasca operasi tiroid, pasien diajarkan
latihan peregangan leher sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuuki
Takamura et all pada gambar 4.1. Perawat meyakinkan bahwa latihan ini tidak
berpengaruh pada luka operasi bila dilakukan secara perlahan dan menjelaskan
manfaat dan tujuan dilakukannya latihan peregangan leher ini. Pasien mulai
melakukan latihan peregangan leher pada hari kedua pasca operasi selama 3 kali
sehari. Ny M melakukan latihan peregangan leher 3x sehari selama melakukan
proses perawatan di Rumah Sakit.
Universitas Indonesia
Perawat menjelaskan pentingnya stretching leher pada pasien dan keluarga untuk
membantu mencegah kontraktur pada leher atau gejala ketidaknyamanan pada
leher pasca operasi tiroidektomi. Perawat dapat menjelaskan bahwa latihan ini
pernah dilakukan di Jepang pada pasien yang telah menjalani operasi tiroid. Hal
ini dikarenakan kebanyakan pasien takut untuk menggerakkan leher dan bahu
mereka setelah operasi pada leher, dan kekakuan dianggap salah satu penyebab
dari gejala ketidaknyamanan leher pasca operasi. Perawat juga penting untuk
memberitahu pasien bahwa luka bedah tidak terpengaruh oleh stretching leher
sehingga mereka yakin. Hal ini dapat juga dilakukan dengan kolaborasi dengan
dokter bedah untuk mengurangi rasa kecemasan pasien terhadap gerakan
Universitas Indonesia
Dalam hal discharge planning, tidak hanya dokter yang memberikan edukasi
pulang. Peran perawat juga sangat diperlukan dalam pemberian resep keperawatan
pada pasien yang akan pulang. Hal ini dikarenakan pada pasien pasca
pengangkatan kelenjar tiroid, bisa saja terjadi komplikasi salah satunya adalah
hipotiroid. Hipotiroid terjadi karena kelenjar tiroid yang seharusnya memproduksi
hormon tiroid telah diangkat sehingga fungsi normalnya terganggu. Pemberian
obat pengganti hormon tiroid seumur hidup merupakan salah satu konsekuensi
yang harus dilakukan. Solusi yang dapat dilakukan perawat dalam hal discharge
planning adalah dengan pemberian resep keperawatan. Perawat dapat memberi
informasi tentang obat pengganti hormon tiroid yang diresepkan. Mengingatkan
pasien bahwa obat akan digunakan untuk sepanjang hidup. Menekankan bahwa
sumber hormon tiroid diangkat pada tiroidektomi dan bahwa hormon tiroid adalah
esensial untuk hidup. Pemberian edukasi ini dilakukan dengan pemberian catatan
kepada pasien agar pasien lebih mudah dalam mengingatnya.
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan selama memberikan asuhan keperawatan pada
pasien hipertiroid pasca tiroidektomi adalah :
1. Hipertiroid merupakan penyakit hormon yang menempati urutan kedua
terbesar di Indonesia setelah diabetes yang juga merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat perkotaan.
2. Selama periode praktik profesi mahasiswa di ruang bedah onkologi
gedung A lantai 4 zona A RSUPN Cipto Mangunkusumo, ditemukan
sebelas pasien dengan penyakit tiroid baik itu SNNT (Struma Nodusa Non
Toksik), SNMT (Struma Multi Nodosa Toksik), ataupun Ca Pappiler yang
akan menjalani operasi tiroidektomi, baik parsial, subtotal, maupun total.
3. Diperlukan kolaborasi dokter maupun perawat untuk menjelaskan
pentingnya stretching leher pada pasien dan keluarga untuk membantu
mencegah kontraktur pada leher atau gejala ketidaknyamanan pada leher
pasca operasi tiroidektomi.
4. Latihan perenggangan leher (Stretching exercise) efektif untuk
mengurangi gejala ketidaknyamanan leher pasca operasi tiroidektomi.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penulisan ini yaitu :
1. Saran untuk bidang keilmuan agar dapat memperkaya teori mengenai asuhan
keperawatan pada klien dengan hipertiroidisme pasca tiroidektomi (terutama
latihan peregangan leher) sehingga dapat dijadikan referensi bagi penelitian
tentang pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan hambatan
mobilisasi pada leher.
2. Saran untuk pelayanan di rumah sakit agar dapat mempertahankan asuhan
keperawatan yang diberikan mencakup asuhan keperawatan yang multi-
disipliner (melibatkan bebrbagai disiplin ilmu kesehatan), kolaborasi dengan
disiplin ilmu kesehatan lain serta melibatkan keluarga dalam merawat pasien
44 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
Jakarta
Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,
Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.,FKUI., Jakarta
Doenges E. Marylnn. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi Ketiga.
Jakarta : EGC
56 Universitas Indonesia
Smeltzer. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC.
Takamura, Yuuki, et al. (2005). Stretching Exercise to Reduce Symptoms of
Postoperative Neck Discomfort after Thyroid Surgery: Prospective
Randomized Study. World Journal of Surgery. 29, 775-779.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia