Anda di halaman 1dari 6

1.

Minimal digging atau membatasi penggalian tanah dalam proses konstruksi bangunan adalah
salah satu strategi untuk mencapai desain arsitektur yang ekologis, strategi tersebut dapat
dilakukan dengan cara :

a) Menghindari pembuatan basement


Pada pembuatan basement umumnya proses konstruksi dilaksanakan dari bawah ke
atas (upward construction). Pada metode ini pembuatan basement dilakukan dari bawah
ke atas dengan menggali tanah terlebih dahulu, aktivitas penggalian tanah dapat dilakukan
dengan metoda misalnya menggunakan sistem open-cut (galian terbuka) atau dinding
penahan tanah dengan sistem angkur.
Metode open-cut ini biasa disebut juga metode konvesional dan merupakan metode
yang paling sederhana. Pada metode ini, dilakukan penggalian dari permukaan tanah
hingga ke dasar galian dengan sudut lereng galian tertentu (slope angel) dan tanpa
menggunakan retaining wall. Selanjutnya pekerjaan pembuatan basement dikerjakan dari
dasar galian berlanjut ke atas (bottom-up).

Gambar 1.1 metode open-cut pada pembuatan basement


Sumber : https://alena02.files.wordpress.com/2011/11/11.jpg (diakses pada tanggal 6 januari 2020, pada pukul 15.30 WIB)

Penerapan sistem open-cut tersebut sangat rawan, karena penggalian yang terlalu
dalam akan mengakibatkan instabilitas lereng yang dapat menyebabkan kelongsoran tanah.
b) Konstruksi bangunan panggung
Agar tidak mengubah karakter lahan yang berkontur dan mempertahankan kondisi alam
semaksimal mungkin, struktur bangunan dirancang berupa konstruksi panggung dengan
lantai yang melayang atau tidak menyentuh tanah untuk memberi ruang pada tanah.
Dengan cara ini, permukaan tanah di bawah bangunan masih dapat menyerap air dengan
baik. Tumbuh-tumbuhan juga tetap dipertahankan keberadaannya , dan bagunan dirancang
di sela-sela pohon yang ada. Selain dipertahankan, vegetasi juga dapat melindungi
bangunan dari terik sinar matahari.
c) Membangun sesuai kontur tanah
Untuk lahan berkontur yang akan di bangun, sebaiknya tetap mempertahankan kondisi
eksisting lahan. Salah satu caranya dengan menyesuaikan desain bangunan dengan kondisi
lahan. Penggalian dan pengurugan memang akan diperlukan, namun hanya sebagian kecil,
tidak untuk meratakan kondisi lahan berkontur secara keseluruhan. Ketinggian pada desain
bangunan akan mengikuti tinggi kontur, sehingga beberapa ruang dalam bangunan
memiliki kemungkinan berada pada ketinggian yang berbeda. Perbedaan ketinggian dalam
ruangan ini dikoneksikan atau dihubungkan dengan beberapa anak tangga atau ramp.
1. Pengertian lahan berkontur
Menurut Imam Muslih lahan berkontur atau tidak rata sering kita temui di wilayah
perbukitan dan pegunungan. Bagi sebagian orang, kondisi tersebut selain sulit
pengolahaannya, konstruksi strukturnya haruslah super ekstra. Sisi lainnya, lahan
berkontur juga memiliki nilai positif yang dapat menjadi inspirasi tersendiri. Hunian
yang dibangun di atas tanah berkontur akan sangat kaya kreasi ruang, jika penataannya
tepat.
Pengolahan lahan berkontur harus sangat diperhatikan, seperti halnya menyesuaikan
bangunan dengan kontur tanah, mengecek kepadatan tanah, penggunaan metode
pengolahan lahan, dan material yang kuat secara struktur maupun konstruksi
2. Jenis-Jenis Pengolaha Massa di Lahan Berkontur
Menurut Heinz Frick dalam bukunya yang berjudul “Membangun dan menghuni rumah
di lerengan” pada tahun 2002, membahas tentang kondisi site yang berada di lerengan
itu membutuhkan perakuan khusus dalam pengolahannya. Karakteristik topografi
tanah atau perbedaan ketinggian tanah bisa menjadi bagian dari desain bangunan
sehingga menjadi ciri bangunan tersebut.
Beberapa hal yang dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut diantaranya adalah:
Sistem cut and fill, sistem sengkedan, sistem split level. Berikut adalah penjelasan dari
jenis pengolahan massa di lahan berkontur :
a. Sistem Cut and Fill
Cut and Fill adalah lereng gunung yang diratakan sistem teras dengan menggali bagian
belakang dan menimbun bagian depan. Sistem ini dilengkapi dengan dinding
penopang. Pada sistem ini juga harus memperhitungkan dengan baik antara tanah yang
akan di cut dan tanah yang akan di fill itu harus setara agar tidak menimbulkan kerugian
dan dampak negatif lainnya.

Gambar 2.3 Cut and Fill


Sumber : D.K Ching ebook (Bangun, Ruang, Tatanan)
b. Sistem Sengkedan
Merupakan lerengan tanah yang agak terjal sehingga susunan massa menyesuaikan
garis kontur dengan beda ketinggian selalu satu tingkat rumah. Rumah sengkedan yang
berdiri sendiri, berderet, dan sebagainya pada lereng > 10% sampai 20%.

Gambar 2.4 Sistem Sengkedan


Sumber : D.K Ching ebook (Bangun, Ruang, Tatanan)
c. Sistem Split Level
Split Level merupakan tanah yang kemiringannya landai maka memungkinkan
bangunan memiliki 2 lantai yaitu bagian bawah dan atas lereng, dengan perbedaan
ketinggian setengah tingkat pada lereng < 10% (< 60 ).
Gambar 2.5 Split Level
Sumber : D.K Ching ebook (Bangun, Ruang, Tatanan)
3. Klarifikasi kemiringan kontur
Berikut adalah klarifikasi kemiringan kontur (kelas lereng) menurut Van Zuidam 1985
 Kemiringan 0 - 2 % : datar atau hampir datar, tidak erosi yang besar, dapat diolah
dengan mudah dalam kondisi kering.
 Kemiringan 2 - 7 % : lahan memiliki kemiringan lereng landai, bila terjadi longsor
bergerak dengan kecepatan rendah, pengikisan dan erosi akan meninggalkan bekas
yang sangat dalam.
 Kemiringan 4 - 8 % : lahan memiliki kemiringan lereng landai sampai curam, bila
terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, sangat rawan terhadap erosi.
 Kemiringan 15 - 30 % : lahan memiliki kemiringan lereng yang curam, rawan
terhadap bahaya longsor, erosi permukaan dan erosi alur.
 Kemiringan 30 – 70 % : lahan memiliki kemiringan yang curam sampai terjal,
sering terjadi erosi dan gerakan tanah dengan kecepatan yang perlahan-lahan.
Daerah rawan erosi dan longsor
 Kemiringan 70 - 140 % : lereng yang terjal, sering ditemukan singkapan batuan,
rawan terhadap erosi.
 Kemiringan > 140 % : lahan memiliki lereng yang terjal, singkapan batuan muncul
dipermukaan, rawan terhadap longsor batuan.

2. Minimal toxic adalah menghindari penggunaan material bangunan yang berpontensi menimbulkan
toxic (racun) pada lingkungan
BAB IV ANALISIS

1. Hasil analisis minimal digging (membatasi penggalian tanah) pada kawasan warung salse
dago diri, bandung.

Gambar 3.5 Pengolahan Kontur Warung Salse


(Dokumen Hasil Survey Lapangan diolah : 21-12-2019 )

Gambar 3.5 Terassering pada kontur Gambar 3.5 Bangunan Panggung


(Dokumen Hasil Survey Lapangan)
Kemiringan kontur lahan Warung Salse mencapai 70 – 100 %, dapat dilihat pada
gambar 3.5 pengolahan kontur warung salse. Untuk mengurangi potensi terladinya longsor
maka digunakan sistem terassering yaitu pemotongan lereng seperti pada foto 3.3B yang
dimanfaatkan sebagai area makan outdoor atau open space. Lahan berkontur pada kawasan
ini tidak banyak diubah atau masih tetap mempertahankan keaslian konturnya. Cut and fill
diminimalisir semaksimal mungkin jika ada cut maka harus ada fill, tidak ada tanah yang
keluar dan masuk dari dalam maupun luar site. Selain di olah dengan cut and fill pada
kawasan warung salse dibuat bangunan panggung seperti pada gambar 3.5.

Anda mungkin juga menyukai