Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KASUS

Penatalaksanaan emergensi pada fraktur oromaksilofasial

Abstrak

Laporan kasus ini menyajikan penanganan fraktur rima orbita sinistra aspek
lateral et zygomaticomaxillaris sinistra et maksila sinistra, fraktur palatum tipe III,
fraktur simfisis mandibula fraktur parasimfisis mandibula dextra, fraktur condyle
mandibula dextra dan fraktur dentoalveolar. Seorang gadis berusia 20 tahun datang
ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dengan
pendarahan di mulut dan dagu. Peristiwa itu terjadi sekitar 30 jam sebelum dia
datang ke rumah sakit ketika dia belajar mengendarai sepeda motor di lapangan di
daerah Subang dengan kecepatan sedang, pasien kehilangan keseimbangan karena
melewati lubang dan kemudian jatuh dengan mulut mengenai pagar. Pasien
memiliki wajah asimetris dan hematoma pada regio orbita sinistra, palpebral
sinistra, zygoma dextra dan labii superior dan inferior juga terdapat vulnus punctum
pada mental. Mereka juga menemukan hematoma di labii inferior dan vulnus
punctum di labii inferior dengan ukuran 3x2cm dengan sisi yang tidak beraturan.
Dia juga memiliki luka robek pada vestibulum dan gigi 31-34. Gingiva-nya
memiliki luka robek pada gigi 31-32. Pada palatalnya, ada hematoma pada palatum
sinistra dan vulnus laceratum. Manajemen di UGD dimulai dengan debridemen
luka menggunakan 0,9% Sodium Chloride. Setelah itu, alveolektomi dilakukan
pada 11-25 dan 31-34. Penjahitan dilakukan untuk vulnus punctum yang terletak
intraoral dan ekstra oral. Wiring intermolar dilakukan dari 16 hingga 26. Open
Reduction and Internal Fixation berupa pemasangan miniplat dengan screw untuk
fiksasi fraktur mandibula berhasil mengembalikan fungsi estetik dan pengunyahan.
Manajemen luka jaringan lunak dan jaringan keras, melakukan reduksi, fiksasi dan
imobilisasi fraktur, manajemen nyeri serta pemberian antibiotik. Hasil perawatan
yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi patah tulang untuk
menentukan metode perawatan yang tepat untuk pasien.
Pendahuluan

Fraktur maksilofasial adalah salah satu penyebab paling umum presentasi

di unit gawat darurat. Cedera maksilofasial secara umum terjadi cukup umum

setelah trauma dan cedera ini jika tidak dikelola dengan benar dapat mempengaruhi

aktivitas psikososial dan fungsional pasien. Ini adalah sebagai akibat dari sentralitas

daerah wajah sebagai faktor kunci dalam identitas manusia, estetika, dan

kesejahteraan umum. Cedera ini dapat mempengaruhi struktur kerangka dan

jaringan lunak dari daerah wajah. Di sebagian besar dunia, penyebab utama fraktur

wajah adalah kecelakaan kendaraan bermotor (MVA), jatuh, serangan, cedera

olahraga dan pekerjaan.

Fraktur maksilofasial (MFF) dapat dianggap sebagai kondisi konsekuensial

karena dapat menyebabkan kematian, morbiditas parah, cacat wajah, dan

keterbatasan fungsional. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat terpengaruh, mata

dengan otot-ototnya, saraf dan pembuluh darahnya mungkin mengalami cedera

sehingga dapat menyebabkan gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi

dari bola mata dan tulang rongga mata dapat retak akibat pukulan yang kuat.

Sementara di rongga mulut dapat menyebabkan gigi geligi goyang atau terlepas,

kerusakan jaringan lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi.

Cedera kepala adalah cedera terbuka dan tertutup yang terjadi karena fraktur

tengkorak, gegar serebri, memar serebri, leserasi dan perdarahan serebral

subarakhnoid, subdural, epi- dural, intraserebral, batang otak. Klasi kasi cedera

kepala berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), adalah suatu skala dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan dengan memperhatikan tiga

reaksi yang terdiri dari reaksi membuka mata (Eye (E)), respon motorik (M), dan

respon verbal (V). Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam

simbol (EMV), selanjutnya nilai-nilai tersebut dijumlahkan. GCS membagi tingkat

keparahan cedera kepala menjadi cedera kepala ringan atau mild head injury (GCS

14-15), cedera kepala sedang atau moderate head injury (GCS 9-13) dan cedera

kepala berat atau severe head injury (GCS 3-8).

Trauma orbita adalah fraktur pada dasar orbita tanpa atau disertai fraktur

dinding medial orbita akibat trauma. Fraktur tulang dasar orbita, juga dikenal

sebagai fraktur tulang dasar yang terisolasi, diakibatkan oleh suatu trauma pada

bola mata dan kelopak mata bagian atas. Obyek pada umumnya merupakan benda

tumpul dengan ukuran cukup besar, lebih besar dari rongga orbita, yang tidak

menyebabkan perforasi bola mata dan cukup kecil sehingga tidak mengakibatkan

fraktur pada rima orbita, Biasanya disebabkan oleh bola, tinjuan atau dashboard

(pada kecelakaan lalu lintas) yang mengenai mata. Sering diakibatkan oleh trauma

akibat olahraga.

Mandibula adalah tulang kerangka wajah terkuat retak paling sering karena

posisinya yang menonjol, konfigurasi anatomi, mobilitas, dan sedikit dukungan

tulang. inisatu-satunya tulang seluler kerangka wajah dan itu memainkan peran

penting dalam pengunyahan, fonasi, deglutisi danmempertahankan oklusi gigi.

Fraktur mandibula dapat disebabkan oleh trauma dengan 50,8% melalui kecelakaan

kendaraan, jatuh 22,3%, kekerasan atau pertempuran 18,8%, kecelakaan kerja


2,8%, kecelakaan olahraga 3,7% dan kecelakaan lain 1,6%. Kecelakaan lalu lintas

adalah faktor-faktor itu paling sering terjadi pada populasi dewasa muda. Itu

kejadian tertinggi terlihat pada kelompok umur 21-30 tahun dengan rasio pria dan

wanita 3: 16.1,2 Lokasi fraktur mandibula dapat dibagi berdasarkan pada daerah

anatomi yang terlibat, yang merupakan fraktur simfisis, parasimpisis, tubuh, ramus,

sudut, condylus dan coronoideus. Fraktur mandibula karena trauma terkadang juga

melibatkan fraktur kondilus, itu bisa unilateral dan bilateral.

Trauma dentoalveolar adalah trauma yang mengenai gigi dan tulang

alveolar pada maksila atau mandibula dan jaringan pendukung gigi. Klasifikasi

yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) diterapkan pada

gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi,jaringan pendukung

gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Trauma dentoalveolar dapat menyebabkan

fraktur, pergeseran dan hilangnya gigi depan yang mengakibatkan perubahan

fungsi, estetis, gangguan berbicara, dan efek psikologis yang dapat mengurangi

kualitas hidup.3 Tanda-tanda klinis dari fraktur dentoalveolar adalah kegoyahan

dan pergeseran pada beberapa gigi dalam satu segmen, luka pada gingiva serta

pembengkakan pada dagu.

Pencegahan komplikasi trauma oromaksilofasial dapat dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan yang lebih teliti dan lengkap serta konsultasi kepada

bagian lain yang terkait. Trauma oromaksilofasial dapat menjadi kasus yang

kompleks dan diperlukan keterlibatan multi spesialis dalam

penatalaksanaannya.1,2,3 Tujuan dari penulisan studi kasus ini untuk memberikan


informasi ilmiah penatalaksanaan emergensi trauma oromaksilofasial disertai

fraktur basis kranii anterior.

Laporan Kasus

Seorang gadis berusia 20 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Hasan Sadikin Bandung dengan pendarahan di mulut dan dagu. Peristiwa itu

terjadi sekitar 30 jam sebelum dia datang ke rumah sakit ketika dia belajar

mengendarai sepeda motor di lapangan di daerah Subang dengan kecepatan sedang,

pasien kehilangan keseimbangan karena melewati lubang dan kemudian jatuh

dengan mulut mengenai pagar. Pasien tidak mengenakan helm. Riwayat pingsan

(+) 10 menit, riwayat mual dan muntah (-), pendarahan dari mulut (+), pendarahan

dari hidung (-), pendarahan dari telinga (-). Pasien dibawa ke Rumah Sakit Daerah

di Subang dan dilakukan pemeriksaan rontgen kepala dan laboratorium darah,

kemudian segera dibawa ke Instalasi Gawat Darurat RSHS untuk perawatan lebih

lanjut. Riwayat penggunaan alkohol (-)

Selama survei primer, para dokter menemukan bahwa jalan napas tidak

terhambat, laju pernapasannya 22 kali per menit, bentuk dan pergerakan dadanya

simetris, wheezing negatif, dan Vesicular Breathe Sound (VBS) positif. Tekanan

darahnya 110/80 mmHg dan denyut nadinya 85 kali per menit. Skala Glasgow

Coma Scale (GCS) 15 E4M6V5. Pupil bulat dan isokor. Namun, dalam survei

sekunder, para dokter menemukan pembengkakan dan kelainan bentuk di

pergelangan tangan kiri, paha kiri dan kaki kiri.

Pasien memiliki wajah asimetris dan hematoma pada regio orbita sinistra,

palpebral sinistra, zygoma dextra dan labii superior dan inferior juga terdapat
vulnus punctum berukuran 5 x 3 cm pada mental dengan sisi yang tidak beraturan.

Mereka juga menemukan hematoma di labii inferior dan vulnus punctum di labii

inferior dengan ukuran 3x2cm dengan sisi yang tidak beraturan. Dia juga memiliki

luka robek pada vestibulum dan gigi 31-34 dengan ukuran 4x2x1cm dengan sisi

yang tidak beraturan di daerah 11-25 dengan ukuran 4x2x1cm dengan sisi yang

tidak teratur. Gingiva-nya memiliki luka robek pada gigi 31-32 dengan ukuran

3x2x1 cm dengan sisi yang tidak beraturan. Pada palatalnya, ada hematoma pada

palatum sinistra dan vulnus laceratum pada gigi palatal 23-26.

Manajemen di UGD dimulai dengan debridemen luka menggunakan 0,9%

Sodium Chloride. Setelah itu, alveolektomi dilakukan pada 11-25 dan 31-34.

Penjahitan dilakukan untuk vulnus punctum yang terletak intraoral dan ekstra oral.

Wiring intermolar dilakukan dari 16 hingga 26.


Figure 1: Foto pre-op

Figure 2: Foto Intraoral


Figure 3: Foto Intra Op

Figure 4: Foto POD 1

Pembahasan

Penatalaksanaan emergensi pada pasien trauma oromaksilofasial yang

disertai fraktur harus mendapat perhatian segera pada saluran pernapasan, adekuasi

dari ventilasi, control perdarahan internal dan eksternal. Penilaian awal (primary

survey) pada kasus pasien trauma ini bedasarkan Advance Trauma Life Support

(ATLS), dari American College of Surgeons (ACS). Primary survey berupa

penilaian Airway clear with C-Spine control, Breathing-ventilation-oxygenation,


Circulation, Disability-neurologic status, dan Exposure-environment, body

temperature (ABCDE). Penilaaan ABCDE merupakan prioritas pemeriksaan

berdasarkan jenis luka, tanda vital dan mekanisme cedera, sehingga keadaan yang

mengancam nyawa dengan cepat dikenali dan resusitasi segera dilakukan.

Kemudian, dilakukan debridement karena ditemukan luka robek disertai fraktur

terbuka.

Pemeriksaan jalan nafas pada pasien ini didapati Airway clear with C-Spine

control, perdarahan intra oral, dan tidak menggangu jalannafas, serta tidak terdapat

obstruksi. Usaha untuk membebaskan jalan nafas dilakukan dengan menjaga jalan

nafas dari perdarahan intra oral dengan tindakan suctioning dan melindungi

vertebra servikal serta dengan pemasangan airway definitif jika diperlukan.

Breathing, ventilation, oxygenation diberikan dengan nasal kanul 2-4 liter

per menit, dan evaluasi ventilasi secara cepat meliputi fungsi paru, dinding dada

dan diafragma. Circulation dengan pemasangan infus NaCl 0,9% 20 tetes per

menit, untuk menjaga keadaan hemodinamik pasien tetap stabil dan secara simultan

dilakukan pemeriksaan darah lengkap serta faktor pembekuan darah. Disability,

neurologic status pada pasien ini dievaluasi menggunakan GCS, pasien mampu

membuka mata spontan ukuran dan reaksi pupil tidak terdapat tanda-tanda

lateralisasi, motoric mampu mengikuti perintah, dan komunikasi verbal

baik.
Exposure, environment, body temperature, pakaian pasien dibuka untuk

melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, kelainan-kelainan yang mungkin

terlewat pada pemeriksaan sebelumnya. Pemeriksaan secondary survey pada pasien

ini dilakukan dengan prinsip head to toe examination berupa prosedur penunjang

seperti anamnesis, pemeriksaan fisik, ekstra oral, kepala dan oromaksilofasial,

pemeriksaan intra oral yang meliputi status lokalis gigi dan jaringan pendukung

sekitarnya, pemeriksaan radiologis dan laboratorium dapat dikerjakan pada

kesempatan ini.

Penatalaksanaan emergensi Bedah Mulut dan Maksilofasial pada pasien ini

meliputi perawatan umum terhadap komplikasi yang menyertai, pemeriksaan klinis

yang teliti, interpretasi foto rontgen yang tepat, menentukan tipe dan macam

fraktur. Tindakan dilakukan segera dan cepat dengan minimal intervensi termasuk

wound debriement, alveolektomi ar gigi 11-25, 31-34, suturing intraoral dan

ekstraoral. Manajemen luka jaringan lunak dengan debridement luka. Tindakan

debridement luka harus mencakup tepi luka, fragmen tulang, benda asing yang ikut

masuk kedalam luka, jaringan nekrosis, serta jika ditemukan hematom sekaligus

dievakuasi. Setelah itu, dilakukan suturing intraoral dan ekstraoral. Untuk jaringan

keras, dilakukan reduksi, fiksasi dan imobilisasi fraktur dengan menggunakan Inter

Dental Wiring (IDW) pada rahang atas dan rahang awah serta Open Reduction and

Internal Fixation dalam narkosa umum. Insisi dilakukan ekstraoral di daerah

submental. Kemudian dilakukan refrakturing mandibula dan difiksasi

menggunakan plat 10 hole 7 screw dan plat 6 hole 4 screw. Refrakturing pada
maksila kemudian dilakukan dengan insisi secara intraoral dan fiksasi

menggunakan plat 10 hole 1 screw, plat 6 hole 3 screw, dan plat 8 hole 1 screw.

Setelah area insisi dilakukan suturing, ditutup dengan periodontal pack selama satu

minggu. Fiksasi intermaksila juga dilakukan 1 hari setelah operasi. Manajemen

nyeri serta pemberian antibiotik dilakukan secaran simultan.

Kesimpulan

Manajemen luka jaringan lunak dan jaringan keras, melakukan reduksi,

fiksasi dan imobilisasi fraktur, manajemen nyeri serta pemberian antibiotik. Hasil

perawatan yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi patah tulang

untuk menentukan metode perawatan yang tepat untuk pasien.

Anda mungkin juga menyukai