Penjelasan UU No 32 Tahun 2009
Penjelasan UU No 32 Tahun 2009
SOAL NOMOR 2
Di dalam artikel Garrett Hardin yang berjudul The Tragedy of The Commons1, beliau
menjelaskan tentang dua pandangan yang berbeda terhadap langkah penyelesaian suatu
permasalahan. Pandangan yang pertama, bahwa suatu permasalahan hanya bisa diselesaikan
dengan cara teknis, dan pandangan kedua suatu permasalahan tidak selalu bisa diselesaikan
dengan cara teknis bahkan hasilnya justru akan lebih memperburuk situasi, untuk itu cara-cara
non teknis akan menjadi langkah penyelesaian yang lebih baik.
Adapun tipologi kebijakan hukum lingkungan berdasarkan pandangan Garret Hardin ialah 2
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara teknis yaitu suatu permasalahan yang hanya
membutuhkan langkah penyelesaian secara teknis dan ilmu pengetahuan murni, tanpa
cenderung atau tidak sama sekali memperhitungkan nilai-nilai kemanusiaan atau ide-ide secara
moralitas.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara non-teknis yaitu suatu permasalahan yang
tidak selalu membutuhkan langkah penyelesaian secara teknis dan ilmu pengetahuan
murni, dan cenderung memperhitungkan nilai-nilai kemanusiaan atau ide-ide secara
moralitas.
1
Regina Butar Butar, Tragedy of The Commons,
http://reginabutarbutar.blogspot.com/2010/11/tragedy-of-commons_22.html, 11 April 2013.
2
Dr.Harry Supriyono, S.H., M.Si , Ringkasan Bahan Ajar Hukum Lingkungan, Yogyakarta ,2012
- Pengaturan Tidak Langsung ( Indirect Regulation )
Bermaksud memberikan pilihan atraktif untuk melakukan perubahan perilaku dibidang
pengelolaan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk instrument – instrument
keuangan ( financial instrumenten )
Pasal – Pasal di dalam UU nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang sejalan dengan Tipologi Hukum Lingkungan
87 Pengaturan Tidak Langsung Pasal ini berbunyi “Setiap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup
wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.” Didalam pasal ini diberikan
suatu pilihan terhadap pelaku dimana ia dapat
membayar suatu ganti rugi atau melakukan
tindakan. Menurut saya hal ini sama dengan prinsip
dari pada pengaturan tidak langsung yaitu
memberikan instrument instrument yang atraktif
seperti instrument ekonomi.
88 Pengaturan Tidak Langsung “Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.” Didalam pasal ini
juga terdapat suatu pengaturan tidak langsung
dimana saya melihat dari kata “bertanggung
jawab mutlak” dimana Yang dimaksud dengan
“bertanggung jawab mutlak” tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti rugi.
59 Pengaturan Diri Sendiri Pasal ini berbunyi “Dalam hal setiap orang tidak
mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,
pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.” .
saya melihat dari kata kepada pihak lain, dimana
berarti pihak lain tersebut akan dengan sukarela
melakukan pengolahan yang diserahkan
kepadanya. Sehingga hal ini dapat dikatakan
sebagai pengaturan Diri Sendiri.
65 Pengaturan Diri Sendiri Pasal ini berbunyi “Setiap orang berhak untuk
berperan dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.” Dimana dari pasal ini bisa
saya ambil suatu kesimpulan dimana setiap orang
dapat melakukan suatu tindakan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan dengan sendirinya secara
sukarela tanpa paksaan dari siapapun. Sehingga
dapat dikatakan pengaturan diri sendiri.
3
70 Pengaturan Diri Sendiri Pasal ini berbunyi “Masyarakat memiliki hak dan
kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.” Dimana setiap
orang atau masyarakat dapat melakukan
perlindungan terhadap lingkungan dan berperan
aktif dimana dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
sukarela. Sehingga dapat dikatakan pengaturan diri
sendiri sesuai dari pada kemauan masyarakat
tersebut.
3
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup
Kasus Pencemaran Teluk Kao
Nusa Halmehera Minerals (NML) adalah anak perusahan dari Australia Newcrest Mining
Ltd. NML berbasis di Melbbourne–gordon golt dengan tingkat produksi emas per tahun kurang
lebih 700 ribu ouncer. Perusahan Asing ini telah melakukan eksploitasi emas di Maluku Utara
sejak tahun 190-an. Di Maluku Utara Ekspolitasi tersebut tepatnya dilakukan dibukit toguraci,
gosowong dan sekitarnya yang berbatasan dengan dua kebupaten diantaranya, Kabupaten
Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara4 (Syarif, 2007). Tiga sungai di dekat lokasi
tempat beroperasinya PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang beroperasi di Ternate, Maluku
Utara diduga tercemar limbah tambang milik perusahaan itu. Tiga sungai itu adalah Sambiki,
Bora dan Tambobo yang bermuara ke Teluk Kao5 (Greenradio, 2011).
Sejak penambangan emas yang dikelola PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) beroperasi di
Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, banyak nelayan di pesisir Teluk Kao berhenti
melaut. Kondisi serupa terjadi di pesisir di Teluk Kao lainnya, yakni Desa Balisosang, Malifut.
Diduga hilangnya ikan teri dan udang di Teluk Kao terkait aktivitas penambangan emas. Limbah
dari penambangan itu dibuang ke Sungai Kobok dan Bora di Malifut. Kedua sungai tersebut
mengalir ke Teluk Kao. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara
Ismed Soelaiman mengatakan, hasil penelitian yang dilakukan Walhi, Februari 2010, air kedua
sungai mengandung logam sianida di atas ambang batas yang diatur Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 6
Lemahnya penanganan hukum pada kasus-kasus pertambangan yang berakibat pada
rusaknya ekosistem laut serta semakin memiskinkan masyarakat pesisir khususnya nelayan
merupakan contoh kasus dari persoalan tumpang tindihnya peraturan dan kebijakan. Tumpang
tindih peraturan itu membuat kegiatan penambangan membawa berbagai akibat negatif bagi
ekonomi, lingkungan, sosial, dan politik. Masyarakat di pesisir terutama nelayan yang
menyandarkan diri pada kegiatan perikanan menderita kerugian.
SOAL NOMOR 1
Adapun bentuk kebijakan hukum yang dibuat oleh pemerintah sebagai perlindungan lingkungan
adalah8
7
Regina Butar Butar, Tragedy of The Commons, http://reginabutarbutar.blogspot.com/2010/11/tragedy-
of-commons_22.html, 11 April 2013.
8
Dr. Yuniar Lestari, Mkes , Pengelolaan Lingkungan Peraturan dan Perundang - Perundangan,2012
Undang - Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
- Peraturan Daerah
Perda Provinsi sumbar no.4/1989 ttg pengelolaan dan pengendalian LH
sumbar
Perda Provinsi sumbar no.10/1997 ttg organisasi dan tatakerja
Bapedalda sumbar
Peraturan gubernur sumbar no.5/2008 ttg penetapan kriteria mutu air
sungai di prop. Sumbar
Kep. Gubernur. sumbar no.26/2001 ttg penetapan baku mutu limbah cair
bagi kegiatan hotel di sumbar
Jika di lihat dari judul naskah peraturan pemerintah tersebut yang berbunyi : “Peraturan
Pemerintah tentang Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen
Kehutanan.” Sudah terdapat suatu pertentangan terhadap perlindungan lingkungan hidup. Bisa
dilihat dari kata, “penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku”
kalimat tersebut kurang lebih mendeskripsikan suatu kegiatan yang disebut “Penambangan”.
Seperti yang kita ketahui, didalam suatu penambangan harus mengubah total bentang alam
seluas areal penambangan, kecuali apabila pengusaha mampu melaksanakan kegiatan
penambangan tertutup (closed mining) seperti Tambang Batubara Ombilin, PT. BA,
Sawahlunto, Sumatera Barat; Tambang PT. Kitadin, Tenggarong, Kalimantan Timur; Tambang
9
PT. Fajar Mas Murni di tepi Sungai Mahakam, Tenggarong, Kalimantan Timur.
Hutan Negara adalah aktiva milik publik yang dimandatkan kepada Pemerintah, yang
kemudian dimandatkan kepada Departemen Kehutanan untuk mengelolanya. Jadi, Hutan
Negara adalah bukan milik Departemen Kehutanan. Kenapa disebut sebagai milik publik (public
property) adalah dikarenakan hutan adalah merupakan salah satu komponen keseimbangan
ekosistem, yang mampu mempengaruhi kualitas kehidupan manusia termasuk kelestarian
Seharusnya dalam membentuk suatu kebijakan hukum, pemerintah harus memandang dari
segala hal. Jangan hanya dilihat dari sudut pandang pengusaha saja. Memang benar dengan
adanya pengusaha yang mengusahakan hutan, hal itu akan menguntungkan Negara dengan
penanaman modal yang mereka lakukan. Namun dari sudut pandang masyarakat, hal tersebut
sangatlah merugikan. Karena dengan adanya kegiatan penambangan yang dengan kata lain
merupakan suatu pengerusakan hutan secara menyeluruh, dapat mengakibatkan ketidak
seimbangan lingkungan hidup yang berakibat munculnya suatu peristiwa alam seperti banjir
atau longsor. Karena pada dasarnya hutan merupakan aktiva publik, siapa public itu ? sudah
jelas adalah masyarakat.
10
*) Paper didiskusikan dalam Lokakarya Mengurai Kontroversi Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Bogor 5 Agustus 2005
**) Dr.Ir. Sofyan P.Warsito, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM Laboratorium Ekonomi Sumber Daya Hutan.
lindung yang seharusnya dilindungi. Sudah jelas hal ini berdampak langsung terhadap
11
keseimbangan ekosistem hutan. Dari data yang saya dapat, Dari 13 perusahaan tambang
yang “diistimewakan” Perpu ini, tiga berada di hutan lindung Pulau Halmahaera. Pulau yang kini
krisis akibat 160 ijin pertambangan. Kehancuran perairan laut sekitarnya terjadi akibat
penambangan. Seperti di Teluk Kao, sebelumnya pusat penghasil ikan teri (ngafi-ngafi), kini
nyaris tidak ditemukan lagi.
Dilihat dari sisi hukum, didalam terbitnya Perpu ini ada suatu unsur yang tidak di penuhi
untuk dapat berlakunya perpu tersebut. Unsur tersebut adalah keadaan darurat. Untuk
berlakunya suatu perpu, presiden harus menetapkan status keadaan darurat. Namun faktanya
tidak ada keadaan darurat yang terjadi yang dapat dijadikan alasan untuk memberlakukan
Perpu tersebut. Penerbitan kedua aturan ini sangat janggal, dikeluarkan saat parlemen reses,
kajian kerugian dan dampak penambangan lindung yang dimintakan DPR belum diselesaikan,
dan Indonesia tidak dalam keadaan genting sebagai syarat lahirnya sebuah Perpu.
Seharusnya pemerintah dalam menerbitkan dan mengesahkan perpu harus melihat dampak
apa yang akan timbul dari perpu tersebut. Jangan karena kepentingan suatu individu dan
kelompok, mengesampingkan kepentingan orang banyak. Lingkungan hidup yang sehat adalah
hak setiap orang, dengan adanya perpu tersebut banyak Lingkungan hidup berupa hutan
lindung yang rusak akibat penambangan yang dilakukan oleh pihak – pihak tersebut.
Pemerintah harus segera mencabut berlakunya perpu tersebut dan pihak yang telah melakukan
12
pengerusakan terhadap hutan lindung harus membayar Dana Reklamasi, serta (seharusnya
ada pungutan) sebagai pengganti nilai ekonomi Eksternalitas Negatif yang ditumbulkan oleh
kegiatan pertambangan. Nilai eksternalitas negatif ini harus di hitung yang tentunya berbeda-
beda untuk setiap lokasi areal penambangan. Nilai eksternalitas ini tentunya sangat besar, yang
memungkinkan suatu penambangan bisa saja tidak layak untuk diusahakan, dikarenakan
misalnya apabila harga pasar produk tambang tidak mampu menutup biaya total ekonomi (Total
Economic Value) yang diperlukan.
11WALHI Friend of Earth Indonesia, KPK, OECD, PEMERINTAH PRANCIS HARUS USUT SUAP PENERBITAN PERPU NO 1 TAHUN 2004 &
PENGESAHANNYA MENJADI UU, http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/siaran-pers/798-kpk-oecd-pemerintah-prancis-harus-usut-suap-
penerbitan-perpu-no-1-tahun-2004-a-pengesahannya-menjadi-uu, 14 April 2013
12
*) Paper didiskusikan dalam Lokakarya Mengurai Kontroversi Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Bogor 5 Agustus 2005
**) Dr.Ir. Sofyan P.Warsito, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM Laboratorium Ekonomi Sumber Daya Hutan.
Daftar Pustaka
1. Regina Butar Butar, Tragedy of The Commons,
http://reginabutarbutar.blogspot.com/2010/11/tragedy-of-commons_22.html, 11 April
2013.
2. Dr.Harry Supriyono, S.H., M.Si , Ringkasan Bahan Ajar Hukum Lingkungan, Yogyakarta
,2012
HUKUM LINGKUNGAN
Disusun Oleh :
Dandi Septian
12/334352/HK/19215
FAKULTAS HUKUM
2013