Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Krisis energi yang sedang melanda saat ini merupakan masalah yang harus
segera ditanggulangi.Eksploitasi secara terus-menerus terhadap bahan bakar fosil yang
merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui untuk konsumsi industri, transportasi,
dan rumah tangga mengakibatkan keberadaannya di alam semakin menipis. Di sisi lain
dengan perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan semakin besarnya
konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk dari minyak bumi. Tingkat konsumsi
terhadap minyak rata-rata naik 6 % pertahun (Suroso, 2005). Hal ini diperkirakan akan
terus meningkat pada tahun berikutnya, sehingga mengakibatkan persediaan minyak
bumi Indonesia semakin menipis.
Atas dasar masalah di atas, maka dibutuhkan bahan bakar alternatif untuk
mengurangi atau bahkan mengganti bahan bakar fosil yang tak terbaharui
tersebut.Akhir akhir ini kita sering mendengar tentang sumber energi biodiesel yang
mulai marak menyebar, walaupun dalam jumlah tidak banyak. Biodiesel merupakan
salah satu derivat dari biofuel.Biofuel hadir sebagai salah satu alternatif sumber energi
untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.Biofuel atau yang sering disebut juga
bahan bakar hayati adalah sumber energi yang berasal dari bahan organik yang dibuat
dari tumbuhan maupun hewan. Biofuel mempunyai sifat dapat diperbaharui, artinya
bahan bakar ini dapat dibuat oleh manusia dari bahan-bahan yang bisa ditumbuhkan
atau dibiakkan.

Minat untuk mengembangkan teknologi bahan bakar biodiesel selama


bertahun– tahun rendah karena ketersediaan dari minyak bumi yang melimpah.
Perkembangan bahan bakar biodiesel didorong oleh potensi untuk menanggulangi
masalah pada era ekonomi global yaitu bagaimana untuk menghasilkan ketersediaan
energi secara mandiri, mengurangi dampak lingkungan, dan menghasilkan bahan bakar
terjangkau sehingga dapat bersaing dengan bahan bakar diesel konvensional (Renardi,
2007).

1
Alga telah banyak dikembangkan sebagai salah satu kandidat yang sangat baik
untuk produksi bahan bakar karena beberapa keuntungan,Jumlah spesies dari alga
diperkirakan berjumlah di atas 50.000. Dalam kondisi optimum, mikroalga dapat
membelah beberapa kali dalam sehari. Apabila dibandingkan dengan tanaman-tanaman
seperti jarak atau kelapa sawit, Alga dapat memproduksi paling sedikit produk minyak
15 kali lebih banyak Perhektarnya. Selain potensi kecepatan tumbuh dari Alga tersebut,
Alga memiliki kandungan yang menakjubkan. Mikrolga memiliki kandungan minyak
yang sangat tinggi, yaitu bisa mencapai 40-85% dari berat kering, bahkan dibandingkan
dengan kelapa sawit yang selama ini menjadi icon utama biodiesel jauh lebih tinggi
kandungan minyaknya. Kandungan minyak kelapa sawit hanyalah 20%
(Widyaningrum, 2013).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Biodisel


Ide bahan bakar dengan bahan dasar minyak lemak nabati untuk produksi diesel
telah diusung selama satu abad lalu. Penemuan potensi minyak lemak nabati ditemukan
oleh ilmuwan terkenal pada abad ke 19 bernama Rudolf Diesel (Wang, 2009). Pada
tahun 1912, Rudolf Diesel menyatakan “penggunaan minyak nabati untuk bahan bakar
mesin mungkin tampak tidak signifikan hari ini. Tetapi minyak tersebut sama
pentingnya dengan minyak bumi dan batu bara”(Agarwal, 2007).
Minat untuk mengembangkan teknologi bahan bakar biodiesel selama bertahun
– tahun rendah karena ketersediaan dari minyak bumi yang melimpah. Perkembangan
bahan bakar biodiesel didorong oleh potensi untuk menanggulangi masalah pada era
ekonomi global yaitu bagaimana untuk menghasilkan ketersediaan energi secara
mandiri, mengurangi dampak lingkungan, dan menghasilkan bahan bakar terjangkau
sehingga dapat bersaing dengan bahan bakar diesel konvensional. Pengembangan
teknologi diperlukan agar bahan bakar biodiesel dapat diproduksi dengan skala besar.
Beberapa teknologi yang dikembangkan mencakup pembentukan skema dengan bahan
baku biaya rendah, pengembangan teknologi pemurnian biodiesel mentah,
pengembangan katalis untuk menghasilkan perolehan biodiesel yang tinggi, dan
eksplorasi dari produksi biodiesel dengan meminimalkan penggunaan air dan energi
(Renardi, 2007).
Biodiesel terdiri dari monoalkyl ester yang dapat terbakar dengan bersih.
Biodiesel bersifat terbarukan,dapat menurunkan emisi kendaraan, bersifat melumasi
dan dapat meningkatkan unjuk kerja mesin. Biodiesel dibuat dengan cara methanolisis
minyak atau lemak dengan reaksi transesterifikasi dengan katalis basa ataupun asam
yang menghasilkan methyl ester. Ester alkil (metil, etil, isopropil, dan sejenisnya) dari
asam lemak (SNI 04-7182-2006), yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk
petrodiesel, baik 100% penggunaan maupun berupa campuran dengan petrodiesel.

3
Bahan baku pembuat biodiesel adalah sumber daya hayati terbarukan, seperti minyak
nabati dan lemak hewani (Ma dan Hanna, 2001).
Table 1. Standar Biodisel Internasional (Renardi, 2016)

Biodiesel memiliki tingkat polusi yang lebih rendah dari pada solar dan dapat
digunakan pada motor diesel tanpa modifikasi sedikitpun. Biodiesel dianggap tidak
menyumbang pemanasan global sebanyak bahan bakar fosil. Mesin diesel yang
beroperasi dengan menggunakan biodiesel menghasilkan emisi karbon monoksida,
hidrokarbon yang tidak terbakar, partikulat, dan udara beracun yang lebih rendah
dibandingkan dengan mesin diesel yang menggunakan bahan bakar petroleum

2.2 Proses Pemurnian Biodisel dari Mikroalga


Tahapan pemurnian biodiesel bertujuan menghilangan beberapa parameter
pengotor dalam campuran produk biodoesel yaitu asam lemak bebas, sabun, gliserol,
air, alkohol, dan sisa katalis. Oleh karena itu, biodiesel yang akan digunakan harus
dimurnikan terlebih dahulu, agar memenuhi standar biodiesel yang ada. Tingkat
kemurnian biodiesel akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja mesin baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Biodiesel yang tidak murni akan
menyebabkan degradasi pelumas mesin, korosi injektor akibat air dan katalis,
tersumbatnya injektor bahan bakar akibat sabun, dan kebocoran mesin karena alcohol
(Saiful. 2013).

4
Adanya gliserol sangat mempengaruhi kinerja mesin dalam proses pembakaran,
penyumbatan injektor dan dapat menyebabkan timbulnya asap yang mengandung
senyawa akrolein, suatu senyawa fotokimia yang berbahaya. Penelitian kearah
pengembangan metode pemurnian biodiesel masih sangat diperlukan karena belum ada
metode yang 100% efisien dalam menghilangkan pengotor dari biodiesel ( Shuit,
2012).
Pada proes pembuatan biodisel tidak hanya memerlukan bahan baku saja, tetapi
juga memerlukan alkohol (methanol atau ethanol), yang jumlahnya sekitar 10 % dari
campuran. Alkohol berguna untuk menurunkan viskositas minyak nabati dengan
proses esterifikasi, sehingga biodiesel mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan
minyak diesel. Sebelum diproses menjadi biodiesel alga harus diekstraksi terlebih
dahulu menjadi minyak nabati. Berikut adalah beberapa tahapan untuk mendapatkan
biodiesel dari alga , yaitu :
1. Pemanenan Biomasa dan pengeringan.
2. Ekstraksi Alga menjadi minyak nabati.
3. Pemurnian minyak nabati menjadi Methyl ester.
Gambar 1. Proses pembentukan biodisel (Arif, 2016)

5
2.2.1 Pemanenan dan Pengeringan Mikroalga
Hal yang menjadi permasalahan dalam kultivasi alga yaitu pemanenan
(harvesting) untuk memisahkan mikroalga dengan mediumnya dengan cara separasi
padat-cair (Danquah, 2009). Proses ini berfungsi untuk memperoleh biomassa yang
akan diproses lebih lanjut untuk menghasilkan produk-produk yang berguna. Proses
pemanenan ini merupakan tahapan penting untuk dilakukan. Beberapa kendala yang
sering dijumpai dalam proses pemanenan mikroalga adalah ukuran alga yang kecil (3-
30μm) serta konsentrasi mikroalga yang rendah di dalam mediumnya (0,5-5 g/L)
(Pratama, 2011).
Beberapa metode pemanenan mikroalga diantaranya adalah sentrifugasi,
filtrasi, sedimentasi dan flokulasi (Brennan, 2009). Teknik yang saat ini banyak dipilih
dalam pemanenan adalah flokulasi. Flokulasi merupakan kumpulan mikroalga yang
membentuk massa akibat penambahan bahan kimia atau zat organik Sel mikroalga
umumnya berukuran 5-50μm dan dapat membentuk suspensi cukup stabil dengan
bahan kimia yang memiliki muatan negatif pada permukaannya. Pemanenan sel
mikroalga dengan flokulasi dianggap lebih baik daripada metode konvensional seperti
sentrifugasi atau filtrasi karena dapat menghasilkan biomassa yang lebih baik secara
kuantitas (Qasim, 2000).
Ada beberapa flokulan dapat digunakan dalam proses pemanenan dan salah
satunya yaitu alumunium sulfat Al2(SO4)3. Metode flokulasi menggunakan aluminium
sulfat Al2(SO4)33 150 mg/L serta 200 mg/L NaOH. Setelah penambahan flokulan
dilakukan pengadukan cepat selama 1 menit dilanjutkan Pengadukan lambat selama 15
menit secara manual menggunakan pengaduk kayu. Lalu didiamkan selama 1 jam
untuk memisahkan antara mikroalga dengan medianya. Setelah 1 jam, dilakukan
pemisahan antara mikroalga dengan medianya dengan penyaringan menggunakan kain
satin. Hasil pemanenan yang didapat kemudian dilakukan pengeringan dengan suhu
1050C (Hidayati, 2005) namun menurut Widjaja (2009) pengeringan dengan suhu
tinggi dapat mengurangi kandungan lipid yang terhadapt pada mikroalga, pengeringan
mikroalga paling baik pada suhu 00C,dengan suhu pengeringan ini kandungan lipid
yang diperoleh dapat mencapai 52,5%. Foam-mat drying adalah teknik pengeringan

6
bahan berbentuk cair dan peka terhadap panas melalui teknik pembusaan dengan
menambahkan zat pembuih. Pengeringan dengan bentuk busa (foam), dapat
mempercepat proses penguapan air, dan dilakukan pada suhu rendah, sehingga tidak
merusak jaringan sel, dengan demikian nilai gizi dapat dipertahankan. Metode foam-
mat drying mampu memperluas area interface, sehingga mengurangi waktu
pengeringan dan mempercepat proses penguapan (Raj Kumar dkk, 2005).
Pembentukan foam tergantung berbagai parameter, seperti komposisi dari cairan,
metode pembusaan yang digunakan, temperatur dan lama pembuihan. Metode
pembuihan mempengaruhi kualitas dan kuantitas foam. Foam stabilizer berfungsi
untuk mempertahankan konsistensi busa adonan sehingga proses pengeringan akan
cepat dan bahan tidak rusak karena pemanasan. Adanya bahan penstabil busa dapat
membentuk ikatan kompleks antara protein dan air, air yang terjebak oleh polisakarida,
dapat berikatan dengan protein melalui ikatan hidrogen. Hal tersebut yang dinilai
mampu membuat kandungan lipid dapat dipertahankan pada proses pengeringan
mikroalga (Asiah, 2012).

2.2.2 Ekstrasi Alga Menjadi Minyak Nabati


Menurut Thomas (2011) Terdapat beberapa metode terkenal untuk mengambil minyak
dari alga, antara lain:
1. Pengepresan (Expeller/Press)
Pada metode ini alga yang sudah siap panen dipanaskan dulu untuk
menghilangkan air yang masih terkandung di dalamnya. Kemudian alga dipres
dengan alat pengepres untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam
alga. Dengan menggunakan alat pengepres ini, dapat diekstrasi sekitar 70 –
75% minyak yang terkandung dalam alga.
2. Hexane solvent oil extraction
Minyak dari alga dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia, misalnya
dengan menggunakan benzena dan eter. Namum begitu, penggunaan larutan
kimia heksana lebih banyak digunakan sebab harganya yang tidak terlalu
mahal.

7
Larutan heksana dapat digunakan langsung untuk mengekstaksi minyak dari
alga atau dikombinasikan dengan alat pengepres. Cara kerjanya sebagai
berikut: setelah minyak berhasil dikeluarkan dari alga dengan menggunakan
alat pengepres, kemudian ampas (pulp) alga dicampur dengan larutan cyclo-
hexane untuk mengambil sisa minyak alga. Proses selanjutnya, ampas alga
disaring dari larutan yang berisi minyak dan cyclo-hexane. Untuk memisahkan
minyak dan cyclo-hexane dapat dilakukan proses distilasi. Kombinasi metode
pengepresan dan larutan kimia dapat mengekstraksi lebih dari 95% minyak
yang terkandung dalam alga.
Sebagai catatan, penggunaan larutan kimia untuk mengekstraksi minyak dari
tumbuhan sangat beresiko. Misalnya larutan benzena dapat menyebabkan
penyakit kanker, dan beberapa larutan kimia juga mudah meledak.
3. Supercritical Fluid Extraction
Pada metode ini, CO2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian dipanaskan
sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan gas. Pencairan fluida
inilah yang bertindak sebagai larutan yang akan mengekstraksi minyak dari
alga.
Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100% minyak yang terkandung dalam
alga. Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus untuk penahanan
tekanan.
Beberapa metode yang kurang terkenal:
1. Osmotic Shock
Dengan menggunakan osmotic shock maka tekanan osmotik dalam sel akan
berkurang sehingga akan membuat sel pecah dan komponen di dalam sel akan
keluar. Metode osmotic shock memang banyak digunakan untuk mengeluarkan
komponen-komponen dalam sel, seperti minyak alga ini.
2. Ultrasonic Extraction
Pada reaktor ultrasonik, gelombang ultrasonik digunakan untuk membuat
gelembung kavitasi (cavitation bubbles) pada material larutan. Ketika
gelembung pecah dekat dengan dinding sel maka akan terbentuk gelombang

8
kejut dan pancaran cairan (liquid jets) yang akan membuat dinding sel pecah.
Pecahnya dinding sel akan membuat komponen di dalam sel keluar bercampur
dengan larutan.

2.2.3 Pemurnian minyak nabati menjadi Methyl ester


Setelah alga diolah menjadi menjadi minyak nabati, maka proses selanjutnya
adalah pemurnian minyak nabati menjadi Methyl ester . Untuk merubah minyak nabati
menjadi biodiesel. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memurnikan minyak
nabati adalah transesterifikasi. Transesterifikasi merupakan reaksi antara
lemak/minyak nabati dengan alkohol membentuk ester dan gliserol. Karena reaksi ini
merupakan reaksi reversibel, maka diperlukan alkohol berlebih untuk menggeser
kesetimbangan ke arah produk. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester.
Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi yang berjalan lambat sehingga diperlukan
katalis untuk mempercepat reaksinya (Sari, 2011). Reaksi transesterifikasi dengan
metanol yang dikatalisis dengan KOH. Perbandingan minyak dan metanol adalah 1:6.
Reaksi dilakukan dalam reaktor selama 1 jam pada suhu 60oC. Biodiesel yang
terbentuk dipisahkan dari gliserol dengan pencucian menggunakan aquadest sampai
pH netral. Kandungan air dievaporasi sampai berat larutan stabil (Widyastuti, 2015)

9
BAB III

PENUTUP

Biomassa dari kultivasi mikroalga dapat digunakan sebagai bahan baku


pembuatan biodiesel karena memiliki kandungan lipid yang tinggi. Cara
pembuatan biodiesel dari biomassa mikroalga adalah pemanenan dan
pengeringan mikroalga selanjutnya dilakukan proses ektrasi mikro alga
menjadi minyak nabati dan yang terakhir adalah proses pemurnianminyak
nabati yang dihasilkan mikroalga menjadi Methyl ester.

10
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal AK. 2007. Biofuels(Alchols and Biodisel) Applications as Fuels for Internal
Combustion Engines. Jurnal Energy Combustion Science. Vol. 33. Hal 233-271
Arif DS. 2016. Telaah Produksi Biodiesel dari Biomassa Mikroalga. Jurnal Teknologi
Lingkungan. Vol. 17 No. 2. Hal 66-72
Asiah N.,Sembodo R., Prasetyaningrum. 2012. Aplikasi Metode Foam-mat Drying
pada Peoses Pengerigan Spirulina. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. Vol. 1
No. 1Hal 461-467
Brennan L., Owende P. 2009. Biofuels from microalgae-a review of technologies for
production, processing and extractions of biofuels and co-products. Renewable
Sustain Energy Reviews. 805: 21.
Danquah M., Ang L., Uduman N., Moheimani N., Fordel G. 2009. Dewatering of
microalgal culture for biodiesel production: exploring polymer flocculation and
tangential flow filtration. Journal of Chemical Technology and
Biotechnology.Vol.84 No 7
Hidayati S. Nawansih O., Febiana V. 2015. Teknik Pemanenan Mikroalga
Nannoclopropsis sp. yang dikultivasi dalam media limbah cair karetremah
dengan flokulan Aluminium Sulfat. Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian.
Vol. 20 No. 2
Ma F., Hanna MA. 2001. Biodiesel Production : A Review. Bioresource Tech.Vol. 70.
Hal 77-82.
Pratama I. 2011. Pengaruh Metode Pemanenan Mikroalga Terhadap Biomassa Dan
Kandungan Esensial Chlorella vulgaris. (Skripsi). Fakultas Teknik Universitas
Indonesia. Jakarta.Renardi A. 2016.Produksi dan Pemuarnian Biodisel dengan
Teknologi Membran. Institut teknolgi Bandung
Renardi A. 2016.Produksi dan Pemuarnian Biodisel dengan Teknologi Membran.
Institut teknolgi Bandung
Saiful., Nurfitriana., Muliadi R., Ilham M. 2013. Pengembangan Membran Magnesol
Untuk Pemurnian Biodisel. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. Vol 9. No.
3 Hal. 118-125
Sari, Fresty Anita. 2011. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Ketapang (Terminalia
catappa L.) Menggunakan Katalis KOH. Universitas Negeri Semarang.
Thomas AN. 2011.Membuat Biodisel dari Tumbuhan Algae. Process System
engineering Research group Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. http://pserg.wg.ugm.ac.id/article/read/41-membuat-
biodiesel-dari-tumbuhan-alga Diakses pada 23 Januari 2019

11
Wang Y., Xingguo W., Yuanfa L., Shihyi O., Yanlai T., Shueze T. 2009. Refining
ofBiodisel by Ceramic Membran Separation. Juenal Fuel Processing
Technology. Vol 90. Hal. 422-427
Widyaningrum NF., susilo B., Hermanto MB. 2013. Studi Eksperimental
Fotobioreaktor Photovoltaic untuk Produksi Mikroalga (Nannochoropsis
oculata). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis. Vol. 1. No. 2
Widyastuti CR., Dewi AC. 2015. Sintesis Biodisel dari Minyak Mikroalga Chlorella
Vulgaris dengn reaksi Transesterifikasi Mengunakan Katalis KOH. Jurnal Alam
Terbaharukan Vol. 4 No 1 Hal. 29-33
Qasim SR., Motley EM., Zhu G. 2000. Water works engineering: Planing Design and
Operation. 1st edition.844 hlm.

12

Anda mungkin juga menyukai