Anda di halaman 1dari 21

Literasi Budaya Masyarakat Baduy Sebagai Salah Satu Kekayaan Budaya

Indonesia
(Cultural Literacy of the Baduy Community as One of Indonesia's Cultural
Wealth)
Asma Muthi’ah
Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : asma.muthiah16@mhs.uinjkt.ac.id
Abstrack
Indonesia is a country with a variety of cultures, ethnicities, and
ethnicities. One of the tribes that is the uniqueness of Indonesia that must be
maintained is the Baduy. Where, the Baduy tribe is one of the tribes who until now
insisted not to be touched by all the advances in technology available, and obey
the rules of their ancestors. The purpose of this research is to find out the general
descriptive of the cultural literacy of the Baduy tribe in maintaining their
existence in accordance with the regulations of their ancestors, based on the
elements of cultural literacy. The research method that will be used in this
research is descriptive method with a Case Study approach.

Abstrak
Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam ragam budaya, suku,
dan etnis. Salah satu suku yang menjadi keunikan Indonesia yang harus terus
dijaga keberadaanya ialah suku baduy. Dimana, suku baduy merupakan salah satu
suku yang hingga kini bersikukuh untuk tidak terjamah dengan segala kemajuan
teknologi yang ada, dan patuh dengan peraturan dari nenek moyang mereka.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
deskriptif umum tentang Literasi budaya masyarakat suku baduy dalam
mempertahankan keberadaaannya sesuai dengan peraturan nenek moyang mereka,
berdasarkan unsur-unsur literasi budaya. Metode penelitian yang akan digunakan
pada penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan Studi Kasus.

Keyword : Literasi budaya, suku baduy


Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam ragam budaya, suku,


dan etnis. Dimana, dengan keberagaman tersebut Indonesia menjadi negara yang
amat sangat kaya akan budaya, dimana hal ini menjadi poin tambah bagi
Indonesia itu sendiri. Sebab, dengan keberagaman tersebut Indonesia menjadi
pusat wisata, bahkan seringkali disebut sebagai negara yang kaya raya bukan
hanya kekayaan alam, namun juga kekayaan budaya yang menjadikannya juga
kaya akan kuliner, bahasa, dan tradisi. Hal ini, menjadi peluang besar bagi
Indonesia untuk dapat menarik perhatian dunia akan uniknya bangsa ini. Namun,
dengan banyaknya keberagaman ini, seringkali masyarakat Indonesia tidak
menyadari betapa besar peluang negara ini untuk dapat berkembang.

Selain itu, meskipun masyarakat Indonesia berpegang teguh akan


semboyan Bhinneka Tunggal Ika namun pada realitasnya, antar suku seringkali
bersinggungan karena ketidak toleransi an antar masyarakat yang berbeda budaya
dan suku. Sehingga, perang di berbagai daerah karena ketersingunggan antar suku
masih seringkali terjadi. Untuk itu, sebuah kemampuan masyarakat akan literasi
budaya sangat dibutuhkan. Demi menciptakan kedamaian dalam bermasyarakat
dengan keberagaman budaya yang ada, sehingga segala suku dan bangsa yang ada
di Indonesia dapat terjaga dan tidak terhapuskan.

Salah satu suku yang menjadi keunikan Indonesia yang harus terus dijaga
keberadaanya ialah suku baduy. Dimana, suku baduy merupakan salah satu suku
yang hingga kini bersikukuh untuk tidak terjamah dengan segala kemajuan
teknologi yang ada, dan patuh dengan peraturan dari nenek moyang mereka. Suku
Baduy berlokasi di daerah Lebak, Banten. Nilai-nilai luhur yang terdapat dalam
adat Suku Baduy adalah memelihara dan menjaga alam dengan tidak mengubah,
apalagi merusaknya. Mereka tidak pernah memberontak dengan kesederhanaan
hidupnya, mereka selalu membudayakan hidup bergotong royong, tolong
menolong dan juga mentradisikan musyawarah dalam keseharian mereka.1 dan

1
Amirulloh Syarbini, “Kearifan Lokal Baduy Banten,” n.d.
masih banyak hal yang dapat dikulik dari ke khas an dan keunikan dari budaya
yang masih kental di terapkan didalam Suku Baduy. Untuk itu, pada artikel kali
ini penulis akan memaparkan hasil penelitian terkait suku baduy yang telah
dilakukan sebagai kebutuhan mata kuliah literasi informasi.

Metode Penelitian

Dalam proses penelitian kali ini, metode yang digunakam ialah metode
deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan untuk memperoleh
gambaran mengenai keadaan yang terjadi pada masa sekarang. Metode deskriptif
dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/objek penelitian (seseorang,
lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta
yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
menunjukan kenyataan-kenyataan atau kondisi-kondisi yang ada tanpa
terpengaruh oleh anasir subjektif dari penyelidik.
Ada beberapa jenis penelitian yang dapat dikategorikan sebagai penelitian
deskriptif, yaitu: penelitian survei (survey studies), studi kasus (case studies),
penelitian perkembangan (developmental studies), penelitian tindak lanjut
(follow-up studies), analisis dokumen (documentary analysis), dan penelitian
korelasional (correlation studies)
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan studi kasus, dimana
pendekatan yang memfokuskan penelitian ini memusatkan diri pada suatu objek
tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. studi kasus digunakan
untuk meneliti secara seksama dan terperinci mengenai hal-hal yang mempunyai
makna dalam konteks masa kini dan peneliti tidak memiliki peluang untuk
mengontrol fenomena yang ada sehingga data apapun yang ditemukan merupakan
fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan. Penelitian ini akan menghasilkan
sesuatu yang khas karena merupakan penelitian yang tertuju pada suatu unit saja
dan hasil penelitian ini akan mungkin berbeda jika diterapkan pada unit ataupun
subjek yang lain.dalam penelitian ini pengambilan data dilakukan melalui
wawancara, obseervasi dan dokumentasi.2
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui deskriptif umum tentang Liteerasi budaya masyarakat suku baduy
dalam mempertahankan keberadaaannya sesuai dengan peraturan nenek moyang
mereka, berdasarkan unsur-unsur literasi budaya. Metode penelitian yang akan
digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan Studi
Kasus.3

Tinjauan Literatur
A. Literasi budaya
Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan
bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Literasi
budaya dan kewargaan menjadi hal yang penting untuk dikuasai di abad
ke-21. Indonesia memiliki beragam suku bangsa, bahasa, kebiasaaan, adat
istiadat, kepercayaan, dan lapisan sosial. Sebagai bagian dari dunia,
Indonesia pun turut terlibat dalam kancah perkembangan dan perubahan
global. Oleh karena itu, kemampuan untuk menerima dan beradaptasi,
serta bersikap secara bijaksana atas keberagaman ini menjadi sesuatu yang
mutlak.
B. Unsur-unsur literasi budaya
1. Bahasa
sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk
berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. kemampuan
manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan pemahaman
tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan
mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada
bahasa.

2
Unika Prihatsanti, Suryanto Suryanto, and Wiwin Hendriani, “Menggunakan Studi Kasus Sebagai
Metode Ilmiah Dalam Psikologi,” Buletin Psikologi 26, no. 2 (December 3, 2018): 126,
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38895.
3
Mudjia Rahardjo, “Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif: Konsep Dan Prosedurnya,” 2017.
2. Pengetahuan
Sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia
tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya
3. Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat
dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam
lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan
sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga
inti yang dekat dan kerabat yang lain
4. Peralatan Hidup dan Teknologi
Unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-
benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan
teknologi yang masih sederhana
5. Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian
Berburu dan Meramu; Beternak; Bercocok Tanam di Ladang;
Menangkap Ikan; Bercocok Tanam menetap dengan sistem irigasi
6. Religi atau Unsur Agama dan Kepercayaan
Asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah
adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu
kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada
manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk
berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-
kekuatan supranatural tersebut.
7. Kesenian
Seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief, seni ukir, seni lukis,
dan seni rias. Seni musik terdiri atas seni vokal dan instrumental,
sedangkan seni sastra terdiri atas prosa dan puisi
Pembahasan
Pada penelitian ini data yang diperoleh berdasarkan 2 narasumber utama
yaitu Jaro dari desa Cibeo dan Ayah Nani, serta hasil mencari kesempatan dengan
beberapa warga suku Baduy Dalam yang menjadi pemandu selama perjalanan.
Meskipun waktu dalam pengambilan data dirasa sangat singkat sehingga data
yang didapat tidaklah komprehensif, namun sebisa mungkin penulis mencoba
menjabarkan sebaik mungkin berdasarkan data yang ada. Berikut beberapa hal
yang dapat penulis ulas berdasarkan hasil penelitian :
A. Asal usul Baduy (Baduy Dalam dan Baduy Luar)
Menurut definisi yang diberikan oleh beberapa dongeng dan cerita
rakyat di Banten, Baduy datang dari nama sebuah tempat yang dijadikan
tempat hunian. Sendang yang bernama Cibaduy, tapi ternyata nama
Sendang Cibaduy lahir setelah masyarakat mengasingkan diri itu
membuka kampung. Ada pendapat lain yang mengatakan, kalau Baduy
berasal dari kata “Budha” yang berubah menjadi “Baduy”. Ada juga yang
mengatakan dari kata “Baduyut”, karena kampung yang dijadikan tempat
huniannya banyak tumbuh pohon baduyut, sejenis beringin. Yang jelas
kata Baduy lahir setelah masyarakat yang mengasingkan diri itu
membangun perkampungan yang sampai sekarang dikenal dengan
panggilan orang-orang Baduy.4
Baduy sendiri terbagi menjadi 2 yaitu Baduy Dalam dan Baduy
Luar. Baduy Luar terdiri dari 63 Kampung Baduy Dalam terdiri dari 3
menurut Ayah Nani Kampung Cibeo merupakan desa yang berfokus
terhadap pertanian, Cikertawana desa yang berfokus pada Pengobatan dan
Cikesik Spiritual/ keagamaan. Berbeda hal nya dengan Ayah Nani, Jaro
yang menjadi wakil dari Puun menyatakan bahwa ketiga desa tersebut
tidak memiliki ke khas an apapun, dan dapat di kunjungi oleh siapapun
bahkan dari orang luar Baduy sekalipun. Yang memiliki perbedaan ialah
Baduy dalam dan baduy luar, dimana perbedaan yang dimiliki cukup

4
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN, “SUKU BADUY,” n.d.
signifikan dan dapat menjadi pembeda bagi kedua suku tersebut, dimulai
dari cara berpakaian, mata pencaharian, aturan, dan ketentuan tertentu.

B. Tingkat Sosial Budaya


Dalam Suku Baduy terdapat tingkatan sosial atau lebi tepatnya
tingkat organisasi yang mengatur jalannya aturan-aturan yang terdapat
dalam suku Baduy. Dimana, setiap posisi memiliki kedudukan dan fungsi
masing-masing baik dalam Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Berikut
struktur tingkat sosial yang teradapat di Baduy Dalam :
1. Puun (kepala) 1 orang per Kampung
2. Serat (wakil) 1 orang yang dekat dengan Pu’un
3. Jaro 1 orang per kampung
4. Baresan jumlah 9 orang
5. Perwari jumlah 8 orang
6. Ada polisi adat 9 orang

Namun dalam sumber lain menyatakan bahwa Pemimpin adat


tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga
kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak
otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya dilihat
seberapa tinggi pengetahuan yang dimiliki calon kandidat Pu’un. Jangka
waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut maupun sesuai dengan wangsit yang
ada. Kemudian, pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan
(kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan,
yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro
tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga
tangtu dan berbagai macam urusan lainnya.
Selanjutnya, Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan
memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes.
Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang
jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini
disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat
bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan
pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik,
dan kokolot lembur atau tetua kampung.5
Sedangkan, di Baduy Luar tidak ada Pu’un karena lebih
berinteraksi langsung kepada pemerintahan setempat. Serta, narasumber
tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai tatanan sosial di dalam Baduy
Luar. Yang jelas, ialah Baduy Luar bertugas dalam berkomunikasi
langsung dengan kepemerintahan yang ada.

C. Bahasa
Sebagai salah satu identitas dari berbagai daerah adalah bahasa.
Begitu juga untuk suku baduy juga memiliki bahasa daerah sendiri. Untuk
bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda– Banten.
Orang Baduy Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat,
kepercayaan/ agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam
tuturan lisan saja. Jadi salah satu identitas bahasa dari suku baduy adalah
bahasa dialek Sunda-Banten yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-
hari. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah
D. Peraturan, Hukum, Politik dan hubungan dengan Pemerintah
Dalam Suku Baduy terkenal dengan ketatnya peraturan yang ada
terlebih dengan halyang berbau dalam kemajuan teknologi dan sistem
berpolitik, semua di atur sebegitu rupa dari nenek moyang mereka, dan
ditaati dengan patuhnya. Aturan-aturan yang ada berdasarkan hasil rapat
adat, yang mana tidak akan bertambah sesuai dengan apa yang telah

5
Program Studi Pendidikan Geografi – FISE UNY, “Masyarakat Baduy: Desa Kanekes, Lewidamar,
Lebak, Banten” (Universitas Negeri Yogyakarta, 2011),
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/MASYARAKAT%20BADUY%20-%20Handout-
PKL%20Geo%20Terpadu.pdf.
diturun temurunkan. Hasil rapat terkait pengumaman maupun aturan yang
ada biasanya disebarkan melalui mulut ke mulut. Rapat ini biasanya
dilaksanakan rapatkan 3 bulan sekali, dimana yang dibahas seringkali
mengenai penegasan agar masyarakat tidak hanya menangkap informasi
yang hanya berdasarkan “katanya”
Untuk soal sistem politik, sangat dilarang untuk berkampanye di
Suku Baduy baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Dalam hal pemilu,
seperti pemilihan presiden beberapa waktu yang lalu, dimana ha tersebut
tidak diharuskan dan diwajibkan kepada masyarakat. Suku Baduy
Sebagian ikut pemilu, sebagian tidak. Jika, ingin mengikuti dapat hadir ke
Baduy Luar. Selain itu, masyarakat Baduy tidak memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
Selain itu, bentuk interaksi Suku Baduy baik Luar maupun Dalam
setiap tahunnya memberikan hasil panen kepada Gubernur setempat
sebagai bentuk kesepakatan yang sudah turun temurun. serta membayar
pajak melalui sekdes yang berasal dari Baduy Luar dengan tingkat pajak
15.000 rupiah per keluarga, sedangkan Baduy Luar per hektar.
Mengenai tanah untuk bercocok tanam, dalam Baduy Dalam tidak
memiliki bukti kepemilikan ladang/tanah disebabkan hal tersebut
merupakan hak adat yang mana setiap tahunnya, kepemilikan dapat
bergilir untuk dapat di kelola oleh semua masyarakat. Tidak
diperbolehkannya penggunaan alat elektonik apapun dan transportasi
apapun bagi Baduy Dalam. Sedangkan Baduy Luar diberikan sedikit
kebebasan dalam menggunakan alat transportasi, sebab Baduy Luar
merupakan perantara dalam berkomunikasi dengan pemerintah.
Selain itu, terdapat sebuah sistem yang disebut razia setiap 3x
dalam setahun. Razia ini, dilakukan dalam hal menggeledah berbagai
pelanggaran yang ada seperti, barang-barang dari luar/kota, pakaian selain
pakaian yang telah di tetapkan, make up, teknlogi dan sebagainya. Namun,
dalam pelaksanaannya telah diberikan pemberitahuan sebelumnya.
Kegiatan ini dilakukan oleh beberapa tokoh adat, hukuman dapat berupa
teguran dan apabila sudah lebih dari 2x dapat masa pengasingan selama 40
hari dimana orang yang bersangkutan diharuskan bekerja tanpa digaji,
kemudian dirundingkan apakah dimaafkan atau di keluarkan. Bila
masyarakat Baduy Dalam yang melanggar maka diharuskan pindah ke
Baduy Luar. Terdapat hukum lainnya yaitu hukum alam yang dapat
berupa sakit tak bersua karena melakukan beberapa dosa tertentu.
Aturan lainnya ialah terkait wisatawan yang berkunjung ke Suku
Baduy. Keterbukaan suku ini terhadap wisatawan sudah terjadi sejak dulu
kala, namun turis Barat tidak diperbolehkan sedangkan Turis Asia masih
diperbolehkan. Dan tentu para wisatawan ini di berikan syarat terkait tidak
diperbolehkannya menggunakan berbagai macam bahan kimia yang dapat
mencemari alam maupun sungai mereka, seperti pasta gigi, sabun,
detergen dan lain sebagainya. Sebab, sungai merupakan sumber air dan
kehidupan mereka dan masyarakat yang berada dibawah. Dan para
wisatawan hanya diperbolehkan menginap satu malam saja di Baduy
Dalam, jikalau ingin dua malam maka diharuskan turun terlebih dahulu
kemudian, naik kembali.

E. Budaya
Terdapat berbagai budaya dan tradisi yang ada di Suku Baduy
mulai dari bentuk rumah di Baduy Dalam yang hanya memiliki 1 pintu,
arah pintu hanya diperbolehkan menghadap ke Selatan ataupun Utara.
Sedangkan Baduy Luar tidak ada ketentuan seperti ini dengan kata lain
dipersilahkan menghadap kemanapun dengan jumlah berapapun.
Untuk segi berpakaian, Baduy Dalam diperbolehkan menggunakan
warna hitam maupun putih tanpa ada kancing (baju kurung), namun
ditandai dengan ikat kepala berwarna putih. Sedangkan, Baduy Luar hanya
diperbolehkan berwarna hitam dengan tanda ikat kepala batik hitam biru.
Istilah pakaian yang digunakan,mulai dari talewang yaitu ikatan kepala,
Jamang yang berupa baju, kain aros yang merupakan bawahan, dan
gandongan yang merupakan tas yang selalu dibawa jikalau mereka
bepergiann. Tidak diperkenankan menggunakan sepatu, batas
diperbolehkan hanya berupa sandal.
Kemudian, Senjata hanya berupa parang, kored/ arit, dan kujang.
Senjata-senjata ini tidak dipergunakan untuk berkelahi namun, hanya
untuk memotong rumput ataupun berburu. Untuk kesenian berupa Alat
Musik yaitu Angklung digunakan dalam Perayaan nanem padi dimana
terdapat Jaro khusus untuk melatih hal ini. kemudian, Kecapi digunakan
dalam perayaan pernikahan, dan terakhir ialah Kerinding.

F. Waktu dan Tanggal (Astronomi)


Untuk sistem penetapan waktu dan tanggalan Suku Baduy
memiliki sistem tersendiri. Dimana, sistem nama bulan hampir mirip
dengan penanggalan kalender Hijriyah. Sedangkan, waktu berdasarkan
cara tertentu yang tidak diungkapkan.
G. Agama dan spiritual
Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Baduy ialah Sunda
Wiwitan. Dimana, mereka tetap mengakui Tuhan yaitu Allah, dan
mengakui adanya Nabi Muhammad. Akan tetapi panutan utamanya ialah
Nabi Adam. Terdapat beberapa ibadah yang dilakukan namun berbeda
dengan ibadah yang dilakukan oleh kaum muslim sewajarnya.
Seperti, adanya ibadah puasa selama 3 bulan terakhir dari
penanggalan Suku Baduy, dimana dalam 3 bulan hanya dilaksanakan 1
hari puasa biasanya setiap tanggal 18 ataupun 19. Sehingga, total
pelaksanaan puasa ialah 3 hari dalam setahun. Kemudian, ditutup dengan
acara adat semacam lebaran. Pada masa ini, yaitu 3 bulan terakhir para
wisatawan atau masyarakat luar baduy dilarang untuk berkunjung.
Untuk ibadah lainnya tidak 5 waktu, namun sewaktu-waktu sesuai
dengan ajaran atau amanat para leluhur. Serta, jikalau umat muslim
memiliki arah kiblat ka’bah dalam mata angin barat. Masyarakat Baduy
menghadap ke arah mata angin selatan. Hal ini, di percaya bahwa para roh
leluhur mereka berada pada arah selatan, untuk itu kiblat yang diikuti ialah
selatan bukan barat.

H. Kesehatan dan Pengobatan


Berdasarkan hasil wawancara oleh Jaro dikatakan bahwa sistem
pengobatan yang ada di Desa Baduy dalam lebih sering menggunakan
obat-obatan hasil dari ramuan yang diketahui secara turun-temurun.
Namun, menurut Jaku salah seornag pemuda dari Baduy Dalam
menginformasikan bahwa terkadang juga diperbolehkan untuk membeli
beberapa obat-obatan kimia dari luar baduy. Namun, untuk sampai tingkat
bahwa sakit dibawa ke rumah sakit semasa hidup Jaku belum pernah
terjadi.
Dalam merawat diri, masyarakat tidak memakai sabun, pasta gigi
dan lainnya. Make up pun tidak diperbolehkan namun seringkali masih
banyak Masyarakat yang sembunyi-sembunyi menggunakannya. Namun,
dengan adanya peraturan tersebut bukan berarti masyarakat Baduy terlihat
buruk rupa, namun justri sebaliknya sebagian bedar masyarakat Baduy
terlihat putih bersih bahkan rupawan.

I. Ekonomi dan Mata Pencaharian


Sistem ekonomi,mata pencaharian dan bertahan hidup Suku Baduy
dapat dikatakan sama seperti pada umumnya, hanya saja ada beberapa hal
yang berbeda. Mata pencaharian masyarakat baduy pada umumnya ialah
bercocok tanam dan bertani. Selain itu, juga adanya jual beli hasil madu
lebah hutan yang berasal dari hutan lindung. Dan untuk Baduy Luar
adanya olahan gula aren. Selain hasil makanan, masyarakat Baduy juga
menjualkan hasil kerajinan mereka seperti kain, gelang, gantungan kunci
dan sebagainya.
Namun, sebagaimana dengan aspek-aspek lainnya, dalam hal
bercocok tanam maupun berjualan pun terdapat,ketentuan yang tidak dapat
dilanggar. Seperti, tidak di perbolehkannya memakai pacul, tanaman
berbeda dari yang di luar, Baduy dalam hanya dapat menamm padi,
kencur, jagung, ubi, jahe, dan pisang. Kemudian, terdapat aturan adat
mengenai pertanian, yang tidak diperbolehkannya menanam kacang tanah,
kopi, cokelat, dan cengkeh. Tidak diperbolehkan menjual barang dagangan
dari luar baduy bagi masyarakat Baduy Dalam,hanya diperbolehkan
menjual hasil keranjinan dan hasil madu sendiri.

J. Pernikahan dan Keturunan


Dalam pertauran Suku Baduy, pernikahan yang dilangsungkan di
Baduy Dalam, bersistemkan penjodohan. Dimana usia minimal untuk
dapat menikah untuk laki-laki ialah 18 dan untuk perempuan ialah 15.
Wajarnya ialah masayrakat Baduy Dalam menikah dengan Baduy Dalam,
begitu pula dengan Baduy Luar. Namun jika, ada kasus Baduy Luar
menikah dengan Baduy Dalam, maka identitas akan dirundingkan dan
disepakati oleh pu’un apakah menjadi Masyarakat Baduy Dalam atau
Baduy Luar. Namun, biasanya menjadi masyarakat Baduy Luar. Jikalau,
sampai terjadi masyarakat Baduy (Dalam maupun Luar), maka secara
otomatis menjadi masyarakat di luar Baduy.
Perbedaan pernikahan Baduy Dalam dan Luar ialah, bahwa Baduy
Dalam hanya diperbolehkan menikah sekali tidak boleh cerai maupun
poligami. Terkecuali, pasangan baik suami ataupun istri telah tiada
(meninggal), maka di perbolehkan menikah kembali. Berbeda dengan
Baduy Luar yang diperbolehkan menikah kembali dan bercerai.
Adapun, sebagaimana mestinya sebuah pernikahan adanya sebuah
proses seperti seserahan yang diberikan berupa pakaian, mas kawin seperti
alat rumah tangga. Perkiraan biaya pernikahan yaitu 20 juta rupiah keatas,
untuk 200 orang, dengan jangka waktu pesta 2 hari. Sebelum menikah
terdapat 3 kali lamaran, kali pertama yaitu kerrja di tempat perempuan, 1
hari kerja di tempatperempuan 3 hari, dan Hari terakhir harus nginep.
Untuk Akad nikah di balai pertemuan yang dipimpin oleh puun.
Untuk, keturunan masyarakat Baduy tentu tidak menggukan
program KB (Keluarga Berencan). Biasanya, cara mengetahui usi
kehamilan hanya berdasarkan daya ingat sang ibu. Terdapat pula dukun
yang dapat membantu dalam melakukan persalinan. Cara sang ibu
memahami dirinya hamil ialah adanya keinginan atau mengidam sesuatu
yang asem. Untuk, penentuan nama diberikan oleh pu’un.
Selama proses ini terdapat perayaan seperti cukuran, 7 bulanan dan
jikalau bayinya merupakan bayi maka akan dilakukan proses sunat, pada
rentang usia 3-6 tahun.

K. Pendidikan
Masyarakat Baduy tidak menerapkan pendidikan formal
sebagimana mestinya, pendidiakn hanya pelajaran yang diberikan oleh
orang tua masing-masing. Yang dimulai dari usia 10 tahun kebawah. Yang
diajarkan ialah berhitung,menjahit, kerajinan tangan, serta membuat
rumah. Bahkan, masyarakat luar baduy tidak diperbolehkan menggelar
pendidikan secara terbuka, hanya diperbolehkan mengajarkan warga yang
menjadi tempatnya bersinggah. Terkait kefasihan masyarakat baduy dalam
berbahasa Indonesia, merupakan hasil mereka belajar melalui orang tua,
teman dan para wisatawan yang berkunjung.

Kisah Jejak dari Baduy Dalam

Kisahnya... Ada sebuah suku yang masih asri dengan adat istiadat
nenkmoyangnya. Katanya.... kalau berkunjung ke suku tersebut maka segala jenis
bahan kimia dan teknologi ditanggalkan. Rumornya..... hukum jalur belakang
sangat kental di suku ini. dan masih banyak lagi kata-kata perumpamaan dan
khayalan bersautan dalam dua alat indera paling sensitif terhadap suara “katanya”
yaitu telinga. Hal ini, menjadi awal untuk merasa penasaran dan takut bersatu
dalam satu padan sempurna mengenai suku tersebut. Sang sel-sel khayalan yang
berada dalam lindungan bernama kepala, mulai bekerja, bahwa sepertinya
masyarakat Suku tersebut sepertinya tidak ramah, menyeramkan dan tidak dapat
bergaul. Suku yang ternyata ada dan keberadaannya tak jauh dari ibu kota, lebih
tepatnya berada di daerah Banten. Yup suku apalagi kalau bukan Suku Baduy.
Suku yang hingga kini masih bersikukuh menjunjung tinggi aturan nenek moyang
tanpa tergilas dengan hadirnya kemajuan teknologi yang sewajarnya telah
mencapai puncak kehidupan manusia.
Berangkat dari kisah dan rumor yang ada itulah, dalam mata kuliah
Literasi Informasi sang pengampu alias dosen dalam mata kuliah tersebut
memiliki ketertarikan dalam meneliti suku tersebut. Alih-alih sebagai pengalaman
pertama sang dosen dan para mahasiswa nya berinsiatif secara spontan untuk
melakukan penelitian pertama terkait literasi kebudayaan suatu suku yang ada di
Negeri sendiri, Negeri Indonesia, yaitu Suku Baduy. Minggu demi minggu, yang
awalnya hanya sekadar “ngide” akhirnya diputuskan bahwa penelitian ini
merupakan hal yang telah ditetapkan untuk benar adanya dilakukan.
Dalam persiapannya banyak, perseteruan yang terjadi, mulai dari
transportasi menuju destinasi, hingga jadwal kegiatan yang kelak dilakukan
disana. Jangan heran, mengapa bisa sampai timbul berbagai pertentangan, sebab,
maklum ini merupakan trip pertama yang dilakukan sekelas setelah 7 semester
bersama. Hingga, suara bulat pun disepakati dengan adanya penggunaan pihak
ketiga, yaitu paket wisata suku baduy, sehingga segala kegiatan dan konsumsi
bukan lagi para “peneliti” kecil ini yang mengatur. Cukup bayar 200ribu rupiah
terima beres.
Hingga hari H yaitu 14 Desember tepatnya, perjalanan dimulai. Mulai dari
perjalanan menggunakan KRL, mobil sedan kecil,hingga berjalan kaki. Tapak
kaki dimulai dari stasiun Ciboleger hingga Suku Baduy Dalam, khususnya Desa
Cibeo. Sungguh, sangat ku sesali mengapa, selama kurun waktu 2 minggu
sebelum hari H, fisikku tidak di genjot dengan baik untuk persiapan track yang
begitu terjal dan melelahkan. Ada hal yang menarik dalam perjalanan, ternyata
para masyarakat baduy yang turun untuk ikut memandu menyediakan jasa porter.
Awalnya, aku dengan percaya dirinya ingin membawa barang-barangku sendiri.
Namun, ternyata sang punggung dan nafas berpihak kepada masyarakat Baduy.
Hingga, banyak dari kami menggunakan jasa tersebut.
Jasa ini tidak diberikan secara percuma, mereka memberikan tarif 50 ribu
perorang, pulang-pergi. Murah bukan? Memang bagi masyarakat kota harga
tersebut bukan seberapa. Namun, dengan giat, semangat dan stamina yang bukan
main kuatnya, mereka merasa itu adalah hal yang berharga. Sungguh,aku merasa
berterimakasih atas adanya jasa ini, sebab dengan adanya jasa tersebut, diriku
dapat melesat cepat menempuh perjalanan, bahkan menjadi kelompok pertama
yang mampu sampai ketempat tujuan. Dapat kesimpulannya kah? Yap jangan
lupa bersyukur dengan yang telah kita punya, dan jangan meremehkan hal-hal
kecil, yang ternyata besar bagi sebagian besar orang.
Satu hal, yang menjadikan masyarakat Baduy lebih terlihat seperti
manusia modern ialah pertahanan mereka terhadap menjaga ke asri an alam yang
diberikan kepada mereka. jikalau, saat ini masyarakat dunia berkicau dan
menggaungkan kata “save the earth or zerowaste” masyarakat baduy merupakan
gambaran manusia yang memanusiakan bumi. Dimana, hingga saat ini segala
macam limbah tidak mereka hasilkan dengan tetap bersikukuh tidak
menggunakan bahan-bahan yang dapat merusak alam. Dan lihat? Mereka dapat
bertahan dengan baik. Beberapa langkah lebih maju dibanding manusia yang
berkata maju bukan?
Selain itu, hal yang dapat diperhatikan dengan kagumnya ialah stamina
masyarakat Baduy, yang mana besarnya bukan main. Bagaimana tidak? Mereka
mampu memanggul beban ransel-ransel kami, dilanjutkan dengan berjalan tanpa
adanya sehelai alas sedikitpun. Selain itu, awal mula yang menjadi gambaran awal
ku, dimana masyarakat Baduy menyeramkan, tidak ramah, dan tidak dapat
berbahasa Indonesia, semua serasa dijungkir balikkan. Tidak, tidak, tidak, ini
semua berbanding terbalik dengan yang aku pikirkan. Maka, paham bukan?
Jangan menyeimpulkan segala sesuatu hanya karena “katanya”, “rumornya” dan
lain sejenisnya. Bahkan, para pemuda-pemuda Baduy yang menjadi kawan ku
selama perjalanan selalu menanggapi guyonan yang selalu ku lontarkan, serta
sangat fasih berbahasa Indonesia. Lihat? Tak seburuk yang dibayangkan diawal
bukan?.
Mungkin, kunjunganku bukanlah kunjungan yang berlangsung lama,
namun ini menunjukkan bahwa masyarakat dari Suku yang masih berpegang
teguh dalamaturan nenek moyang dan hal mistis tidaklah seburuk yang di
pikirkan. Selagi, kita tidak melanggar norma-norma dan peraturan-pertauran yang
ada selama bertahun-tahun lamanya yang di junjung tinggi oleh masyarakat
setempat. Semoga, pengalaman ini bukanlah akhir sebuh perjalanan.

Kesimpulan

Indonesia dengan segenap keberagaman budaya dan suku yang ada,


menjadikannya negara yang kaya. Suku Baduy menjadi salah satu aset
keberagaman tersebut. Berdasarkan, hasil penelitian dapat terlihat bahwa setiap
unsur literasi kebudayaan yang ada, ternyata sangat beragam dan unik bila diulas.
Mulai, dari ketatnya peraturan, kepercayaan akan nenek moyang menjadikannya
dapat bertahan hingga kini tanpa adanya teknologi yang mutakhir. Bahkan,
terdapat berbagai pembelajaran yang dapat diambil dari berbagai kesedehanaan
dan keteguhan mereka akan aturan yang ada.

Untuk itu, perlu adanya literasi budaya yang cukup mumpuni agar,
keberadaan suku baduy dapat tetap eksis sampai kapan pun. Walau begitu, penulis
menyadari bahwa dalam penulisan artikel ini masih dipenuhi banyak kekurangan,
dan ke tidak komprehensifan dalam data yang di terima. Untuk itu, saran dan
kritik yang membangun sangat diperlukan, agar kelak menjadi bahan evaluasi
penulis untuk dapat menjadi lebih baik lagi.
Daftar Pustaka
Adelia, Melly Kartika. “Literasi Budaya.” Power Point Materi Mata Kuliah
Literasi Informasi, Jurusan Ilmu Perpustakaan, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. (December 12, 2019)
Amirulloh Syarbini. “Kearifan Lokal Baduy Banten,” n.d.
DESAIN, FAKULTAS SENI RUPA DAN. “SUKU BADUY,” n.d.
Prihatsanti, Unika, Suryanto Suryanto, and Wiwin Hendriani. “Menggunakan
Studi Kasus Sebagai Metode Ilmiah Dalam Psikologi.” Buletin Psikologi
26, no. 2 (December 3, 2018): 126.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38895.
Program Studi Pendidikan Geografi – FISE UNY. “Masyarakat Baduy: Desa
Kanekes, Lewidamar, Lebak, Banten.” Universitas Negeri Yogyakarta,
2011.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/MASYARAKAT%20BADUY%20
-%20Handout-PKL%20Geo%20Terpadu.pdf.
Rahardjo, Mudjia. “Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif: Konsep Dan
Prosedurnya,” 2017.
Tim Riset Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Materi Pendukung Literasi
Budaya dan Kewargaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan”
Jakarta, 2017
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai