Anda di halaman 1dari 22

A.

Pendahuluan

Pembangunan sosial di Indonesia, hakekatnya merupakan upaya untuk

merealisasikan cita-cita luhur kemerdekaan, yakni untuk memajukan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasca kemerdekaan,

kegiatan pembangunan telah dilakukan oleh beberapa rezim pemerintahan

Indonesia. Mulai dari rezim Soekarno sampai presiden di era ini yakni Presiden

Soesilo Bambang Yudhoyono yang terpilih dalam pemilihan umum langsung

pertama.

Namun demikian, harus diakui setelah beberapa kali rezim pemerintahan

berganti, taraf kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum maksimal. Pemenuhan

taraf kesejahteraan sosial perlu terus diupayakan mengingat sebagian besar rakyat

Indonesia masih belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang diinginkannya.

Upaya pemenuhan kesejahteraan sosial menyeruak menjadi isu nasional.

Asumsinya, kemajuan bangsa ataupun keberhasilan suatu rezim pemerintahan,

tidak lagi dilihat dari sekedar meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi.

Kemampuan penanganan terhadap para penyandang masalah kesejahteraan sosial

pun menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Seperti penanganan

masalah kemiskinan, kecacatan, keterlantaran, ketunaan sosial maupun korban

bencana alam dan sosial.

Kemajuan pembangunan ekonomi tidak akan ada artinya jika kelompok rentan

penyandang masalah sosial di atas, tidak dapat terlayani dengan baik. Bahkan

muncul anggapan jika para penyandang masalah sosial tidak terlayani dengan

baik, maka bagi mereka kemerdekaan adalah sekedar lepas dari penjajahan.

Seharusnya kemerdekaan adalah lepas dari kemiskinan.

1
Untuk itu pembangunan bidang kesejahteraan sosial terus dikembangkan

bersama dengan pembangunan ekonomi. Tidak ada dikotomi di antara keduanya.

Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Nancy Birdsal (1993) yang

mengatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah juga pembangunan sosial.”

Tidak ada yang utama diantara keduanya. Pembangunan ekonomi jelas sangat

mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara, namun pembangunan ekonomi

yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetap tidak akan mampu

menjamin kesejahteraan sosial pada setiap masyarakat. Bahkan pengalaman

negara maju dan berkembang seringkali memperlihatkan jika prioritas hanya

difokuskan pada kemajuan ekonomi memang dapat memperlihatkan angka

pertumbuan ekonomi. Namun sering pula gagal menciptakan pemerataan dan

menimbulkan menimbulkan kesenjangan sosial. Akhirnya dapat menimbulkan

masalah kemiskinan yang baru. Oleh karenanya penanganan masalah kemiskinan

harus didekati dari berbagai sisi baik pembangunan ekonomi maupun

kesejahteraan sosial.”

Negara sedang berkembang di sebagian wilayah Asia dan Afrika, sangat

berurusan dengan agenda pengentasan kemiskinan. Sebagian besar rakyat di

kawasan ini masih menyandang kemiskinan. Sementara bagi negara maju, mereka

pun sangat tertarik membahas kemiskinan. Ketertarikan itu karena kemiskinan di

negara berkembang berdampak pada stabilitas ekonomi dan politik mereka.

Pada akhirnya kemiskinan menjadi urusan semua bangsa dan menjadi musuh

utama (common enemy) umat manusia di dunia. Konsekuensinya kemiskinan

dibahas semakin meluas intensif dan berkesinambungan dimanapun dan oleh

siapapun.

2
B. Komitmen Global

Komitmen dunia untuk mengurangi kemiskinan telah diungkapkan. Terutama

oleh Kofi Anand yang pada waktu itu masih memimpin PBB dalam kesempatan

sebuah sidang umum. Laporannya yang berjudul untuk kebebasan yang lebih

besar kemudian ditindaklanjuti dengan Gerakan Panggilan Global untuk

Memerangi Kemiskinan atau dikenal dengan Global Call to Action Against

Poverty.

Selanjutnya ketika kemiskinan sudah dianggap sebagai musuh utama, PBB

berkepentingan membuat agenda melawan kemiskinan. Di milenium kedua PBB

mempelopori pertemuan tingkat tinggi yang menghasilkan Tujuan Pembangunan

Milenium (TPM) atau dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs).

TPM/MDGs telah disepakati oleh para pemimpin dunia dalam KTT (Konferensi

Tingkat Tinggi) Milenium pada September 2000.

Tujuan Pembangunan Milenium (TPM) antara lain memuat komitmen

komunitas internasional terhadap pengembangan visi pembangunan. TPM terdiri

dari 8 (delapan) butir kesepakatan. Antara lain (1) Menghapuskan tingkat

kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan dasar secara universal; (3)

Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; (4) Mengurangi

tingkat kematian anak; (5) Meningkatkan Kesehatan Ibu; (6) Memerangi

HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; (7) Menjamin keberkelanjutan

lingkungan; dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

TPM/MDGs mendorong pemerintah, lembaga donor dan organisasi masyarakat

sipil di manapun untuk

Dari kedelapan butir TPM atau MDGs ini, isu kemiskinan menempati butir

paling pertama. Dalam hal ini, pemberantasan kemiskinan di dunia mentargetkan

3
pada tahun 2015. Untuk mengurangi setengah dari penduduk dunia yang

berpenghasilan kurang dari 1 US$ sehari dan mengalami kelaparan. Hal ini

membuktikan masalah kemiskinan sebagai masalah utama dunia. Namun

demikian bukan berarti ke tujuh butir lainnya tidak berhubungan dengan

kemiskinan. Justru kemiskinan diasumsikan menjadi fokus utama yang harus

ditanggulangi sebagai prasyarat tercapainya butir tujuan pembangunan milenium

yang lain.

Indonesia berkepentingan dengan keberhasilan MDGs. Selain karena tujuh nilai

dasar dari MDGs sudah menjadi amanat konstitusi negara (Pembukaan UUD

1945). Nilai dasar 1-2 MDGs tersebut masing-masing berbunyi menanggulangi

kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar bagi semua, sesuai dengan

Pembukaan UUD 45 yang berbunyi ; mewujudkan kesejahteraan umum dan upaya

mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan nilai dasar ke 3-5 mendorong

kesetaraan gender, menurunkan angka kematian dan meningkatkan kesehatan ibu

dan anak, memerangi penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, sesuai

dengan pembukaan UUD 45 yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia.

Sementara nilai dasar ke 6-7 melestarikan lingkungan, mengembangkan kemitraan

global, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 berbunyi ikut melaksanakan

ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan

sosial.

Dalam pembangunan kesejahteraan sosial, Indonesia jelas tidak sepenuhnya

menganut negara kesejahteraan. Meskipun Indonesia menganut prinsip keadilan

sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34

UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan

kesejahteraan sosial, namun letak tanggung jawab pemenuhan kebutuhan

4
kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Prinsip

keadilan sosial di Indonesia terletak pada usaha secara bersama seluruh komponen

bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Sehingga tidak ada yang paling

utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan sosial adalah

tanggung jawab pemerintah, juga masyarakat, dunia usaha dan komponen

lainnya. Konsekuensinya harus terjadi saling sinergi dalam penanganan masalah

sosial antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha bahkan khususnya perguruan

tinggi sebagai pencetak kader bangsa.

Demikian halnya dalam penanganan kemiskinan. Jika kita merujuk kembali

pada persoalan penanggulangan kemiskinan, maka dalam kesempatan ini saya

ingin mengemukakan bahwa penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab

bersama. Adalah keliru jika meletakkan tanggung jawab itu hanya pada pundak

pemerintah atau hanya pada masyarakat. Pemerintah membuka tangan lebar-lebar

bagi siapapun komponen bangsa untuk terlibat dalam pembangunan kesejahteraan

sosial. Melakukan usaha kesejahteraan sosial khususnya untuk menangani

masalah sosial kemiskinan.

C. Perlunya Peraturan Perundangan Untuk Kesejahteraan

Kita menyadari bahwa tujuan perjuangan Bangsa Indonesia untuk mencapai

masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, baik material maupun spiritual yang

sehat, yang menjunjung tinggi martabat dan hak-hak azasi serta kewajiban

manusia sesuai dengan Pancasila, hanya dapat dicapai apabila masyarakat dan

Negara berada dalam taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya serta

menyeluruh dan merata, oleh karenanya kesejahteraan sosial harus diusahakan

bersama oleh seluruh masyarakat dan pemerintah atas dasar kekeluargaan. Usaha-

5
usaha kesejahteraan sosial perlu dilakukan di dalam rangka dan sebagai bagian

yang integral dari usaha-usaha pembangunan nasional ke arah mempertinggi taraf

kehidupan seluruh rakyat.

1. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974

Berangkat dari sini maka perlu dibentuk undang-undang yang menetapkan

garis pokok pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Sebagai

manifestasi dari cita-cita ini pada tanggal 6 Nopember 1974 pemerintah

mewujudkan sebuah peraturan perundangan tentang kesejahteraan sosial,

dengan nama undang ”ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial.

Undang-undang ini merupakan ”roh” peraturan-peraturan perundangan

lainnya, yang memayungi pelaksanaan-pelaksanaan perundangan yang

menyangkut dengan kesejahteraan sosial. Cita-cita untuk dituangkan dalam

pasal 1 undang-undang ini, yang menyatakan ”setiap warganegara berhak atas

taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk

sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial”.

Lahirnya undang-undang memberikan wahana baru dalam memberikan. Hal

ini mengandung maksud bahwa kesejahteraan sosial harus dimiliki oleh setiap

warga negara, dan pemerintah wajib mewujudkannya.

Mengapa perwujudan kesejahteraan menjadi tugas pemerintah ?. Dalam ini

sudah menjadi perintah undang-undang, sebagaimana ditegaskan dalam BAB

II tentang Tugas dan Usaha Pemerintah pada pasal 3 ayat 1, huruf a, b, dan c.

Untuk lebih tegasnya pasal tersbut sebagai berikut:

Tugas-tugas Pemerintah ialah :

a. Menentukan garis kebijaksanaan yang diperlukan untuk

memelihara, membimbing, dan meningkatkan usaha kesejahteraan social.

6
b. Memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan

kesadaran serta rasa tanggungjawab sosial masyarakat

c. Melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-

usaha kesejahteraan sosial.

Agar upaya kesejahteraan dapat terwujud, atau mendekati kenyataan, maka

pemerintah perlu melakukan langkah-langkah nyata dan konkrit, sehingga

kesejahteraan yang didambakan oleh setiap warga bangsa dapat tercapai.

Undang-undang ini mengatur, bahwa ada beberapa usaha yang bisa dan dapat

dilakukan yang dengan tegas diperintahkan adalah tentang bagaimana usaha

yang dapat ditempuh pemerintah. Secara khusus usaha-usaha yang bisa

dilakukan diatur dalam pasal 4, yaitu meliputi:

a. Bantuan sosial kepada warganegara baik secara perseorangan

maupun dalam kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial atau

menjadi korban akibat terjadinya bencana-bencana, baik sosial maupun

alamiah, atau peristiwa-peristiwa lain.

b. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui

penyelenggaraan suatu sistim jaminan sosial.

c. Bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di

dalamnya penyaluran ke dalam masyarakat, kepada Warganegara baik

perorangan maupun dalam kelompok, yang terganggu kemampuannya untuk

mempertahankan hidup, yang terlantar atau yang tersesat.

d. Pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan

peradaban, perikemanusiaan dan kegotong-royongan.

Yang dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Perundang-undangan.

7
Namun harus diingat bahwa usaha-usaha menuju kesejahteraan ini bukan

semata-mat tugas dan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan dalam

rangka untuk lebih memberdayakan warga masyarakat, undang-undang ini

juga mengisyaratkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan yang didambakan,

masyarakat bukan semat sebagai obyek, melainkan berusaha bisa ditempatkan

sebagai subyek, sehingga warga masyarakat memiliki kewajiban dalam rangka

mencapai kesejahteraan.

Hal ini ditegaskan dalam BAB III, tentang peranan dan usaha masyarakat,

khususnya pasal 8 dan 9, yang secara eksplisit dapat dikutipkan sebagai

berikut:

Pasal 8

Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan usaha


kesejahteraan sosial dengan mengindahkan garis kebijaksanaan dan ketentuan-
ketentuan sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 9

Untuk mencapai daya-guna dan daya-kerja sebesar-besarnya, bagi usaha


masyarakat di bidang kesejahteraan sosial, ialah usaha kesejahteraan sosial
dan pemenuhan jaminan sosial yang menyangkut kepentingan orang banyak,
dapat dibentuk yayasan atau lembaga lain yang syarat-syarat dan cara-cara
pembentukannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan.

2. Undang-undang Nomor: 9 TAHUN 1961

Undang-undang ini bermaksud untuk menampung baik dari masyarakat yang

secara gotong royong ingin menyumbangkan sesuatu dalam kegiatan sosial

yang berguna bagi pembangunan masyarakat. Pengumpulan uang atau barang

dari Masyarakat perlu ditujukan kepada usaha-usaha pembangunan

kesejahteraan sosial untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila.

8
Sehubungan peraturan-peraturan lama sudah dirasakan tidak sesuai lagi

dengan keadaan dewasa ini, maka dianggap perlu mengadakan peraturan baru

tentang pengumpulan uang atau barang. Terkadang kita menaruh iba dan

empati terhadap orang-orang yang dengan menggunakan rasa simpatinya, kita

terjerembat kepada hal-hal yang justru menimbulkan keresahan. Banyak

diantara kita kurang memahami, bahwa segala bentuk penarikan dana

masyarakat, hendaklah dicermati dan diteliti sebaik-baiknya. Dengan

mengusung panitia pembangunan rumah ibadah, penyantunan anak yatim,

penyantunan lansia, dan sebagainya, kita dengan ihlas memberikan sesuatu

tanpa melihat apakah benar misi yang diusungnya benar-benar menunjang

kesejahteraan. Untuk mengantisipasinya, maka dikeluarkanlah peraturan

perundangan yang mengatur bagaimana pengumpulan dana-dana masyarakat

tepat sasaran.

Pada pasal 1 yang diartikan dengan pengumpulan uang atau barang dalam

undang-undang ini ialah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk

pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/ agama/kerokhanian,

kejasmanian dan bidang kebudayaan.

Dari pasal tersebut terbuka luas bagi warga masyarakat, khusus insan

kesejahteraan sosial dapat memanfaatkan kesempatan dalam rangka

pengumpulan uang atau barang yang benar-benar sesuai dengan ketentuan UU

ini. Antara lain disebutkan pada Pasal 2.

(1) Untuk menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang sebagaimana


dimaksud dalam pasal 1 diperlukan izin lebih dahulu dari pejabat yang
berwenang.

9
Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah RI No. 29 tahun

1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Uang dan Barang, pada Bab III, Tata

Cara Permohonan Ijin, pasal 7, serta ditindaklajuti dengan pengumuman

Dirjen Binbansos Depsos RI No. 525/Sekr/Bs/83, tentang penertiban usaha-

usaha pengumpulan sumbangan sosial, pada butir 1, dimana surat permohonan

ijin penyelenggaraan pengumpulan sumbangan ditujukan kepada :

Pasal 7 1) Menteri Sosial, meliputi seluruh wilayah RI, lebih dari satu
wilayah propinsi, atau satu wilayah propinsi, tetapi pemohon berkedudukan di
propinsi lain.

Pasal 7 (2) Gubernur/KDH tk.I, meliputi seluruh wilayah propinsi, dan lebih
dari satu wilayah kabupaten/kota dari propinsi ybs.

Pasal 7 (3) Bupati/Walikotmadya KDH tk.II, meliputi wilayah kabupaten/kota


ybs.

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka sudah seharusnya menjadi

perhatian kita, untuk terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya

penipuan, atau manipulasi organisasi, dsb.

Namun demikian, dimungkin pengumpulan uang dan barang dilakukan tanpa


harus melalui prosedur perijinan, jika ........., yang diatur pada pasal ayat 2,
sebagai berikut:

(2) Pengumpulan uang atau barang yang diwajibkan oleh hukum agama, hukum
adat dan adat-sitiadat, atau yang diselenggarakan dalam, lingkungan terbatas,
tidak memerlukan izin tersebut ditas.

Sebelum itu, pada pasal 4 (1) diatur pula tentang pengumpulan sumbangan dapat

diselenggarakan dengan cara; mengadakan pertunjukan, bazar, penjualan barang

lelang, penjualan kartu undangan menghadiri statu pertunjukan, penjualan

perangko amal, mengedarkan daftar (les) derma, penjualan kupon sumbangan,

penempatan kotak amal ditempat umum, pengiriman pos wesel untuk meminta

sumbangan, permintaan secara langsung, lisan atau tertulis.

10
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997

Salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial tersebut

adalah melalui pembangunan dibidang kesejahteraan sosial, yang secara

filosofis dan konstitusional bertumpu pada falsafah Pancasila dan UUD 1945

pada pasal 27 ayat 2 bahwa “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Selain itu juga, untuk

menanggulangi permasalahan tersebut diperlukan adanya usaha kesejahteraan

sosial yang tugas pokoknya menghalau hambatan yang melekat pada

kecacatan itu dan meningkatkan daya mampu serta kekuatan pada penyandang

cacat, untuk tegak bediri sendiri melaksanakan fungsi dan tugas sebagai

anggota masyarakat.

Kebijakan pemerintah dalam menangani penyandang cacat, tertua ng

dalam Undang-undang No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, dan

peraturan pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya peningkatan

Kesejahteraan Sosial ( UPKS) bagi penyandang cacat. Berdasarkan kedua

landasan tersebut dikemukakan bahwa pemerintah dan masyarakat mempunyai

tanggung jawab yang sama dalam melakukan pembinaan terhadap upaya

peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Dalam rangka membantu

pemerintah untuk bersama-sama dengan masyarakat itu sendiri melakukan

kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat ( pasal 23-25

Undang-undang tahun 1997)

Penyandang cacat juga merupakan bagian dari warga negara Indonesia

yang juga berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dengan

mengembangkan potensi yang dimiliki agar dapat hidup layak dan sejajar

dengan warga masyarakat lainnya. Selama ini masyarakat masih kurang

11
menghargai kemampuan dan keberadaan penyandang cacat, fasilitas umum

pun sebagian belum terjangkau oleh mereka. Ketiadaan fasilitas yang

seharusnya menjadi hak mereka mengakibatkan para penyandang cacat,

kemudahan ruang gerak sangat diperlukan untuk dapat mewujudkan kesamaan

kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Adanya kemudahan berupa fisik

merupakan faktor penting yang ikut membantu menumbuhkan kemandirian

penyandang cacat.

Dalam rangka terwujudnya kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan

peran sebagaimana tersebut di atas, dipandang perlu memberikan landasan

hukum bagi upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat di

segala aspek kehidupan dan penghidupan dalam suatu Undang-undang.

Pemerintah dan sektor swasta telah mengabaikan amanat UU 4/1997 tentang

Penyandang Cacat yang menegaskan tentang pelibatan para penyandang cacat

minimal satu persen dari total tenaga kerja di sebuah perusahaan.

"Sejauh ini belum ada secara signifikan penyandang cacat yang dipekerjakan

di perusahaan, padahal ada ketentuan dalam undang-undang. Pemerintah juga

enggan menerima penyandang cacat sebagai PNS. Masalah seperti ini yang

perlu diperhatikan kita semua, terutam insane-insan kesejahteraan sssial.

"Kewajiban pengusaha untuk memberdayakan para penyandang cacat pun atau

lembaga yang berkewajiban mempekerjakan penyandang cacat harus disertai

sanksi jika tidak ditaati. Undang undang yang sudah ada tidak mencantumkan

sanksi itu, sehingga harus direvisi,".

Yang dimaksud dengan penyandang cacat dalam UU ini adalah sebagaimana

di atur dalam pasal 1 (1), bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang

mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau

12
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara

selayaknya, yang terdiri dari :

a. penyandang cacat fisik;

b. penyandang cacat mental;

c. penyandang cacat fisik dan mental.

Sebagaimana peraturan perundangan terdahulu, UU ini juga memberikan

kesempatan yang sama kepada penyandang cacat untuk meningkatkan

kesejahteraan dariu segala aspeknya (pasal 1 ayat 3). Artinya apa ? Bahwa

mereka memiliki peluang untuk secara aktif berpartisipasi dalam

pembangunan, sekaligus mampu memberikan kontribusi kepada dirinya, yaitu

kesejahteraan. Tentu saja hal ini sesuai dengan tingkat/derajat kecacatannya.

Sebagai realisasi ketentuan pasal 1 ayat 5 dan 6 yaitu penyandang cacat akan

memperoleh rehabilitasi serta bantuan sosial adalh dengan diwujudkannya

institusi-institusi panti sosial bagi penyandang cacat. Sehinggga dengan

demikian melalui rehabilitasi dan bantuan sosial, penyandang cacat akan lebih

mampu memiliki harga diri, lebih percaya diri untuk bangkit dan bersama

pemerintah mengisi pembangunan nasional.

Suatu hal yang membanggakan adalah ketentuan pasal 14 jo pasal 28 (1) UU

ini, artinya bahwa kesempatan penyandang cacat terbuka luas untuk dapat

ditempatkan di sektor pemerintah, maupun swasta dengan disesuaikan pada

tingkat kecacatannya. Pelanggaran terhadap paal ini akan ditindaklanjut

dengan pasal 28 (1) yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan


Pasal 14 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan
dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah)”.

13
Sungguh ancaman yang patut dihargai, Namun sayangnya implementasi UU

ini terutama pada pasal tersebut belum konsekwen sebagaimana diilutrasikan

pada pendahuluan, sehingga penyandang cacat belum mampu ditempatkan

pada posisi yang sebenarnya sebagaimana jaminan UU tersebut. Ada

sementara penilaian, pemerintah dan sektor swasta telah mengabaikan amanat

UU 4/1994 tentang Penyandang Cacat yang menegaskan tentang pelibatan

para penyandang cacat minimal satu persen dari total tenaga kerja di sebuah

preusan. Sejauh ini sangat jarang ada penyandang cacat yang dipekerjakan di

perusahaan, padahal ada ketentuan dalam undang-undang. Pemerintah juga

enggan menerima penyandang cacat sebagai PNS.

Di Indonesia, aspek legal ketenaga kerjaan bagi penyandang cacat

sudah diatur dalam Undang-undang ketenagakerjaan bagi penyadang cacat

yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1999 salah satu pasalnya berisi ‘’setiap

perusahaan memperkerjakan tenaga bagi penyandang cacat sebanyak 1 % dari

jumlah karyawan/tenaga kerja yang ada”. Akan tetapi berdasarkan kenyatataan

dan fakta baru beberapa sektor industri saja yang memberlakukan undang-

undang tersebut. Data perusahaan yang telah memberlakukan Undang-undang

tersebut di DKI Jakarta adalah sebagai berikut. Contoh data perusahaan/sektor

industri yang memberlakukan UU No. 1 Tahun 1999 diwilayah DKI Jakarta.

No Nama Perusahaan Jumlah Jenis Pekerjaan


Penca
1 PT. Indosiar Visual 16 orang - Operator Telepon, Dubing
Mandiri & Audio Suara
2 RS. Hermina Jakarta 1 orang - Operator Telepon
Operator Telepon

3 MC Donald 3 orang - Operator Telepon


4 RS. Harapan Bunda 1 orang - Operator Telepon
Sumber : YMN Tahun 2004.

14
Masalah seperti ini yang perlu mendapat perhatian. "Kewajiban pengusaha

untuk memberdayakan para penyandang cacatpun atau lembaga yang

berkewajiban mempekerjakan penyandang cacat harus disertai sanksi jika

tidak ditaati. Undang undang yang sudah ada tidak mencantumkan sanksi itu,

sehingga patut direvisi,".

4. Undang-undang No. 13 Tahun 1998 (32 pasal)

Salah satu bentuk perhatian dan tanggung jawab Pemerintah dalam

mengangkat harkat dan martabat para lanjut usia adalah peluncuran uji coba

program jaminan sosial lanjut usia (JSLU), dimana pada tahun ini telah

memasuki tahun ke tiga dan terus menerus dilakukan proses penyempurnaan

pelaksanaan program dilapangan.Landasan Dasar JSLU adalah ; Undang-

Undang Dasar 1945, Undang Undang No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan

lanjut usia, Undang Undang No. 39 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 40

tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, serta Kepmen Sosial RI

No. 10/HUK/1998, dan Kepmen Sosial RI No. 11/HUK/1998 tentang

Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, dimana pada intinya Undang-

Undang tersebut mengamanatkan kepada negara dan masyarakat untuk

memberikan perhatian, perlindungan, bantuan sosial dan jaminan sosial

kepada kelompok masyarakat yang rentan. (didalamnya termasuk para lanjut

usia).

Upaya meningkatkan kesejahteraan bagi lanjut usia selama ini masih

terbatas pada upaya pemberian sebagaimana diatur dalam UU No. 4 tahun

1965 tentang Pemberian Bantuan Orang Jompo, yang saat ini dirasakan sudah

15
tidak memadai lagi, karena kurang menempatkan mereka dalam

pembangunan.

Salah satu yang penting dari tujuan UU No. 13 Tahun 1998 adalah

sebagaimana termaktup dalam pasal 4, yaitu:

“untuk memperpanjang usia harapan hidup dan masa produktif,


terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan, terpeliharanya system nilai dan
kekerabatan bangsa Indonesia serta lebih mendekatkan kepada Tuhan YME”.

Di samping itu Lanjut Usia mempunyai kewajiban yang sama dalam


kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (pasal 5 ayat 1 jo pasal 6
ayat 1).

Guna mendukung kewajibannya, lanjut usia sedapat mungkin

diperdayakan, agar mereka tetap bias dan mampu melakukan fungsi sosialnya

dan berperan aktif secara wajar (pasal 10). Hal ini bisa dimaknai, bahwa lansia

bukan lagi sebagai orang yang tak berguna, melainkan mereka diharapkan bias

diberdayakan, sehingga di-akhir-akhir hidupnya mereka merasa nyaman,

senang, gembira, tanpa harus merasa hanya menunggu kematiannya saja.

Perlindungan sosial sebagai salah satu bagian pelayanan tetap

dilakukan, sebagaimana diatur dalam pasal 19 (1,2, dan 3). Hakekat upaya

perlindungan sosial terdiri atas serangkaian proses pemeliharaan, perawatan

dan pemenuhan kebutuhan melalui upaya-upaya tertentu, sehingga mampu

memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial serta kepedulian sosial.

5. Keterlantaran (Kepmensos RI No.

6/HUK/1998)

Untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun

1988, khususnya yang berkaitan dengan dengan penanganan anak terlantar,

maka diperlukan aturan pelaksana yang mengatur tentang pengasuhan

16
keterlantaran bagi anak. Di samping itu diatur pula dalam Peraturan

Pemerintah No. 2 tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan bagi Anak yang

Mempunyai Masalah.

Pasal 1 (1) Anak terlantar adalah anak yang karena sesuatu sebab

orang tuanya tidak dapat melaksanakan kewajiban, sehingga anak tidak dapat

terpenuhi dengan wajar baik secara rohani jasmani maupun sosial.

Dalam rangka operasional penyelenggaraan asuhan anak terlantar bisa

dilakukan di dalam panti ataupun di luar panti (Bab III pasal 5 ayat 1), dan

dalam hal ini asuhan anak terlantar terutama ditujukan kepada (Bab II pasal 3

ayat 1):

a. Anak yatim, piatu, yatim piatu dan terlantar.

b. Anak yang orangtuanya mengalami keretakan/perpecahan

dalam rumah tangga, sehingga anak tak dapat tumbuh kembang secara

wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial.

c. Anak yang keluarganya tidak mampu dan/atau tidak mau

melaksanakan fungsi dan peranan sosialnya secara wajar.

Dalam ayat 2 pasal 5 tersebut dikatakan, bahwa upaya

penyelenggaraan asuhan bagi anak terlantar meliputi:

a. Pencegahan (preventif).

b. Perlindungan (protective).

c. Pemulihan dan penyantunan (curatif rehabilitative).

d. Pengembangan (promotive development).

6. Peraturan tentang Bencana

17
Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan

tujuan untuk memberikan pelindungan terhadap kehidupan dan penghidupan

termasuk pelindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi

geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan

terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam

maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang

dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Oleh

karena guna melindungi warga masyarakat dalam ancaman bencana, perlu

disusun peraturan tentang kebencanaan.

Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan

bencana yang ada belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan

menyeluruh serta tidak sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat

dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat upaya

penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud maka sangat perlu

membentuk Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana yang

dituangkan dalam UU RI No, 24 tahun 2007.

Sebagai tindak lanjut UU ini/aturan pelaksananya telah diterbitkan

Keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi

18
Nasional Penanggulangan Bancana dan Penangan Pengungsi (Bakornas

PBP), serta Perpres RI No. 83 tahun 2005 Tentang Badan Koordinasi

Nasional Penanganan Bencana (BKNPB).

a. Kedudukan

Pasal 1

1. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan

Penanganan Pengungsi selanjutnya disebut dengan BAKORNAS PBP

adalah wadah koordinasi yang bersifat non struktural bagi

penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi yang berada di

bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Demikian

pula Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana berkedudukan

sama dengan BAKORNAS PBP di bawah dan bertanggung jawab

langsung kepada Presiden.

Dalam penanganan bencana di daerah, lebih lanjut di atur pada Bab VI

Perpres RI No. 83 tahun 2005, khususnya pasal 16 sebagai berikut:

(1) Untuk melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan di

daerah dapat dibentuk :

a. Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan

Bencana yang selanjutnya disebut dengan SATKORLAK PB

di tingkat Provinsi yang diketuai oleh Gubernur;

b. Satuan Pelaksana Penanganan Bencana yang

selanjutnya disebut dengan SATLAK PB di tingkat

Kabupaten/Kota yang diketuai oleh Bupati/Walikota.

19
(2) Pembentukan SATKORLAK PB di tingkat Provinsi dan

SATLAK PB di tingkat Kabupaten/Kota mengacu pada

pedoman yang ditetapkan oleh BAKORNAS PB.

Pasal 17

(1) SATKORLAK PB mempunyai tugas mengkoordinasikan upaya

penanganan bencana dan kedaruratan yang terjadi di wilayah

provinsinya dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan

oleh BAKORNAS PB.

(2) SATLAK PB mempunyai tugas melaksanakan kegiatan

penanganan bencana dan kedaruratan yang terjadi di wilayah

Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada kebijakan yang

ditetapkan oleh BAKORNAS PB.

Dalam kegiatan penanggulangan bencana tentu saja melalui

pembiayaan yang diatur pada Bab VII tentang pembiayaan dan bantuan

pada pasal 18 dan pasal 19, sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Segala pembiayaan untuk mendukung kegiatan BAKORNAS

PB dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara.

(2) Segala pembiayaan untuk mendukung kegiatan SATKORLAK

PB dan SATLAK PB dibebankan kepada Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Pasal 19

(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAKORNAS PB

dapat menerima bantuan pihak lain dari dalam negeri atau luar

20
negeri yang berasal dari pemerintah dan/atau masyarakat yang

sifatnya tidak mengikat.

(2) Segala bantuan yang diberikan oleh masyarakat bagi

penanganan bencana dan kedaruratan dapat diberikan secara

langsung kepada korban bencana atau pengungsi melalui

koordinasi dengan Gubernur atau Bupati/Walikota selaku Ketua

SATKORLAK PB atau Ketua SATLAK PB.

Selanjutnya pada pasal 21 Perpres RI No. 83 tahun 2005, di

daerah SATKORLAK PB dan SATLAK PB yang dibentuk

berdasarkan Surat Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota tetap

menjalankan tugas kebencanaan dan kedaruratan sampai dengan

dibentuknya SATKORLAK PB dan SATLAK PB sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 Peraturan Presiden ini.

b. Tugas

Tugas BAKORNAS PB sebagaimana disebutkan pada pasal 2

mempunyai tugas membantu Presiden dalam :

a. Mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan

penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu.

b. Melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan mulai

dari sebelum, pada saat dan setelah terjadi bencana yang meliputi

pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan pemulihan.

D. Kesimpulan

Pembangunan bidang kesejahteraan sosial terus dikembangkan bersama dengan

pembangunan ekonomi. Tidak ada dikotomi di antara keduanya. Tidak ada yang

21
utama diantara keduanya. Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi

tingkat kemakmuran suatu negara guna menciptakan pemerataan dan menghindari

kesenjangan sosial. Oleh karenanya penanganan masalah kemiskinan harus

didekati dari berbagai sisi baik pembangunan ekonomi maupun kesejahteraan

sosial.” Disinilah perlunya peraturan perundangan dibentuk guna menjamin

terwujudnya tujuan nasional yang pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan

sosial.

Peraturan yang digunakan:

- Undang-undang Nomor: 9 TAHUN 1961


- Undang-undang Nomor 6 tahun 1974

- Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997

- Undang-undang No. 13 Tahun 1998

- Undang-undang No. 1 tahun 1999

- Undang-undang RI No, 24 tahun 2007.

- Kepmensos RI No. 6/HUK/1998)

- Keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 2001

- Perpres RI No. 83 tahun 2005

22

Anda mungkin juga menyukai