Anda di halaman 1dari 13

ESSAY

TRIAGE

Untuk Memenuhi Tugas KDK 1 Yang Dibimbing Oleh:


Ibu Sulastyawati S. Kep, M. Kep

Oleh:
Syamsul Hadi 1601470007
Lailatul Fitria 1601470010
Dinda Dyah Larasati 1601470012
Vela Latifah 1601470014
Asrori Anwar 1601470021
Hanifah Safitri 1601470022
Ardyah Dwi Prameswari 1601470023
Milla Thalia 1601470028
Alifia Fitrah Rachamawati 1601470033
Vita Puspita Windiyanti 1601470038
Dwi Siska 1601470039
Nia Agustina 1601470040
Ike Kamilatul Izzah 1601470042

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG


JURUSAN SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG
Agustus, 2019
A. Latar Belakang
Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian
integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi
menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit
(kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat.
Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, yang
dimaksudkan dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Maulana,
Marvia dan Pratiwi, 2017)
Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu unit pelayanan rumah
sakit yang memberikan pertolongan pertama dan sebagai jalan pertama
masuknya pasien dengan konsisi gawat darurat. IGD mempunyai tujuan agar
tercapai pelayanan kesehatan yang optimal pada pasien secara cepat dan tepat
serta terpadu dalam penanganan tingkat kegawatdaruratan sehingga mampu
mencegah resiko kecacatan dan kematian (to save life and limb) dengan
respon time selama 5 menit dan waktu definitif ≤ 2 jam (Maulana, Marvia
dan Pratiwi, 2017). Pasien yang datang ke IGD dengan berbagai kondisi, dan
berbeda tingkat keparahan, dengan jumlah yang tidak dapat diduga, yang
membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat sesuai dengan prioritas untuk
menyelamatkan jiwa (Milbrett, P. et al., 2009 dalam Evie, Wihastuti dan
Suharsono, 2016).

Glory (dalam Sunyoto dkk, 2014) menjelaskan Instalasi Gawat Darurat


(IGD) merupakan titik masuk yang sangat penting untuk pelayanan kesehatan
bagi pasien yang membutuhkan penanganan dan perawatan mendesak.
Gustia (dalam Musliha, 2010) mengatakan IGD adalah suatu instalasi
bagian rumah sakit yang melakukan tindakan berdasarkan triase terhadap
pasien. Gustia (dalam Haryatun dan Sudaryanto, 2008) menyatakan
keberhasilan waktu tanggap atau response time sangat tergantung pada
kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian pertolongan untuk
menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di tempat kejadian, dalam
perjalanan hingga pertolongan rumah sakit.
Pelayanan gawat darurat dikatakan terlambat apabila pelayanan terhadap
pasien gawat dan atau darurat dilayani oleh petugas IGD Rumah Sakit > 15
menit Gustia (dalam Angka KPPGD Rumah Sakit, 2012). Pada kasus
kegawatdaruratan seperti jika kita bertugas di ruangan gawat darurat kita harus
dapat mengatur alur pasien yang baik terutama pada jumlah ruang yang
terbatas, memprioritaskan pasien terutama untuk menekan jumlah morbiditas
dan mortalitas, serta pelabelan dan pengkategorian menurut Gustia (dalam
Musliha, 2010).
Pasien gawat darurat harus ditangani dengan waktu < 5 menit Glory
(dalam Keputusan Menteri Kesehatan, 2009). Menurut Glory (dalam Maatilu,
2014) response time yang memanjang dalam penanganan pasien gawat darurat
dapat menurunkan usaha penyelamatan pasien. Gustia (dalam Musliha, 2010)
mengatakan jika prinsip penanganan awal meliputi survey primer dan
sekunder. Dalam penatalaksaan primer yang diprioritaskan pada ABCDE
(Airway, dengan cervical spine control, Breathing dan circulation dengan
control perdarahan, disability dan exposure) yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi.
Triase merupakan cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi
dan sumber daya yang tersedia. Penilaian triase adalah proses menilai pasien
berdasar beratnya cedera kepala atau menentukan jenis perawatan
kegawatdaruratan.
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 150.000 kasus
cedera kepala. Dari jumlah tersebut 100.000 diantaranya mengalami kecacatan
dan 50.000 orang meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar
5.300.000 orang dengan kecacatan akibat cedera kepala. Data insiden cedera
kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000 populasi. Insiden
cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per
tahun (Irawan, 2010). Prevalensi cedera kepala nasional adalah 8.2 persen,
pravalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di
Jambi (4,5%) dari survey yang dilakukan pada 15 provinsi. Riskesdas 2013
pada provinsi Jawa Tengah menunjukkan kasus cedera sebesar 7,7% yang
disebabkan oleh kecelakaan sepeda motor 40,1%. Cedera mayoritas dialami
oleh kelompok umur dewasa yaitu sebesar 11,3% menurut Gustia (dalam
Depkes RI, 2013).
Glory (dalam Keputusan Menteri Kesehatan, 2009) mengatakan
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Tahun 2009, Jumlah kunjungan ke
RSU di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 33.094.000 dengan pasien yang
melakukan kunjungan ke IGD sebanyak 4.402.205 atau 13,3% dari total
seluruh kunjungan di RSU.
Gustia (dalam Miranda, 2014) mengatakan di negara berkembang seperti
Indonesia, perkembangan industri dan perekonomian memberikan dampak
terhadap cedera kepala yang semakin meningkat dan merupakan salah satu
kasus yang sering dijumpai di ruang Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit.
Triase dilakukan berdasarkan pada ABCDE, beratnya cedera, jumlah pasien
yang datang, sarana kesehatan yang tersedia serta kemungkinan hidup pasien
Gustia (dalam Pusponegoro, 2010).
Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang
timbul.Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam sistem triage
adalah kondisi klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan
yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa
disebabkan oleh gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing /
pernafasan, Circulation / sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka
dapat meninggal / cacat (Wijaya, 2010)
Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :

Tabel 1. Klasifikasi Triage


KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa / adanya
gangguan ABC dan perlu tindakan segera,
misalnya cardiac arrest, penurunan
kesadaran, trauma mayor dengan
perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Setelah
dilakukan diresusitasi maka ditindaklanjuti
oleh dokter spesialis. Misalnya ; pasien
kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan
lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam nyawa
tetapi memerlukan tindakan darurat. Pasien
sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat
langsung diberikan terapi definitive. Untuk
tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya
laserasi, fraktur minor / tertutup, sistitis,
otitis media dan lainnya

Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak
memerlukan tindakan gawat. Gejala dan
tanda klinis ringan / asimptomatis.
Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan
sebagainya

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (merah) Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi
dan tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan
hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan
bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas,
pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan
nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka
bakar) tingkat II dan III > 25%
Prioritas II (kuning) Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila
tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat jangan
terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio
(luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak / abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
Prioritas III (hijau) Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak
perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat
terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka ringan
Prioritas 0 (hitam) Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat
parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti
jantung kritis, trauma kepala kritis.
Tabel 3.Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan(Iyer, 2004).

TINGKAT KEAKUTAN

Kelas I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya memar minor);


dapat menunggu lama tanpa bahaya
Kelas II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya ruam, gejala
flu); dapat menunggu lama tanpa bahaya
Kelas III Semi-urgen / semi mendesak (misalnya otitis
media); dapat menunggu sampai 2 jam sebelum
pengobatan
Kelas IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur panggul,
laserasi berat, asma); dapat menunggu selama 1 jam
Kelas V Gawat darurat (misalnya henti jantung, syok); tidak
boleh ada keterlambatan pengobatan ; situasi yang
mengancam hidup

Triase modern yang diterapkan di rumah sakit saat ini terbagi atas lima
kelompok dengan berbagai macam penyebutan, yaitu :
Tabel 4. Kategori triase berdasarkan beberapa sistem
Level (ESI) Warna (MTS) Kriteria CTAS Kriteria ATS
Level 1 Merah Resusitasi Segera mengancam nyawa
Level 2 Oranye Emergensi Mengancam nyawa
Potensi Mengancam
Level 3 Kuning Segera (urgen)
nyawa
Level 4 Hijau Segera (sem urgent) Segera
Level 5 Biru Tidak segera Tidak segera
(Habib et al., 2016)
Di Indonesia belum ada kesepakatan tentang metode triase apa yang
digunakan di rumah sakit. Belum ditemukan adanya literatur nasional yang
mengidentifikasi metode-metode triase yang digunakan tiap-tiap unit gawat
darurat di Indonesia. Secara empiris penulis mengetahui bahwa pemahaman triase
dalam pendidikan kesehatan sebagian besar- kalau tidak bisa dikatakan
seluruhnya- masih menggunakan konsep triase bencana (triase merah, kuning,
hijau, dan hitam) (Habib et al., 2016).

Alur dalam proses triase.


1. Pasien datang diterima petugas / paramedis UGD.
2. Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat
(selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3. Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase
dapat dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD).
4. Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi kodewarna:
a) Segera-Immediate (merah). Pasien mengalami cedera mengancam
jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera.
Misalnya:Tension pneumothorax, distress pernafasan (RR<
30x/mnt), perdarahan internal, dsb.
b) Tunda-Delayed (kuning) Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi
tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi
terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan perdarahan
terkontrol, luka bakar <25% luas permukaan tubuh, dsb.
c) Minimal (hijau). Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan
dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya :
Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d) Expextant (hitam) Pasien mengalami cedera mematikan dan akan
meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar
derajat 3 hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
e) Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan
warna : merah, kuning, hijau, hitam.
f) Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan
pengobatan diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan
tindakan medis lebih lanjut, penderita/korban dapat dipindahkan ke
ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.
g) Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan
medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan
menunggu giliran setelah pasien dengan kategori triase merah selesai
ditangani.
h) Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat
jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka
penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang.
i) Penderita kategori triase hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar
jenazah. (Rowles, 2007).
Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan terkait triage, seperti
”Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia” oleh Habib et al
(2016) mengatakan bahwa di Indonesia belum ada kesepakatan tentang metode
triase apa yang digunakan di rumah sakit. Belum ditemukan adanya literatur
nasional yang mengidentifikasi metode-metode triase yang digunakan tiap-tiap
unit gawat darurat di Indonesia.

B. Aspek Legal Etik


Aspek
Mengacu kepada peraturan : perundang-undangan, permenkes, kepmenkes, dan
pedoman-pedoman dari kemenkes
Etik
Hubungan perawat dengan orang lain (dokter, perawat, pasien) • Merupakan
tuntunan bagi profesi
Kode etik
norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa
yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan
Konflik seringkali terjadi dalam pelayanan kesehatan, yang dapat
menimbulkan hubungan yang kurang baik antara pasien dengan tenaga kesehatan
maupun sesame tenaga kesehatan sendiri. Sehingga diperlukan suatu etika dan
norma hukum yang digunakan untuk mencegah dan mengatasi konflik yang
terjadi di tempat-tempat yang menyediakan layanan kesehatan.
Menurut Permenkes no 159 tahun 1988 pasal 23 disebutkan bahwa
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan unit pelayanan yang harus ada di setiap
rumah sakit. IGD diperuntukkan bagi pasien yang umumnya gawat dan
memerlukan tindakan darurat.
Pelayanan gawat darurat memiliki aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang dan seringkali terjadi kondisi yang menekan di
ruang gawat darurat. Hilangnya waktu selama perjalanan menuju rumah sakit,
jumlah pasien gawat darurat yang cukup banyak, situasi yang sulit dikendalikan,
serta keadaan pasien yang sulit seperti tidak sadarkan diri, tidak terdapat keluarga,
amnesia, dan tidak membawa uang, acapkali menjadi dilema bagi para tenaga
kesehatan yang bekerja di pelayanan gawat darurat.
Dari segi yuridis terutama hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian
yang berbeda dengan keadaan biasa. Dilihat dari sudut pandang hukum dan
medikokegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat
darurat karena memiliki karakteristik khusus.
Perinsip etik :
1.Otonomi (Autonomy)
2 .Berbuat Baik (Beneficience)
3. Tidak Merugikan (Non-maleficence)
4.Kejujuran (Veracity)
5. Keadilan (Justice)
6. Kerahasiaan (Confidentiality)
7.Menepati Janji (Fidelity)
8.Akuntabilitas (Accountability
Perawat harus mampu :
1. melakukan triase,
2. resusitasi dengan atau tanpa alat,
3. mengetahui prinsip stabilisasi dan terapi definitif,
4. mampu bekerja dalam tim, melakukan komunikasi dengan tim, pasien
beserta keluarganya.(Daruratan, 2017)

C. Manfaat Triage
Setiap pasien memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan
dalam proses triage. Menurut (Ainiyah dkk) triage memiliki manfaat dalam
kegawatdaruratan, antara lain:
- Pentingnya pelaksanaan triage di IGD guna peningkatan pelayanan yang
lebih optimal.
- Untuk mengantisipasi adanya kategori pasien false emergency.
- Untuk memilah pasien sesuai kategori kasus trauma atau non trauma.
- Untuk meningkatkan tercapainya kepuasan pasien di rumah sakit seta
kematian dan kecacatan pada kasus kegawatdaruratan dapat diminimalkan.
Kushayati mengatakan tujuan dari triage adalah untuk mengidentifikasi pasien
yang membutuhkan tindakan resusitasi segera, menetapkan pasien ke area
perawatan untuk memprioritaskan dalam perawatan dan untuk memulai tindakan
diagnostik atau terapi.
Triage departemen emergensi memiliki beberapa fungsi diantaranya:
1. Identifikasi pasien yang tidak harus menunggu untuk dilihat,
2. Memprioritaskan pasien (Mace and Mayer, 2012 dalam Jurnal Nuris
Kushayati).

D. Efek Dari Triage


Efek samping dari triase adalah jika tidak adanya informasi memadahi akan
menimbulkan adanya perbedaaan pemahaman kondisi gawat darurat antara tenaga
medis dan pasien saat memberikan pertolongan. Contohnya pasien yang mendapat
kategori P3 akan mendapatkan penanganan medis yang tidak segera seperti pasien
dengan kategori P1, alur proses seperti waktu menunggu dalam pengiriman pasien
ke ruangan, antrian, menunggu ( dokter, perawat hasil lab) jika tidak adanya
penjelasan maka memungkinkan adanya kesalahpahaman antara pasien maupun
keluarga dengan perawat atau tenaga medis.
E. KESIMPULAN

Instalasi Gawat Darurat adalah pintu awal masuknya pasien dengan kondisi

keadaan gawat darurat yang perlu penanganan segera untuk mencegah

terjadinya kecacatan dan kematian, tindakan yang cepat dan tepat sudah

merupakan kewajiban setiap tenaga medis yang bekerja di ruang IGD.

Penentuan prioritas pasien yang dilakukan di triase merupakan langkah awal

untuk menentukan tindakan yang akan diberikan apakah pasien tersebut

masuk dalam kategori gawat darurat, gawat tidak darurat, darurat tidak gawat,

maupun tidak gawat dan tidak darurat. Penentuan yang dalam rumah sakit

biasanya dikategorikan gawat darurat sebagai P1, gawat tidak darurat sebagai

P2, darurat tidak gawat sebagai P3, dan tidak gawat tidak darurat sebagai P4

harus dilakukan secara tepat dan cermat agar tindakan yang diberikan dapat

menolong bukan malah memyebabkan kecacatan atau bahkan kematian bagi

pasien. Tindakan yang tidak sama sepeti ruang lain contohnya ruang rawat

inap yang memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari pasien atau keluarga

pasien untuk setiap tindakan yang diberikan seringkali menimbulkan kesalah

pahaman. Kurangnya pengetahuan baik dari pasien maupun keluarga terhadap

alur yang ada di IGD seperti contohnya keluarga pasien dengan prioritas 3

menginginkan penanganan segera seperti pasien prioritas 1 karena mereka

menganggap jika keluarganya juga sama-sama gawat. Disinilah perawat harus

bertindak sesuai dengan peran dan fungsinya yaitu menjelaskan setiap

kondisi, tindakan dan alur yang ada di IGD yang merupakan hak pasien dan

keluarganya dengan tetap berpegang pada aspek legal dan aspek etik
keperawatan sehingga dapat dipertanggungjawabkan serta nantinya

diharapkan tidak ada lagi adanya kesalahpahaman yang terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1999.Triage Officers Course. Singapore : Department of Emergency


Medicine Singapore General Hospital
Anonimous, 2002.Disaster Medicine. Philadephia USA : Lippincott Williams
ENA, 2005.Emergency Care.USA : WB Saunders Company
Habib, H. et al. (2016) “Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di
Indonesia,” Research Gate.
Glory, P. T,. Rumampuk. J F,. Katuuk M E. (2019). Hubungan Ketepatan Triase
dengan Response Time Perawat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Tipe C.Vol. 7 No.1.
Gustia, M,. Manurung, M. (2018). Hubungan Ketepatan Penilaian Triase dengan
Tingkat Keberhasilan Penanganan Pasien Cedera Kepala di IGD RSU
HKB Balige Kabupaten Toba Samosir. Vol. 3 No.2.
Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan.Jakarta : EGC
Jurnal Nur Ainiyah, Ahsan, dan Mukhammad Fathoni “Analisis Faktor Pelaksana
an Triage di Instalasi Gawat Darurat”, diakses pada 11 Agustus 2019
pukul 20.30 WIB.
Jurnal Nuris Kushayati “Analisis Metode Triage Prehospital pada Insiden Korban
Masal (Mass Casualty Incident)”, diakses pada 11 Agustus 2019 pukul
20.40 WIB.
Kementerian Kesehatan Rpublik Indonesia (2018) “Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018.”
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta :
EGC

12

Anda mungkin juga menyukai