Anda di halaman 1dari 12

Konsep pelaksanaan Landreform merupakan konsep yang telah membumi, sebab

konsep Landreform ini diyakini oleh Negara-negara di dunia, khususnya Negara-negara yang
berada dalam kondisi Negara berkembang, akan menunjang pembangunan yang telah
direncanakan tersebut. Konsep Landreform ini sejak tahun1960 telah bergulir di semua penjuru
dunia, begitu pun dengan PBB yang telah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap
pelaksanaan Landreform itu sendiri, khususnya elemen PBB yaitu Bank Dunia, lebih focus
memperhatikan pelaksanaan Landreform tersebut. perhatian Bank Dunia begitu penting terhadap
pelaksanaan Landreform, sehingga memberikan panduan bagi sebuah Negara dalam
pelaksanaan Landreform tersebut.

Pelaksanaan Landreform di Indonesia, mengalami perubahan seiring dengan terjadinya


perubahan peta politik di Indonesia. Pada tahun 1962-1965 yang diwarnai oleh kekerasan politik
menjadi mimpi buruk dan puncak pergolakan politik yang bermuara dengan tumbangnya rezim
Orde Lama dengan korban manusia yang luar biasa. Kejadian ini menjadi trauma dan untuk
selanjutnya trauma ini direproduksi terus-menerus bagi keutuhan rezim baru. Memang diakui
bahwa kebanyakan perjuangan Landreform telah dibarengi dengan kekerasan dan ketidakstabilan
politik.

Pada masa Orde Baru, arah politik agrarian sedang berada dalam ruang tarik-menarik antara dua
kekuatan, yaitu kekuatan rezim Kapitalis-Global yang menghendaki kebijakan pertanahan
dipersiapkan untuk arena pasar sejagat yang meminimalkan peran (intervensi) Negara dalam
pengadaan tanah bagi investasi di satu pihak, dan kekuatan birokrasi yang masih berusaha untuk
mempertahankan mekanisme pengadaan tanah untuk investasi melalui intervensi Negara
(pemerintah). Meskipun demikian, kedua kekuatan ini sesungguhnya bermain di satu arena
system ekonomi yang sama, yaitu sistem ekonomi kapitalis. Arena sistem kapitalis ini
menunjukan bahwa kebijakan pertanahan (dan agrarian) yang berusaha mengubah strujtur
penguasaaan tanah warisan kolonial ternyata mengalami kegagalan total.

Pelaksanaan Landreform di Indonesia bersamaan dikeluarkannya UUPA Tahun 1960. Hal ini
sesuai dengan dikeluarkannya Perpu nomor 56/ 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Inti dari adanya UU Nomor 56/Prp Tahun 1960 ini bertujuan untuk mendistribusikan tanah
kepada masyarakat petani yang tidak memiliki tanah dengan memberikan tanah pertanian
minimal dua hektar. Dengan dikeluarkannya UU tersebut, timbul suatu pertanyaan apakah
pelaksanaan distribusi tanah pertanian tersebut telah dilakukan sebagaimana mestinya.

Menurut beberapa laporan penyelidikan, praktis rencana dan pelaksanaan program Landreform
gagal oleh beberapa sebab. Dari laporan Direktorat Jenderal agrarian Tahun 1986 ditemukan
bahwa di Jawa telah didistribusikan sejumlah 197.395,6531 ha atau 3,49% dari tanah yang
seharusnya diredistribusikan kepada 307.904 keluarga atau hanya 8,14% dari total keluarga
petani yang seharusnya menerima redistribusi menurut undang-undang dalam rentang waktu
antara 1963-1969.

Sebuah hasil penelitian melaporkan bahwa hanya 16% atau sejumlah 4.421.764 RTP memiliki
rata-rata lebih dari 1 ha lahan usaha tani untuk digarap dalam proporsi tanah yang dikuasai
sejumlah 69% dari seluruh total luas lahan pertanian. Jika data ini dikelompokkan menjadi 2
kelompok, yakni penguasaan tanah di bawah 1 ha dan di atas 1 ha, maka gambaran penguasaan
tanah pertanian di Indonesia adalah sejumlah 84% penduduka pedesaaan menguasai 31% dari
total luas lahan usaha tani, dan hanya 16% menguasai sebesar 69% dari total luas lahan
pertanian, yakni berkurang dari 5,72 juta ha (1983) menjadi 5,24 juta ha (1993) atau menurun
0,48 juta ha, maka data struktur penguasaan lahan pertanian di atas sudah sepatutnya disebut
sebagai krisis penguasaan sumber-sumber agraria.

Kondisi di atas semakin merisaukan seperti yang terungkap dari data resmi BPS Sensus
pertanian 1983 dan 1993 bahwa presentase rumah tangga pertanian gurem terus meningkat, dari
50,99% (1983) menjadi 51,63% (1993). Dalam kasus Jawa, jumlah ruamah tangga pertanian
gurem juga meningkat dari 66,65% (1983) menjadi 69,84% (1993).

Memperhatikan data di atas, maka masalah penurunan penguasaan atas tanah pertanian tersebut
tidak perlu terjadi, sekiranya semua pihak memperhatikan mengenai ketentuan pasal-pasal yang
terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian. Khususnya
menyangkut mengenai pengaturan kelebihan maksimum tanah pertanian yang dimiliki oleh
seseorang. Ketentuan ini berkaitan pula dengan Pasal 7 UUPA yang pada intinya melarang
penguasaan atas tanah yang melampaui batas.

Semoga dengan adanya masa reformasi ini, pelaksanaan Landreform menjadi prioritas utama
oleh pemerintah untuk megatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama yang menimpa
masyarakat lapisan bawah.

https://www.kompasiana.com/bebefaradiba/55200aa8a333119644b65933/landreform-di-
indonesia
Land reform dan Perjuangan
Rakyat
21 Februari, 2019

242 dibaca dalam 4 menit

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, (Sabang Merauke Circle)


Saya telah meminta Agustiana, pendiri atau pendukung Konsorsium Pembaharuan Agraria, agar
tidak mengatasnamakan gerakan Pembaharuan Agraria dalam mengumpulkan massa petani di
Priangan Timur untuk mendukung Jokowi, beberapa waktu lalu. Agustiana setuju dengan saya dan
sebagai pendukung Jokowi dia sepakat bahwa belum ada Capres yang punya agenda Land reform
yang jelas. (saya dan kawan-kawan gerakan 80an adalah pencetus pertama gerakan reformasi agraria
zaman orde baru).
Apa itu landreform (reformasi agraria)? Landreform adalah redistribusi lahan pada situasi
kesenjangan struktural agraria, di mana sedikit orang menguasai mayoritas lahan pertanian.
Dalam menjalankan reformasi agraria ini, Solon Barracalough, United Nation Research Institute for
Social Development, 1999, mencatat berbagai redistribusi tanah diberbagai negara, di masa lalu,
dilakukan dengan aksi revolusioner rakyat, seperti di Cuba, Mexico, Bolivia, dan Nicaragua. Di
tempat lain, seperti di Guatemala, Puerto Rico, Venezuela dan Chili tanpa melalui revolusi. Di Korea
Selatan karena ketakutan pengaruh Korea Utara yang Komunis menginfiltrasi mereka. Di Peru dan
El Salvador junta militer sendiri yang berinisitif. Sedangkan di Taiwan, rezim Kuomintang takut
kekuatan tuan tanah berkuasa sehingga mereka melakukan aksi “pre-emptive” mendahului para tuan
tanah dengan aksi Landreform itu.
Dalam model revolusioner, biasanya tanah diambil paksa pemerintah berkuasa, tanpa ganti rugi, lalu
dibagi-bagikan kepada rakyat miskin secara gratis. Dalam masa tidak revolusioner, bisanya
pengambilalihan lahan disertai pembayaran kompensasi. Prinsipnya, cara-cara di atas dimaksudkan
menata struktur kepemilikan tanah di pedesaan, agar dimensi keadilan sosial bagi rakyat dapat
terwujud.
Pembicaraan kita tentang Landreform ini terkait dengan debat capres kedua kemarin. Prabowo
menyinggung persoalan distribusi lahan yang tidak adil di Indonesia. Jokowi menjawab aksinya
dengan pemberian sertifikat lahan, bukan membagi lahan, dan pemberian pengelolaan lahan
perhutanan/negara, yang mencakup 2,6 juta HA. Jawaban Jokowi ini bukanlah Landreform yang
dimaksudkan Jokowi dalam Nawacita nya, di mana 9 juta atau 12 juta Ha lahan akan diredistribusi.
Landreform adalah redistribusi.

Kenapa penting redistribusi?


Thomas Pikkety dalam Capital in Twenty-first Century menjelaskan kesenjangan sosial itu bersifat
lintas generasi. Pertumbuhan kekayaan orang-orang yang menguasai asset, di masa lalu umumnya
lahan, akan mengalami akselerasi yang semakin membesar relatif dengan yang memiliki sedikit aset.

Merujuk pada Thomas Pikkety dalam sisi pertumbuhan oligarki dan Jeffrey Winters, pada
sisi kesenjangan sosial, Megawati Institute telah mengeluarkan hasil studinya pada akhir 2017,
bahwa oligarki pemilik kekayaan di Indonesia sudah mengalami pertumbuhan kekayaan berkali-kali
lipat dari rata-rata orang Indonesia. Kesenjangan sosial, oleh karenanya, tidak mengalami
pengurangan.
Riset Pikkety sendiri yang mengamati pertumbuhan kekayaan orang kaya sejak 1810 sampai 2010 di
beberapa negara Eropa, a.l. Perancis dan Inggris, termasuk pada level kota, seperti Paris,
menunjukkan kesenjangan yang terus membesar, bervariasi di sekitar segelintir orang menguasai
harta pada tingkat 70% kekayaan nasional masing-masing negara.

Berkurangnya kesenjangan sosial di sana terjadi pada saat perang dunia pertama, berlanjut pada
perang dunia kedua dan sampai masa Welfare State tahun 70 an- 80 an.
Isu redistribusi di eropa, yang kurang tampil dalam pembahasan Pikkety, sesungguhnya dimulai
dengan berkembangnya komunisme dan sosialisme secara pesat pasca perang dunia pertama. Pikkety
mengangkat sebab perang dan pengkhianatan tuan tanah dalam perang tersebut.

Ide komunisme dan sosialisme yang dicetuskan Marx dan Engels mengajarkan bahwa kapitalisme,
sistem ekonomi yang berlangsung, merampok hak-hak rakyat kecil melalui alienasi buruh hanya
sebagai faktor produksi serta tidak membagi “value added” atas produksi secara adil.
Dalam sistem kapitalis itu buruh hanya akan menjadi komoditas (commodification) yang upahnya
hanya cukup untuk menjual tenaganya pada pasar (reproduction), tanpa perlu terlibat dalam mengatur
“value added” yang diciptakannya. Sehingga, nasib buruh akan terus miskin dan para kapitalis
semakin kaya.
Satu-satunya jalan untuk keadilan sosial adalah dengan menghilangkan hak privat dari orang-orang,
menggantikan dengan hak negara.
Di negara-negara non barat, karena industri belum maju saat itu, teori Marx ini diadopsi dalam
kerangka pedesaan, seperti di Sovyet (Rusia) dan Cina. Di Indonesia, Soekarno misalnya,
mengembangkan konsep Marhaenisme. Intinya adalah melawan kapitalis pemilik lahan.
Pengembangan teori keadilan sosial di negara-negara Islam mencoba mengimbangi teori Marxisme
dan Komunisme pada masa itu dengan “Sosialisme Islam“, seperti yang dipromosikan HOS
Tjokroaminoto di Indonesia.
Kembali kepada isu Landreform yang identik dengan redistribusi asset, sejatinya berimpit dengan
ide-ide keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan serata-ratanya. Sebaliknya, pembagian
sertifikat-sertifikat, yang merujuk pada pemikir liberal Hernando De Soto, justru dimaksudkan untuk
mendorong pemilik tanah kaum marginal masuk dalam perangkap kapitalisme. Sedangkan
pembagian pengelolaan lahan hutan, juga bukan Landreform, dan sudah dilakukan sejak zaman
reformasi 1998.

Bahaya Oligarki dan Kesenjangan


Serangan Jokowi atas kepemilikan lahan Prabowo 340.000 HA (kata Denny JA setara dengan rata-
rata kepemilikan 30 juta rakyat ditotal) sejatinya perlu diapresiasi pejuang Landreform. Kenapa? 1)
Apa agenda besar Prabowo jika menjadi Presiden? 2) Mungkinkah Jokowi memikirkan itu setelah
tidak melakukan Landreform dalam periode pertama kepemimpinannya?
Untuk pertanyaan pertama ini, saya mendapatkan kepuasan karena Prabowo mengutarakan 3 hal,
yakni: a) Prabowo berniat masuk dalam tema menghapuskan kesenjangan kepemilikan lahan, b)
Prabowo bersedia tanahnya diambil negara, 3) mengutamakan pengusaha nasional dibanding asing.

Pandangan dan sikap Prabowo ini sangat jelas memungkinkan negara, jika dia menang, mampu
mengontrol kepemilikan lahan dan penggunaannya.

Pemberian kekuasaan negara mengontrol lahan artinya negara mengatur atau menggunakannya
sesuai pasal 33 UUD45 dan cita-cita keadilan sosial. Sesuai dengan sila ke 5 Pancasila.

Jika melenceng dari cita-cita keadilan sosial, maka negara bersifat serta merta dapat mengambil
tanah-tanah yang ada.

Keadilan sosial dalam Pancasila tentu sesuai azas sosialisme ala Indonesia, dimana pembagian akses
rakyat terhadap lahan dibuat merata. Konglomerat sawit misalnya, dapat melakukan bisnis
konglomerasi disektor hilir, sedang pemilik lahan adalah negara yang dikuasai oleh jutaan rakyat.
Jika 5 juta Hektar lahan sawit ditanami 1 juta rakyat, maka 1 juta rakyat dan keluarganya akan
sejahtera. Sebaliknya, pengusaha Konglomerat dapat mengambil keuntungan dari hilirisasi sawit. Ini
adalah solusi win-win atau shared prosperity (pembagian kemakmuran) yang gagal selama 74 tahun
Indonesia Merdeka.

Untuk pertanyaan kedua, apakah Jokowi akan melakukan redistribusi lahan pada periode kedua, jika
menang? Menurut beberapa tim inti Jokowi, secara terpisah, kepada saya beberapa bulan lalu ketika
terjadi konflik Luhut Panjaitan vs. Amien Rais soal isu kesenjangan kepemilikan lahan, Jokowi akan
masuk pada aksi redistribusi Lahan jika menang yang kedua kali.

Pendapat ini menarik untuk dicermati. Kenapa? Artinya Jokowi mempunyai niat pemerataan asset
dan akses terhadap lahan nantinya juga. Persoalannya adalah mungkinkah itu terjadi? Mengapa harus
menunggu periode kedua?

Penutup
Landreform adalah persoalan redistribusi lahan untuk keadilan sosial. Zaman Now, lahan itu bukan
hanya di pedesaan melainkan juga di perkotaan. Urbanisasi yang akan mengantarkan kita menjadi
negara urban (perkotaan) sebentar lagi, memiliki persoalan penting dalam isu kekuasaan taipan
properti mengontrol lahan dan harga lahan. Juga mengontrol perubahan peruntukan lahan-lahan, dari
agriculture menjadi kota serta berusaha mengatur segregasi masyarakat pribumi vs. non pribumi.

Prabowo sudah tegas mengatakan siap mengembalikan lahannya kepada negara, siap menjadikan
pribumi dan usahawan nasional sebagai patriot bangsa, dan siap masuk pada isu Landreform.

Tinggal kita menunggu statement Jokowi pasca debat, siapkah dia masuk pada agenda Landreform
sejati.

Jika kita tidak percaya keduanya mereka, maka gerakan rakyat untuk Landreform sejatinya tidak
memerlukan pilpres ini.

https://www.kanigoro.com/artikel/land-reform-dan-perjuangan-rakyat/
Iwan Nurdin: Reforma Agraria Sejati itu
Pelaksanaan UUPA 1960
Adi Wibowo

2013-10-16 00:00:00

Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah jika hendak menjalankan reforma agraria?

Banyak. Namun yang harus dipastikan bahwa pembaruan agraria yang hendak dijalankan oleh
pemerintah mestilah dibawah kerangka hukum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Kerangka hukum ini tentu saja harus diikuti dengan itikad untuk memegang teguh lima prinsip
dasar melatar belakangi kelahiran UUPA yaitu: Pertama, pembaruan hukum agraria agraria
kolonial menuju hukum agraria nasional; Kedua, yang menjamin kepastian hukum;
Ketiga, Penghapusan hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia; Ketiga, mengakhiri
penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah; kelima sebagai wujud
implementasi atas pasal 33 UUD 1945.

Apa sesungguhnya Pembaruan Agraria itu?

Pengertian Pembaruan Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan,


penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan
petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya. Hal ini dalam
UUPA terangkum dalam pasal 6,7,9,10,11,12,13,14,15,17.

Inti dari pembaruan agraria adalah landreform yaitu redistribusi kepemilikan dan penguasaan
tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-
program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan
sebagainya. Jadi pembaruan agraria adalah landreform plus.
Apa persisnya tujuan dari agenda Pembaruan Agraria?

Tujuan pembaruan agraria menurut UUPA adalah penciptaan keadilan sosial, peningkatan
produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan
bangsa yang terangkum dalam Pembukaan UUD 1945 dan terjemahan dari praktek ekonomi
negara dalam Pasal 33 UUD 1945.

Selama ini, akibat tidak dijalankannya Pembaruan Agraria dan dipetieskannya UUPA telah
menyebabkan semakin mendalamnya ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan
sumber-sumber agraria khususnya tanah, maraknya konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
Maraknya konflik graria yang merebak selama ini adalah tanda dari perlu dilaksanakannya
pembaruan agraria.

Jadi, Pembaruan Agraria yang dimaksudkan oleh pemerintah selain untuk menata ulang
struktur kepemilikan, penguasaan sumber-sumber agraria sehingga dapat menjawab
ketimpangan agraria juga untuk menuntaskan konflik agraria yang selama ini timbul. Konflik
agraria juga dapat terjadi dalam proses pelaksanaan pembaruan agraria apabila prasyarat
pendukungnya tidak disiapkan secara matang.

Bagaimana prasyarat utama agar agenda ini berhasil?


Dari berbagai literature dan pengalaman, kita bisa menyimpulkan bahwa prasyarat utama
tersebut adalah, kemauan dan dukungan politik yang kuat dari pemerintah, data agraria yang
akurat, serta organisasi tani yang kuat serta terpisahnya elit bisnis dan elit politik dalam
menjalankan Pembaruan Agraria.

Dengan melihat prasyarat ini maka peran negara sangat penting bahkan tidak tergantikan,
sementara pelaksanaan pembaruan agraria tanpa melibatkan organisasi rakyat maka tujuan-
tujuan dari Pembaruan Agraria tidak akan tercapai dan bahkan mengalami kegagalan.

Pengalaman pelaksanaan pembaruan agraria di sejumlah negara Asia (seperti: China, Taiwan,
Jepang, dan Korea Selatan), Afrika dan Amerika Latin, menunjukkan setidaknya ada 10 (sepuluh)
aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila pembaruan
agraria mau berhasil, yakni : (1) Mandat Konstitusional, (2) Hukum Agraria dan Penegakkannya,
(3) Organisasi Pelaksana, (4) Sistem Administrasi Agraria, (5) Pengadilan, (6) Desain Rencana dan
Evaluasi, (7) Pendidikan dan Latihan, (8) Pembiayaan, (9) Pemerintahan Lokal, dan (10)
Keterlibatan penuh Organisasi Petani.

Bagaimana sisi teknisnya pelaksanaanya?

Untuk menjalankan Pembaruan Agraria diperlukan sebuah badan pelaksana atau komite yang
bertugas menjalankan Pembaruan Agraria. Komite tersebut adalah sebuah Komite Nasional
Pembaruan Agraria (KNPA).

KNPA ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas utamanya adalah untuk: (i)
Merumuskan strategi dan tata cara pelaksanaan pembaruan agraria; (ii) Mengkordinasikan
departemen-departemen terkait dan badan-badan pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan
organisasi masyarakat untuk mempercepat pelaksanaan pembaruan agraria; (iii) Melaksanakan
penataan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria
lainnya; dan (iv) Menangani konflik-konflik agraria, baik warisan masa lalu, maupun konflik-
konflik agraria yang mungkin muncul akibat pelaksanaan pembaruan agraria.
Komisi Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) adalah sebuah badan adhoc yang bekerja hanya
dalam jangka waktu pelaksanaan Pembaruan Agraria. Keanggotaanya komite ini wajib
merepresentasikan unsur pemerintahan, unsur serikat petani, NGO, dan pakar yang sejak awal
concern dalam perjuangan dan tujuan-tujuan Pembaruan Agraria.

Dengan demikian, KNPA merumuskan desain rencana pelaksanaan hingga evaluasi Pembaruan
Agraria. Desain rencana pelaksanaan itu sekurang-kurangnya memuat (1). Sistem pendataan
objek dan subjek Pembaruan Agraria, (2). Data peruntukan tanah, (3) Desain redistribusi tanah
dalam skema rumah tangga pertanian, kolektive/komunal masyarakat, koperasi produksi dan
atau usaha bersama pertanian oleh masyarakat, (4). Desain larangan dan sanksi bagi penerima
tanah yang menelantarkan tanah dan menjual tanah, (5) sanksi berat bagi pemalsu objek dan
subjek Pembaruan Agraria, (6). Desain keterlibatan dan peran para pihak dalam pelaksanaan
Pembaruan Agraria (7). Desain dukungan akses infrastruktur dan keuangan setelah distribusi.

Untuk memudahkan KNPA mendata objek-objek Pembaruan Agraria, KNPA menjalankan tugas
berdasarkan sistem administrasi agraria yang nasional yang lintas sektoral, lintas
regional sehingga identifikasi atas objek dan subjek Pembaruan Agraria akan dapat lebih
mudah dilakukan. Dengan mengacu kepada UUPA maka objek-objek pembaruan agraria
sebagian besar adalah tanah negara yang dikuasai oleh pihak perkebunan, tanah negara yang
dikuasai oleh Kehutanan khususnya industri kehutanan dan tanah kelebihan maksimum, tanah
absentee (pertambangan, perikanan, peternakan dll).

Pembaruan Agraria mestilah dibiayai oleh APBN/D pemerintah bersama DPR berkewajiban
mengalokasikan anggaran untuk Pembiayaan Pembaruan Agraria secara proporsional.
Pembiayaan seluruh komponen dari Pembaruan Agraria haruslah berasal dari sumber dana yang
bukan berasal dari Hutang Luar Negeri dan atau bantuan pendanaan lain dari pihak manapun
yang mengikat dan dapat menyebabkan tujuan-tujuan Pembaruan Agraria menjadi tidak
tercapai.
Lembaga ini mengkoordinasikan dukungan departemen-departemen dan lembaga pemerintah
non departemen di pemerintahan yang terkait dengan tujuan Pembaruan Agraria. KNPA juga
bertugas melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang pengetahuan dasar
Pembaruan Agraria khususnya mengenai tujuan, agenda, strategi dan pelaksanaan Pembaruan
Agraria sehingga dapat mobilisasi dukungan dari rakyat. Dalam tahap pelaksanaan KNPA berhak
merekrut dan mendidik para sukarelawan KNPA tentang tata cara pelaksanaan Pembaruan
Agraria di tingkat wilayah.

Pemerintah Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota berkewajiban membantu


melaksanakan sepenuhnya program pembaruan agraria nasional ini sesuai dengan pasal 14
UUPA 1960. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah juga berkewajiban menghapus segala Peraturan
Daerah yang dapat menghalang-halangi dan menghambat pelaksanaan Pembaruan Agraria.
Pemerintah Daerah berkewajiban menjaga hasil-hasil Pembaruan Agraria sehingga dapat lebih
maju dan berkembang, yang secara nyata tercermin dalam program dan anggaran Pemerintah
Daerah.

Bagaimana Seharusnya Keterlibatan Organisasi Rakyat?

Keterlibatan penuh Organisasi Rakyat sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
Pembaruan Agraria adalah syarat utama keberhasilan pelaksanaan Pembaruan Agraria.
Keterlibatan ini dimulai dari level nasional hingga level lokal.

Keterlibatan ini untuk menjamin kepastian bahwa subjek utama penerima tanah dalam
pelaksanaan Pembaruan Agraria adalah petani miskin, buruh tani tanpa pembedaan laki-laki dan
perempuan. Keterlibatan organisasi tani juga untuk memastikan bahwa serikat petani ataupun
koperasi serikat petani bersama-sama pemerintah berkewajiban memajukan taraf produksi dan
teknologi produksi di lapangan agraria secara bersama-sama sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.

http://kpa.or.id/media/baca2/opini/40/Iwan_Nurdin:_Reforma_Agraria_Sejati_itu_Pelaksanaan_UUPA_
1960/

Anda mungkin juga menyukai