Anda di halaman 1dari 9

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan udara ini bersifat progresif dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas racun yang berbahaya
(GOLD, 2010 ; Robbins et al., 2010).

Obstruktif adalah penurunan kecepatan aliran ekspirasi (ekspiratory flow) (Harrison’s,


2000).

PPOK merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan tanda pernapasan
yaitu batuk kronik, berdahak, dispnea dengan derajat yang bervariasi, dan penurunan aliran
udara ekspirasi yang signifikan dan progresif (Meyer et al., 2010). Menurut Anthonisen (2004)
istilah PPOK mencakup tiga patologi spesifik yaitu bronkhitis kronik, penyakit saluran napas
perifer dan emfisema. Definisi PPOK menurut American Thoracic Society (ATS) adalah suatu
gangguan dengan karakteristik adanya obstruksi dari jalan napas karena
bronkitis kronik atau emfisema; obstruksi jalan napas umumnya progresif dan dapat disertai
hiper-reaksi dan mungkin kembali normal sebagian.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dari morbiditas di
seluruh dunia yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang progesif dan sebagian besar
yang irreversible (Macnee, 2006).

Gejala klinis pada PPOK berupa batuk, produksi sputum yang meningkat dan adanya
gejala sesak. Beberapa faktor risiko sebagai penyebab PPOK yaitu merokok, usia, paparan asap
populasi lingkungan atau pekerjaan, alpha-1 antitripsin, riwayat infeksi pernapasan dan riwayat
keluarga yang mengalami PPOK (Stephen and yew, 2008).

Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit Tahun 2009 — 2010, PPOK
merupakan penyakit tidak menular yang menjadi prioritas program pengendalian Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL). PPOK masuk dalam peringkat 10 besar kematian penyakit
tidak menular rawat inap di rumah sakit (Kemenkes RI, 2012).

Menurut Klaus et al., (2007), PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati
dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang signifikan yang dapat berkontribusi terhadap
keparahan pada individu; yang ditandai dengan keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya
reversibel dan bersifat progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal
dalam paru dari partikel berbahaya atau gas beracun.

Pada hakekatnya keluhan-keluhan disebabkan oleh adanya hipersekresi mucus dan sesak,
maka penderita mengeluh terutama pada batuk dan dahak serta mengeluh sesak napas. Bila tidak
disertai infeksi sekunder, dahak akan berwarna keputih-putihan yang mungkin sampai kelabu
(karena partikel-partikel debu bila ada polusi udara). Pada stadium dini, keluhan sesak napas
dirasakan jika sedang melakukan pekerjaan fisik ekstra (dyspnoe d’effort) yang masih dapat
ditoleransi penderita dengan mudah, namun lama kelamaan sesak itu semakin progresif. Pada
stadium berikutnya penderita secara fisik tak mampu melakukan aktivitas apapun tanpa bantuan
oksigen, karena sambil duduk pun pasien akan tetap merasakan sesak napas (Gan, 2005).

Etiologi
Pada PPOK terjadi gangguan pada bronkus dan alveolus atau gabungan dari penyakit
bronchitis kronis dan emfisema. Bronchitis kronis yaitu terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat
fibrosis. Sedangkan emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli.
Patologi
Patologi dari PPOK diketahui bahwa merokok adalah faktor utama. Komponen asap
rokok yang merangsang perubahan pada sel penghasil mukus bronkus dan silia. Sedangkan silia
yang melapisi bronkus mengalami kerusakan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan
pada sel penghasil mukus dan sel silia ini yang mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit untuk ikeluarkan. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Sehingga menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan dan sistem ventilasi yaitu
saat ekspirasi menjadi terhambat. Karena adanya peradangan dan mukus yang kental serta
ekspirasi yang panjang sehingga timbul hiperkapnia.

Klasifikasi
Berdasarkan GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2007, derajat
PPOK diklasifikasikan menjadi 4 yaitu :
a. Derajat I / ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara ringan
(VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang yang terkena sering tidak
menyadari bahwa fungsi parunya tidak normal.

b. Derajat II / sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 < 80%),
disertai dengan adanya pemendekan dalam bernapas. Pada tingkatan ini biasanya pasien baru
mencari pengobatan.

c. Derajat III / berat


Adanya keterbatasan bernapas / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 / KVP
<70%; 30%, VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak napas yang semakin memberat, penurunan
kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang berdampak pada kualitas hidup pasien. PPOK
eksaserbasi biasanya berada pada derajat ini.

d. Derajat IV / sangat berat


Hambatan aliran udara yang berat (VEP1 /KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 <
50% prediksi ditambah dengan adanya gagal napas kronik dan gagal jantung kanan.

Tanda dan Gejala Klinis


PPOK memiliki tanda dan gejala yang khas yaitu batuk dan ekspektorasi, dimana cenderung
meningkat dan maksimal pada malam hari dan menandakan adanya pengumpulan sekresi
semalam sebelumnya. Batuk produktif pada awal intermiten dan kemudian terjadi hampir setiap
hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal,
kuning, bahkan terkadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik
(Mulyono, 2000).

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi
pada proses penuaan.

1. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan
yang diberikan
2. Berdahak kronik
Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk
3. Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif
lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti,
gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak (Tabel 1).

Tabel 1. Skala Sesak

Skala sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas

o Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau


naik tangga 1 tingkat

2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau


setelah beberapa menit

4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Komplikasi
a. Gagal jantung
Keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan
metabolisme tubuh. Terutama gagal jantung kanan akibat penyakit paru, harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat.

b. Asidosis Respiratory
Adalah penyakit yang dapat timbul karena terjadi peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia).
Biasanya timbul dengan gejala nyeri kepala/ pusing, lesu, dan leleh.

c. Hipoxemia
Merupakan penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi oksigen <85%.
Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada
tahap lanjut timbul sianosis.

d. Cardiac Disritmia
Adalah penyakit yang timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.

e. Infeksi pernapasan
Infeksi ini terjadi karena peningkatan produksi mukus yang berlebih, peningkatan rangsangan
otot yang polos bronkial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan beban
kerja otot pernapasan sehingga timbul dyspnea.

Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada
PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat
sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut: Inspeksi
- Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
- Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup )
- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
- Pelebaran sela iga

Perkusi
- Hipersonor

Auskultasi
- Fremitus melemah,
- Suara nafas vesikuler melemah atau normal
- Ekspirasi memanjang
- Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
- Ronki

3) Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain
- Radiologi (foto toraks)
- Spirometri
- Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia
kronik)
- Analisa gas darah
- Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi)

Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru
lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan:
- Paru hiperinflasi atau hiperlusen
- Diafragma mendatar
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Bulla
- Jantung pendulum

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan


adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas
terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih
tua.

Catatan:
Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya asma bronkial
bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru, dan sindrome obtruktif pasca TB Paru. Penegakkan
diagnosis PPOK secara klinis dilakasanakan di puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas
spirometri. Sedangkan penegakkan diagnosis dan penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai
dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2005, dilaksanakan di
rumah sakitlfasilitas kesehatan lainnya yang memiliki spirometri.

b. Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK


Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan
Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2005 sebagai berikut:

(1) PPOK Ringan


Gejala klinis:
-Dengan atau tanpa batuk
-Dengan atau tanpa produksi sputum.
-Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri:
-VEP1 ;:::80%prediksi ( normal spirometri) atau
-VEP1/KVP<70%

(2) PPOK Sedang


Gejala klinis:
-Dengan atau tanpa batuk
-Dengan atau tanpa produksi sputum.
-Sesak napas : derajat sesak 2 ( sesak timbul pada saat aktivitas ).
Spirometri:
-VEP1/KVP <70% atau
-50%< VEP1 <80% prediksi.

(3) PPOK Berat


Gejala klinis:
- Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.
- Eksaserbasi lebih sering terjadi
- Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.

Spirometri:
- VEP1/KVP <70%,
- VEP1 <30% prediksi atau
- VEP1 > 30 % dengan gagal napas kronik

Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah, dengan
kriteria:
- Hipoksemia dengan normokapnia, atau
- Hipoksemia dengan hiperkapnia

3. Diagnosis Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun
seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan klinis
PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik.

Tatalaksana PPOK

Tata laksana PPOK dibedakan ats tatalaksana kronik dan tatalaksana


eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya [Lihat Buku
Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)]

Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:

a. Pemberian obat obatan


1) Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik
2) Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk
penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid
positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik
3) Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan
eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola
kuman setempat.
4) Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai
pengobatan simptomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.
5) Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.

b. Pengobatan penunjang
1)
Rehabilitsi
a)
Edukasi
b) Berhenti merokok
c) Latihan fisik dan respirasi
d) Nutrisi
2) Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka
panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat
menyebabkan
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualiti hidup
3) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di leu pada eksaserbasi berat. Ventilasi
mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai
perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat
4) Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di negara maju)
5) Vaksinasi influensa
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi
influensa diberikan pada:
a) Usia diatas 60 tahun
b) PPOK sedang dan berat
Diagnosa
1. Gangguan pertukaran gas b/d obstruksi saluran pernapasan

2. Tidak efektifnya pola pernapasan b/d obstruksi trakeal

4. Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer b/d menurunnya aliran darah

A. Tidak efektifnya pola pernapasan


1. Kaji pola dan frekuensi pernafasan pasien.
2. Monitor bunyi paru.
3. Monitor hasil analisis gas darah.
4. Monitor kadar hemoglobin.
5. Monitor tanda vital.
6. Atur posisi pasien dengan semifowler atau duduk.
7. Pastikan jalan nafas pasien paten.
8. Observasi adanya pernafasan cuping hidung, sianosis.
9. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian oksigen.
10. Hindari kondisi yang dapat meningkatkan konsumsi oksigen tubuh seperti aktivitas yang
berlebihan, kondisi lingkungan yang panas, demam, kejang.
11. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian inhalasi atau nebulizer.
12. Monitor harus radiologi paru.
13. Laksanakan program pengobatan medis.

B. Gangguan pertukaran gas


1. Identifikasi kemungkinan faktor penyebab gangguan pertukaran gas.
2. Kaji adanya perubahan pola nafas, pernafasan cuping hidung, sianosis, dan jari tabuh
(clubbing finger).
3. Monitor tanda vital setiap 4 jam.
4. Monitor hasil laboraturium darah lengkap khususnya hemoglobin.
5. Monitor hasil analisi gas darah.
6. Lakukan pemeriksaan bunyi paru.
7. Lakukan fisioterapidada postural dengan posisi tubuh sesuai dengan lokasi sekret.
8. Lakukan pengisapan sesuai kondisi pasien dan dilakukan tidak lebih dari 10 detik setiap
pengisapan.
9. Berikan oksigen sesuai dengan keadaan pasien.
10. Berikan posisi semifowler.
11. Observasi hasil foto rontgen paru.
12. Laksanakan program pengobatan.
13. Lakukan pendidkan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan
rencana perawatan, serta pola hidup sehat berhubungan dengan kondisi saat ini.

C. Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer


1. Identifikasi kemungkinan faktor penyebab gangguan perfusi jaringan.
2. Kaji adanya sianosis, akral, pengisian kembali kapiler.
3. Monitor tanda vital setiap 4 jam.
4. Observasi adanya edema dan turgor kulit pasien.
5. Kaji kadar hemoglobin pasien.
6. Monitor denyut jantung dan irama.
7. Monitor bunyi jantung, CVP dan tingkat kesadaran.
8. Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan AGD, elektrolit dan darah lengkap.
9. Berikan oksigen sesuai kebutuhan.
10. Ukur intake dan output cairan.
11. Hindari terjadinya valsava manuver seperti mengedan, menahan nafas, batuk, dan bersin.
12. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian diuretik pada edema dan cairan intravena
pada pasien dehidrasi.
13. Laksanakan program pengobatan sesuai penyebab gangguan perfusi jaringan.
14. Jelaskan semua tindakan yang akan dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai