Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Patah Tulang Terbuka

Fraktur terbuka, di mana tulang patah terekspos ke dunia luar, merupakan

salah satu kegawat daruratan dalam orthopedi. Sudah dikenal sejak zaman

Hippocrates sampai setelah Perang Sipil Amerika, Pada saat itu, pengobatan yang

dianjurkan untuk fraktur terbuka adalah amputasi, dengan kematian dari sepsis

terjadi pada sekitar 50% pasien. Teknik antiseptik dan debridement mulai dikenal

pada akhir abad 19, dan penggunaan agen antibiotik dimulai di abad ke-20.

Kemajuan ini, bagaimanapun, belum bisa menghilangkan masalah infeksi atau

nonunion, yang tetap menyulitkan sampai sekarang (Dirschl, 2015)

2.1.1 Klasifikasi fraktur terbuka

Menurut Gustilo, fraktur terbuka dapat dikelompokkan menjadi tiga

kelompok besar berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak,

konfigurasi dari fraktur itu sendiri, dan derajat kontaminasi luka. Sehingga insiden

infeksi luka, delayed-union dan non-union, amputasi, dan kecacatan fungsi

ekstremitas sangat dipengaruhi oleh tipe fraktur.

Pada fraktur terbuka tipe I, luka yang menghubungkan fraktur dengan

lingkungan luar berukuran kurang dari 1 cm. Pada umumnya berupa luka tusuk

5
6

yang relatif bersih akibat tusukan fragmen tulang yang tajam melalui kulit.

Kerusakan jaringan lunak pada tipe I ini ringan dan tidak ditemukan tanda-tanda

crush injury. Konfigurasi frakturnya dapat berupa fraktur sederhana, transverse,

atau short oblique dengan kominusi yang minimal (Solomon et al, 2001)

Pada fraktur terbuka tipe II, luka berukuran lebih dari 1 cm tanpa disertai

dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, flap, maupun avulsi. Pada tipe ini juga

ditemukan tanda-tanda crush injury ringan hingga sedang, dengan kontaminasi

menengah. Konfigurasi frakturnya disertai dengan kominusi yang menengah

(Solomon et al, 2001).

Patah Tulang terbuka tipe III ditandai dengan kerusakan jaringan lunak yang

luas, meliputi otot, kulit, dan struktur neurovaskuler. Konfigurasi fraktur pada tipe

ini disertai dengan derajat kominusi yang berat. Patah Tulang terbuka pada tipe ini

dapat dibagi menjadi tiga subtipe. Pada tipe IIIA, walaupun disertai dengan laserasi

yang luas, pembentukan flap dan derajat kominusi fraktur yang berat, namun

jaringan lunak masih dapat menutupi daerah faktur secara adekuat. Pada subtipe ini

termasuk fraktur kominutif atau segmental akibat high energy trauma tanpa

menghiraukan ukuran dari luka. Patah Tulang terbuka tipe IIIB berhubungan

dengan cedera yang luas atau kehilangan jaringan lunak, disertai dengan periosteal

stripping dan bone expose, kontaminasi yang masif, dan derajat kominusi yang

berat. Setelah dilakukan debridement dan irigasi, segmen tulang masih terekspos

dan membutuhkan flap untuk menutupinya. Pada tipe IIIC meliputi semua fraktur

terbuka yang disertai dengan cedera vaskular yang harus diperbaiki, tanpa

memperhatikan derajat cedera pada jaringan lunak (Solomon et al, 2001).


7

Tabel 2.1. Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo (Solomon et al, 2001)

Tipe Deskripsi
I Fraktur terbuka, luka besih, ukuran luka < 1cm
II Fraktur terbuka, Panjang luka > 1cm tanpa kerusakan jaringan lunak
sekitar dan avulsi
III Fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, laserasi
dengan atau tanpa fraktur segmental. Tipe ini juga termasuk pada fraktur
terbuka dengan kontaminasi tinggi, kerusakan vaskular, atau terjadi lebih
dari 8 jam sebelum mendapatkan tindakan.
IIIA Fraktur terbuka tipe III dengan periosteal yang masih adekuat pada
lokasi tulang yang fraktur meskipun terdapat kerusakan jaringan lunak
yang luas
IIIB Fraktur terbuka tipe III dengan kerusakan jaringan lunak yang luas dan
hilangnya sebagian jaringan lunak serta adanya kerusakan periosteum
dan tulang. Sering disertai dengan kontaminasi yang berat. Sering
memerlukan prosedur jaringan lunak untuk menutup defek (flap)
IIIC Fraktur terbuka tipe III dengan disertai adanya kerusakan arteri yang
memerlukan perbaikan vascular tanpa melihat derajat kersakan jaringan
lunak

Selain itu dapat juga digunakan sistem penghitungan Sardjito Scoring System

untk menetukan derajat dan keparahan fraktur terbuka pada ekstremitas bawah

sesuai yang dideskripsikan oleh Armis pada tahun 2018. Ada lima variabel dalam

menentukan keparahan fraktur terbuka yaitu:

1. Keparahan kerusakan kulit (skin damage) yang meliputi luas luka dan

kondisi tepi luka

2. Keparahan kerusakan otot (mucle damage)


8

3. Keparahan kerusakan tulang (bone damage)

4. Keparahan kerusakan pembuluh darah (vascular damage)

5. Keparahan kontaminasi (contamination)

Derajat keparahan fraktur terbuka sesuai dengan keparahan komplikasi infeksi

sebagai outcome. Klasifikasi fraktur terbuka tetap didasarkan pembagian Gustilo

dan Anderson dengan menghitung jumlah skor sebagai berikut:

1. Fraktur terbuka derajat I : jumlah skor 10

2. Fraktur terbuka derajat II : jumlah skor 11-20

3. Fraktur terbuka derajat III : jumlah skor 21-31

A. Fragmen fraktur dapat ditutup dengan jaringan lunak atau flap.

B. Tulang yang tampak dari luar tidak dapat ditutup oleh jaringan lunak

C. Berhubungan dengan cedera neurovascular yang memerluka perbaikan

vascular untuk menyelamatkan ekstremitas bawah

Analisis di atas didasarkan pada pasien kondisi normal dan tentunya akan

berbeda dengan pasien sebelumnya mempunyai kelainan sistem imun sebagai

penyakit penyerta yang mempermudah terjadinya infeksi (Armis, 2018).


9

Tabel 2.2. Sardjito Scoring System untuk fraktur terbuka ekstremitas bawah

1. Kerusakan kulit
Ukuran luka pada kulit
a. < 5 cm 1
b. 5-10 cm 2
c. > 10 cm 3
Tepi luka
a. Tidak ada jaringan mati (kontusio) 1
b. Ada sedikit daerah degloving 2
c. Degloving yang luas atau hilangnya jaringan lunak 3
2. Kerusakan otot
a. Tidak ada kontusio otot atau rupture parsial 1
b. Rupture total dari 1 kompartmen otot 2
c. Defek otot dengan crush injury pada otot 3
3. Kerusakan tulang
a. Fraktur simple : tranverse, oblique, spiral, butterfly dengan 1
sedikit kominutif
b. Fraktur simple dengan displace signifikan, fraktur segmental atau 2
kominutif sedang
c. Kominutif berat, bone loss/defect 3
4. Kerusakan vaskular
a. Tanpa kerusakan neurovascular 1
b. Trauma neurovascular local 2
c. Kerusakan neurovascular yang luas 3
5. Kontaminasi
a. Tidak ada partikel 5
b. Hanya partikel superfisial 10
c. Adanya partikel dalam jaringn profunda (+1 jika ada partikel pada 15
medulla atau pada fraktur terbuka pelvis) (+1)

GRADE Skor
Grade I : Energi Rendah, Tidak Ada Partikel 10
Grade II : Energi Sedang, Kerusakan Jaringan Lunak Sedang, 11-20
Partikel Superficial
Grade III : Energi Tinggi, Kerusakan Jaringan Lunak Yang Berat, 21-31
Partikel Profunda
A. Fragmen fraktur dapat ditutup oleh jaringan lunak
B. Tulang yang terekspos tidak dapat ditutup dengan otot
atau kulit
C. Terkait dengan kerusakan vaskular yang memerlukan
perbaikan
10

2.1.2 Tatalaksana penanganan fraktur terbuka

Pada fraktur terbuka terdapat hubungan antara daerah fraktur dengan

lingkungan luar melalui luka, hal ini menyebabkan risiko untuk terjadi infeksi

menjadi sangat tinggi. Dengan demikian penanganan fraktur terbuka tidak hanya

bertujuan untuk memicu penyembuhan fraktur dan pengembalian fungsi, namun

juga bertujuan untuk mencegah infeksi (Salter, RB, 1999). Patah Tulang terbuka

termasuk kasus gawat darurat oleh karena itu beberapa prinsip dalam

penanganannya harus diperhatikan untuk mencapai tujuan penatalaksanaan fraktur

terbuka.

1) Pembersihan luka. Kontaminan yang dapat berupa tanah, material pakaian,

maupun material lainnya harus diirigasi dengan larutan saline dalam jumlah

besar. Material yang masih menempel setelah irigasi harus diambil hingga

bersih (Salter, RB, 1999).

2) Debridement. Jaringan yang telah kehilangan suplai darahnya dapat

menghambat proses penyembuhan luka dan merupakan media yang baik untuk

tumbuhnya kuman. Oleh karena itu, jaringan yang sudah mati seperti kulit,

lemak subkutan, fasia, otot, dan fragmen tulang yang kecil harus dieksisi

(Salter, RB, 1999). Disarankan untuk mengambil bahan hapusan untuk kultur

kuman pada tahap ini. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam tahap

ini antara lain:

a. Eksisi tepi luka. Tapi luka dieksisi hingga tepi kulit yang sehat.

b. Ekstensi luka. Pembersihan luka yang baik membutuhkan pemaparan

yang adekuat. Perlu diberhatikan dalam membuat ekstensi luka agar


11

tidak mengganggu rencana pembuatan flap untuk penutupan luka lebih

lanjut.

c. Pembersihan luka. Semua benda asing harus disingkirkan dari luka.

Larutan saline dalam jumlah besar digunakan untuk mengirigasi luka.

Hindari memasukan cairan irigasi melalui sebuah lubang kecil karena

dapat mendorong benda asing lebih dalam.

d. Pembuangan jaringan mati. Jaringan otot yang sudah mati harus dapat

dikenali, ciri-cirinya antara lain warna keunguan dengan konsistensi

lembek, otot gagal berkontraksi saat diberikan stimulus, dan tidak

berdarah saat dipotong.

e. Saraf dan tendon. Secara umum otot dan tendon yang terpotong

dibiarkan begitu saja tanpa dimanipulasi hingga luka benar-benar bersih

dan tenaga yang ahli tersedia, maka saraf dan tendon tersebut dapat

disambung kembali.

Tabel 2.3. Prinsip debridement pada fraktur terbuka (Cross W dan Marc F, 2008)

Jaringan Prinsip Penanganan


Kulit Eksisi semua kulit mati dan reseksi tepi hingga berdarah.
Perluas luka untuk mengevaluasi jaringan lunak di dasarnya.
Insisi yang terbaik adalah insisi longitudinal.
Subcutis dan Eksisi semua jaringan mati. Semua jaringan subcutis dan
Lemak lemak yang terlibat harus dieksisi. Jaringan ini memiliki
vaskularisasi yang baik.
Fascia Eksisi semua jaringan mati. Fascia yang terkontaminasi juga
harus dieksisi. Kadang perlu dilakukan fasciotomy jika
curiga adanya sindrom kompartmen
Otot Eksisi semua jaringan mati. Otot merupakan lingkungan yang
sempurna bagi bakteri untuk tumbuh sehingga debridement
jaringan yang terkontaminasi harus benar-benar tuntas.
Perhatikan viabilitas otot dengan memperhatikan “4C” yang
12

dapat digunakan sebagai acuan: warna (colour), konsitensi


(consistency), kontraktilitas (contractility), and vaskularisasi
(capacity to bleed). Hati-hati terhadap tendon dan ligamen,
sebaiknya dibersihkan dahulu dan dilakukan debridement
ulang jika terbukti mati (devitalized).
Tulang Hilangkan semua tulang yang mati. Ujung dari tulang harus
diangkat dan dbersihkan. Fragmen tulang yang mati dibuang.
Tulang kanselus yang besar dapat dibersihkan dan digunakan
sebagai bahan cangkok tulang (bone graft) jika tulang
tersebut bersih (tergantung penilaian klinis saat operasi).

3) Irigasi. Irigasi merupakan hal krusial dalam debridement fraktur terbuka.

Pengangkatan debris dapat mengurangi resiko infeksi akut dan kronis. Pada

fraktur terbuka tipe I diberikan irigasi 1 liter, tipe II 6 liter dan tipe III 9 liter.

Penggunaan tekanan tinggi pada irigasi tidak disarankan karena sering

menyebabkan kerusakan tulang dan jaringan lunak. Pemberian carian tambahan

untuk irigasi samai saat ini masih kontroversi.

Tabel 2.4. Prinsip Irigasi pada Penanganan Fraktur Terbuka (Anglen, J 2001)

Tipe Volume Irigasi


I 3 L normal saline dengan tambahan sabun cair saja.
II 6 L normal saline dengan tambahan sabun cair saja.
IIIA-C 9 L normal saline dengan tambahan sabun cair saja. Pada luka
dengan kontaminasi tinggi mungkin didapatkan keuntungan
dengan irigasi antibiotik.

4) Penanganan fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I dengan luka yang kecil, fraktur

dapat direduksi secara tertutup setelah luka dibersihkan, debridement, dan

dibiarkan terbuka. Namun bila luka yang terjadi cukup besar, biasanya

dibutuhkan traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi skeletal. Secara
13

umum, fiksasi internal dapat digunakan bila tidak menyebabkan trauma lebih

lanjut dan meningkatkan risiko infeksi (Salter, RB, 1999).

5) Penutupan luka. Bahkan bila kasus fraktur terbuka mendapatkan penanganan

dalam 6 sampai 7 jam pertama dan dengan kontaminasi minimal, immediate

primary closure merupakan suatu kontraindikasi. Setelah 4 hingga 7 hari, bila

tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dapat dilakukan delayed primary closure.

Penumpukan darah dan serum di dasar luka dapat dicegah dengan membuat

drainase luka yang baik. (Salter, RB, 1999)(Buchols RW, 2006)

6) Antibiotika. Agar efektif dalam mencegah infeksi, antibiotika harus diberikan

Penutupan luka sebelum, selama, dan setelah penanganan luka. Untuk fraktur

terbuka tipe 1 dan tipe 2 direkomendasikan menggunakan cephalosporin

generasi pertama. Sedangkan pada fraktur terbuka tipe 3 dengan derajat

kontaminasi yang lebih tinggi, ditambahkan dengan aminoglikosida. Pada

fraktur terbuka dengan kontaminasi organik, ditambahkan penisilin atau

metronidazole (Fletcher et ., 2007). Namun demikian penggunaan antibiotika

tidak dapat menjamin sepenuhnya luka akan bebas dari infeksi. Antibiotik

sistemik sulit mencapai jaringan luka yang telah kehilangan suplai darahnya,

oleh karena itu telah dikembangkan berbagai macam metode untuk memberikan

antibiotik secara topical (Salter, RB, 1999)(Buchols RW, 2006).

7) Pencegahan tetanus. Semua pasien dengan fraktur terbuka membutuhkan

pencegahan terhadap komplikasi yang jarang ditemui namun mematikan yaitu

tetanus. Bila pasien telah mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, dapat

diberikan booster toxoid. Bila tidak didapatkan riwayat imunisasi tetanus


14

sebelumnya, atau informasi mengenai imunisasi tetanus tidak jelas, harus

diberikan imunisasi pasif dengan menggunakan human immune globulin

tetanus 250 unit (Solomon et al, 2001) (Buchols RW, 2006)

2.2 Infeksi pada fraktur terbuka

Salah satu komplikasi yang berbahaya pada fraktur terbuka adalah infeksi.

Oleh karena itu, pencegahan infeksi merupakan salah satu tujuan utama dalam

penanganan fraktur terbuka. Salah satu cara yang digunakan dalam pencegahan

infeksi adalah penggunaaan antibiotika profilaksis baik secara sistemik maupun

topikal.

Dalam keadaan fisiologis, terdapat berbagai macam bakteria pada permukaan

kulit. Biasanya mikroorganisme akan membentuk agregat mikroba dalam sebuah

lapisan lendir dimana mikroorganisme tersebut menjadi resisten terhadap

antagonisnya. Kolonisasi bakteri pada permukaan tidak selalu berhubungan dengan

infeksi. Bakteria seperti Staphylococcus epidermidis, spesies Streptococcal, and

kelompok Gram negatif secara fisiologis dapat ditemukan pada kulit, mukosa

mulut, dan traktus gastrointestinal (Bucholz, RW, 2006)

2.2.1 Patogenesis

Bakteri yang tidak berkoloni atau berada dalam kelompok kecil, bersifat aktif

secara metabolik dan rentan terhadap sistim imunitas inangnya maupun antibiotik

yang sesuai. Kolonisasi bakteri baru akan terjadi bila bakteri tersebut menempel

pada sebuah permukaan dan mengalami serangkaian proses yang kompleks dan
15

teratur sehingga dapat bertahan terhadap sistim imunitas inangnya maupun faktor

eksternal lainnya.

Tulang yang rusak dapat berfungsi sebagai substrat yang baik untuk

kolonisasi bakteri. Struktur tulang relatif aseluler dengan matriks organik yang

terdiri dari prolin, hidroksiprolin, glisin, dan alanin. Matriks organik tersebut dapat

berfungsi sebagai ligand dalam proses adhesi dari bakteri terhadap permukaan

tulang.

Bakteri akan membentuk suatu lapisan glikoprotein pada permukaan non

reaktif pada lingkungan biologis. Pada tahap awal kolonisasi, bakteri masih dapat

dibunuh oleh inangnya. Namun terdapat beberapa kondisi dimana bakteri dapat

bertahan yaitu, jumlah inokulum melebihi batasan sistim imunitas inang, rusaknya

sistim imunitas inang, jaringan tempat bakteri berkoloni mengalami cedera maupun

nekrosis, adanya benda asing, dan adanya permukaan yang aselular (tulang mati,

tulang rawan, dan biomaterial).

Bakteri sampai pada permukaan tulang atau permukaan biomaterial melalui

berbagai macam cara seperti kontaminasi langsung, penyebaran kontinyu, atau

secara hematogen. Proses mendekatnya bakteri terhadap permukaan jaringan akibat

adanya gaya Van Der Waals. Keadaan ini memungkinkan bakteri untuk membentuk

ikatan yang bersifat irreversibel terhadap permukaan tersebut (interaksi reseptor

adhesin). Setelah melekat pada permukaan, bakteria mulai membentuk suatu

lapisan lendir polisakarida dan akhirnya terbentuklah koloni bakteri yang

diselubungi oleh lapisan biofilm.


16

Pemahaman mengenai pembentukan lapisan biofilm oleh bakteri dapat

menjelaskan sulitnya penyembuhan infeksi orthopaedi. Lapisan biofilm hanya akan

terbentuk pada permukaan yang non reaktif atau nonviabel. Antibiotik harus dapat

menembus lapisan ini sebelum mencapai bakteri. Lapisan biofilm dapat

digambarkan sebagai sekelompok bakteri yang dikelilingi olek matriks

ekstraselular glikokaliks. Permukaan yang bersifat nonreaktif seperti jaringan

nekrotik, implan, dan debris lainnya merupakan media yang baik bagi bakteri untuk

membentuk koloni dan lapisan biofilm. Lapisan biofilm ini dibentuk oleh

eksopolisakarida bakteri ekstrakapsular yang melekat pada permukaan dan

memperkuat agregasi antar bakteri. Karena implan dan material yang digunakan

dalam bidang orthopaedi dapat mengurangi respon kekebalan tubuh, koloni bakteri

tersebut menjadi semakin resisten. Setelah terbentuk koloni, bakteri menjadi

semakin resisten terhadap sistim pertahanan inangnya dan aktivitas antibiotik.

Tubuh akan berusaha untuk mengendalikan kolonisasi bakteri dengan

membatasi ruang gerak bakteri, sehingga terbentuklah involucrum atau abses.

Sebuah sinus juga dapat ditemukan, sehingga terdapat saluran untuk mengeluarkan

sisa jaringan dan bakteri. Pada akhirnya akan terbentuk sebuah keseimbangan

dalam bentuk infeksi kronis. Biasanya ditemukan riwayat gejala yang intermiten

dan drainase yang merespon terhadap antibiotik. Manifestasi klinis yang berbahaya

dari infeksi umumnya disebabkan oleh karena masuknya bakteri ke dalam aliran

darah, pelepasan toksin, dan pelepasan enzim oksidatif oleh sel inang. Meskipun

bakteri tersebut cenderung rentan terhadap sistim pertahan tubuh dan antibiotik,

namun jumlah bakteri dan masuknya bakteri secara kontinyu ke dalam aliran darah,
17

atau adanya penurunan sistim pertahanan tubuh, memungkinkan manifestasi klinis

terus berlangsung. Dengan demikian infeksi dapat terjadi, menyebar dan bertahan

dalam lingkungan ini (Bucholz, RW, 2006).

2.2.2 Mikroorganisme dalam fraktur terbuka

Keberadaan bakteria pada luka terbuka tidak cukup untuk menimbulkan

infeksi. Sekitar 60 hingga 70 % dari seluruh kasus fraktur terbuka terkontaminasi

oleh bakteria, tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan infeksi. Risiko

terjadinya infeksi juga berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan lunak. Pada

fraktur terbuka tipe 3B, dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, infeksi dapat

terjadi hingga 40% kasus. Selain itu, infeksi juga dapat disebabkan oleh kuman

rumah sakit seperti Staphylococcus aureus atau basil Gram-negatif (termasuk

Pseudomonas aeruginosa). Bakteri lain yang harus diperhatikan pada cedera di

lingkungan tertentu seperti Clostridium perfringens bila terdapat kontaminasi

tanah, Pseudomonas dan Aeromonas hydrophilia pada cedera di air tawar, dan

Vibrio dan Erysipelothrix pada cedera di air laut (Solomon, et al., 2001)

Pada sebuah penelitian prospektif mengenai infeksi pada fraktur terbuka

didapatkan 78,7 % dari seluruh kasus fraktur terbuka terkontaminasi oleh bakteri.

Tingkat infeksi ini berkorelasi langsung dengan jenis fraktur menurut Gustillo, 24,5

% pada fraktur terbuka tipe I dan 86,8 % pada fraktur terbuka tipe 3C. Infeksi

biasanya disebabkan oleh berbagai bakteri yang didominasi oleh Staphylococcus

aureus (52,8 %), Escherichia coli dan Enterobacter (32,5 %), Streptococcus (26,0

%), Pseudomonas (17,1%) dan Proteus (1,6%) (Seekamp et a,. 2000). Dalam
18

penelitian lain dengan 60 sampel kasus fraktur terbuka didapatkan kultur hapusan

luka awal positif pada 41 kasus. Mikroorganisme yang paling sering ditemukan

adalah Staphylococcus aureus (Ojo et al., 2010)

2.3. Proses Penyembuhan Patah Tulang

enyembuhan fraktur secara alamiah meliputi respon dalam periostium dan

jaringan-jaringan lunak eksternal. Proses penyembuhan fraktur ini secara garis

besar dibedakan atas 5 fase, yakni fase hematom (inflamasi), fase proliferasi, fase

kalus, osifikasi dan remodelling. (Buckley, R.,2004, Buckwater J. A., dkk,2000).

2.3.1. Fase Inflamasi

Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan

berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang

cidera dan pembentukan hematoma di tempat fraktur. Ujung fragmen tulang

mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan

inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan

migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Produksi atau

pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin, dapat membuat kondisi mikro

yang sesuai untuk :

(1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra

membran pada tempat fraktur,

(2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan
19

(3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan

osifikasi endokondral yang mengiringinya. (Kaiser 1996).

Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat

robekan pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu.

Namun pada perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan

oleh robekan pembuluh darah tetapi juga berperan faktorfaktor inflamasi

yang menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Waktu terjadinya proses

ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu

2.3.2. Fase proliferasi

Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-

benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan

invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari

osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan

proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat

fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan

melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal

pada tempat fraktur. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus.

Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase

ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada

minggu ke 4 – 8
20

2.3.3. Fase Pembentukan Kalus

Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk

jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya

disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi

lagi menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan

lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah

terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrous,

tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkanuntuk

menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan

pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang

tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen tulang

tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus selama masa perbaikan

fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan. Pusat dari kalus

lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama osteoblast akan berdiferensiasi

membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini menandakan adanya sel tulang

serta kemampuan mengantisipasi tekanan mekanis. (Rubin,E,1999) Proses

cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut sampai fase

remodeling adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan fraktur.

(Ford,J.L,et al,2003).

2.3.4. Stadium Konsolidasi

Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang

immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang
21

ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada

daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen

dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan

sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal.

2.3.5. Stadium Remodelling

Patah Tulang telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan

bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus

menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi.

Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran

semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama pada

anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi.

2.4. Irigasi

Manajemen fraktur terbuka mencakup debridement menyeluruh, dengan

pengangkatan jaringan mati dan irigasi yang adekuat. Meskipun semua sepakat

teknik irigasi merupakan yang paling efektif, teknik irigasi masih diperdebatkan

secara luas. Secara tradisional, irigasi dilakukan dengan menggunanakan alat

suntik, namun pada tahun 1960 mulai dikenal sebagai "jet lavage" atau "pulsatile

lavage" yang mulai sering digunakan. Tekanan hingga 70 psi dan aliran yang cepat

mempersingkat durasi irigasi, meningkatkan volume larutan irigasi yang diberikan,

dan menciptakan bidang operasi yang sangat bersih. (Dirschl, 2015)


22

2.4.1. Jenis Cairan Irigasi

Air suling secara rutin digunakan di laboratorium rumah sakit setiap hari

untuk titrasi larutan dan evaluasi sampel darah. Hal ini dihasilkan oleh uap

kondensasi, bersifat nonpiprogenik dan tanpa agen antimikroba atau penyangga.

Hal ini sering digunakan dalam irigasi sebagai alternatif yang lebih murah untuk

garam isotonik, terutama di negara-negara berkembang. Pilihan larutan irigasi,

jumlah optimal yang dibutuhkan dan metode pengiriman tetap kontroversial.

Mengingat bahwa luka irigasi lebih tergantung pada mekanik dari sifat antibakteri

atau kimia solusi irigasi berlebihan mahal dan tersedia solusi dapat digunakan

dalam irigasi fraktur terbuka jumlah yang direkomendasikan (Olufemi, 2017)

2.4.1.1.Normal Saline

Normal Saline memenuhi semua kriteria yang diperlukan. Saline normal

(0,9%) adalah solusi pembersihan luka yang disukai karena ini adalah larutan

isotonik dan tidak mengganggu proses penyembuhan normal, kerusakan jaringan,

menyebabkan sensitisasi atau alergi atau mengubah flora bakteri normal kulit (yang

mungkin memungkinkan pertumbuhan organisme yang lebih ganas) (Santos,

2016).

2.4.1.2.Povidon Iodine

Antiseptik yang paling umum digunakan adalah povidone-iodine dan

chlorhexidine gluconate. Antiseptik ini aktif melawan spektrum bakteri, jamur dan

virus yang luas, dan membantu menghilangkan patogen luka. Pengguna antiseptik
23

percaya bahwa dengan mengurangi beban bakteri, penggunaannya akan

mengurangi tekanan pada sistem imun pasien. Kelemahannya adalah toksisitasnya

terhadap sel dan fungsi sel, yang dapat menyebabkan penyembuhan luka yang

tertunda (Crowley, 2007)

Dalam konsentrasi tinggi povidone-iodine, natrium hipochorida dan

hidrogen peroksida membunuh 100% dari fibroblast manusia diuji invitro. Tingkat

pengenceran yang tidak menyebabkan kerusakan pada fibroblas sambil

mempertahankan aktivitas bakterisida (1/1000 untuk povidone iodine dan 1/100

untuk sodium hydrochloride) (Crowley, 2007)

Pada tahun 1980, Vilijanto menunjukkan bahwa solusi povidone-iodine 5%

terlalu kuat dari sudut pandang penyembuhan luka, dan bahwa solusi 1% lebih

aman. Ini efisien dalam mengurangi jumlah infeksi luka pada anak-anak dengan

radang usus buntu (Crowley, 2007)

2.4.1.3.Hidrogen peroksida

Hidrogen peroksida menjadi zat pengoksidasi kuat melepaskan oksigen dan

menghilangkan / membunuh masalah ini yang menyebabkan bakteri anaerob. Ini

(H2O2) menghasilkan 'berbusa aksi' menyebabkan mengalir dan menggelegak

keluar dari puing-puing makanan bersama dengan bakteri anaerob dari daerah

irigasi; menghasilkan pembersihan yang lebih baik dalam rentang waktu yang

singkat (Rauf, 2014). Dalam konsentrasi tinggi hidrogen peroksida membunuh

100% dari fibroblast manusia diuji invitro. Tingkat pengenceran yang tidak
24

menyebabkan kerusakan pada fibroblas sambil mempertahankan aktivitas

bakterisida (Crowley, 2007)

2.4.1.4.Antibiotik

Tidak semua antibiotik dapat digunakan untuk irigasi pada luka karena sifat

farmakokinetik dan farmakodinamiknya. Antibiotik yang paling banyak dipelajari

adalah neomisin, yang cara kerjanya tidak diketahui, bacitracin, yang mengganggu

sintesis dinding sel, dan polymyxin, yang secara langsung mengubah permeabilitas

membran sel (Crowley, 2007).

Bukti menunjukan bahwa penggunaan antibiotik topikal dalam operasi

ortopedi masih jarang. Namun, model hewan menunjukkan bahwa irigasi dengan

antibiotik mengurangi tingkat infeksi dibandingkan dengan penggunaan larutan

garam (Crowley, 2007).

2.4.1.5.Surfaktan

Sebelum meluasnya penggunaan antibiotik, Koch merekomendasikan

penggunaan solusi sabun untuk membersihkan luka terbuka. Surfaktan bekerja

dengan mengganggu gaya hidrofobik atau elektrostatik yang mendorong tahap awal

adhesi permukaan bakteri. Tujuan dari sabun adalah untuk menurunkan beban

bakteri di luka dengan mengeluarkan bakteri, bukan membunuh mereka (Crowley,

2007).

Conroy et al ditemukan dalam sebuah studi hewan yang sabun tampaknya

setidaknya sama efektifnya dengan banyak antiseptik dan antibiotik. Sebuah studi
25

klinis acak prospektif membandingkan sabun dan larutan antibiotik untuk irigasi

luka pada fraktur terbuka pada ekstremitas bawah menunjukkan bahwa kedua

metode tersebut memiliki keunggulan masing-masing (Crowley, 2007)

2.5. Asam Askorbat (Vitamin C)

Asam askorbat atau vitamin C pertama kali diisolasi pada tahun 1923 oleh ahli

biokimia Hungaria dan peraih Nobel Szent-Gyorgyi dan disintesis oleh Howarth

dan Hirst. Ini ada dalam bentuk tereduksi (askorbat) dan teroksidasi sebagai asam

dehydroascorbic yang mudah dikonversi dan aktif secara biologis sehingga

berperan sebagai antioksidan penting. Asam askorbat mudah teroksidasi asam dan

hancur oleh oksigen, alkali dan suhu tinggi. Sebagian besar spesies tumbuhan dan

hewan memiliki kemampuan untuk mensintesis asam askorbat dari glukosa dan

galaktosa melalui jalur asam uronik namun manusia dan primata lainnya tidak dapat

melakukannya karena defisiensi enzim oksidase gulonolakton yang dibutuhkan

untuk biosintesisnya. (Chambial et al, 2013)

2.5.1. Susunan Kimia Asam Askorbat

Fungsi biokimia dari AA sangat tergantung pada sifat reduksi-oksidasi L-

AA yang merupakan co-faktor untuk hidroksilasi dan aktivitas enzim mono-

oksigenase dalam sintesis kolagen, karnitin dan neurotransmitter. AA mempercepat

reaksi hidroksilasi dengan mempertahankan pusat aktif ion logam dalam keadaan

berkurang untuk aktivitas optimal enzim hidroksilase dan oksigenase. (Chambial et

al, 2013)
26

Gambar 2.1. Struktur kimia asam askorbat

2.5.2. Dosis dan Toksisitas Asam Askorbat

Kadar maksimal asam askorbat dalam darah adalah 20mg/Kg berat badan

dengan kandungan maksimal dalam darah sebesar 1.5g. Jika terdapat kadar lebih

dari itu dalam tubuh maka ekskresi asam askorbat pada urine akan meningkat pesat.

Toksisitas asam askorbat biasanya tidak teradi karena asam larut dalam air dan

mudah diekskresi oleh tubuh. Kadar asam askorbat yang tinggi dalam urine dapat

menyebabkan false positive sebagai gula. Pemberian vitamin C dosis tinggi harus

dhindari pada pasien dengan batu ginal karena dapat menyebabkan pembentukan

oksalat (Iqbal et al., 2004).

2.5.3. Efek Asam Askorbat pada Inflamasi

Dalam sebuah penelitian, efek 1 g asam askorbat pada penanda inflamasi

hs-CRP dan IL-6 dievaluasi setelah 8 minggu asupan harian. Pada kelompok
27

eksperimen, pengurangan yang signifikan dalam hs-CRP dan IL-6 tingkat yang

diamati, dan mengulangi tes antara kelompok eksperimen dan kontrol

mengidentifikasi efektivitas klinis dari faktor intervensi asam askorbat dalam

mengurangi peradangan. Sejumlah moderat asam askorbat bisa secara signifikan

mengobati dan mengurangi peradangan, yang diukur dengan hs-CRP dan IL-6 pada

orang dewasa dengan diabetes. Vitamin C akan memodulasi aktivitas DNA

mengikat nuclear factor-kappa B (NF-κB). Aktivasi ini diinduksi oleh stress

oksidatif dan menyebabkan induksi sitokin dan adhesi molekul pada endotel

vascular yang akan memproduksi TNF-α dan IL-6 yang diproduksi hepar. Vitamin

C dapat mengurangi kadar plasma mediator inflamasi TNF-α dan IL-6 dengan

menurunkan ekspresi mRNA hepatik (Ellulu, et al., 2015). Asam Askorbat akan

menghambat aktivasi TNF-α dari NF-κB pada sel tubuh manusia secara in vitro dan

akan menghambat produksi GM-CSF, IL-3, dan IL-5 (Mirikova et al., 2013).

Gambar 2.2. Peranan NF-κB dalam proses inflamasi dan aktivasi IL-6
28

2.5.4. Efek Bakterisida Asam Askorbat

Asam Askorbat merupakan agen antioksidan yang digunakan sebagai terapi

tambahan pada kasus keganasan. Pada penelitian oleh Isela dkk pada tahun 2013,

menunjukan bahw apemberian asam askorbat 20mg/ml memiliki efek bakterisida

terhadap terhadap Streptococcus mutans, Staphylococcus aureus, Porphyromonas

gingivalis, Candida albicans dan Enterococcusfaecalis. Kadar asam askorbat

10mg/ml memiliki kemampuan untuk melawan bakteri oral dan fungus. Sedangkan

dalam dosis 20mg/ml dapat mencegah pembentukan biofilm (Isela et al., 2013).

Penelitian dilakukan oleh Cursino et al pada tahun 2005 dengan melakukan

kombinasi antibiotic dengan asam askorbat melawan Pseudomonas aeruginosa

menunjukan memiliki asam askorbat efek sinergis dengan antibiotik

chloramphenicol, kanamycin, streptomycin dan tetracycline.(Cursino et al., 2005)

Berdasarkan penelitian Suslovitch tahun 2015, pemberian asam askorbat in

vitro pada piringan agar Staphylococcus aureus. Asam askorbat menghambat

pertumbuhan Staphylococcus aureus dan membentuk zona inhibisi pada piringan

agar Staphylococcus aureus 2-4mm (Suslovitch et al., 2015). Penelitian oleh Fu et

al pada tahun 2013 membuktikan bahwa penggunaan irigasi vitamin C pada

rekonstruksi ACL dapat mennurunkan kadar CRP pada darah dan mempromosikan

penyembuhan dibandingkan dengan irigasi menggunakan normal saline (Fu et al,

2013). Asam askorbat juga dapat mengurangi koloni kuman Staphylococcus aureus

dengan cara mencegah pembentukan biofilm (Mirani et al., 2018) dan

meningkatkan kemotaksis serta mengaktivasi neutrophil (Wang et al., 1997).


29

2.5.5. Irigasi Asam Askorbat

Irigasi asam askorbat berkurang secara signifikan kadar CRP serum pada

hari ke 1 postoperation pada semua dosis yang diuji, menunjukkan bahwa tingkat

peradangan pasca operasi ditekan. Namun, mungkin tidak cukup diperhitungkan

untuk efek yang diamati dari irigasi asam askorbat pada penyembuhan graft,

sebagai efek menguntungkan irigasi asam askorbat pada Rekonstruksi ACL hanya

diamati pada dosis rendah (3 mg/mL). Penelitian Fu et al menunjukkan tikus

mungkin memiliki implikasi langsung pada potensi efek dari irigasi asam askorbat.

Karena irigasi asam askorbat tidak memerlukan prosedur tambahan, maka akan

mudah dikombinasikan dengan bentuk modulasi biologis lainnya. (Fu et al, 2013)

Anda mungkin juga menyukai