Anda di halaman 1dari 14

Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama

Kelompok 1:
1. Muhammad Ananda Rifqi N. (932104019)
2. Husna Hanifah (932104119)
3. An Naafi Dianing Rini (932105019)
4. Mayang Anggraini Tiyas (932107319)

Abstract
Philosophy is one of the fields of science that examines how to think
deeply about something. Understanding of science comes from the
Arabic words ‘science, English science, Dutch watenchap, and
German wissenchap. Knowledge can be a science if it has special
characteristics, arranged methodically, systematically,
electronically (related) about a particular field and reality.
Classification of science classification has developed according to
its era. There are 5 truth theories according to Williams. Besides
that there are positivistic, essentialistic, constructivist, and
requistic theories. One field of philosophy is epistimologi often
called the theory of knowledge. There are two theories of
knowledge, namely realism and idealism. The method of gaining
knowledge: empiricism, rationalism, phenomenalogical teachings
of Khan. Methods in the theory of knowledge: Inductive,
contemplative and dialectical. The next paper discusses religion
which is an Indonesian term. Religion (English), religion (Dutch),
and din (Arabic). There is a word between religion and life. In Islam
there is a religion of heaven (samawi) or "religion of revelation"
and there is "religion of the earth" (ardhi) or "religion of non-
revelation". According to Max Weber, there is no society without
religion. Science, philosophy, and religion have their respective
functions and have differences and coherence.

Keywords: Science, Philosophy, Religion, Comparison.

Pendahulan

Dalam disiplin ilmu, sesuatu yang didasari dengan uji empiris. Dalam pembahasan
setiap ilmu akan muncul pertanyaan yang akan muncul dalam otak manusia.semua
pertanyaan pertanyaan itu kemudian berkembang sebagai ilu filsafat. Bagi sebagian
masyarakat, filsafat adalah hal yang tidak begitu penting. Bagi kebanyakan orang,
mengikuti tatanan, patuh dan tidak melanggar aturan manusia dan tuhan sudahlah cukup,
hal inilah yang menjadi latar belakang makalah ini, mendobrak fikiran masyarakat dan
mahasiswa khususnya untuk berfikir secara mendasar. hal ini penting agar kita dapar
memahami ilmu secara tidak tergesa-gesa. Mengetahui bagaimana dan sebab suatu hal
serta bagaimana cara mengatasinya seuatu masalah atau pertanyaan. Tak hanya pntik
untuk mengkaji filsafat, manusia juga harus mengkaji agama dan ilm pengetahuan, karena
ketiga hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia agar dapat
menhindari kesalah fahaman penafsiran ndan perlunya pembuktian dalam segala hal.

Pembahasan
Pengertian filsafat, ilmu dan agama

Filsafat kata filsafat untuk pertama kali di perkenalkan oleh salah seorang filosof
yunani yang sangat terkenal, phytagoras. Secara etimologi, filsafat yaitu kata philein atau
philos dan sophia. Kata philein atau philos berarti cinta, tapi dalam maknanya yang luas
yakni berupa hasrat ingin tahu seseorang terhadap kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, dan
kebenaran. Sedangkan kata sophia berarti kebijaksanaan. Sehingga secara sederhana,
filsafat adalah mencintai kebijaksanaan.1

Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bervariasi sebanyak orang yang
memberikan pengertian atau batasan, yaitu:
1. Plato. Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat
untuk mencapai kebenaran yang asli.
2. Aristoteles. Filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung
didalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
3. Al-Farabi. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan
menyelidiki hakikat yang sebenarnya.2

Para ahli filsafat disebut dengan filosof yakni orang yang mencintai, mencari,
kebijaksanaan atau kebenaran. Filosof bukan orang yang bijaksana atau benar melainkan
orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Pencarian
kebijaksanaan bermakna menelusuri hakikat dan sumber kebenaran alat untuk
menentukan kebijaksanaan adalah akal yang merupakan sumber primer dalam berpikir.
Oleh karena itu, kebenaran filosofis tidak lebih dari kebenaran befikir yang rasional dan
radikal.

1
Zaprulkhan. Filsafat islam. (Jakarta: rajagrafindo persada, 2014).hlm.3
2
S. Praja Juhaya. Aliran-aliran filsafat dan etika.(Jakarta: Kencana, 2008).hlm.2
Dalam kinerja filsafat terdapat wacana atau argumentasi yang dalam setiap
aktivitasnya mengandalkan pemikiran dan rasio, tanpa verifikasi uji empiris.
“Perbincangan dengan menutup mata”. Kebenaran filosofis tidak memerlukan
pembuktian-pembuktian atau tidak perlu didasari bukti kebenaran, baik melalui
eksperimentasi maupun pencarian data lapangan. Menurut Sutardjo A. Wiramihardja
(2006: 10), filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang cara berpikir terhadap
segala sesuatu atau sarwa sekalian alam. Artinya, semua materi pembicaraan filsafat
adalah segala hal menyangkut segala keseluruhan yang bersifat universal. Dengan
demikian, pencarian kebenaran filosofis tak pernah berujung dengan kepuasa, apalagi
memutlakan sebuah kebenaran. Bahkan, untuk suatu yang “sudah” dianggap benar pun
masih diragukan kebenarannya. Tidak ada kata puas apalagi final karena kebenaran akan
mengikuti situasi dan kondisi dan alam pikiran manusia.

Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berpikir yang sistematis, artinya
perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang
berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berpikir sistematis tentu tidak
loncat-loncat, melainkan mengikuti aturan main yang benar.

Filsafat selalu menacari jawaban-jawaban, tetapi jawaban yang ditemukan tidak


pernah abadi. Oleh karena itu, filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada
akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah selesai karena itulah
memang sebenarnya berfilsafat.

Filsafat juga merupakan kebebasan berpikir manusia terhadap segala sesuatu


tanpa batas dengan mengacu pada hukum keraguan atau segala hal. Sarwa sekalian alam
dan segala hal dapat dilihat dari berbagi sudut melalui kontemplasi pemikiran yang
sistematis, logis, dan radikal. Segala hal yang dipikirkan oleh filsafat berkaitan dengan hal-
hal berikut:

1. Sesuatu yang bersifat metafisik yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala
manusia;
2. Alam semesta yang fisikal dan terbentuk oleh hukum perubahan;
3. Segala sesuatu yang rasional dan irasional;
4. Semua yang bersifat natural maupun supranatural;
5. Akal, rasa, pikiran, intuisi, dan persepsi;
6. Hakikat yang terbatas dan yang tidak terbatas;
7. Teori pengetahuan pada semua keberadaan pengetahuan manusia yang
objektif maupun subjektif;
8. Fungsi dan manfaat segala sesuatu yang didambakan manusia atau
dihindarinya;
9. Kebenaran spekulatif yang bersifat rasional tanpa batas sehingga berlaku
pemahaman dialektis terhadap berbagi penemuan hasil pemikiran
manusia. Tesis yang melahirkan antitesis dan terciptanya sintesis.

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan


peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata Agama berasal dari bahasa
sanskerta, atau yang berarti tradisisi.

Ilmu adalah usaha menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman


manusia dari berbagai segi kenyataan dari alam manusia.

“Adapun pengetahuan itu”, kata Dr M.J. LANGEVELD, guru besar di ‘Rijk


Universiteit’ Utrecht, “ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.
Suatu kesatuan dalam nama obje itu dipandang oleh subyek sebagai diketahuinya.”3
Sedangkan JAMES K. FEIBLEMAN merumuskan: “knowledge: relation between object and
subject”4

“pengetahuan: faham suatu obyek mengenai obyek yang dihadapinyaYang disebut


subyek ini. Ialah: manusia sebagai kesatuan berbagai macam kesanggupan (akal, panca
indra, dsb) yang digunakan untuk mengetahui sesuatu, jelasnya manusia sebagai
kesadaran, yang disebut obyek pengetahuan ialah benda atau hal yang diselidiki oleh
pengetahuan. Sekedar benda (hal) itu merupakan realitas bagi manusia yang menyelidiki.”

Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah usaha-usaha sadar untuk meneyelidiki,
menemukan dan meningkatkan pemeahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia.5 Segi segi ini dibatasi agar menghasilkan rumusan-rumusan yang pasti.

3
M.J. LANGEVELD, ilmu, filsafat,, dan agama dikutip dari Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.J. Claseen,
bandung, 1987
4
JAMES K. FEIBLEMAN, ilmu, filsafat,, dan agama dikutip dari “knowledge”, dalam DAGOBERT D.
RUNNES, Dictionary of Philosophy, bandung, 1987
5
Prof. Dr. C.A. Van Peursen: ilmu, filsafat,, dan agama dikutip dari Filsafat sebagai seni untuk bertanya.
Pustaka Sutra, Bandung, 2008. Hal 7-10
Ilmu memberikan kepastian dengan mebatasi lingkup pandaganya, dan kepastian ilmu-
ilmu diperoleh dari keterbatasannya.6

Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), melainkan sekumpulan


penetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan didapat secara sistematik dan di
uji dengan seperangkat metode yang diakui oleh bidang tertentu. Dari sudut pandang
filsafat, ilmu terbentuk dari karena manusia berusaha berfikir lebih jauh menenai
pengetahan yang dimilikinya. Dengan kata lan, ilmu terbentuk dari 3 cabang filsafat yakni
ontology, epistemology, dan aksiologi.

A. Hubungan Filsafat Dan Ilmu


Berdasarkan definisi yang tertera diatas dapat dipahami bahwa filsafat merupakan
pengetahuan tentang cara berpikir kritis; pengetahuan kritik yang radikal, artinya sampai
ke akar-akarnya, sampai pada konsekuensinya yang terakhir. Radiks artinya akar yang
juga disebut arche sebagai ciri khas berpikir filosofis. Perbedaan dengan pengetahuan
adalah adanya asumsi sebagai titik tolak yang disebut sebagi keyakinan filsafati
(philoshophical belief). Radikan adalah asumsi yang tidak hanya dibicarakan, tetapi
digunakan. Filsafat adalah pengetahuan tentang berpikir sistematis; pengetahuan tentang
pemahaman universal terhadap semua persoalan; dan pengetahuan tentang kebenaran
pemikiran yang tanpa batas dan masalah yang tidak pernah tuntas.

Berbeda dengan science yang menggunakan asumsi sebelum bekerja, filsafat


membangun dan memperbincangkannya. Filsafat mengajar subtansi dalam kebenaran dan
kebenaran substansial. Oleh karena itu, yang ditemukan adalah hakikat kebenaran dan
kebenaran hakiki tentang segala sesuatu. Hakikat merupakan istilah yang menjadi ciri
khas filsafat. Hakikat adalah pemahaman atau hal yang paling mendasar. Jadi, filsafat tidak
hanya berbicara tentang wujud atau materi sebagaimana ilmu pengetahuan, tetapi tentang
berbicara makna yang terdapat dibelakangnya. Dalam filsafat, hakikat tersebut sebagai
akibat dari berpikir radikal.

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-
ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat mendorong untuk
mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti
berendah hati bahwa tidak semuanya pernah ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak

6
Prof. Dr. C.A. Van Peursen: Filsafat sebagai seni untuk bertanya. Pustaka Sutra, Bandung, 2008. Hal 7-
10
terbatas ini. Demikan pula, berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk
berterus terang seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah terjangkau. Jujun S.
Suriasumantri (1990: 9) melanjutkan pendapatnya bahwa seorang yang berfilsafat dapat
diumpamakan sebagai seorang yang berpijak dimuka bumi dan menengadahkan
kepalanya kebintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan
galaksi, atau seorang yang berdiri dipuncak tinggi, memangdang ngarai dan lembah
dibawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.

Karakteristik berpikir filsafat yang pertama bersifat menyeluruh. Seorang ilmuan


tidak puas mengenal ilmu hanya dari segi pandangan ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat
hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin mengetahui kaitan
ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin meyakini apakah ilmu itu
membawa kebahagia kepada dirinya. Sifat berpikir yang kedua adalah mendasar, artinya
setiap ilmu yang ada tak lagi dipercaya sebagai kebenaran. Kebenarannya dipertanyakan,
mengapa ilmu itu bisa benar, dan apa yang dimaksud dengan kebenaran disini? Dmeikian
pertanyaan demi pertanyaan meluncur ditujukan kepada semua yang ada dengan gugatan
yang belum ada. Dengan modal kemungkinan-kemungkinan, fiksafat menyatakan
keraguannya terhadap segala kebenaran ilmu hingga filsafat memberikan ketegakan ilmu
dan ilmu mampu mengembangkan harapan hidup manusia secara lebih real dan manusia,
atau sebaliknya harapan hidup manusia karena penyalahgunaan ilmu pengetahuan
sebagaimana dikatan Willdurant bahwa filsafat telah memenangkan tempat berpijak bagi
kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmu lah yang membelah gunung dan merambah hutan,
menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah
penyerahan dilakukan, filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajah laut lepas, berspekulasi,
dan meneratas. Seorang yang skeptis akan berkata, “sudah lebih 2000 tahun orang
berfilsafat, namun selangkahpun dia tidak maju.” Makna tak pernah maju karena tidak ada
kepuasan dalam berfilsafat, bagaikan orang yang kehausan dan dahaga tanpa henti dengan
seteguk air. Tidak merasa sudah selesai atas apa yang dipikirkan, tidak memikirkan atas
apa yang orang tak sudi memikirkannya. Begitulah filsafat, cinta pada ilmu, cinta pada
kebijaksanaan, dan cinta pada rasa cinta itu sendiri. Menikmati filsafat yang mengasyikan
memburu pengetahuan dengan meragukan setiap pengetahuan dan meyakini keraguan
atas segalah hal melalui berbagai pertanyaan yang diwajibkan sendiri.

1. Persamaan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


a. Kedua-duanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyeknya
selengkap-lengkapnya sampai habis-habisan.
b. Kedua-duanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau pertalian yang
ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-
sebabnya.
c. Kedua-duanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya
timbul dari hasrat manusia akan kebenaran (obyektivitas), akan pengetahuan yang
lebih mendalam yang mengasas.7
2. Manfaat Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

1) Manfaat Belajar Filsafat


a. Filsafat membuat kita mandiri dan tidak tergantungan pada orang lain.
Filsafat membantu kita untuk berpikir dan dengan demikian, kita akan
dipandu untuk memahami dunia bersama misteri-misterinya, dunia seakan
menjadi gamblang dengan permasalahan-permasalahannya.
b. Memahami diri sendiri dan masyarakatnya: menghilangkan egoisme,
meningkatkan kesadaran kolektif.
c. Filsafat untuk mengubah kehidupan. Artinya, dengan filsafat orang akan
terdorong untuk mengubah segala sesuatu yang ternyata setelah dipikir
benar-benar bahwa masyarakat yang ditingggalinya telah jauh menyimpang
dari nilai-nilai kehidupan.8
2) Manfaat ilmu pengetahuan bagi manusia
a. Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan perindustrian dalam batasan nilai
antologis. Dengan paradigma ontologis, diharapkam dapat mendorong pertumbuhan
wawasan spiritual keilmuan yang mampu mengatasi bahaya sekuralisme ilmu
pengetahuan.
b. Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perindustrian dalam batasan nilai
epistemologis. Dengan paradigma epistemologis, diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan wawasan spiritual keilmuan yang mampu membentuk sikap ilmiah.
c. Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perindustrian dalam batasan nilai
etis, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan perilaku adil yang mampu
membentuk moral tanggung jawab, sehingga pemberdayaan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan perindustrian semata-mata untuk kelangsungan kehidupan yang adil

7
Burhanuddin Salam. Pengantar Filsafat. (Jakarta: Bumi Aksara, 2012).hlm.78
8
Nurani Soyomukti. Pengantar Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).hlm 86-89
dan berkebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dipertanggungjawabkan bukan
hanya bagi kepentingan subjek manusia saja, melainkan lebih daripada itu, demi
kepentingan objek alam sebagai sumber kehidupan.

B. Hubungan ilmu dan agama


Kemunculan Al-Asy’ariyah dalam teologi Islam, oleh banyak kalanagan dinilai telah
memicu bentuk pertentangan intelektualisme dalam islam. Sebagai kontra-reaktif dari
Mu’tazilah, kemunculan teologi Al-Asy’ariyah yang ortodok jelas menjadi pertentanggan
sendiri bagi Mu’tazilah yang rasional. Hal inilah yang kemudian mejadi awal perpecahan
dan menjadi hal yang membuat agama dipandang negative. Pada abad modern para filsuf
kemudian mulai memandang agama sebagai salah satu semesta yang kebenarannya patut
diperhitunngkan. Keith Ward- melalui karyanya “God, Chace and Necessity” menyatakan
bahwa pandangan kaum etheis reduksionis yang membatasi pola hubungan konflik dalam
hubungan konflik sains dan agama.independensi didasarkan atas asumsi bahwa sains dan
agama adalah yang berbeda yang memiliki bidang dan kawasan masing-masing. Sains dan
agama dapat dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domain yang dirujuk, serta
metode yang digunakan. Sains dan agama memang sudah seharusnya dipisahkan karena
keduanya adalah hal yang berbeda. Langdon Gilkey, memaparkan perpedaan antara
keduanya, yaitu: (1) sains menjelaskan hal yang bersifat obyektif, umum, dan dapat
diulang, sedangkan agama membatasi diri pada tatanan dan keindahan dunia serta
tatanan spiritual. (2) sains mengajukan pertanyaan “bagaimana” yang obyektif, sementara
agama mengajukan “mengapa” tentang makna, tujuan dan takdir, (3) sains membuat
prediksi secara kuantitatif yang teruji berdasarkan eksperimen, sementara agama
menggunakan bahasa simbolik dan analogis.
Namun Para sejarawan ilmu dan agama, filsuf, teolog, ilmuan, dan lainnya dari
berbagai wilayah geografis dan budaya telah membahas berbagai aspek agama dan ilmu
pengetahuan yang berlahan dapat enjadi satu misalnya tradisi mistik dan fisika kuantum.
Integrasi ini secara cukup serius telah dilakukan oleh para pemikir kontemporer seperti
Guidordoni. Hines dalam karyanya “God’s Whisper, Creation’s Thunder” , menyadari betapa
tradisi dan pengalaman mistik telah menjadi inspirasi yang amat berharga dalam
memahami realita spiritualis agama. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan dan agama
perupakan upaya social dan budaya yang komples yang bervariasi antar budaya dan telah
berubah seiring waktu, sebagian besar inovasi ilmiah (data teknis) sebelum revolusi
ilmiah dicapai oleh masyarakat yang diorganisasi oleh tradisi-tradisi keagamaan.9
Agama menjadi sumber dari ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan menjadi
penjabaran dari bagaiamana cara kita beragama. Roger Bacon berpendapat bahwa “ilmu
membawa pengetahuan tentang dunia dan semesta yang sah, tetapi tidak lengkap” hal ini
sudah dapat kita simpulkan bahwa ilmu adalah pelengkap agama, hal ini juga bisa
berkaitan dengan hadist yang berbunyi “menuntut ilmu itu wajib bagi muslim (hadist
shohih riwayat Ibnu Majah no 224)

C. Hubungan agama dan filsafat


Secara ontologis manusia memiliki aktivitas yang berfungsi mencermati dirinya
sebagai hamba Tuhan dan pemimpin di muka bumi. Tentang hakikat kehidupan secara
“tiba-tiba” hadir tanpa sebelumnya mengajukan permohonan untuk dilahirkan. Kemudian,
manusia diberi akal menggali apa yang senyatanya ada dan disaksikan. Karakter manusia
yang tidak pernah puas dengan yang dilihat dan dialaminya, merangsang akalnya untuk
memenuhi sedalam mungkin seluruh yang nyata ada dan yang ada, tetapi tidak “nyata”.
Akibat dari pemahamannya yang mendalam akan melahirkan berbagai kesimpulan
tentang segala yang dicernanya, maka lahirlah pandangan tentang cara berfikir filosofis
mengenai hakikat sesuatu.
Lebih dalam lagi, pemahaman filosofis tentang hakikat segala sesuatu dapat
mengacu pada dua hal mendasar, yakni kenyataan adanya firman-firman Tuhan yang
diyakini sebagai petunjuk dan kepada ciptaan-Nya yang setiap hari dirasakan fungsinya
oleh manusia. Dalam hal ini Herman Soewardi (1996: 4) mengatakan bahwa perenungan
filosofis terhadap segala hal yang ada dan yang mungkin ada sehingga menemukan
persepsi dan konsepsi tertentu atas sesuatu yang direnungi, hakikatnya adalah cikal bakal
adanya pengetahuan.

Ketika membicarakan hubungan filsafat dan agama dalam kebenaran, akan ada
paradigma yang akan muncul.

Yang pertama, paradigma parsialistik. Paradigma ini mengatakan bahwa baik


agama dan filsafat memilik metode yang berbeda dalam menggapai kebenaran. Pada
agama, pertama-tama kebenaran berpijak pada wahyu dan hadist, lalu diterima dalam hati
melalui keyakinan dan keimanan. Kemudian diperkuat dengan analisis rasionan dan

9
Dalam jurnal Mohd. Arifullah. Dosen tetap fakultas Ushuludin IAIN STS Jambi “hubugan sains dan
agama”
kemudian diditerima kembali oleh hati sebagai kebenaran yang mutlak. Dalam hal ini,
tujuan filosofisnya bukan lah mencari kebenaran, sebab kebenaran tersebut sudah dijamin
secara mutlak dan final oleh wahyu dan hadist. Melainkan hanya untuk memperkaya
kebenaran yang telah disurakan oleh wahyu dengan dalil-dalil logis dan rasional10. Dengan
demikian, pendekatan ini disebut dengan pendekatan dogmatis. Artinya, doktrin
fundamental agama yang paling menentukan apa yang disebut kebenaran seperti
penalaran dan bersifat final. Dalam pendekatan ini doktrin dogmatis bersifat mutlak dan
akal haya berperan sebagai pembantu yang patuh pada apa saja yang dititahkan oleh
wahyu.

Sedangakan paradigma filsafat, kebenaran harus dijelajahi melalui serangkai akal


dan penalaran dengan sejumlah pertanyaan, dan penggambaran tentatif filosofis terhadap
keberanaran membuahkan dua kemungkinan: (1)Dalam pendekatan dogmatif, hasil sudah
pasti dapat di terima dan bersifat mutlak, (2) paradigma filsafat belum tentu diterima
bahkan bisa jadi ditolak.

Jika demikian pendekatan agama dalam menggapai kebenaran, maka pendekatan


filsafat sangat berbeda diametral dengan pendekatan tersebut dalam meraih kebenaran.
Misalnya, perbincangan mengenai Tuhan dan eksitensi-Nya. Filsafat mengajukan
pertanyaan kritis filsofis: Siapakah Tuhan itu? Apakah Tuhan itu ada? Bagaimana cara
membuktikan bahwa Tuhan itu ada?

Dengan pertanyaa-pertanyaan filosofis tersebut, sebagian filsuf akhirnya


menemukan tentang siapakah Tuhan dan bagaimana cara membuktikan eksitensi Tuhan.
Dengan bingkai penemuan mereka dengan seutan: argumentasi kosmologis, ontologis,
teleologis, pengalaman ketuhanan atau keagamaan, maupun argumentasi moral11.
Meskipun demikian, tidak semua filsuf menerima seluruh argumentasi filosofis mengenai
Tuhan. Perbedaan sudut pandang dalam paradigma parsialistik, secara sederhana dapat
kita gambarkan secara sederhana yaitu:

Agama-> Wahyu (Al-Qur’an dan Hadist)-Iman/Keyakinan-Penerimaan-Penalaran


(Memperkuat)-Iman Kembali/Penerimaan-Mutlak

Filsafat->Akal/Rasio-Pertanyaan/Penyelidikan-Penalaran-Penerimaan/Penolakan-Relatif.

10
Dalam pemetaan Abid al-Jabiri, paradigma dogmatis bisa juga disebut dengan epistemologi bayai,
yakni pendekatan tekstual-notmatif.atau dalam tradisi klasik Islam dapat juga disebut dengan wacana
ilmu kalam.(Yogjakarta:Ircisod,2003) hal. 121-126.
11
Dalam William J. Wainwright, Philosophy of Region, (New York: Wadsworth Publishing Company,
1999)
Yang kedua, Paradigma Integralistik. Paradigma ini muncul karena ketidak
kesepakatan dengan paradigma yang pertama, hal itu karena dianggap paradigma
tersebut terlalu menggampangkan persoalan. Dalam paradigma ini secara garis besar,
terdapat tiga pendekatan yang menggapai kebenaran, yaitu pendekatan empirikal,
pendekatan rasional yang secara spesifik berada dalam wilayah filsafat, dan pendekatan
spiritual.

Pertama, pendekatan empirikal. Metode observasi yakni melalui pengamatan


indiawi yang kita miliki. Dengan pengamatan indra, kita dapat mengenal objek-objek yang
ada di sekeliling kita dari berbagai (lima) dimensi yaitu bentuk, bunyi, bau, raba, dan rasa.
Namun pendekatan itu belumlah cukup untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya.
Dengan demilikain, jelaslah beberapa kelemahan atau keterbatasan dari pengamatan-
pengamatan indriawi tersebut12.

Dengan alasantersebut para pakar saintis, merumuskan beberaa langkah


penyempurnaan: pengukuran, observasi, eksperimen.
Dalam sudut agama, dianjurkan umat untuk menjelajahi alam dengan menggunakan
metode eksperimen. Ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Guru Besar
Universitas Kairo, Syaikh Jauhari Thanthawi dalam kitab tafsirnya, Al-Jawahir, dalam Al-
Quran ternyata terdapat lebih dari 750 ayat kauniyah,ayat ayat yang membicarakan
tentang alam semesta dengan perbagai pernak perniknya.

Namun dalam penelitian lebih intensif yang di lakukan oleh agus purwanto, D.Sc
(Doctor of Science), saintis Muslim Indonesia dalam bidang ahli fisika teoretis,dari 6.236
ayat A Al Quran ,ternyata di temuka 1.108 ayat tentang kauniyah 13.
Dengan ribuan ayat ayat kauniyah itu, Al Qur’an berbicara tentang alam semesta,
sejak dari fenomena besar dari angkasa langit, bumi, bulan, dan planet planet lain sampai
fakta terkecil partikel atom dan sub-atom.

D. Hubungan antara Filsafat, Ilmu, dan Agama


Ilmu, filsafat, dan agama mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan
manusia. Dikarenakan terkait karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang
apabila tidak ada tiga alat dan tenaga utama yang berada di dalam diri manusia. Tiga alat

12
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, (Bandung: Arasy, 2005) hal.134
13
Agus Mulyanto,ayat ayat semesta (Bandung:Mizan 2009),hlm.28-29.
dan tenaga utama manusia adalah akal pikiran, rasa, dan keyakinan, sehingga dengan
ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai kebahagian bagi dirinya.14

Ilmu dan filsafat dapat bergerak dan berkembang berkat akal pikiran manusia. Juga,
agama dapat bergerak dan berkembang berkat adanya keyakinan. Akan tetapi, ketiga alat
dan tenaga utama tersebut tidak dapat berhubungan dengan ilmu, filsafat, dan agama
apabila tidak didorong dan dijalankan oleh kemauan manusia yang merupakan tenaga
tersendiri yang terdapat dalam diri manusia.

Dikatan reflektif, karena ilmu, filsafat, dan agama baru dapat dirasakan (diketahui)
faedahnya/manfaatnya dalam kehidupan manusia, apabila ketiganya merefleksi (lewat
proses pantul diri) dalam diri manusia.15

Ilmu mendasarkan pada akal pikir lewat pengalaman dan indra, filsafat
mendasarkan pada otoritas akal murni secara bebas dalam penyelidikan terhadap
kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan dengan kehidupan manusia. Sedangkan
agama mendasarkan pada otoritas wahyu. Harap dibedakan agama yang berasal pada
konsep-konsep tentang kehidupan dunia, terutama konsep-konsep tentang moral. 16

Menurut Prof. Nasroen, S.H., mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah
berdasarkan pada agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan pada agama dan filsafat hanya
semata-mata berdasarkan atas akal pikir saja,21 filsafat tersebut tidak akan memuat
kebenaran objektif karena yang memberikan penerangan dan putusan adalah akal pikiran.
Sementara itu, kesanggupan akal pikran terbatas sehingga yang hanya berdasarkan pada
akal pikir semata-mata tidak akan sanggup memberi keputusan bagi manusia, terutama
dalam rangka pemahamannya terhadap Yang Gaib.

14
Nasroen, Falsafat dan Cara Berfalsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 39.
15
J.H. Randall, Brand Blanshard, R. A. Abelson, J.F. Mora Harold Titus, dan C.H Kaiser
sependapat bahwa seni, ilmu, filsafat, dan agama (keyakinan) merupakan empat unsur
eksistensi manusia, sehingga manusia dikatakan mempunyai eksistensi (hidup) apabila keempat
hal tersebut berproses dalam budi manusia. Lihat The Liang Gie, op. cit., hlm. 32-46.
16
Nasroen, op. cit., hlm.47.
Penutup

A. Kesimpulan

Filsafat dapat dipahami sebagai cara berpikir secara sistematis dan radikal dalam
mecari kehakikian dari semua aspek yang ada atau mungkin ada. Sementara ilmu adalah
pengetahuan yang dikaji menggunakan metode-metode tertentu dan penelitian yang bisa
dipertanggungjawabkan hasilnya. Kemudian agama adalah jalan yang diyakini manusia
untuk menuju Tuhannya dengan mematuhi rambu-rambunya.

Hubungan antara filsafat dengan ilmu ialah, filsafat sebagai latihan untuk berpikir
kritis untuk mendalami atau mengkaji sebuah pengetahuan agar dapat dimunculkannya
ilmu. Ilmu juga sebagai metode untuk mencari kehakikian.

Selanjutnya hubungan filsafat dengan agama ialah, agama menjadi pembatas


pemikiran manusia dalam berfilsafat sebab ada beberapa hal yang tidak perlu dicari
kehakikiannya cukup dengan diyakini misalnya tentang meragukan adanya Tuhan. Filsafat
juga dinilai penting dalam aspek beragama sebab, apabila kita tidak mengkritisi atau
skeptis terhadap agama maka akan menjadikan agama itu kurang bermakna atau
merasakan kehampaan dalam melaksanakan kewajiban agama.

Sedangkan hubungan antara ilmu dan agama sendiri mempunyai perumpamaan


yaitu, orang yang berilmu tetapi tidak beragama ibarat orang yang berjalan tanpa tujuan.
Sedangkan orang yang beragama namun tidak berilmu ibarat orang berjalan dikegelapan.
Dari perumpamaan ini bisa kita pahami bahwa keduanya berkaitan untuk menjadi bekal
dalam menjalani kehidupan.

Kemudian hubungan ketiganya ialah manusia membutuhkan agama untuk


dijadikan rambu-rambu dan mengetahui tujuan dari perjalanan dan ilmu sebagai bekal
agar mampu melewati halang rintang dijalan sementara berfilsafat adalah mencari
keefisian, kehakikian dalam menjalani kehidupan. Ketiganya tentu sangat penting bagi
kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Sumantri, Mulyani. Perkembangan Peserta Didik. Tangerang: Universitas Terbuka, 2011.


Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kartono, Kartini. Psikologi Anak. Bandung: Mandiri Maj, 1997.
Paulina,Panen.Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta : Ut)
Arifullah. Mohd. Dosen Tetap Fakultas Ushuludin Iain Sts Jambi Jurnal “Hubugan Sains Dan
Agama”
Al-Jabiri. Abid, Paradigma Dogmatis Wacana Ilmu Kalam. Yogjakarta:Ircisod, 2003.
Pudjawijatna. I.R, Ilmu, Filsafat,, Bandung, 1987
Mulyanto, Agus. Ayat Ayat Semesta. Bandung:Mizan, 2009.
Hassan Hanafi,Islam In The Modern World Vol Ii. Cairo:Dar Kebaa Bookshop, 2000.
M.J. Langeveld, Ilmu, Filsafat,, Dan Agama Dikutip Dari Menuju Ke Pemikiran Filsafat, Terj.
G.J. Claseen, Bandung, 1987
James K. Feibleman, Ilmu, Filsafat,, Dan Agama Dikutip Dari “Knowledge”, Dalam Dagobert
D. Runnes, Dictionary Of Philosophy, Bandung, 1987.
Ibid, Ilmu, Filsafat, Dan Agama, Surabaya, 1987
Prof. Dr. C.A. Van Peursen. Ilmu, Filsafat,, Dan Agama Bandung, 2008.
Zaprulkhan. Filsafat Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014.
S. Praja Juhaya. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.Jakarta: Kencana, 2008.
Adib, H. M. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.
Jalaluddin, H. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013.
Juhaya, S. P. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika. Jakarta: Kencana, 2008.
Salam, B. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Soyomukti, N. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Susanto, A. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Zaprulkhan. Filsafat Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014.

Anda mungkin juga menyukai