Anda di halaman 1dari 8

Nama : Cholilah

NIM : SBF211940462

PBI dan Non PBI BPJS


1 Januari 2014 merupakan awal berubahnya asuransi kesehatan dari pemerintah yang
dikenal dengan Askes berganti nama menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan. Pendaftaran peserta BPJS paling lambat dilakukan pada 1 Januari 2019. BPJS
Kesehatan membagi pesertanya menjadi dua kategori . Kategori yang pertama dari peserta
BPJS Kesehatan adalah Penerima Bantuan Iuran atau biasa disingkat PBI. Peserta yang masuk
dalam kategori ini rata-rata mereka yang memiliki strata ekonomi yang rendah. Sedangkan
Peserta kedua dari BPJS Kesehatan ialah mereka yang mau mendaftarkan diri sendiri maupun
beserta keluarga serta wajib membayar iuran setiap bulan. Mereka yang masuk dalam kategori
ini termasuk ke dalam golongan ekonomi menengah ke atas. Sistem subsidi silang seperti ini
diciptakan oleh pemerintah agar masyarakat golongan bawah dapat merasakan jaminan
kesehatan yang layak.
Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta JKN-KIS yang dikelola oleh BPJS
Kesehatan termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia dan
telah membayar iuran, yang dibagi atas jenis kepesertaan sebagai berikut:

1. Penerima Bantuan Iuran-Jaminan Kesehatan (PBI-JK), merupakan program Jaminan


Kesehatan fakir miskin dan orang tidak mampu yang dibayar oleh Pemerintah Pusat
melalui APBN dan Pemerintah Daerah melalui APBD.
2. Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non PBI) terdiri dari:

a. Pekerja Penerima Upah (PPU) adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja
dengan menerima gaji atau upah, yang terdiri dari PPU Penyelenggara Negara dan
PPU Non Penyelenggara Negara.

1) PPU Penyelenggara Negara terdiri dari Pejabat Negara, PNS Pusat/Daerah,


PNS yang dipekerjakan di BUMN/BUMD, TNI/PNS TNI, POLRI/PNS
POLRI, DPRD dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN).
2) PPU Non Penyelenggara Negara terdiri dari Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Swasta

b. Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) adalah setiap orang yang bekerja atau
berusaha atas risiko sendiri, yang terdiri dari: Notaris/Pengacara/LSM,
Dokter/Bidan Praktek Swasta, Pedangang/Penyedia Jasa, Petani/Peternak, Nelayan,
Supir, Ojek, Montir dan pekerja lain yang mampu membayar iuran.
c. Bukan Pekerja (BP) adalah setiap orang yang bukan termasuk masyarakat yang
didaftarkan dan iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat/Daerah, PPU serta PBPU,
yang terdiri dari: BP Penyelenggara Negara dan BP Non Penyelenggara Negara.

1) BP Penyelenggara Negara terdiri dari Penerima Pensiun (PP) Pejabat Negara,


PP PNS Pusat/Daerah, PP TNI, PP POLRI, Veteran dan Perintis Kemerdekaan.
2) BP Non Penyelenggara Negara terdiri dari Investor, Pemberi Kerja dan BP lain
yang mampu membayar iuran.
Anggota keluarga yang ditanggung sebagai Peserta JKN-KIS tergantung pada jenis
kepesertaannya sebagai berikut:

1. Peserta PBI-JK yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat, anggota keluarga
yang ditanggung adalah yang didaftarkan oleh Kementerian Kesehatan berdasarkan
Keputusan Menteri Sosial RI.
2. Peserta PBI-JK yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Daerah, anggota keluarga
yang ditanggung adalah yang didaftarkan dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
3. Peserta PPU meliputi istri/suami yang sah dan maksimal 3 (tiga) orang anak, dengan
kriteria:

a. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri;
b. Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima)
tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
c. Apabila anak ke-1 (kesatu) sampai dengan anak ke-3 (ketiga) sudah tidak
ditanggung, maka status anak tersebut dapat digantikan oleh anak berikutnya
sesuai dengan urutan kelahiran dengan jumlah maksimal yang ditanggung adalah
3 (tiga) orang anak yang sah.
d. Peserta yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang termasuk
peserta, dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain dengan membayar
iuran tambahan.

4. Peserta PBPU dan BP meliputi istri/suami yang sah, seluruh anak dan anggota
keluarga lain yang terdapat dalam satu Kartu Keluarga (KK).

Iuran
Tahun 2014
Kelas yang disediakan oleh BPJS Kesehatan yaitu kelas 3, kelas 2, dan kelas 1. Tentu
iuran peserta Non-PBI setiap Masing-masing kelas ini berbeda setiap bulannya. Terkait dengan
penyelenggaraan JKN yang akan berlaku per 1 Januari 2014, Presiden pada 27 Desember 2013
lalu telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam situs resmi
Sekretariat Kabinet dijelaskan, Perpres yang baru ini menegaskan bahwa BPJS Kesehatan
merupakan badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada Presiden. Perpres ini
menekankan, Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dibayar oleh
pemerintah, Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah
dibayar oleh pemerintah daerah, Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta Pekerja Penerima Upah
dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja, sedangkan Iuran Jaminan Kesehatan bagi Pekerja
Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dibayar oleh peserta yang bersangkutan.
Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan
oleh Pemerintah Daerah adalah sebesar Rp 19.225. Adapun Iuran Jaminan Kesehatan bagi
Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat
Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri sebesar 5 persen dari Gaji atau Upah
per bulan, dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2 persen dibayar oleh
peserta.
Adapun Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah selain di atas
yang dibayarkan mulai 1 Januari 2014 – 30 Juni 2015 adalah 4 persen dari Gaji atau Upah per
bulan, dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh pemberi kerja dan 0,5 persen dibayar oleh
peserta. Namun, mulai 1 Juli 2015, pembayaran iuran 5 persen dari Gaji atau Upah per bulan
itu menjadi 4 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 1 persen oleh peserta. "Iuran sebagaimana
dimaksud dibayarkan secara langsung oleh Pemberi Kerja kepada BPJS Kesehatan," bunyi
Pasal 16C Ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 itu dalam situs resmi Setkab.
Adapun Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja terdiri atas Rp 25.500 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di Kelas
III, Rp 42.500 untuk ruang perawatan Kelas II dan Rp 59.500 untuk ruang perawatan Kelas I.
Pembayaran Iuran dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan, dan apabila ada
keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari total iuran yang tertunggak
paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. "Besaran Iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling
lama 2 (dua) tahun sekali yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden," tegas Pasal 16I Perpres
ini.
Tahun 2015
Tahun 2015 tidak ada perubahan besarnya iuran yang harus dibayarkan oleh peserta BPJS
Non PBI yaitu Rp. 25.500 untuk kelas III, Rp. 42.500 untuk kelas II, dan Rp. 59.500 untuk
kelas I.

Tahun 2016
Tahun 2016 Khusus untuk besaran iuran peserta kelas III, Presiden telah menetapkan bahwa
iuran peserta perorangan kelas III tidak berubah, yaitu tetap Rp 25.500. Sementara itu, tarif
untuk kelas 1 dan kelas 2 mengalami kenaikan masing-masing sebesar Rp20.500 dan Rp8.500.
Tarif BPJS Kelas 1 : Rp 80.000
Saat pertama kali Tarif awal BPJS Kesehatan Kelas 1 hanya berkisar Rp59.500,00 akan tetapi
tanggal 1 April 2016 menjadi Rp80.000,00. Kenaikan tarif ini didasari oleh Peraturan Presiden
Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan. Dari segi Fasilitas Peserta BPJS Kesehatan Kelas 1 akan mendapatkan
fasilitas terbaik dari lembaga kesehatan atau Rumah Sakit yang sudah bekerja sama dengan
layanan BPJS. Peserta BPJS kelas 1 akan berhak mendapatkan kamar kelas 1. Standar Kamar
yang disediakan bagi kelas 1 biasanya tersedia 2-4 tempat tidur. pada kelas 1 ini peserta bpjs
akan tetap bergabung dengan peserta lain yang berasal dari BPJS Kesehatan kelas 1.
Tarif BPJS Kelas 2 : Rp 51.000
Hampir sama dengan peserta BPJS Kesehatan pada Kelas 1, BPJS Kelas 2 juga terjadi kenaikan
iuran bulanan. Jika di kelas 1 mengalami kenaikan sebesar Rp20.500,00, kenaikan di Kelas
2 sebanyak Rp8.500,00. Tarif Awal BPJS Kesehatan Kelas 2 yang berada pada nominal
Rp42.500,00 naik menjadi Rp51.000. keputusan ini juga dilandasi Peraturan Presiden Nomor
19 Tahun 2016 tentang perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan. Fasilitas yang didapat oleh peserta BPJS kelas 2 ini adalah fasilitas satu tingkat di
bawah peserta BPJS kelas 1 Peserta BPJS Kesehatan kelas 2 mendapatkan kamar kelas 2
dengan tempat tidur pasien dalam satu ruangan berjumlah 3-5 buah. Peserta BPJS Kesehatan
Kelas 2 juga dapat menaikan kelas untuk fasilitas kamarnya. Peserta kelas 2 bisa saja
mengajukan perawatan kamar kelas 1 jika dirasa butuh dan mau membayar biaya tambahan
untuk naik ke faskes kelas 1.
Tarif BPJS Kelas 3 : Rp 25.500
Berbeda dengan Tarif peserta BPJS Kesehatan kelas lainnya, Tarif BPJS Kelas 3 tidak ada
kenaikan. Peserta BPJS Kesehatan Kelas 3 wajib membayar iuran sebesar Rp25.500,00
perbulan. Iuran kelas 3 tidak terjadi kenaikan lantaran banyak masyarakat dengan golongan
ekonomi rendah yang aktif pada kelas itu. Fasilitas kesehatan yang diterima oleh peserta kelas
ini yaitu kamar inap kelas 3 dengan ruangan yang terdiri dari 4 sampai 6 tempat tidur. Semua
fasilitas standar kelas 3 akan diterima oleh peserta BPJS Kesehatan tanpa terkecuali. Sebagai
informasi, di beberapa rumah sakit terkadang jumlah kamar tidur bisa saja lebih dari 6 tempat
tidur karena keadaaan tertentu atau memang karna ruangan kelas 3 yang dimiliki fasilitas
kesehatan itu sangat luas sehingga memungkinkan untuk menambah jumlah tempat tidur.
Namun peserta BPJS Kesehatan kelas 3 pun juga berhak mengajukan peningkatan fasilitas
ruang inap. peserta BPJS kelas 3 diperbolehkan dirawat di ruangan kelas 2 dengan membayar
biaya tambahan sebagai pengganti kelebihan biaya operasional yang akan terjadi di akhir
perawatan.

Tahun 2017
Tahun 2017 tidak ada perubahan besarnya iuran yang harus dibayarkan oleh peserta BPJS Non
PBI yaitu Rp. 25.500 untuk kelas III, Rp. 51.000 untuk kelas II, dan Rp. 80.000 untuk kelas I.
Tahun 2018
Tahun 2018 tidak ada perubahan besarnya iuran yang harus dibayarkan oleh peserta BPJS Non
PBI yaitu Rp. 25.500 untuk kelas III, Rp. 51.000 untuk kelas II, dan Rp. 80.000 untuk kelas I.
Tahun 2019
Tahun 2019 tidak ada perubahan besarnya iuran yang harus dibayarkan oleh peserta BPJS Non
PBI yaitu Rp. 25.500 untuk kelas III, Rp. 51.000 untuk kelas II, dan Rp. 80.000 untuk kelas I.

Tahun 2020

1. Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar oleh
Pemerintah.
2. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan
terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan
pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah
per bulan dengan ketentuan : 4% (empat persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 1%
(satu persen) dibayar oleh peserta.
3. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta
sebesar 5% ( lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% (empat
persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.
4. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4 dan
seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% (satu persen) dari
dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
5. Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara kandung/ipar,
asisten rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta
bukan pekerja adalah sebesar:

a. Sebesar Rp. 42.000,- (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat
pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Sebesar Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.
c. Sebesar Rp. 160.000,- (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
6. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda, atau
anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, iurannya ditetapkan sebesar
5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai Negeri
Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per bulan,
dibayar oleh Pemerintah.
7. Pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan
Tidak ada denda keterlambatan pembayaran iuran terhitung mulai tanggal 1 Juli 2016 denda
dikenakan apabila dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak status kepesertaan diaktifkan
kembali, peserta yang bersangkutan memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap,
maka dikenakan denda sebesar 2,5% dari biaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan
tertunggak, dengan ketentuan :
1. Jumlah bulan tertunggak paling banyak 24 (dua puluh empat) bulan.
2. Besar denda paling tinggi Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
kebijakan pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No 75 Tahun 2019 yang menaikkan
iuran peserta BPJS Kesehatan. Meskipun ketentuan persentase PPU karyawan swasta tidak
berubah, yakni tetap 5% dengan ketentuan 4% dibayar perusahaan dan 1% ditanggung
pekerja, pemerintah menaikkan batas maksimal upah sebagai dasar perhitungan iuran, dari Rp
8 juta menjadi Rp 12 juta. Akibatnya demikian:

1. Upah di atas Rp 8 juta sampai dengan Rp 12 juta, tidak lagi dihitung menggunakan
dasar Rp 8 juta, tetapi menggunakan besaran upah yang diterima karyawan.
2. Upah di atas Rp 12 juta tidak lagi dihitung menggunakan dasar Rp 8 juta, melainkan
menggunakan dasar upah tertinggi, Rp 12 juta.

Batas maksimal iuran berubah, dari 5% atas Rp 8 juta, menjadi 5% atas Rp 12 juta. Ini artinya
pengeluaran perusahaan untuk tunjangan BPJS Kesehatan akan lebih besar di tahun depan.
Namun, tarif baru iuran BPJS Kesehatan karyawan tidak akan berpengaruh bagi karyawan
yang berpenghasilan Rp 8 juta atau kurang.

Kenaikan iuran JKN direncanakan untuk seluruh segmen peserta BPJS:


 Penerima Bantuan Iuran (PBI), iuran naik dari Rp23.000 menjadi Rp. 42.000 per jiwa.
Besaran iuran ini juga berlaku bagi Peserta yang didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD).
Iuran PBI dibayar penuh oleh APBN, sedangkan Peserta didaftarkan oleh Pemda (PBI
APBD) dibayar penuh oleh APBD.
 Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P), yang terdiri dari ASN/TNI/POLRI,
semula besaran iuran adalah 5% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga,
dimana 3% ditanggung oleh Pemerintah dan 2% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI
yang bersangkutan, diubah menjadi 5% dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan
jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi, dan tunjangan kinerja atau tambahan
penghasilan bagi PNS Daerah, dengan batas sebesar Rp12 juta, dimana 4% ditanggung
oleh Pemerintah dan 1% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan.
 Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU), semula 5% dari total upah dengan
batas atas upah sebesar Rp8 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1%
ditanggung oleh Pekerja, diubah menjadi 5% dari total upah dengan batas atas upah
sebesar Rp12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1% ditanggung oleh
Pekerja
 Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) / Peserta Mandiri:
Kelas 3: naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000 per jiwa;
Kelas 2: naik dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 per jiwa;
Kelas 1: naik dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 per jiwa

Kenaikan iuran BPJS diusulkan berdasarkan:

 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 7 ayat
(3), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan anggaran jaminan sosial
bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) kepada Pemerintah. Dalam prakteknya, selain PBI,
DJSN juga mengajukan usulan besaran iuran untuk segmen kepesertaan yang lain, baik
bagi PPU-P, PPU-BU, maupun PBPU.
 Rencana kenaikan iuran selanjutnya dibahas bersama oleh lembaga-lembaga terkait,
termasuk Kemenko PMK, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan
DJSN, yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres).
 Pemerintah mempertimbangkan 3 hal utama dalam menetapkan iuran, yaitu
kemampuan peserta dalam membayar iuran (ability to pay), upaya memperbaiki
keseluruhan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), serta gotong royong
antarsegmen kepesertaan.

Iuran BPJS mengalami kenaikan karena sejak tahun 2014, program JKN terus
mengalami defisit. Besaran defisit JKN sebelum memperhitungkan intervensi Pemerintah
masing-masing sebesar Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016), Rp13,8
triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018). Dalam rangka membantu mengatasi defisit ini,
Pemerintah melakukan intervensi dengan memberikan Penanaman Modal Negara (PMN)
sebesar Rp5 triliun (pada tahun 2015) dan Rp6,8 triliun (2016), serta memberikan bantuan
belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
Intervensi Pemerintah dalam bentuk PMN maupun bantuan belanja APBN itu sendiri
belum dapat menutup keseluruhan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, sehingga
masih menyisakan defisit sebesar Rp1,9 triliun (2014), Rp4,4 triliun (2015), Rp10,2 triliun
(2017), dan Rp9,1 triliun (2018). Tanpa kenaikan iuran, besaran defisit DJS Kesehatan akan
terus naik, diperkirakan akan mencapai Rp32 triliun di tahun 2019, Rp44 triliun (2020), Rp56
triliun (2021), dan Rp65 triliun (2022). Dengan perkembangan kondisi keuangan DJS
Kesehatan seperti di atas, kenaikan iuran sangat diperlukan dalam rangka menjaga
keberlangsungan program JKN. Tentu saja, dalam rangka menjaga keberlangsungan program
JKN, disamping kenaikan iuran, juga diperlukan perbaikan sistem JKN secara menyeluruh.
Jangan sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar
penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya. Selama tahun 2018, total pemanfaatan
layanan kesehatan melalui JKN mencapai 233,9 juta layanan, yang terdiri dari 147,4 juta
layanan pada Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP), 76,8 juta layanan rawat jalan RS,
dan 9,7 juta layanan rawat inap RS. Secara rata-rata, jumlah layanan kesehatan melalui JKN
mencapai 640.822 layanan setiap hari.
Penyebab utama terjadinya defisit adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse
selection pada PBPU/peserta mandiri. Banyak PBPU/peserta mandiri yang hanya mendaftar
pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, namun setelah
sembuh berhenti membayar iuran. Banyak PBPU/peserta mandiri yang tidak disiplin
membayar iuran. Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan PBPU/peserta mandiri
hanya 53,7 persen. Sejak 2016 sampai dengan 2018, besar tunggakan PBPU/peserta mandiri
ini mencapai sekitar Rp15 triliun. Claim ratio PBPU/peserta mandiri pada 2018 mencapai
313%. Total klaim PBPU/peserta mandiri mencapai Rp27,9 triliun sementara total iuran yang
dikumpulkan hanya Rp8,9 triliun. Disamping kedua penyebab utama ini, tentu juga terdapat
faktor-faktor yang lain, seperti inefisiensi layanan, belum sempurnanya manajemen klaim,
serta belum sempurnanya strategic purchasing. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga
keberlangsungan program JKN, perbaikan pada keseluruhan sistem JKN ini akan dilakukan
oleh BPJS Kesehatan serta lembaga-lembaga terkait.
Tidak ada kenaikan iuran untuk PPU BU atau segmen Pekerja yang upah/gajinya di
bawah Rp8 juta per bulan. Penyesuaian iuran hanya dikenakan pada segmen pekerja yang
gajinya di atas Rp8 juta per bulan. Itupun karena penyesuaian batas atas upah yang semula
maksimal Rp8 juta, menjadi maksimal Rp12 juta. Proporsi pembagian beban iuran antara
Pekerja/buruh dan Pemberi Kerja/pengusaha tetap seperti semula, yaitu 1% dari upah menjadi
beban Pekerja/buruh dan 4% dari upah menjadi beban Pemberi Kerja/pengusaha.
Kenaikan iuran diimbangi dengan kualitas mutu pelayanan yang diberikan oleh BPJS.
Peningkatan mutu layanan kesehatan adalah hal yang harus dilakukan secara terus-menerus.
Semua pihak punya andil besar untuk mewujudkannya. Ini adalah tugas besar yang harus
dijalankan bersama oleh semua pihak, baik Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Pemda,
maupun Fasilitas Kesehatan.
Perbaikan JKN meliputi perbaikan pada aspek kepesertaan dan penerimaan iuran, biaya
manfaat jaminan kesehatan, dan strategic purchasing. Saat ini, BPJS Kesehatan bersama-sama
lembaga terkait dalam proses menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi BPKP terkait aspek-
aspek tersebut. Dari aspek kepesertaan dan penerimaan iuran, BPJS Kesehatan harus
mengefektifkan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi serta kolektibitas iuran, khususnya pada
segmen PPU BU dan PBPU. BPJS Kesehatan juga harus segera mempercepat proses data
cleansing kepesertaan bermasalah dan pemutakhiran data kepesertaan. Hal ini mengingat
bahwa Audit BPKP menemukan masih adanya permasalahan validitas dan integritas data BPJS
Kesehatan. Untuk data cleansing ini, khususnya bagi PBI, diperlukan peran
besar Kemensos dalam menyediakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
BPJS Kesehatan harus bekerjasama dengan stakeholders terkait, seperti Pemda/Dinas
Ketenagakerjaan, dalam meningkatkan kepatuhan Badan Usaha untuk bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan dengan mendaftarkan seluruh karyawannya sebagai peserta JKN dan
melaporkan penghasilan karyawannya sesuai dengan yang sebenarnya. BPJS Kesehatan harus
berusaha lebih keras untuk meningkatkan tingkat keaktifan PBPU yang pada akhir tahun 2018
baru mencapai 53,72 persen. Melalui tingkat keaktifan PBPU yang lebih tinggi ini, diharapkan
akan memperbaiki risk-pooling BPJS Kesehatan, ditandai dengan semakin banyaknya peserta
dengan risiko kesehatan yang lebih rendah.
Pada aspek biaya manfaat jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan perlu memperkuat
implementasi sistem pencegahan kecurangan. BPJS Kesehatan harus memastikan rumah
sakit memiliki dan mentaati SOP, Standar Pelayanan Medis (SPM), dan Standar Profesi yang
dapat mencegah terjadinya kecurangan. Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan harus memiliki
Tim Pencegahan Fraud serta Pedoman dan Kebijakan Pencegahan Kecurangan Program JKN.
BPJS Kesehatan juga harus memperbaiki manajemen klaim, dimana BPKP menemukan
adanya kasus klaim misreading, klaim upcoding, klaim ganda, klaim fiktif, klaim oleh peserta
dengan status meninggal, maupun klaim oleh bukan peserta aktif. Dari aspek strategic
purchasing, antara lain BPJS Kesehatan perlu memperhatikan penetapan klasifikasi rumah
sakit dan pengelolaan dana kapitasi. BPJS Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan dan
Dinas Kesehatan perlu meninjau kembali penetapan kelas rumah sakit secara optimal sebagai
bahan penyesuaian perjanjian kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit. Dengan
demikian, klasifikasi rumah sakit betul-betul sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan dalam
Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 yang mencakup aspek pelayanan, SDM, dan sarana
prasarana. BPJS Kesehatan harus memastikan bahwa pembayaran kapitasi sesuai dengan
jumlah dokter dan jumlah peserta yang dipersyaratkan, serta mengefektifkan penerapan
Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBK). Sementara itu Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri perlu mengevaluasi peraturan terkait dana kapitasi
guna mencegah terjadinya dana kapitasi idle pada Puskesmas.

Anda mungkin juga menyukai