Anda di halaman 1dari 7

Benarkah Nasib Perempuan Aceh Tersudut Pelecehan Seksual ?

Aisyah Karim

Tagar.Id pada 19 Oktober 2019 memberitakan soal kekerasan seksual yang menimpa
perempuan Aceh dengan judul “Nasib Perempuan Aceh Tersudut Pelecehan Seksual”.
Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menyebabkan Aceh dipandang
sebagai daerah yang tidak ramah terhadap perempuan dan anak. Pada tahun 2018 lalu,
lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH (Apik), dan Polda
Aceh, mencatat terdapat 825 kasus. Bahkan, hanya dalam rentang waktu enam bulan saja,
sudah terdapat 40 kasus yang tersebar di 23 kabupaten dan kota di Provinsi Aceh. Sehingga,
apabila dilihat dari jumlah kasus sudah cukup membuat miris, memunculkan stigma negatif
mengenai Bumi Serambi Mekkah.

Stigma negatif ini muncul karena Aceh adalah daerah dengan penerapan syariah Islam.
Mengapa penerapan syariah Islam tidak mampu menghilangkan kekerasan seksual ? justru
kekerasan seksual mengalami tren peningkatan dari waktu ke waktu. Keberadaan syariah
dianggap tidak mampu memberi rasa aman bagi perempuan dan anak di Aceh.

Penerapan syariah Islam di Aceh memang terus-menerus mengalami serangan, baik dari
internal maupun eksternal. Syariah sering dikambing hitamkan atas berbagai fenomena
yang melanda Aceh. Para penggiat gender senantiasa menjadikan Islam sebagai batu
sandungan program-programnya di Aceh, termasuk massifnya propaganda yang digulirkan
dalam rangka mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Para pendengki dari negara-negara kufur berulangkali melayangkan kebenciannya terhadap


syariat. Laporan Human Rights Watch (HRW) yang dirilis pada 30 Januari 2015 menyebut
bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh melanggar nilai-nilai pokok dalam standar Hak
Asasi Manusia (HAM) internasional. Peneliti lembaga ini juga menambahkan bahwa
penerapan syariat Islam di Aceh sudah tidak sesuai dengan kesepakatan yang tertuang
dalam MOU (Memorandum of Understanding) Helsinski. Perwakilan HRW untuk wilayah
Asia Phelim Kine, mengatakan penerapan syariat Islam di Aceh tidak memenuhi standar
internasional.

Maka tidak mengherankan bila syariah yang mulia ini senantiasa dipantau pelaksanaannya,
dicari titik lemahnya untuk kemudian ditikam baik dari luar maupun dari dalam. Persoalan
perempuan, ketidaksetaraan akses terhadap keadilan, penghidupan antara laki-laki dan
perempuan, kekerasan baik bersifat psikis, fisik maupun seksual dan kekerasan ekonomi
senantiasa dijadikan celah untuk menyerang syariah. Tulisan “Nasib Perempuan Aceh
Tersudut Pelecehan Seksual” tentu saja sangat tendensius. Kekerasan seksual adalah
fenomena gunung es yang terjadi di seluruh dunia. Data global menunjukkan angka
kekerasan kian menjadi tren ditengah-tengah masyarakat dunia. Omong kosong jika hanya
perempuan Aceh yang tersudut oleh kekerasan seksual.

Kepala Kepolisian Kerawang, Ajun Komisaris Besar Nuredy Irwansyah Putra menyatakan
hingga akhir Agustus 2019, ada 30 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan masyarakat ke
Polres Kerawang, jika dirata-ratakan, dalam seminggu, ada satu kasus masuk ke Polres
setempat (pikiran-rakyat.com). Data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak
dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur menyampaikan ada 67 anak di Jatim menjadi
korban kekerasan hingga minggu ketiga Juni 2019.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai saat ini Indonesia berada dalam
kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Peningkatan jumlah kasus
kekerasan seksual mencapai 300 persen dalam dua tahun terakhir. Sekali lagi, LPSK
menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan ini tersebar
merata di seluruh Indonesia.

Data PBB menyebutkan 35 persen perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan secara
fisik dan seksual. 120 juta perempuan di dunia pernah dipaksa untuk melakukan hubungan
seksual dan tindakan seksual lainnya. Laporan dari Actionaid menyebutkan, di Kamboja dan
Vietnam, masalah pelecehan seksual menimpa 3 dari 4 perempuan. Lebih dari 40 persen
perempuan merasa tidak aman di tempat di mana banyak pria berada.
Tagar kampanye #MeToo sempat menghiasi sosial media di salah satu wilayah di Arab,
menunjukkan banyak perempuan mereka mengalami pelecehan seksual. Berdasarkan
laporan PBB, 37 persen perempuan Arab mengalami beberapa bentuk kekerasan sepanjang
hidup mereka. Demikian pula yang menimpa perempuan di Afrika, kemiskinan yang ekstrem
membuat anak-anak perempuan dipaksa untuk terlibat dalam prostitusi dan penikahan
sehingga mendatangkan uang bagi keluarga mereka.

Justru kekerasan seksual tertinggi di dunia terjadi di dunia Barat, yaitu Amerika Serikat dan
Kanada, dimana 65 persen perempuan yang disurvei pernah mengalami pelecehan di jalan.
berdasarkan data dari Sex Assault Canada, 80 persen pelecehan seksual terjadi di rumah,
dan hanya 1 persen hingga 2 persen data perkosaan dilaporkan ke polisi. Sementara, secara
keseluruhan, 1 dari 4 perempuan di Amerika Utara pernah diserang secara seksual. Di Eropa,
Pelecehan seksual dan fisik oleh pasangan dan bukan pasangan dilaporkan terjadi di semua
negara di Eropa, dengan angka tertinggi di Denmark, di mana 52 persen perempuan
mengalami pelecehan. Di Inggris, 64 persen perempuan pernah mengalami pelecehan
seksual di ruang publik. Hal yang tak jauh berbeda terjadi di Amerika latin dan Australia.
Singkatnya, masalah kekerasan seksual memang semakin memprihatinkan dari waktu ke
waktu, terjadi merata di seluruh dunia, bukan hanya di Aceh saja.

Akar Masalah Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual yang menjadi tren saat ini berangkat dari penerapan sistem kapitalisme
dan sosialisme sebagai pranata hukum pemerintahan dan mengatur kepemimpinan dunia,
termasuk dalam masalah pergaulan. Kedua sistem ini tegak diatas pemisahan antara agama
dan kehidupan atau disebut dengan sekulerisme. Keduanya memandang pergaulan laki-laki
dan perempuan semata-mata dengan aspek seksual semata, bebas tidak diikat oleh aturan
apapun. Pola interaksi ini menghantarkan masyarakatnya pada berbagai upaya untuk saling
menarik perhatian antara lawan jenis. Pergaulan bebas menjadi gaya hidup dan di
propagandakan secara luas, termasuk lewat tayangan iklan dan film. Masyarakat digempur
oleh pornoaksi dan pornografi. Kontennya beredar aman dan legal. Aurat menjadi aset dan
tontonan. Tidak mengherankan jika kemudian kejahatan seksual kian marak diberbagai
belahan dunia.
Para pemerhati masalah perempuan secara emosional senantiasa mengaitkan kekerasan
seksual baik yang menimpa perempuan maupun anak pada masalah ketimpangan gender,
superioritas laki-laki dan tradisi. Islam menjadi sasaran empuk serangan karena dianggap
memiliki banyak pengaturan yang mendiskriminasikan perempuan seperti kewajiban taat
pada suami termasuk, diangkatnya isu pemerkosaan dalam perkawinan. Mereka tidak
pernah menemukan akar real dari tumpukan persoalan perempuan, termasuk masalah
kekerasan seksual. Bahwa seluruh dunia saat ini tidak memiliki tempat yang ramah dan
nyaman bagi perempuan dan anak. Inilah buah dari penerapan kapitalisme dan sosialisme.

Para pemerhati masalah perempuan ini sejatinya hanya membebek perjuangan para
perempuan di dunia Barat, yang memang menjadi korban dari sistem yang diterapkan di
negara mereka. Kemudian Indonesia dan negara muslim lainnya ikut menerapkan sistem
yang sama dengan Barat, mengambil kapitalisme, otomatis juga mengimpor masalah yang
sama, termasuk fakta kekerasan seksual yang menimpa perempuan Aceh.

Syariah Islam yang diterapkan di Aceh bukanlah syariah Islam Kaffah. Syariah di terapkan
secara parsial, diambil layaknya hidangan prasmanan, maka wajar tidak menghantarkan
pada kebaikan dan ketenangan. Pergaulan bebas luar biasa, LGBT juga ada, angka
pembuangan bayi tertinggi diluar pulau jawa. Tak ada bedanya, sama saja.

Maka nyanyian para pejuang gender tentang penanganan masalah kekerasan seksual yang
sulit, lamban, diwarnai ketidakadilan, enggan melapor, dianggap aib ini bukanlah dilema
skala Aceh, yang sekali lagi saya tegaskan, menerapkan syariat parsial, namun kondisi ini
merata di seluruh Indonesia bahkan skala dunia. Pun untuk penanganan masalah yang sama
level PBB sendiri juga demikian faktanya.

Menurut laporan Fox News yang dirilis pada 22 Januari 2019 menyebutkan PBB, organisasi
hak asasi manusia terbesar di dunia, menemukan setidaknya sepertiga dari staf dan
kontraktornya mengklaim mengalami pelecehan seksual. Aib Memalukan PBB lainnya
adalah laporan kekerasan seksual oleh pasukan perdamaian. Pada awal Agustus 2015,
Amnesty International menemukan bukti kuat keterlibatan seorang
anggota pasukan perdamaian PBB dalam tindak kekerasan seksual terhadap gadis berusia
12 tahun di Republik Afrika Tengah. Melalui surat pengunduran dirinya, seperti yang
dilansir The Guardian, kepala misi penjaga perdamaian Republik Afrika Tengah menyatakan
kejahatan seksual yang dilakukan pasukannya merupakan masalah sistemik.

Hal serupa juga terjadi di Haiti. Berdasarkan studi Office of Internal Oversight Services
(OIOS), pasukan penjaga perdamaian PBB terlibat dalam “seks transaksional” dengan kurang
lebih 229 perempuan. Sebagai imbalannya, para pasukan tersebut memberikan makanan
dan obat-obatan. Selain melakukan kejahatan seksual, pasukan penjaga perdamaian PBB di
Haiti juga meninggalkan wabah kolera. Melalui laporan setebal 16 halaman yang dibawa Ban
Ki-moon dalam majelis umum PBB pada 1 Desember 2016, Ban mengakui “sebagian besar
bukti mengarah pada kesimpulan bahwa personil yang terkait dengan fasilitas penjaga
perdamaian PBB adalah sumber yang paling mungkin”. Per tanggal yang sama, jumlah
korban mencapai angka 9.200 orang.

Kejadian di Haiti membuat Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk mengakhiri misi
penjaga perdamaian di sana setelah berlangsung selama 13 tahun. Antara 2008 hingga
2013, terdapat hampir 500 tuduhan eksploitasi dan pelecehan seksual yang dilakukan
personil penjaga perdamaian PBB. Ironisnya, sepertiganya melibatkan anak di bawah umur.

Eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan seksual yang dilakukan pasukan penjaga perdamaian
PBB sudah terjadi sejak tahun 1990an di beberapa wilayah seperti Bosnia, Kamboja, Timor
Leste, Liberia, serta Sudan Selatan. Joanne Mariner, penasehat Amnesty International
berpendapat akar masalah kasus kekerasan seksual tersebut ialah impunitas, dimana
hampir tidak ada satu pun dari mereka (pelaku) yang dituntut secara pidana atas kejahatan
seksualnya. Biasanya, kewajiban bertugas pelaku dicabut dan dikirim kembali ke rumah
tanpa konsekuensi lainnya (tirto.id).

Kejahatan seksual yang dilakukan para pasukan perdamaian menjadi ironi akan keberadaan
UNICEF sebagai badan organisasi PBB yang bekerja untuk mencegah kekerasan seksual
terhadap anak-anak. Berbagai visi yang dicanangkan UNICEF dalam upayanya melindungi
anak-anak melalui sistem hukum (undang-undang, kebijakan, peraturan) seketika lenyap
oleh perbuatan mereka sendiri. Bahkan pada Juni 2016, Anders Kompass, seorang pejabat
organisasi HAM di bawah PBB yang mengekspos kejahatan seksual di dalam lembaganya,
mengundurkan diri setelah karena merasa PBB telah gagal menangani kasus-kasus tersebut
secara serius.

Nah, menjadi jelas bagi kita bahwa carut marut penanganan masalah kejahatan seksual
justru terjadi di induk organisasi pembela hak azazi manusia sendiri. Maka mustahil
menuntaskan masalah ini dengan terus berada di dalam sistem kapitalisme. Karena justru
kapitalismelah yang menumbuh suburkan kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.

Islam Atasi Kekerasan Seksual

Kejahatan seksual dalam Islam didefinisikan sebagai segala bentuk pelampiasan hasrat
seksual yang dilakukan secara tidak makruf dan ilegal. Segala kejahatan itu zarimah
(kriminal), termasuk di dalamnya berupa kejahatan yang bentuknya seksual, dan segala
jarimah menurut Islam pasti mengandung dosa. Tidak memandang lagi dilakukan atas dasar
suka sama suka maupun paksaan (baca: kekerasan). Karena memang standar Islam
menghukumi sesuatu bukanlah ukuran suka atau tidak suka, bukan menggunakan standar
HAM yang jelas-jelas beraroma liberalisme Barat.

Islam memiliki tata aturan tersendiri terkait pencegahan, penanganan, perlindungan,


pemulihan korban, serta penindakan pelaku kebebasan atau kejahatan seksual. Berikut
beberapa aturannya :
Pertama, upaya pencegahan atau preventif agar tidak terjadi pelecehan seksual, kejahatan,
maupun kekerasan seksual, maka Islam memiliki aturan tentang busana (pakaian) wanita
ketika keluar rumah berupa hijab syar’i (Qs. An-Nur :30-31 dan QS. Al Ahzab:59). Interaksi
antara kaum pria-wanita dilarang mengandung unsur khalwat.

Kedua, interaksi yang berpotensi terjadinya pelecehan, kekerasan, hingga kejahatan seksual
adalah campur baurnya kaum laki-laki dengan wanita, maka Islam mencegahnya dengan
larangan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan).
Ketiga, meskipun sudah menikah, berstatus suami-istri, Islam juga mewanti-wanti, bahwa
hubungan seksual itu sebagai bentuk sedekah. Akan tetapi, jika sudah menikah pun Islam
tidak membolehkan seorang laki-laki (suami) sembarangan dalam melakukan hubungan
seksual terhadap istrinya. Seperti larangan untuk mendatangi istri dari duburnya, atau
mendatanginya di saat haid.

Keempat, hukuman sanksi bagi pelaku zina maupun aktivitas seksual yang menyimpang
seperti LBGT, inses, maupun berhubungan seks dengan hewan pun Islam sudah memiliki
hukum untuk menyelesaikannya.

Kelima, seorang pezina, bisa jadi seorang yang belum menikah (ghair muhshan) atau yang
sudah menikah (muhshan). Apabila seorang yang merdeka, muhshan, mukallaf, tidak
dipaksa berzina, maka haddnya (hukuman, red.) adalah dirajam sampai mati.

Derasnya pemberitaan soal kekerasan seksual yang tendensius akhir-akhir ini sebenarnaya
adalah upaya untuk mendesak agar diterapkannya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan
Seksual). Jika semua pihak ingin melindungi perempuan dari kekerasan seksual maka solusi
terbaik adalah diterapkannya Syariah Islam. RUU PKS tidak akan pernah bisa menyelesaikan
masalah tersebut justru menjadi gerbang bagi gelombang kejahatan yang lebih besar dan
kerusakan tatanan masyarakat yang lebih parah.
Wallahu`alam

Anda mungkin juga menyukai