Anda di halaman 1dari 11

Penerapan Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Against Torture &

Others Cruel, Inhuman or Degrading Punishment/ CAT) Terhadap Pelaksanaan


Self Determination

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.Konsep
Dasar Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada manusia yang dimiliki oleh
manusia semata-mata karena ia manusia, bukan pemberian manusia lain ataupun
pemberian hukum positif melainkan semata-mata karena martabatnya sebagai manusia.
Dan ini berarti Hak Asasi Manusia tidak dapat dicabut dan dirampas sewenang-wenang oleh
orang lain.
Pada awalnya konsep hak menentukan nasib sendiri ditujukan untuk membebaskan
rakyat dari belenggu kolonial. Namun penerapannya kemudian mengalami perluasan makna
tidak hanya berlaku bagi rakyat negara kolonial, tetapi juga rakyat yang ditindas oleh
pemerintah despotik, rakyat yang berada di bawah dominasi asing, dan rakyat multi bangsa
yang haknya ditentukan oleh penguasa pusat.Pendirian Budi Utomo pada tahun 1908 dapat
dianggap sebagai titik awal timbulnya kesadaran untuk mendirikan suatu negara
kebangsaan yang terlepas dari cengkraman kolonial, yang kemudian dalam konteks HAM
dikenal sebagai perwujudan dari the right of self-determination.
Saat ini, pengaturan mengenai hak-hak manusia sudah banyak diatur oleh dunia,
seperti diatur dalam: Universal Declarations of Human Right PBB (DUHAM 1948), Konvenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR 1966), Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (ICESCR 1966), Konvensi Penghapusan segala Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW), Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Againts Torrture & Others Cruel,
Inhuman or Degraing Punishment / CAT) dan sebagainya. Indonesia sudah meratifikasi
kurang lebih 17 instrumen hukum yang melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak Prinsip yang bersifat kolektif untuk menentukan nasib sendiri merupakan salah satu dari
empat tujuan dibentuknya PBB. Prinsip ini telah berkontribusi dan memainkan peranan
penting di suatu negara dimana self-determination dinyatakan sebagai hak asasi dalam
konvean Internasional, yaitu Konvenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politikdan
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya .
Hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), menurut UU No.12 tahun
2005 tentang Pengsahan “International Convenant on Civil and Political Right” atau
Konvenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik menyatakan “bahwa semua bangsa atau
rakyat dapat menyerukan kepada semua negara termasuk negara-negara yang
bertanggungjawab atas pemerintahan wilayah yang tidak berperintahan sendiri dan wilayah
perwalian unntuk memajukan perwujuan hak tersebut”. Maupun seperti yang dituangkan
dalam Undang-Undang No.11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on
Economic, Social and Cultural Rights ( Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya) yang dalam pasal 1 merumuskan “Bahwa semua bangsa atau rakyat
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua
negara, termasuk Negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah yang
Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak
tersebut”.
Salah satu hak untuk menentukan nasib sendiri atau self-determination, baik hak untuk
mendapatkan kebebasan, dan persamaan serta hak untuk terlibat secara politik, ekonomi,
sosial maupun budaya yang sesuai dengan aturan yang berlaku di negaranya ini dapat
dituangkan dengan adanya Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Againts Torture
and Others Cruel, Inhuman or Degrading Punishment /CAT) yang di ratifikasi di Indonesia
melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1998, mengartikan Penyiksaan itu dilarang.
Konvensi ini memperjuangkan hak-hak orang banyak seperti hak untuk hidup secara
bebas dan damai dalam segala aspek, baik dari segi ekonomi, sosial, politik maupun budaya
apabila mereka merasa hak-haknya dirampas dengan adanya suatu penyiksaan dengan
kekerasan. Padahal seharusnya mereka mempunyai hak untuk bebas dari segala macam
bentuk penyiksaan.
1.2 Permasalahan

Konsep self-determination ini telah mendasari pemenuhan atas hak-hak sipil dan
politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya. Indonesia sebagai salah satu Negara yang
bergabung dengan Negara Internasional lainnya sehingga harus menaati peraturan
Internasional maka Indonesia meratifikasi Konvensi HAM Internasional, dan salah satu
konvensi yang telah diratifikasi oleh Indonesia adalah Konvensi tentang Penyiksaan
(Convention Againts Torture and Others Cruel, Inbuman or Degrading Punishment /CAT)
dalam hal ini penulis membahas beberapa permasalahan yang timbul dalam Konvensi
tentang Penyiksaan ini, berikut permasalahan itu antara lain adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan self determination yang terdapat di dalam
konvensi-konvensi HAM?
2. Salah satu Ratifikasi Konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) secara Internasional
adanya Konvensi yang Menentang Penyiksaan yang diterima SMU PBB pada
tanggal 30 Desember 1984 dan berlaku tanggal 26 Juni 1987, yang diratifikasi oleh
Indonesia pada tahun 1998 melalui Undang-Undang No. 5 Tahun1998. Apakah
Konvensi ini telah dirasakan efektif kegunaanya untuk mencapai apa yang
dicita-citakan dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam hal Menentang
Penyiksaan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Self Determination

Self Determination atau Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri merupakan sesuatu
hal yang penting dalam pelaksanaan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan
budaya seperti yang tercantum dalam konvensi-konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) yang
telah diratifikasi di Indonesia dan diakui dengan adanaya Undang-Undang No.11 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Undang-Undang
No.12 Tahun 2005 tentang tentang Pengsahan “International Convenant on Civil and
Political Right” atau Konvenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik yang dimana
konvenan ini menitik beratkan pada self-detemination atau hak untuk menentukan nasib
sendiri secara bebas tanpa paksaan dan kekangan baik dalam menentukan status politik,
ataupun dalam kemajuan sosial, ekonomi dan budaya.
Konvenan ini mengingatkan Negara-negara akan kewajibannya menurut piagam PBB
untuk memajukan dan melindungi melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) terutama dalam
menentukan nasibnya sendiri untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan
dari rasa takut dan kekurangan yang hanya dapat tercapai apabila telah tercapainya suatu
keadaan dimana seseorang dapat menikmati hak-hak yang mendasar seperti hak ekonomi,
sosial dan budaya maupun hak-hak sipil dan politiknya.
Penentuan nasib sendiri adalah pilihan bebas seseorang untuk bertindak sendiri
tanpa paksaan dari luar, dan terutama sebagai kebebasan seseorang dari suatu wilayah
tertentu untuk menentukan status politik mereka sendiri. Bebas untuk menentukan
nasibnya sendiri, bebas untuk bersikap tindak, mengekspresikan hidup mereka tanpa
adanya kekangan dari orang ataupun kelompok manapun.
Akan tetapi, bebas disini tetap terbatas pada peraturan-peraturan yang berlaku di
negaranya tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang harus mereka lakukan. Karena
apabila seseorang mengingikan sesuatu hak, maka tak terlepas mereka harus mengerjakan
kewajibannya terlebih dahulu. Karena hak dan kewajiban merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan.
It can also be defined as the ability or power to make decisions for yourself, especially the
power of a nation to decide how it will be governed.Maksud dari kata self determination itu
sendiri mengandung 2 unsur, yakni :
1. Tindakan atau kekerasan yang membutuhkan satu pemikiran tersendiri tentang
apa yang seharusnya difikirkan, dilakukan tanpa adanya pengaruh dari luar atau
paksaan.
2. Hak rakyat untuk memutuskan sendiri status politik atau bentuk dari suatu
Pemerintahan, tanpa adanya pengaruh dari luar.
Oleh karena itu disimpulkan sebagai kemampuan atau kekuatan untuk membuat keputusan
untuk diri sendiri, terutama kekuatan dari suatu negara untuk memutuskan
peraturan-peraturan yang berlaku di negaranya. ​In other words, it is the right of the people
of a nation to decide how they want to be governed without the influence of any other
country. [ 1 ]The latter is a complex concept with conflicting definitions and legal criteria for
determining which groups may legitimately claim the right to self-determination. [ 2 ] This
often coincides with various nationalist movements​. Dengan kata lain, ini merupakan hak
rakyat di suatu negara untuk memutuskan bagaimana mereka ingin diatur tanpa pengaruh
negara lain.
Dengan adanya hak ini, setiap warga negara masyarakat berhak untuk memiliki kebebasan
untuk menentukan status politik dan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya
bangsa. Dan pasal dalam konvensi ini merupak sesuatu yang sangat penting pada tahun
1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan yang didalamnya terkandung Hak
Asasi Manusia (HAM) yang paling mendasar dan mutlak adanya yaitu hak untuk hidup.
Hak untuk hidup yang melekat pada setiap manusia di dalam kehidupannya
sesungguhnya merupakan hak yang paling mendasar dan hak yang paling tradisional
maupun funamental yang keberadaanya menjiwai hampir keseluruhan nilai HAM, baik di
bidang sipil dan politik, maupun ekonomi, sosial dan budaya. Karena hak ini sangat penting
sehingga hak hidup sangat wajib untuk dilindungi oleh hukum sehingga tidak ada seorang
pun yang dapat merampas hak hidup secara sewenang-wenang. Untuk menentukan nasib
sendiri terkadang masih terdapat banyak halangan sehingga hak-hak asasi atau hak kodrati
sebagai manusia merasa terampas dan tidak dapat memperoleh hak yang sepatutnya
mereka peroleh.
Kekerasan dengan tindakan-tindakan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Misalnya saja yang
sering dialami oleh Tenaga Kerja Wanita, Mahasiswa Perguruan Tinggi Militer dan bahkan
Tersangka/tahanan di dalam penjara.
Ada bermacam-macam Pengertian dari Penyiksaan, antara lain dapat diartikan sebagai
berikut :
1. Tindakan penyiksaan menurut Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat manusia dapat
dirumuskan dalam pasal 1 yang isinya : “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang
hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu
perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang
ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu
alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut
ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat
pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari,
melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku “.

Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan dalam pasal ini terdapat 3 unsur pokok
didalam maksud penyiksaan, ketiga unsur tersebut antara lain:
1. Harus adanya rasa sakit atau penderitaan terhadap jasmani/raga maupun
rohani/jiwa yang luar biasa.
2. Harus ada suatu tujuan
3. Harus ditimbulkan oleh dan atau hasutan dari atau dengan persetujuan atau
sepengetahuan dari seseorang pejabat public atau seseorang yang bertindak di
dalam kapasitas pemerintahan.

2. Dalam Deklarasi Tokyo 1975 World Medical Association disebutkan bahwa Penyiksaan
adalah tindakan kekerasan fisik dan atau mental yang dilakukan secara sepihak, sengaja
dan sistematik oleh seseorang atau sekelompok orang lain yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman sampai dengan nyeri yang tidak tertahankan, unbearable pain, sehingga
berakibat terjadinya cedera dan kerusakan sementara dan atau menetap pada tubuh
maupun pada fungsi organ tubuh; serta gangguan psikiatrik berupa perasaan cemas,
takut dan teror yang berlebihan, hilangnya harga diri atau jati diri, serta penyiksaan
berat yang dapat menyebabkan kematian dan sebagainya.
3. Pasal 351 KUHPidana merumuskan Penyiksaan sebagai sesuatu yang mengakibatkan
luka-luka berat, kematian, dan sengaja merusak kesehatan. Akan tetapi dalam pasal 28
KUHPidana merumuskan Penyiksaan adalah luka-luka berat hanya pada penyiksaan fisik
semata.
4. Penyiksaan Fisik (physical torture)
Efek dari penyiksaan adalah penderitaan (pain or suffering). yang bertingkat-tingkat. Ada
beberapa istilah dalam penyiksaan antara lain:[11]
a. Falanga, istilah untuk pemukulan berulang-ulang yang sangat hebat
(menyakitkan) pada telapak kaki dan seputar kaki. Falanga termasuk pemukulan
sistematis dan berakibat cacatnya korban. Penyiksaan ini acap menimpa para
tahanan di seluruh dunia.
b. Planton adalah penyiksaan yang dilakukan pada tahanan dengan melakukan
suatu posisi yang tidak normal dengan jangka waktu tertentu misalnya berdiri
dengan kepala ditutup selama 14 jam. Planton lebih dikenal dengan memaksa
korban untuk berdiri dengan jangka waktu lama.
c. Submarino adalah memasukkan kepala korban ke dalam air, lumpur atau cairan
lainnya, atau lebih dikenal dengan wet submarino. Dry submarino adalah
memasukkan kepala korban ke kantong plastik dan mengikat kantong itu dengan
tujuan korban akan kesulitan bernapas.
d. Telephono, pemukulan kedua daun telinga secara simultan dengan telapak
tangan bertujuan merusak gendang telinga, sehingga dapat menyebabkan sakit,
pendarahan dan kehilangan pendengaran sehingga sulit dideteksi oleh dokter.

Jadi, penyiksaan merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja kepada
seseorang yang tidak dapat memperthankan haknya dalam menentang sebuah kekerasan
terhadap dirinya, dimana suatu tindakan tersebut menimbulkan rasa sakit bagi dirinya baik
sakit yang jasmani atau dirasakan oleh tubuh / raga maupun sakit rohani atau mental pada
seseorang bahkan penyiksaan yang berdampak hilangnya nyawa seseorang atau sampai
menyebabkan kematian sehingga dapat dikatakan telah merampas hak hidup seseorang
yang merupakan hak paling mendasar yang dimiliki oleh manusia sebagai mahkluk pribadi.
Hal inilah yang merupakan alasan dibuatnya konvensi yang menentang Penyiksaan.
(Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment / CAT) yang di ratifikasi di Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1998
dimana Konvensi ini mengartikan Penyiksaan itu dilarang karena "Bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin
semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum sehingga segala bentuk
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia harus dicegah dan dilarang".

2.2 Penerapan Konvensi Menentang Penyiksaan di Indonesia

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi


Menentang Penyiksaan menurut pendapat penulis belum berlaku efektif dan memang
masih menemukan kendala. Salah satu bukti bahwa UU ini belum berlaku efektif dapat kita
lihat dari Tindakan-tindakan Penyiksaan yang masih sering dilakukan oleh pihak berwenang
dalam hal ini adalah kepolisian terhadap tahanan/ tersangka bukan karena aparatur
kepolisian tidak atau belum memahami secara normatif / secara hukum bahwa Penyiksaan
tersebut ditentang dalam UU, akan tetapi dalam praktik memang mereka juga dihadapkan
pada terbatasnya waktu, fasilitas kerja, tindak kejahatan yang makin beragam, perilaku
pelaku tindak pidana yang menyulitkan polisi untuk mendapatkan keterangan guna
mengungkap suatu tindak pidana. Penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh Polisi
biasanya dalam rangka penggunaan wewenang. Sedangkan kendala dari para
tersangka/tahanan yang utama adalah masalah pendidikan. Tidak masalah apabila
tersangka/tahanan itu mempunyi pendidikan yang tinggi, sehingga mereka mengetahui
hak-hak yang seharusnya mereka peroleh walaupun mereka menjadi seorang yang hak
kebebasannya dibatasi dan dirampas oleh karena perbuatan mereka sendiri.
Tetapi yang menjadi masalah adalah apabila seseorang atau warga masyarakat yang
menjadi tersangka/tahanan karena tingkat pendidikannya kurang atau bahkan tidak
mendapatkan pendidikan dan pengetahuan mengenai hak-hak nya maka mereka akan
pasrah dan tidak bias menuntut hak mereka untuk tidak mendapatkan Penyiksaan.[19]
Karena pada umumnya mereka tidak mengetahui tentang Konvensi Anti Penyiksaan dan
proses yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai prosedur
penangkapan, penahanan dan perlakuan aparat terhadap mereka, mereka umumnya
merasakan penyiksaan, mulai dari tahap ringan sampai dengan penyiksaan berat.
Bukti lain meskipun Konvensi Menentang Penyiksaan ini ditujukan kepada mereka
yang dirampas kemerdekaannya, pada kenyataannya masih banyak terdapat pelanggaran
seperti Kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan seperti STPDN ataupun STIP sudah
tergolong "penyiksaan" yang menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis). Bahwa
tindakan kekerasan yang dialami praja STPDN yang ditendang, dipukul hingga ada yang
meninggal, menurut konvensi ini, termasuk kategori penyiksaan.
Para praja masuk Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dengan spirit
luhur menimba pendidikan guna pembangunan pribadi dan bangsa, menjadi pelayan HAM
(masyarakat) tetapi harus menerima siksaan yang melanggar hak asasi manusia (HAM), yang
tak terbayangkan (unimaginable) sebelumnya. Berbagai kekerasan yang mereka dapatkan
seperti dipukul, ditendang, dan masih banyak lagi yang tidak manusiawi. Hal ini diakui dalam
semua instrumen hukum HAM universal, internasional, regional, dan nasional yang
menyebut, tak seorang pun yang boleh menjadi sasaran penyiksaan dengan alasan apa pun
(non-derogable rights). [20]
Praktek penyiksaan dan tindakan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat ini sudah seharusnya mendapat ketegasan dari Komite Anti Penyiksaan, dengan
harapan dapat membantu memperbaikki dan menghapus praktek-praktek penyiksaan di
Indonesia. Bukti lain dapat kita lihat dari definisi pasal 1 ayat 1 Konvensi Anti Penyiksaan,
masih belum ada dalam KUHP dan KUHPM yang menjadi dasar acuan bagi penegakan
hukum pidana di Indonesia. Pemerintah hingga saat ini masih belum membenahi legislasi
yang mengatur larangan penyiksaan di Indonesia, sehingga para pelaku penyiksaan banyak
yang lolos dari jeratan hukum dan malah mendapat promosi kenaikan pangkat.[21] Ini
merupakan bukti yang sangat kongkret bahwa konvenan ini belumlah berlaku secara efektif
di Indonesia.
Oleh karena itu, agar Konvensi ini dapat berjalan dengan lebih efektif maka organisasi
masyarakat sipil yang menolak praktek-praktek penyiksaan, tindakan yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan
hal-hal sebagai berikut:
● Melaksanakan Konvensi Anti Penyiksaan dengan sebaik-baiknya, termasuk
melakukan deklarasi terhadap pasal 21 dan 22 Konvensi yang mengakui kewenangan
Komite Anti Penyiksaan untuk menerima komunikasi dari negara-negara peserta
konvensi dan individual;
● Melakukan harmonisasi hukum Indonesia dengan memasukkan definisi penyiksaan
ke dalam KUHP dan KUHPM, serta mencabut semua ketentuan hukum yang
bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan yang sudah diratifikasi Pemerintah
ke dalam UU No. 5 Tahun 1998;
● Menghukum para pelaku penyiksaan dan tidak memberikan peluang promosi atau
kenaikan pangkat terhadap para pelaku;
● Memberikan hak-hak korban penyiksaan;
● Menghapus hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat,
antara lain menghapuskan hukuman mati di Indonesia;
● Meratifikasi Optional Protocol Konvensi Anti Penyiksaan.
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Self-determination adalah hal yang penting dalam pelaksanaan hak sipil dan politik serta
hak ekonomi, sosial dan budaya seperti yang tercantum dalam konvensi-konvensi Hak
Asasi Manusia (HAM)
2. Convention Against Torture & Others Cruel, Inhuman or Degrading Punishment/ CAT
belum berlaku berlaku secara efektif, dengan bukti masih banyaknya penyiksaan yang
terjadi kepada manusia yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak pernah
memikirkan hak-hak orang lain. Juga terbukti dari pengaturan dalam KUHP dan KUHPM
yang tidak mencantumkan pengertian yang lebih jelas dalam tindakan Penyiksaan itu.

Adapun saran terhadap hal diatas adalah :


1. Pemerintah RI harus melakukan monitoring terhadap setiap proses hukum
kasus-kasus penyiksaan yang terjadi sebagai wujud pelaksaanaan kewajibannya
menurut Konvensi Menentang Penyiksaan.
2. Pemerintah RI juga harus menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak
korban berupa hak atas kompensasi, rehabilitasi dan keadilan.

Anda mungkin juga menyukai