Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Bank merupakan suatu lembaga atau industri yang bergerak di bidang
perekonomian yang menjalankan kegiatannya didasarkan kepada kepercayaan
masyarakat dan bank juga merupakan media perantara keuangan. Berdasarkan
Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan menyatakan bahwa
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Sebagai lembaga penghimpun dana dari masyarakat baik dalam
bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, dimana pada idealnya dana dari
masyarakat ini merupakan tulang punggung (​basic​) dari dana yang dikelola
oleh bank untuk memperoleh keuntungan.
Industri Perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat
penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional. Perbankan memiliki kedudukan yang
strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran,
pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem keuangan,
sehingga diperlukan perbankan yang sehat, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya sedapat mungkin pemerintah
berusaha sekuat tenaga agar industri perbankan berada dalam posisi stabil dan
tidak terjadi krisis.
Krisis perbankan akan berdampak langsung pada kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga perbankan, oleh sebab itu maka tingkat
kesehatan suatu bank harus terus dijaga agar tetap dipercayai oleh masyarakat.
Tingkat kesehatan bank dapat diukur dari beberapa faktor berikut antara lain:
2

permodalan, kualitas aktiva produktif, kualitas manajemen, rentabilitas, dan


likuiditas suatu bank. Kepercayaan masyarakat merupakan salah satu kunci
untuk terlaksananya fungsi-fungsi bank. Jika kepercayaan masyarakat
menurun, maka masyarakat akan menarik dana yang mereka titipkan di bank.
Tentu ini akan mengakibatkan bank kekurangan modal untuk operasionalnya.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan,
perlu adanya perlindungan hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank
serta penjaminan simpanan. Hal ini agar masyarakat merasa yakin bahwa dana
yang mereka titipkan pada bank menjadi aman dan tidak hilang.1
Pada awalnya antisipasi untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat, pemerintah melakukan beberapa tindakan awal. Setelah krisis di
1998, Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Kebijakan tersebut adalah
Program Penjaminan Perbankan (​Blanket Guarantee​). Adapun ​Blanket
Guarantee ini adalah instrumen tindakan darurat berupa pemberian jaminan
pembayaran atas kewajiban bank-bank, bersifat sementara dan biasanya
diterapkan ketika terjadi krisis sistemik pada sektor perbankan.2
Blanket Guarantee ini hanya bersifat sementara, karena dalam ​Blanket
Guarantee memiliki permasalahan yang akan dihadapi oleh perbankan, yaitu
ketidakjelasan tentang siapa yang dilindungi (masyarakat, deposanatau
bankir), pengelolaan bank yang tidak profesional karena tanggung jawab
manajemen bank terlalu rendah, dan resiko kerugian Negara akan cenderung
tinggi4. ​Blanket Guarantee memang dapat menimbulkan kembali kepercayaan
dari masyarakat terhadap perbankan, tetapi ruang lingkup Blanket Guarantee
terlalu luas dan dapat menyebabkan kerugian bagi pengelola bank ataupun
bagi masyarakat.
Agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah, dan untuk mengatasi
masalah Blanket Guarantee yang ruang lingkupnya terlalu luas serta menjaga

1
Didik, J. Rachbini, Suwidi Tono, Dkk, ​Bank Indonesia Menuju Independensi Bank
Sentral, ​(Jakarta: Mardi Mulyo, 2000), hlm 96.
2
Adrian Sutedi, ​Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan​,(Jakarta : Sinar Grafika, Cet
ke 1, 2010), hlm 5
3

stabilitas sistem perbankan, maka perlu untuk mengganti program penjaminan


yang sangat luas lingkupnya dengan sistem penjaminan yang terbatas (​Limited
Guarantee​). Oleh karena itu kemudian dikeluarkan Undang – Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga
Penjamin Simpanan sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Lembaga Penjamin Simpanan dibentuk berdasarkan Undang – Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan telah diubah
dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2009. Lembaga Penjamin
Simpanan adalah lembaga yang berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah
yang di bank. Berdasarkan Pasal 11 Undang – Undang Lembaga Penjamin
Simpanan, nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah per bank
maksimum Rp100 juta. Namun nilai simpanan yang dijamin diubah menjadi
Rp 2 miliar bardasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008
tentang Besaran Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan,
yang menegaskan bahwa nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah
pada satu bank yang semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang – Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan diterapkan
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini diubah menjadi paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjamin simpanan nasabah
yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposit dan bentuk lain
yang sama seperti itu.3
Tujuan dari lembaga ini tidak hanya untuk menjamin dan melindungi
penyimpan kecil, tetapi lebih kepada untuk mendorong perbankan agar
menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi bagi
masyarakat8.Namun setelah terbentuknya lembaga ini, kekhawatiran nasabah
masih ada, keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan ini belum dipahami oleh

3
​Ibid​, hlm 12
4

masyarakat luas termasuk konstruksi hukum yang seharusnya dari lembaga


ini.
Dalam penilaian terhadap tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia
diberi kewenangan untuk menentukan sistem penilaian kesehatan bank
berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 ​jis. ​UU No. 3 Tahun 2004 ​jis. ​UU No. 6
​ U No. 10
Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia dan UU No.7 Tahun 1992 ​jo. U
Tahun 1998 Tentang Perbankan.4 Bank yang tidak sehat akan kehilangan
kepercayaan masyarakat, kelangsungan usaha bank tidak dapat dilanjutkan
mengakibatkan bank tersebut menjadi bank gagal yang dapat dicabut ijin
usahanya. Atas dasar pertimbangan tersebut, baik pemilik dan pengelolaan
bank maupun otoritas yang terlibat dalam pengaturan dan pengawasan bank,
harus bekerjasama mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri
perbankan.5 ​Suatu bank yang tidak dapat menjaga tingkat kesehatan bank disebut
sebagai Bank Gagal. ​Berdasarkan UU LPS dikenal ada 2 jenis Bank Gagal,
yaitu; Bank gagal tidak berdampak sistemik, dan bank gagal berdampak
sistemik, ​dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 24 Tahun 2004 ​jo. ​UU No. 7 Tahun
2009 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) mendefenisikan:
“Bank Gagal (​failing bank​) adalah bank yang mengalami
kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta
dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh LPP sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya.”
Pengaturan hukum yang tidak jelas tentang bank gagal berdampak
sistemik dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat/nasabah
terhadap lembaga perbankan, selain itu dengan kurangnya pemahaman
masyarakat akan bank gagal berdampak sistemik dapat menimbulkan efek
berkelanjutan (efek domino) terhadap bank-bank lainnya sehingga merusak
sistem perbankan yang juga akan berdampak langsung pada perekonomian

4
Theresia Anita Christiani, ​Hukum Perbankan Analisis Independensi Bank Indonesia,
Badan Supervisi, LPJK, Bank Syariah, dan Prinsip Mengenal Nasabah​, (Yogyakarta : Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 2010), hlm. 34.
5
Dahlan Siamat, ​Manajemen Lembaga Keuangan; Kebijakan Moneter dan Perbankan,​
(Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), hlm. 177.
5

nasional, dan menimbulkan krisis perekonomian yang lebih luas. Penggunaan


dana APBN dalam penanganan bank gagal berdampak sistemik juga akan
menimbulkan gejolak tersendiri di dalam masyarakat terhadap pertanggung
jawaban pemerintah dan lembaga perbankan, APBN yang merupakan uang
rakyat digunakan untuk menghidupkan bank dan mengganti uang nasabah.
Dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan
kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan likuidasi terhadap suatu bank
yang bermasalah, disisi lain Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 2
ayat (3) juga memberikan kewenangan terhadap Bank Indonesia untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank yang
bermasalah, walaupun dalam prakteknya, sampai saat ini Bank Indonesia tidak
pernah mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut, namun apakah
kewenangan permohonan pernyataan pailit hanya boleh diajukan oleh Bank
Indonesia sementara itu Bank Indonesia telah melakukan likuidasi dan juga
pencabutan izin usaha terhadap bank tersebut.
Meskipun bank mempunyai fungsi yang sangat penting bagi
perekonomian suatu negara, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri ketika
bank juga dapat dibubarkan layaknya badan hukum lainnya. Memperhatikan
kenyataan tersebut, maka pembubaran bank wajiblah dilaksanakan sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, agar tidak terjadi keguncangan
dalam perekonomian nasional. Bank sebagai badan hukum yang dilahirkan
dan diciptakan berdasarkan proses hukum (​created by a legal process​). Hal
tersebut menyebabkan kehancuran/pembubaran bank juga mesti melalui
proses hukum.6
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana dasar pengaturan Bank serta penanganan Bank bermasalah di
Indonesia?
2. Bagaimana dasar Hukum tentang Likuidasi Bank Dalam Sistem Perbankan di
Indonesia​?

6
M. Yahya Harahap, ​Hukum Perseroan Terbatas​, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.
543.
6

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dasar pengaturan Bank serta penanganan Bank bermasalah di
Indonesia.
2. Mengetahui ​dasar Hukum tentang Likuidasi Bank Dalam Sistem Perbankan
di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A. DASAR  PENGATURAN  BANK  SERTA  PENANGANAN  BANK 


BERMASALAH DI INDONESIA 
Hukum yang mengatur masalah perbankan disebut dengan hukum
perbankan (​Banking Law)​ yakni seperangkat kaidah hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber
hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan
aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu
bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas, dan tanggung jawab
para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenaan
dengan dunia perbankan tersebut.7
Pada masa sekarang pengertian bank telah berkembang sedemikian
rupa, sehingga perumusannya dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
adalah :
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

7
Munir Fuady, ​Hukum Perbankan Modern​, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.
14.
7

bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan


taraf hidup rakyat banyak.”

Menurut G.M. Verryn Stuart bahwa bank adalah suatu badan yang
bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat
pembayaran sendiri, dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun
dengan jalan memperedarkan alat-alat penukar uang berupa uang giral.8
Ruddy Tri Santoso memberikan definisi bank adalah suatu industri
yang bergerak di bidang kepercayaan, yang dalam hal ini adalah sebagai
media perantara keuangan (​financial intermediary​) antara debitur dan kreditur
dana.9
Dengan demikian, bank merupakan lembaga yang berperan sebagai
intermediatery antara masyarakat sebagai penyimpan dana dengan masyarakat
yang membutuhkan dana untuk keperluan pengembangan usahanya dalam
rangka mendukung pelaksanaan pembangunan nasional (​agent of
development)​ . Dalam menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat
dalam bentuk investasi, bank akan mendapat selisih bunga (​spread​) dari kredit
yang disalurkannya tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Perbankan, bahwa perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia
menurut Pasal 3 UU Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat. Hal ini berarti bahwa perbankan dituntut peranannya yang lebih
aktif dalam menggali dana dari masyarakat dalam rangka pembangunan
nasional. Tujuan perbankan Indonesia menurut ketentuan Pasal 4 UU
Perbankan adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dengan

8
G.M. Verryn Stuart ​dalam O.P. Simorangkir, ​Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan
Nonbank​, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 10.
9
Ruddy Tri Santoso, ​Mengenal Dunia Perbankan​, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hlm
1.
8

memperhatikan prinsip kehati-hatian itu, maka diharapkan perbankan


Indonesia dalam melaksanakan usahanya akan melindungi kepentingan
masyarakat penyimpan dana khususnya serta menunjang kegiatan ekonomi
pada umumnya bahkan lembaga perbankan diharapkan dan dituntut untuk
mampu menciptakan stabilitas nasional dalam arti yang seluas-luasnya.10
Hukum perbankan saat ini menjadi sebuah hukum sektoral dan
fungsional. Hal ini disebabkan cakupan luas dari sistem perbankan itu sendiri
serta kegiatan usaha yang dijalankan menggunakan prinsip hukum perbankan.
Belum lagi hukum-hukum lain yang secara umum termasuk juga dalam kajian
hukum perbankan, misalnya hukum dagang, hukum administrasi, hukum
internasional, hukum pidana, dan masih banyak lagi lainnya.
Oleh karena banyaknya celah perbedaan hukum di antara satu dan
lainnya karena luasnya ruang lingkup hukum perbankan, Pemerintah
Indonesia perlu mengeluarkan sumber-sumber hukum perbankan untuk
mempermudah setiap keputusan yang berkenaan dengan perbankan. Beberapa
ketentuan yang khusus mengatur atau berkaitan dengan perbankan bisa
ditemukan di beberapa undang-undang berikut ini:
a. Burgerlijk Wetboek​ (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), terutama
ketentuan Buku II tentang kebendaan dan Buku III tentang perikatan;
b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
f. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar;
g. Wetboek van Koophandel​ (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang),
terutama ketentuan Buku I mengenai surat-surat berharga;
h. Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang;
i. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan ​Agreement
Establishing the World Trade Organization;​
j. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. dan

Ersan Gumilang, ​Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank BUMN Melalui Panitia Urusan
10

Piutang Negara (PUPN) Ditinjau Dari Sistem Penyelesaian Sengketa Perdata Di Indonesia,
(Bandung : Tesis, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2016), hlm 39
9

k. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas


Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Karena bank adalah produk usaha dari perbankan yang keberadaannya


bergantung pada tingkat kepercayaan nasabahnya, sehingga bank dan produk
usaha perbankan lainnya wajib melindungi nasabahnya dengan hukum
perbankan yang tepat dan lengkap sesuai kasus, sehingga tercipta situasi saling
menguntungkan antara bank dan nasabah yang akan berdampak positif
terhadap sistem perekonomian negara.
Suatu bank dikatakan bermasalah apabila bank tersebut tidak mampu
memenuhi kewajibannya sebagai pihak ketiga, karena mengalami kerugian
dan akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut menurun. Pada
dasarnya, suatu bank dianggap bermasalah ketika bank tersebut menghadapi
permasalahan dalam kegiatan operasionalnya secara terus menerus dan
memerlukan upaya khusus untuk mengatasinya. Sekali bank gagal dalam
memenuhi kewajibannya terhadap nasabah, maka reputasi bank akan menjadi
goyah bahkan dapat mengalami ​rush (​ penarikan dana besar-besaran) oleh
nasabah, dan pada akhirnya bank sebesar dan sesehat apapun dapat menjadi
tutup.
Suatu bank juga dapat dikatakan bermasalah apabila bank mengalami
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya saja
kondisi usaha bank yang semakin memburuk dengan ditandainya menurunnya
permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan lainnya. Terjadinya hal-hal tersebut
dikarenakan kurangnya pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian
dan pelaksanaan perbankan yang sehat.11
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan
Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 4/PLPS/2006 tentang penyelesaian bank
gagal yang tidak berdampak sistemik, menyatakan bahwa bank bermasalah
adalah bank yang berdasarkan penilaian Lembaga Pengawas Perbankan (LPP)

11
Rachmadi Usman, ​Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,​ (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 143.
10

mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan


ditempatkan dalam pengawasan khusus oleh LPP.
Berdasarkan Pasal 1 Butir ke 7 Undang-Undang LPS, Bank gagal
(​failing bank​) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan
membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi
disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan kewenangan
yang dimilikinya. Bank disebut sebagai bank gagal dapat dikarenakan ketidak
mampuannya dalam memenuhi kewajibannya kepada para deposannya atau
karena tidak bisa membayar atau pemenuhan permintaan dana-dana lainnya
yang masih merupakan bagian dari kewajibannya, penghentian terhadap
operasional bank gagal mempunyai dua alternatif penyelesaian yakni yang
pertama bank gagal tersebut dapat dilakukan dilikuidasi tanpa termasuk dalam
skema penjaminan atau yang kedua, bila bank gagal tersebut merupakan
bank-bank yang dipertanggungkan atau disebut pula sebagai bank tertanggung
maka bank gagal yang bersangkutan yang berada dalam jaminan pembayaran
kewajiban berdasarkan skema penjaminan oleh lembaga atau badan
penjaminan tersebut.12
Dalam Pasal 1 angka 3 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan ditegaskan bahwa suatu bank disebut
sebagai bank gagal apabila :
a. Bank mengalami kesulitan keuangan
b. Masalah keuangan yang dialami bank dapat membahayakan usahanya
c. Bank tidak lagi dapat disehatkan kembali oleh Lembaga Pengawas
Perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Kemudian bila terjadi bank gagal, masyarakat perlu mengetahui bahwa
resolusi atau penanganan sebuah bank gagal bisa dimasukkan dalam dua
kategori dasar, yaitu: (1) penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak

12
Jeanette Stephani, Analisis Hukum Peranan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam
Melindungi Nasabah Bank, ​Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion,​ (Jakarta Edisi 4, Volume 1, Tahun
2013), hlm 5
11

sistemik dan (2) penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. Berikut
uraiannya :
1. Penanganan Bank gagal yang tidak berdampak sistemik.
Sesuai Pasal 22 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2004 tentang
LPS ditegaskan bahwa penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak
sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan
penyelamatan terhadap Bank Gagal dimaksud. Selanjutnya menurut pasal
24 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS bahwa LPS menetapkan
untuk menyelamatkan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik jika
dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
a) Perkiraan biaya penyelamatan secara signifikan lebih rendah dari
perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank dimaksud;
b) Setelah diselamatkan, bank masih menunjukkan prospek usaha yang
baik;
c) Ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat
kesediaan untuk :
1. Menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS;
2. Menyerahkan kepengurusan bank kepada LPS; dan
3. Tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila proses
penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang
ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
d) Bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai :
1. Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;
2. Dana keuangan Nasabah Debitur;
3. Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3(tiga) tahun
terakhir; dan
4. Informasi lainnya yang terkait dengan asset, kewajiban termasuk
permodalan bank yang dibutuhkan oleh LPS.
12

Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang, maka LPS dapat


melakukan tindakan sebagai berikut :
a) Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset
milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank;
b) Melakukan Penyertaan Modal Sementara (PMS);
c) Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur
dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan nasabah kreditur ​(purchase
and assumption).
d) Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain;
e) Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
f) Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan
g) Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah
kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut
LPS merugikan bank.
Jika semua ketentuan diatas dipenuhi, maka LPS dengan segala
kewenangan yang dimilikinya akan berusaha keras untuk menyelamatkan
bank tersebut. Namun sebaliknya jika tidak terpenuhi, maka LPS akan
mengusulkan kepada LPP untuk mencabut izin usaha bank tersebut untuk
selanjutnya dillikuidasi. Jadi jelas bahwa tindakan penyelamatan bank
gagal dalam bentuk penyuntikan modal atau Penyertaan Modal Sementara
(PMS) bukanlah satu-satunya tindakan penyelamatan yang bisa dilakukan
LPS. Bisa dipahami bahwa banyaknya tindakan penyelamatan yang
diberikan UU LPS karena LPS merupakan upaya terakhir dalam rangka
penyelamatan sebuah bank gagal. Namun demikian, LPS juga dapat tidak
melanjutkan proses penyelamatan Bank Gagal, jika:
1) Ditemukan bukti baru bahwa biaya penyelamatan menjadi
sekurang-kurangnya : (a) 200% dari perkiraan biaya penyelamatan
pada saat keputusan penyelamatan; atau (b) lebih besar dari 60%
perkiraan biaya tidak menyelamatkan pada saat keputusan
penyelamatan;
13

2) Berdasarkan penilaian LPP, kondisi keuangan bank menurun sehingga


diperlukan tambahan modal untuk memenuhi ketentuan kecukupan
tingkat solvabilitas dan likuiditas.
Terhadap bank gagal yang tidak dilanjutkan proses
penyelamatannya oleh LPS, maka akan diusulkan kepada LPP untuk
mencabut izin usaha bank tersebut lalu dilanjutkan dengan melakukan
likuidasi. Pada prinsipnya, seluruh biaya yang dikeluarkan LPS dalam
rangka penyelamatan bank gagal merupakan penyertaan modal sementara
LPS pada Bank Gagal yang diselamatkan. Kedudukan LPS dalam
penyertaan modal sementara itu adalah sebagai pemegang saham dengan
hak preferen. Untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang optimal atas
PMS-nya, LPS bisa memperpanjang waktu penjualan saham bank.
Ketentuan mengenai penjualan saham tersebut adalah sebagai
berikut: LPS harus menjual saham seluruh bank secara terbuka dan
transparan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun, namun masih dapat
diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 kali dengan masing-masing
perpanjangan selama 1 tahun. Namun, apabila dalam jangka waktu
tersebut, tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat diwujudkan,
maka sesuai Pasal 30 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2004, LPS harus menjual
saham bank dalam jangka waktu 1 tahun berikutnya. Dalam hal ekuitas
bank bernilai positif pada saat penyerahan kepada LPS, LPS dan
pemegang saham lama membuat perjanjian yang mengatur penggunaan
hasil penjualan saham bank setelah penyelamatan dengan urutan prioritas
sebagai berikut :
1) Pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh
LPS;
2) Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada saat
penyerahan bank kepada LPS;
3) Jika masih terdapat sisa, maka dibagi secara proporsional kepada LPS
dan pemegang saham lama.
14

Sebaliknya, jika ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat
penyerahan kepada LPS, pemegang saham lama tidak memiliki hak atas
hasil penjualan saham bank setelah penyelamatan.
2. Penanganan Bank Gagal yang Berdampak Sistemik
Mekanisme penanganan bank gagal yang berdampak sistemik
sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2004 tentang
LPS ditegaskan bahwa penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik
dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan
pemegang saham lama atau tanpa mengikut sertakan pemegang saham
lama.
Penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik dilakukan
dengan mengikutsertakan pemegang saham lama ​(open bank ​assistance)
hanya dapat dilakukan apabila:
a) Pemegang saham Bank Gagal telah menyetor modal
sekurang-kurangnya 20% dari perkiraan biaya penanganan;
b) Ada pernyataan dari RUPS bank sekurang-kurangnya memuat
kesediaan untuk:
1) Menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS;
2) Menyerahkan kepada LPS kepengurusan bank dan
3) Tidak menuntut LPS atau pihak lain yang ditunjuk LPS dalam hal
proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang
ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c) Bank menyerahkan kepada LPS, dokumen mengenai:
1) Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;
2) Data keuangan nasabah debitur;
3) Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 tahun
terakhir dan
4) Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan
permodalan bank yang dibutuhkan LPS.
15

LPS bertanggung jawab atas kekurangan biaya penanganan Bank


Gagal yang berdampak sistemik setelah pemegang saham lama melakukan
penyetoran modal sekurang-kurangnya 20% dari perkiraan biaya
penanganan. Untuk selanjutnya, biaya penanganan Bank Gagal yang
dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada
bank tersebut. LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan
secara terbuka dan transparan paling lama 3 tahun dan dapat diperpanjang
sebanyak-banyaknya 2 kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1
tahun untuk memperoleh tingkat pengembalian yang optimal. Namun,
apabila dalam jangka waktu tersebut tingkat pengembalian yang optimal
tidak dapat diwujudkan, LPS harus menjual saham bank dalam jangka
waktu 1 tahun berikutnya.
Dalam hal ekuitas bank bernilai positif setelah pemegang saham
lama melakukan penyetoran modal, LPS dan pemegang saham membuat
perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham bank dengan
urutan sebagai berikut:
1) Pengembalian seluruh biaya penanganan yang telah dikeluarkan oleh
LPS;
2) Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada
posisi sesaat setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran
modal;
3) Jika masih terdapat sisa, maka dibagi secara proporsional kepada LPS
dan pemegang saham lama.
Sebaliknya, jika ekuitas bank bernilai nol atau negatif setelah
pemegang saham lama melakukan penyetoran modal, pemegang saham
lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank. (Pasal 35 UU
No. 24 Tahun 2004).
Penanganan Bank Gagal tanpa mengikutsertakan pemegang saham
lama akan ditempuh, apabila persyaratan untuk penanganan Bank Gagal
dengan mengikutsertakan pemegang saham lama tidak dapat dipenuhi.
16

Tahap selanjutnya, terhitung sejak LPS menetapkan untuk


melakukan penanganan Bank Gagal tanpa mengikutsertakan pemegang
saham lama, LPS akan mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS,
kepemilikan dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud.
Seluruh biaya penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS
menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. Penjualan seluruh
saham bank dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 tahun dan dapat
diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 kali dengan masing-masing
perpanjangan selama 1 tahun, dalam hal pengembalian optimal
(sekurang-kurangnya sama dengan penyertaan modal sementara LPS)
tidak dapat diwujudkan selanjutnya, LPS harus menjual dalam satu tahun
berikutnya dengan harga terbaik. Tentu saja, penjualan saham bank ini
harus dilakukan secara terbuka dan transparan. Namun, apabila dalam
jangka waktu tersebut, tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat
diwujudkan, maka sesuai Pasal 42 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2004, LPS
harus menjual saham bank dalam jangka waktu 1 tahun berikutnya.
Dalam hal ekuitas bank bernilai positif pada saat penyerahan
kepada LPS, maka LPS dan pemegang saham lama membuat perjanjian
yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham bank setelah
penanganan dengan urutan prioritas sebagai berikut:
1) Pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh
LPS;
2) Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada saat
penyerahan bank kepada LPS;
3) Jika masih terdapat sisa, maka dibagi secara proporsional kepada LPS
dan pemegang saham lama.

B. DASAR  HUKUM  TENTANG  LIKUIDASI  BANK  DALAM  SISTEM 


PERBANKAN DI INDONESIA  
17

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang perbankan


tidak terdapat definisi mengenai likuidasi Pasal 37 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 hanya menentukan bahwa apabila
menurut penilaian Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan
memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) guna membubarkan badan hukum bank dan
membentuk tim likuidasi.
Secara harfiah likuidasi berarti pembubaran, penghapusan,
penghentian, dan/atau pemberesan.13 Dalam ​Black’s law Dictionary
disebutkan bahwa likuidasi adalah suatu tindakan yang menentukan sesuatu
jumlah secara tepat (sebagai suatu utang atau kerusakan) dengan perjanjian
atau litigasi yang sebelumnya tidak pasti atau suatu tindakan untuk
menyelesaikan utang dengan pembayaran atau kepuasan lainnya, tindakan
atau proses untuk mengubah asset menjadi uang, untuk melunasi utang.14
Keberadaan bank yang berbentuk hukum sebagai perseroan terbatas
dapat dihentikan dengan melakukan pembubaran, dimana pembubaran
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai alasan. Walaupun pembubaran telah
dilakukan, biasanya bank tersebut masih memiliki aset, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, pembubaran
biasanya diikuti dengan pemberesan atau lebih dikenal dengan istilah
“likuidasi”. Likuidasi bank adalah merupakan tindakan penyelesaian seluruh
hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan
pembubaran badan hukum bank. Jadi likuidasi bank bukanlah sekedar
pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank, tetapi berkaitan
dengan proses penyelesaian segala hak dan kewajiban dari suatu bank yang
dicabut izin usahanya. Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan
lagi dengan proses pembubaran badan hukum bank yang bersangkutan, dan
seterusnya dilakukan proses pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan

13
Muyassarotussolichah, ​Aspek Hukum Likuidasi Bank di Indonesia, Pra Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS)​ , (Yogyakarta : Cakrawala, 2005), hlm 31.
14
Bryn A. Garner, ​Black’s Law Dictionary​, Ninth Edition, West, a Thomson Business,
USA, 2004.
18

kewajiban (piutang dan utang) bank sebagai akibat dari pencabutan izin usaha
dan pembubaran badan hukum bank.15
Kemudian dalam perkembangannya, terdapat beberapa istilah yang ada
kaitannya dengan likuidasi, yaitu :
1. Dissolution,​ yaitu rangkaian proses yang terdiri dari proses pemberhentian
badan hukum dan bisnis perusahaan, penjualan aset, pembagian hasil
penjualan aset kepada para pihak yang berhak dan dalam proses ini
dilakukan juga proses pembubaran. Terdapat 3 (tiga) macam dissolusi,
yaitu :
a. Dissolusi Sukarela ​(voluntary dissolution)​, yaitu disolusi yang
dilakukan atas rekomendasi dari salah satu atau lebih organ perseroan
dan diputus oleh RUPS.
b. Dissolusi Administrasi ​(administrative dissolution)​, yaitu dissolusi
yang dilakukan atas perintah pemerintah karena perusahaan tidak
memenuhi prosedur hukum tertentu atau karena alasan demi
kepentingan umum. Dissolusi ini dilakukan tidak secara sukarela
sehingga disebut juga ​involuntary dissolution​.
c. Dissolusi judisial ​(judicial dissolution)​, merupakan salah satu
involuntary dissolution ​yang diperintahkan oleh Pengadilan karena
permohonan dari pemegang saham, kreditor atau negara karena
alasan-alasan khusus.16
2. Winding up,​ yaitu suatu proses dimana perusahaan yang sudah diputuskan
untuk dilikuidasi diangkat likuidatornya, asetnya dikumpulkan dan
dibagikan kepada para kreditor, pemegang saham atau kepada pihak
lainnya yang berhak. Istilah ini di beberapa negara disamakan dengan
likuidasi, seperti halnya likuidasi disamakan dengan dissolusi.

15
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, ​Hukum Perbankan​, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), hlm 532
16
Munir Fuady, ​Perseroan Terbatas Paradigma Baru, c​ et. I., (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), hlm. 180
19

3. Termination,​ merupakan pengakhiran suatu perusahaan setelah proses


likuidasi selesai. Pengertian ini dapat disamakan dengan pembubaran
menurut hukum Indonesia.
Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai
penjaminan dana masyarakat khususnya dalam rangka mewujudkan apa yang
telah diamanatkan dalam ketentuan Pasal 37 B Undang-Undang Perbankan,
yaitu tentang perlunya pembentukan Lembaga Penjaminan Simpanan, pada
tahun 2004 pemerintah membentuk suatu badan khusus yang disebut Lembaga
Penjamin Simpanan atau ​LPS. Dengan telah dibentuknya LPS tersebut,
ketentuan mengenai likuidasi diatur pula di dalam :
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009;
b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 sebagaimana telah
ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/38/PBI/2005;
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3444/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut
Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam Status Pengawasan
Khusus;
e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/50/DPBPR tanggal 1 November
2005 perihal Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat
dalam Status Pengawasan Khusus;
f. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2005 tentang
Likuidasi Bank, yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2008 tentang
Likuidasi Bank;
g. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 4/PLP/2006 tentang
Penyelesaian Bank Gagal yang Tidak Berdampak Sistemik sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor
002/PLP/2007, sebagai pengganti dan penyempurna dari Peraturan
Lembaga Penjamin Nomor 3/PLP/2005 tentang Penyelesaian Bank Gagal
yang Tidak Berdampak Sistemik;
h. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 5/PLP/2006 tentang
Penyelesaian Bank Gagal yang Berdampak Sistemik sebagaimana diubah
dengan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3/PLPS/2008.
20

Namun walaupun telah terbentuk Lembaga Penjamin Simpanan, dalam


ketentuan pasal 98 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga
Penjamin Simpanan, menyebutkan bahwa proses likuidasi yang dimulai
sebelum berlakunya Undang-Undang tentang LPS, tetap dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan mengenai likuidasi bank sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Selain memperhatikan peraturan khusus dalam pencabutan izin usaha,
pembubaran dan likuidasi bank dalam proses tersebut, maka sepanjang tidak
diatur secara khusus dalam ketentuan perbankan perlu juga memperhatikan
peraturan yang bersifat umum seperti :
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, bagi
pembubaran bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas;
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, bagi
pembubaran badan hukum yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas terbuka (perseroan terbatas terbuka);
3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, bagi
pembubaran bank yang berbentuk hukum koperasi;
4) Peraturan perundang-undangan mengenai badan usaha milik
negara/daerah, bagi pembubaran badan hukum bank yang berbentuk badan
usaha milik negara (perusahaan perseroan) atau badan usaha milik daerah
(perusahaan daerah).17
Pada tanggal 10 Nopember 1998, Pemerintah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, terdapat beberapa pasal dari
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mengalami perubahan, antara lain
ketentuan mengenai likuidasi yang terdapat dalam Pasal 37.

17
​ ..​Op.Cit,​ hlm 171
Rachmadi Usman, ​Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia…
21

Perubahan atas pasal 37 tersebut khususnya adalah mengenai siapa


yang berwenang untuk melakukan pencabutan izin usaha bank. Jika di dalam
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, menyatakan bahwa yang
berwenang untuk mencabut izin usaha bank adalah Menteri Keuangan setelah
mendapat usulan dari Bank Indonesia, maka perubahannya di dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang mempunyai kewenangan untuk
mencabut izin usaha bank adalah Pimpinan Bank Indonesia. Hal ini
disebabkan karena adanya suatu upaya untuk menjadikan Bank Indonesia
sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan pihak-pihak lainnya, dan dalam hal ini kemudian diwujudkan
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.18
Dengan adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagaimana yang diuraikan
di atas, maka pada tanggal 3 Mei 1999 telah ditetapkan dan diundangkan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank. Dengan berlakunya peraturan pemerintah
ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan Tata
Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1997 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 serta dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1999, menetapkan 2 (dua) alasan hukum yang memungkinkan suatu bank
dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia, yaitu apabila menurut penilaian
Bank Indonesia :
1. Keadaan suatu bank membahayakan sistem perbankan, termasuk dalam
criteria yang membahayakan sistem perbankan adalah apabila tingkat
kesulitan yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha, suatu bank tidak

18
Kusumaningtuti SS, ​Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di
Indonesia​, (Jakarta : PT. Raja Grafinfo Perkasa, 2009), hlm.166-167
22

mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga


pada gilirannya akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank
lainnya (Penjelasan atas Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998); atau
2. Suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya dan tindakan untuk mengatasinya belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi bank. Termasuk dalam kriteria bahwa “suatu bank
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya” adalah
apabila berdasarkan penilaian dari Bank Indonesia, kondisi usaha bank
semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan,
kualitas aset, likuiditas dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak
dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian ​(Prudential banking) d​ an asas
perbankan yang sehat. (Penjelasan atas Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998).
Alasan likuidasi (pembubaran) yang terdapat dalam Undang-Undang
Perbankan tersebut diatas sangatlah erat kaitannya dengan kepentingan umum.
Likuidasi dalam hal ini merupakan sanksi administratif/publik terhadap bank,
sebagai akibat pelanggaran yang dilakukan oleh perseroan terhadap
Undang-Undang Perbankan (Pasal 29 s/d 36), yang berkaitan dengan
kepentingan umum. Pelanggaran itu dilakukan sedemikian rupa sehingga
membahayakan bagi kelangsungan usahanya, dan membahayakan sistem
perbankan.19
Mencermati ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Perbankan jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 jo. SK Direksi BI No.
32/53/KEP/DIR tersebut, maka likuidasi bank dapat dipilah dalam 2 (dua)
besaran pokok :

19
Elfridawati Siburian, ​Peranan Program Rekapitalisasi Terhadap Perbankan Ditinjau
Dari Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998​, (Medan : Skripsi pada Fakultas Hukum USU
Medan, 2007), hlm. 58
23

1) Pertama,​ likuidasi bank karena upaya penyelamatan tidak cukup


mengatasi masalah atau bank tersebut dinilai oleh Bank Indonesia
membahayakan system perbankan, dimana hal ini sering disebut juga
dengan ​compulsory liquidation. ​Pada likuidasi ini, Otoritas Pengawas
Bank (Bank Indonesia) mencabut izin usaha bank menggunakan kekuatan
Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Perbankan.
2) Kedua​, likuidasi bank karena adanya permintaan sendiri dari pemegang
saham atau pemilik bank, termasuk dalam kategori ini adanya permintaan
dari kantor pusat bank di luar negeri yang akan menutup kantor cabangnya
di Indonesia (​self liquidation a​ tau sering disebut juga dengan ​voluntary
​ ecara proses, likuidasi jenis ini relatif sederhana karena
liquidation). S
memang dikehendaki sendiri oleh pemilik atau pemegang saham, sehingga
pada dasarnya tidak mengandung unsur “dipaksa” oleh otoritas
sebagaimana tipe pertama karena keadaan yang memburuk dari bank yang
bersangkutan. Sebabnya dapat beraneka ragam, antara lain mungkin dari
segi bisnis oleh pemilik dipandang tidak prospektif lagi. Hal yang paling
harus dicermati oleh otoritas pada proses ​self liquidation ​adalah seluruh
kewajiban kepada kreditur termasuk nasabah penyimpan dana harus
terbayarkan secara lunas, tidak boleh ada yang dirugikan guna melindungi
kepentingan masyarakat, utamanya penyimpan dana.20
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 memungkinkan
proses ​self liquidation ​ini, namun harus mendapat izin dari Bank
Indonesia. Terkait hal tersebut, di dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah
dimaksud mengatur :21
a) Dalam hal pada pemegang saham akan membubarkan badan hukum
bank atas keinginannya sendiri, pembubaran tersebut hanya dapat
dilakukan setelah pencabutan izin usaha oleh Bank Indonesia.

20
Wahyudi Santoso, ​Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan,
(Jakarta : Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 8
21
Adrian Sutedi, ​Hukum Perbankan : Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi, dan Kepailitan, ​(Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2007), hlm. 142
24

b) Pencabutan izin usaha hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia


apabila bank yang bersangkutan telah menyelesaikan kewajibannya
kepada seluruh kreditor.
c) Pembubaran badan hukum bank wajib didaftarkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Dalam hal ini, bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu
menyelesaikan semua kewajiban kepada seluruh kreditur termasuk
nasabah penyimpan dana dan kemudian dilakukan pencabutan izin usaha
oleh Bank Indonesia.
Dari uraian di atas, memberi suatu pengertian bahwa likuidasi yang
terjadi pada suatu bank tidak sama halnya dengan likuidasi perusahaan, dalam
likuidasi perusahaan biasanya yang melakukan likuidasi didasarkan pada usul
kreditur yang menyatakan perusahaan itu pailit maupun oleh kehendak para
pemegang saham. Sedangkan dalam likuidasi bank lebih bersifat dipaksakan,
Bank Indonesia yang menilai ketidakmampuan bank berhak untuk menjaga
keselamatan usaha perbankan nasional dengan jalan melikuidasi bank-bank
yang tidak dapat disehatkan lagi.
Tindakan pencabutan izin usaha bank merupakan suatu langkah akhir
dari usaha untuk menyehatkan bank yang terkena kesulitan tersebut. Sebelum
dilakukan tindakan pencabutan izin usaha bank, Bank Indonesia telah
menempuh tindakan-tindakan atau langkah-langkah permulaan. Usaha
penyelamatan bank melalui tindakan-tindakan permulaan tersebut merupakan
salah satu bentuk dari tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dan
pengawas serta pembina bank-bank di Indonesia. Pelaksanaan pengawasan
bank oleh Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perbankan yang
berlaku.
Dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta Pasal 5 dan Pasal
6 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tersebut, dapat dikemukakan
bahwa pembubaran badan hukum bank terjadi setelah adanya pencabutan izin
25

usaha bank tersebut oleh Pimpinan Bank Indonesia, dan likuidasi bank yang
dicabut izin usahanya dilakukan setelah badan hukum bank dibubarkan.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa likuidasi suatu bank merupakan
kelanjutan dari pelaksanaan pencabutan izin usaha dari bank tersebut.
Likuidasi bank juga bisa dikatakan sebagai akibat dari adanya pencabutan izin
usaha bank yang karena salah satu atau keduanya dari alasan yang tercantum
dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah terpenuhi.
Likuidasi bank sesuai dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 1999 dilakukan dengan cara pencairan harta dan atau penagihan
piutang kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank
kepada para kreditur dari hasil pencairan dan atau penagihan tersebut atau
pengalihan seluruh harta dan kewajiban bank kepada pihak lain yang disetujui
Bank Indonesia. Pencairan harta kekayaan BDL dapat dilakukan dengan
penjualan di bawah tangan atau lelang biasa tanpa melalui Kantor Lelang
Negara. Hal ini dimaksudkan agar dapat diperoleh harga jual yang relatif baik
sesuai dengan harga yang wajar. Setelah dilakukannya pencairan harta
kekayaan BDL, hasil pencairan disetorkan ke bank yang ditunjuk oleh Tim
Likuidasi dengan sepengetahuan Bank Indonesia. Hasil pencairan aset bank
inilah yang digunakan untuk membayar kewajiban Bank Dalam Likuidasi
kepada para nasabah dan kreditur.22

22
​Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, ​Hukum Perbankan​…..​Op.Cit​, hlm 546
26

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Suatu bank juga dapat dikatakan bermasalah apabila bank mengalami
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya
saja kondisi usaha bank yang semakin memburuk dengan ditandainya
menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan lainnya. Terjadinya
hal-hal tersebut dikarenakan kurangnya pelaksanaan yang sesuai dengan
prinsip kehati-hatian dan pelaksanaan perbankan yang sehat. ​Berdasarkan
Pasal 1 Butir ke 7 Undang-Undang LPS, Bank gagal (​failing bank)​ adalah
bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan
kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh
27

Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan kewenangan yang


dimilikinya. Kemudian bila terjadi bank gagal, masyarakat perlu
mengetahui bahwa resolusi atau penanganan sebuah bank gagal bisa
dimasukkan dalam dua kategori dasar, yaitu: (1) penyelesaian bank gagal
yang tidak berdampak sistemik dan (2) penanganan bank gagal yang
berdampak sistemik.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang perbankan tidak terdapat
definisi mengenai likuidasi Pasal 37 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 hanya menentukan bahwa apabila menurut
penilaian Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintah
direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk
tim likuidasi. Dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta
Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tersebut,
dapat dikemukakan bahwa pembubaran badan hukum bank terjadi setelah
adanya pencabutan izin usaha bank tersebut oleh Pimpinan Bank
Indonesia, dan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya dilakukan setelah
badan hukum bank dibubarkan.

B. SARAN
1. Suatu bank dikatakan bermasalah apabila bank tersebut tidak mampu
memenuhi kewajibannya sebagai pihak ketiga, karena mengalami kerugian
dan akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut menurun.
Pada dasarnya, suatu bank dianggap bermasalah ketika bank tersebut
menghadapi permasalahan dalam kegiatan operasionalnya secara terus
menerus dan memerlukan upaya khusus untuk mengatasinya. Sekali bank
gagal dalam memenuhi kewajibannya terhadap nasabah, maka reputasi
bank akan menjadi goyah bahkan dapat mengalami ​rush ​(penarikan dana
besar-besaran) oleh nasabah, dan pada akhirnya bank sebesar dan sesehat
28

apapun dapat menjadi tutup. Maka Bank seharusnya benar-benar menjaga


kepercayaan masyarakat tersebut dengan memegang penuh prinsip
kehati-hatian dalam pengelolaannya.
2. Namun walaupun telah terbentuk Lembaga Penjamin Simpanan, dalam
ketentuan pasal 98 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang
Lembaga Penjamin Simpanan, menyebutkan bahwa proses likuidasi yang
dimulai sebelum berlakunya Undang-Undang tentang LPS, tetap
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai likuidasi bank
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Sehingga dalam prosedur serta mekanisme likuidasi tersebut harus
dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, ​Hukum Perbankan : Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,


Likuidasi, dan Kepailitan, (​ Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2007)

____________, ​Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan,​ (Jakarta : Sinar


Grafika, Cet ke 1, 2010)

​ lack’s Law Dictionary​, Ninth Edition, West, a Thomson Business,


A. Garner, B
USA, 2004.
29

Dahlan Siamat, ​Manajemen Lembaga Keuangan; Kebijakan Moneter dan


Perbankan​, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2005)

Didik, J. Rachbini, Suwidi Tono, Dkk, ​Bank Indonesia Menuju Independensi


Bank Sentral, (​ Jakarta: Mardi Mulyo, 2000)

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, ​Hukum Perbankan,​ (Jakarta : Sinar


Grafika, 2010)

Elfridawati Siburian, ​Peranan Program Rekapitalisasi Terhadap Perbankan


Ditinjau Dari Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998​, (Medan :
Skripsi pada Fakultas Hukum USU Medan, 2007)

Ersan Gumilang, ​Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank BUMN Melalui Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN) Ditinjau Dari Sistem Penyelesaian
Sengketa Perdata Di Indonesia, ​(Bandung : Tesis, Sekolah Tinggi
Hukum Bandung, 2016)

Jeanette Stephani, Analisis Hukum Peranan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam


Melindungi Nasabah Bank, ​Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion,​
(Jakarta Edisi 4, Volume 1, Tahun 2013)

Kusumaningtuti SS, ​Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di


Indonesia,​ (Jakarta : PT. Raja Grafinfo Perkasa, 2009)

M. Yahya Harahap, ​Hukum Perseroan Terbatas​, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)

Muyassarotussolichah, ​Aspek Hukum Likuidasi Bank di Indonesia, Pra Lembaga


Penjamin Simpanan (LPS​), (Yogyakarta : Cakrawala, 2005)

Munir Fuady, ​Perseroan Terbatas Paradigma Baru, c​ et. I., (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2003)

___________, ​Hukum Perbankan Modern​, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003)

O.P. Simorangkir, ​Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Nonbank,​ (Jakarta :


Ghalia Indonesia, 2000)

Rachmadi Usman, ​Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia​, (Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama, 2001)

Ruddy Tri Santoso, ​Mengenal Dunia Perbankan​, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998)

Theresia Anita Christiani, ​Hukum Perbankan Analisis Independensi Bank


Indonesia, Badan Supervisi, LPJK, Bank Syariah, dan Prinsip
30

Mengenal Nasabah​, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta,


2010)

Wahyudi Santoso, ​Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan,


(Jakarta : Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2006)

Anda mungkin juga menyukai