Khazanah keilmuan komunikasi dipengaruhi oleh ilmu-ilmu. sosial di mana ilmu sosial
adalah induk dari ilmu komunikasi, di samping itu juga ilmu komunikasi dipengaruhi oleh
ilmuwannya dan stakeholder akademik di sekitarnya.
Sebagaimana telah dijelaskan mengenai filsafat sosiologi komunikasi maka sejarah teori
komunikasi menempuh dua jalur. Pertama, kajian dan sumbangan pemikiran Auguste Comte,
Durkheim, Talcott Parson dan Robert K. Merton merupakan sumbangan paradigma fungsional
bagi lahirnya teori-teori komunikasi yang beraliran struktural-fungsional. Kedua,
Sumbangan-sumbangan pemikiran Karl Marx dan Habermas menyumbangkan paradigma
konflik bagi lahirnya teori-teori konflik dan teori kritis dalam kajian komunikasi.
Basis sosial semacam ini melahirkan berbagai kajian dan perspektif komunikasi sehingga
mendesak teori-teori komunikasi konvensional. Berbagai bidang studi terutama jenjang S2
dan S3 secara terbuka menerima berbagai jurusan keilmuan, sehingga mahasiswa-mahasiswa
dengan leluasa melakukan hibridasi keilmuan, maka lahirlah berbagai perspektif baru dalam
keilmuan komunikasi yang selama ini didominasi oleh perspektif teori konvensional. Dunia
dan kajian komunikasi seperti gadis yang baru saja bisa menstruasi, masih remaja, cantik, dan
memesona. Jurusan-jurusan ilmu komunikasi kemudian sarat dengan mahasiswa dan beberapa
perguruan tinggi di Jakarta dan Bandung jurusan komuikasi telah mengalahkan penerimaan
fakultas ekonomi yang selama ini berlimpah ruah dengan calon mahasiswa.
Perkembangan terakhir dunia komunikasi di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh tiga
paradigma besar. Pertama, paradigma teori konvensional, yaitu paradigma teori yang dianut
oleh para ilmuwan komunikasi yang secara keilmuannya mengembangkan teorinya ecara
linier. Para ilmuwan ini memiliki kecenderungan memandang teori komunikasi secara
tradisional, mereka sejak semula telah mempelajari bidang komunikasi sejak jenjang
pendidikan SI dan tidak memalingkan pandangannya terhadap teori-teori lain di sekitar objek
komunikasi. Kedua, paradigma kritis dan perspektif komunikasi, yaitu paradigma komunikasi
yang dianut oleh para sarjana yang awalnya (terutama SI) belum mempelajari teori komunikasi,
kemudian secara serius mempelajari komunikasi secara kritis dan menurut perspektif
komunikasi yang dilihatnya. Paradigma ini antara lain adalah sosiologi komunikasi, hukum
komunikasi dan hukum media, psikologi komunikasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi
politik, komunikasi organisasi, komunikasi publik, komunikasi sosial, semiotika komunikasi,
public relation, dan sebagainya. Ketiga, paradigma teknologi media. Paradigma ini lahir dari
para peminat teknologi telematika, terutama oleh para sarjana teknologi informasi. Walaupun
paradigma ini tidak terlalu berpengaruh dalam kancah teori komunikasi bila dibandingkan
dengan dua paradigma terdahulu, namun teori-teori komunikasi menggunakan perkembangan
Jadi, arah pengembangan teori banyak dipengaruhi oleh paradigma teknologi informasi ini,
sehingga perguruan tinggi ilmu komunikasi memandang perlu mengajarkan teori dan sejarah
teknologi komunikasi kepada mahasiswanya, sekaligus terus menjadikan paradigma ini sebagai
lahirnya perspektif baru dalam teori-teori komunikasi sebagai metamorfosis dengan
paradigma-paradigma lain.
Dari sisi lain, menurut Sendjaja (2005:11), bahwa ilmu komunikasi pada dasarnya
merupakan salah satu ilmu pengetahuan sosial yang bercirikan 'multi perspektif' dan 'multi
paradigma'. Selanjutnya ia mengatakan, berdasarkan basis keilmuan, perspektif dan paradigma
yang diterapkan dalam ilmu komunikasi bermacam ragam.
Sehubungan dengan itu, berdasarkan metode dan logika, terdapat 4 (empat) perspektif
yang mendasari teori dalam ilmu komunikasi. Keempat perspektif tersebut adalah covering
lows, rules, system dan symbolic interactionism. Pemikiran perspektif pertama covering lows,
yang berangkat dari prinsip kausalitas atau hubungan sebab akibat (Berger, 1977), umumnya
menjadi basis pengembangan teori-teori komunikasi yang memerlukan pembuktian secara
empiris. Pemikiran perspektif rules, berdasarkan prinsip praktis bahwa manusia aktif memilih,
mengubah, dan menentukan aturan-aturan yang menyangkut kehidupannya (Chusman, 1977).
Perspektif ini banyak diterapkan dalam teori-teori komunikasi pribadi. Perspekti sistem
mempunyai 3 (tiga) model, yakni 'general system theory', 'cybernetics', dan 'structural
fnnctionalism' (Monge, 1977), umumnya di jadikan landasan pada teori-teori informasi dan
komunikasi organisasi. Sementara perseptif symbolic interactionism, lebih mengutamakan
pengamatannya pada interaksi simbolis (Charon, 197S 1998) yang diterapkan pada
penelitian-penelitian tentang perilaku komunikasi antar-individu dalam kehidupan sosial
(Sendjaja, 2005: 11).
Menurut Sendjaja (2005), paradigma klasik (gabungan dari paradigma 'positivism' dan
post-positivism menurut Guba), menurut Dedy N. Hidayat (1999), bersifat 'interventionist',
yakni melakukan pengujian hipotesis dalam struktur hypothetico-deductive method, melalui
laboratorium, eksperimen, atau survei eksplanatif dengan analisis kuantitatif. Dengan
demikian, objektivitas, validitas, dan realibilitas diutamakan dalam paradigma ini. Paradigma
kritis lebih berorientasi 'participative' dalam arti mengutamakan analisis komprehensif,
kontekstual, dan multilevel analisis, dan peneliti berperan sebagai aktivis atau partisipan.
Sedangkan paradigma konstruktivisme, bersifat reflektif dan dialektikal. Menurut paradigma
ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi dialektis agar
mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif seperti observasi
partisivasi (participant observation).
Sedangkan berdasarkan fokus wilayah kajiannya, menurut Griffin (2003) dalam Sendjaja
(2005), paradigma teori dalam ilmu komunikasi dapat dikelompokkan dalam 7 (tujuh) tradisi:
(1) tradisi psikologi-sosial; (2) tradisi sibernetika; (3) tradisi retorika; (4) tradisi semiotika; 5)
tradisi sosiokultural; (6) tradisi kritis; dan (7) tradisi fenomenologi. Tradisi psikologi-sosial
Ilmu komunikasi, menurut Charles R. Berger dan Steven H. Chaffee (1987:15 dalam
Sendjaja, 2005:9) dapat didefinisikan sebagai berikut: "Communication science seeks to
understand the production, processing and effects of and signal systems by developing testable
theories, containing lawful generalizations, that explain phenomena associated with
production, processing, and effects'. Ilmu komunikasi berupaya memahami produksi,
pemrosesan dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang, melalui pengembangan
teori-teori yang dapat diuji, berisikan generalisasi-generalisasi yang sah yang menjelaskan
fenomena yang berkaitan dengan produksi, pemrosesan, dan pengaruh dari sistem tanda dan
lambang tersebut. Pengertian ilmu komunikasi ini cenderung berorientasi 'positivistik'.
Sementara itu, menurut Stephen W. Littlejohn (2002:11 dalam Sendjaja, 2005), sebagai
salah satu ilmu pengetahuan sosial, ilmu komunikasi adalah "communication as a social
science, communication involves understanding how people behave in creating, exchanging,
and interpreting messages. Consequently, communication inquiry combines both scientific
and humanistic methods". Jadi, komunikasi adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang
memiliki ciri-ciri; berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana orang berperilaku dalam
mencipta- kan, mempertukarkan, serta menginterprestasikan pesan-pesan. Oleh karena itu,
(penelitian) keilmuan yang dipergunakan dalam bidang komunikasi memerlukan kombinasi
penggunaan metode pendekatan 'scientific' (ilmiah impirispositivistik) dan metode pendekatan
'humanistic' (humanistik).
1. Pandangan Humanistik
Hampir semua program riset dan penyusunan teori menyertakan beberapa aspek baik
pengetahuan ilmiah maupun pengetahuan humanistik. Pada suatu saat ilmuwan adalah seorang
humanis yang menggunakan intuisi kreativitas, interpretasi, dan pandangan dengan ironis.
Ilmuwan menjadi objektif dalam menciptakan metode yang mengarah kepada observasi
objektif, membuat riset, merancang suatu proses kreatif. Dengan demikian, pada suatu saat
Salah satu pendekatan dalam ilmu pengetahuan adalah ilmu sosial. Walaupun pada
mulanya pendekatan ilmu sosial merupakan satu upaya menggunakan pendekatan ilmu eksakta
dalam melihat masyarakat sebagaimana yang dimaksud oleh August Comte memperkenalkan
sosiologi sebagai ilmu yang membahas kehidupan sosial saat itu sehingga pada awalnya ilmu
sosial menggunakan metode yang dipinjam dari ilmu fisika. Dalam berupaya
mengobservasikan dan menginterpretasikan pola-pola perilaku manusia akar ilmu sosial
menjadikan manusia sebagai objek studi yang arus diobservasinya. Apabila pola-pola perilaku
pada kenyataanya ada, maka observasi haruslah seobjektif mungkin. Dengan kata lain,
ilmuwan sosial seperti ilmuwan alam harus menegakkan konsensus pada apa yang
diobservasinya secara akurat yang nantinya akan dijelaskan atau diinterpretasikan (Littlejohn,
1996:11).
Penginterpretasian mungkin rumit karena kenyataannya adalah objek observasi itu adalah
subjek manusia yang merupakan makhluk hidup yang berbeda dengan fakta-fakta alam.
Makhluk hidup mampu memiliki pengetahuan dan memiliki nilai-nilai, membuat ia dapat
berinterpretasi dan melakukan tindakan. Kontroversi mengenai objek manusia sebagai
makhluk hidup dalam riset-riset ilmiah merupakan isu penting dalam ilmu sosial karena
respons subjektif individu sebagai objek riset haruslah dipertimbangkan dalam memahami
bagaimana orang berpikir dan mengevaluasi tindakannya. Komunikasi mengandung
pemahaman bagaimana manusia berperilaku dalam mencipta, bertukar, dan penginterpretasian
pesan-pesan. Akibatnya, komunikasi memerlukan gabungan metode keilmuan sosial dan
humanistik (Littlejohn, 1996: 11).
Dari berbagai pandangan yang dikemukakan para ahli (Berger & Chaffee, 1987;
Littlejohn, 2002; Griffin, 2003; Rogers, 1994; Deetz dan Putnam, 2001, dalam Sendjaja, 2005:
10) secara umum, ilmu komunikasi mempunyai 3 (tiga) karakteristik sebagai berikut: Pertama,
ilmu komunikasi merupakan ilmu sosial yang bersifat multidisipliner dan bidang kajiannya
sangat luas. Disebut demikian, karena untuk fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses
dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang konteksnya sangat luas, mencakup
berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari kehidupan manusia. Unit analisisnya
juga bervariasi, mulai dari unit individual atau personal, kelompok organisasi, masyarakat luas
(dalam suatu negara), sampai ke unit-unit internasional dan global. Oleh karena itu, pendekatan
yang diterapkan dalam ilmu komunikasi bersifat multidisipliner. Pemikiran-pemikiran teoretis
yang dikemukakan dalam ilmu komunikasi, berasal dari dan berkenaan dengan berbagai
disiplin lainnya, seperti sosiologi, psikologi sosial, politik, linguistik, antropologi, ekonomi,
ekologi, hukum, dan ilmu-ilmu yang lainnya termasuk ilmu eksakta. Kedua, ilmu komunikasi
tidak hanya merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat murni-teoretis-akademis, tetapi juga
merupakan ilmu pengetahuan terapan yang diperlukan berbagai kalangan praktisi. Karena,
ilmu komunikasi juga menjelaskan tentang seni produksi sistem-sistem tanda dan lambang,
mencakup berbagai aspek dan tingkat kepentingan yang sangat luas, menyangkut kepentingan
perorangan, kelompok, organisasi dan perusahaan, sampai ke kepentingan masyarakat, bangsa
dan negara. Sistem tanda dan lambang juga diperlukan oleh seluruh bidang kehidupan, baik
yang menyangkut politik, sosial, budaya, ataupun ekonomi dan bisnis. Ketiga, teknologi
khususnya teknologi komunikasi yang diperlukan dalam proses produksi sistem tanda dan
lambang merupakan salah satu objek kajian utama. Ini berarti pengembangan dan penerapan
Ada dua pendekatan dalam keilmuan komunikasi yang selama ini digunakan. Pertama,
disebut pendekatan non-ilmiah atau unscientific dan kedua adalah pendekatan ilmiah atau
scientific.
1. Pendekatan Unscientific
Dalam sejarah umat manusia, usaha untuk menjawab dorongan ingin tahu dan mencari
kebenaran, bermula dari pendekatan ini. Sebelum orang menggunakan pendekatan scientific,
pendekatan unscientific sudah digunakan dalam waktu yang cukup lama.
Pada pendekatan unscientific umumnya orang menjawab dorongan ingin tahu dan
mencari kebenaran, melalui:
a. Secara kebetulan.
b. Secara trial and error.
c. Melalui otorisasi seseorang.
d. Wahyu.
Tidak ada sumber pasti yang menjelaskan tentang keempat cara di atas digunakan oleh
umat manusia untuk menemukan kebenaran, namun menurut logika sejarah, keempat cara di
atas secara bertahap atau secara bersama-sama digunakan orang untuk mencari kebenaran.
Namun secara logika juga penemuan kebenaran dilakukan orang dari kegiatan-kegiatan yang
sederhana dan secara bertahap meningkat mencapai kegiatan yang rumit dengan melibat orang
lain.
Pada mulanya manusia selalu kebingungan untuk memecahkan persoalan hidupnya dan
rintangan alam sekitarnya. Karena pada waktu itu tingkat pengetahuan manusia amat rendah,
maka manusia cenderung pasif terhadap usaha memecahkan berbagai misteri kehidupannya.
Akibatnya, semua pengetahuan (kebenaran) diperoleh secara kebetulan.
Cerita-cerita yang sungguh menarik tentang penemuan semacam itu adalah penemuan
obat malaria yang dapat menyelamatkan berjuta-juta umat manusia dari bahaya penyakit
tersebut. Mulanya orang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap wabah malaria di mana-mana.
Namun, setelah seorang Indian yang menderita demam dengan panas yang amat tinggi, secara
tidak sengaja jatuh dalam sebuah sungai kecil yang airnya telah berwarna hitam. Tanpa
disengaja Indian itu terminum air sungai tersebut. Setelah kejadian ini, berangsur-angsur orang
Indian yang menderita malaria itu sembuh. Ternyata di kemudian hari diketahui, bahwa air
sungai yang berwarna hitam itu disebabkan karena sebatang pohon Kina yang tumbang di
Tantangan alam semakin besar, membuat banyak orang mulai tidak percaya bahwa
temuan baru dan pemecahan misteri kehidupan yang lebih cepat hanya dapat dihasilkan dari
penemuan secara kebetulan. Perkembangan masyarakat yang terasa cepat menyebabkan
manusia harus aktif mencari kebenaran, kendati sarana pengetahuan untuk mencapainya
masih sangat tidak memadai. Namun untuk memotong waktu yang terlalu panjang ini,
masyarakat harus memulai sesuatu dengan cara mencoba-coba (trial and error) walau tanpa
kepastian.
Suatu usaha trial and error tidak diawali dengan sebuah harapan, kendati tetap memiliki
tujuan yang tak menentu, bahkan sering kali orang memulai trial and error dengan harapan
yang hampa. Sampai pada suatu saat tertentu yang mungkin menghasilkan kejutan dari suatu
proses coba-coba itu, dan kemudian memberikan harapan yang lebih banyak terhadap orang
untuk meneruskan usaha tersebut. Suatu contoh dari proses trial and error ini adalah yang
pernah iilakukan oleh Robert Kock (Nawawi, 1983 dalam Bungin, 2001: 11). Kock pernah
mengasah kaca, dengan maksud mencoba-coba apa yang akan terjadi pada hasil asahan
kacanya itu. Kock kemudian terus dan terus saja mengasah kaca. Akhirnya, kaca tersebut ber-
jentuk lensa yang mampu memperbesar benda-benda yang tidak dapat dilihat oleh mata
telanjang. Kemudian ternyata lensa tersebut telah mendasari pembuatan miskroskop.
Dari pengalaman Kock di atas, tampak bahwa untuk mencapai ;u atu pengetahuan atau
kebenaran tertentu, orang sering kali harus melalui berbagai usaha, kadang membutuhkan
waktu yang lama ;ampai pada akhirnya ia menemukan sesuatu yang berarti. Sehingga trial and
error terlalu banyak menghabiskan waktu, terlalu banyak mereka-reka, membuat spekulasi
dalam ketidakpastian.
Pak Kamijo warga sebuah dusun di desa Kec. Candi Sidoarjo, percaya betul bahwa hari
Sabtu tanggal 27 Januari 2006 adalah hari yang paling baik untuk melaksanakan pernikahan
anaknya. Ternyata yang menentukan hari baik bagi anaknya adalah seorang dukun di desanya
itu. Begitu pula para pencari keadilan menggunakan otoritas hakim dan mahkamah agung
untuk memutuskan sebuah perkara. Putusan hakim dan mahkamah agung adalah hasil otoritas
yang dipercaya paling tidak oleh salah satu pihak sebagai sesuatu yang benar. Para pasien
memandang diagnosis dokter sebagai sebuah kebenaran, murid SD juga demikian, selalu
memandang apa yang diajarkan oleh gurunya sebagai sesuatu yang benar. Contoh-contoh
tersebut adalah kasus-kasus bagaimana orang menemukan kebenaran dalam hidupnya.
Cerita-cerita di atas itu adalah contoh dari pendekatan otoritas dalam menemukan
kebenaran. Memang pendekatan ini lebih praktis bila dibandingkan dengan pendekatan
lainnya. Namun juga sangat terbuka untuk suatu kesalahan yang fatal. Berbeda dengan
pendekatan kebetulan atau trial and error, menemukan kebenaran melalui otoritas
membutuhkan orang lain yang dapat dijadikan subjek otorisasi, karena pada pendekatan ini
sadar ataupun telah mengakui ketidakmampuan rasio seseorang untuk memecahkan problem
kebenaran yang sedang dihadapinya. Otoritas membuat orang tergantung kepada orang yang
memiliki otoritas tersebut dan membuat dirinya bertaklid dan jumud serta tanpa disadari telah
membekukan kreativitas manusia dan usaha seseorang untuk berikhtiar. Otoritas telah
menempatkan manusia dan budaya tertentu, katakan saja seperti raja, pemerintah,
undang-undang, pengadilan, guru, pendeta, imam, dukun dan sebagainya, pada posisi yang
amat penting dalam pembentukan sikap masyarakat tentang suatu kebenaran.
Bagi orang tertentu menganggap bahwa sumber kebenaran hanyalah berasal dari sang
pencipta alam semesta ini. Karena itu, ia hanya mau berbicara atau memberi keputusan apabila
sudah mendapatkan wahyu. Wahyu dianggap sebagai sumber kebenaran yang datangnya dari
luar dirinya dan memberi otorisasi terhadap keputusan dan tindakannya.
Meski sumber kebenaran melalui wahyu ini adalah bentuk penemuan kebenaran yang
paling tradisional, namun cara seperti ini tetap saja menjadi cara menemukan kebenaran yang
sampai saat didigunakan.
2. Pendekatan Scientific
a. Berpikir Kritis-Rasional
Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, karena itu berpikir adalah salah satu
aktivitas batiniah manusia. Dengan akal budi yang dimiliki manusia, maka manusia dapat
untuk berpikir. Proses berpikir adalah menghubungkan satu hal dengan hal lainnya,
nenggunakan objek berpikir dan menghubungkannya dengan objek ainnya, membuat tesis dan
mengkajinya dengan antitesis, kemudian nenghasilkan tesis, inilah yang dimaksud dengan
proses berpikir kritis-rasional.
a. Teori-teori Umum
Ciri dan jenis teori ini dibangun berdasarkan asumsi dasar teori, yaitu: (1) masyarakat
adalah organisme kehidupan; (2) masyarakat memiliki sub-subsistem kehidupan; (3)
masing-masing subsistem memiliki fungsi yang berbeda; (4) fungsi-fungsi subsistem saling
memberi kontribusi kepada subsistem lainnya; dan (5) setiap fungsi akan terstruktur dalam
masyarakat berdasarkan fungsi masing- masing.
Meskipun pendekatan fungsional dan struktural ini sering kali dikombinasikan, namun
masing-masing mempunyai ddk penekanan yang berbeda. Pendekatan strukturalisme yang
berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut
pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Pendekatan fungsionalisme yang berasal dari
biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara pengorganisasian dan mempertahankan
sistem. Apabila di telaah, kedua pendekatan ini sama-sama mempunyai penekanan yang sama
yakni tentang sistem sebagai struktur yang berfungsi.
Menurut Littlejohn (1996:14), kedua pendekatan ini juga memiliki beberapa persamaan
karakteristik sebagai berikut:
Teori-teori ini berpandangan bahwa kehidupan sosial merupakan suatu proses interaksi
yang membangun, memelihara serta mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk dalam
hal ini bahasa dan simbol-simbol. Komunikasi, menurut teori ini, dianggap sebagai alat perekat
masyarakat (the glue ofsociety). Kelompok teori ini berkembang dari aliran pendekatan
'interaksionisme simbolis' (symbolic interactionism) sosiologi dan filsafat bahasa ordiner. Bagi
kalangan pendukung teori-teori ini, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode interpretasi.
Berbeda dengan teori-teori strukturalis yang memandang struktur sosial sebagai penentu,
teori-teori interaksional dan konvensional melihat struktur sosial sebagai produk dari interaksi.
Fokus pengamatan teori-teori ini tidak terhadap struktur, tetapi tentang bagaimana bahasa
dipergunakan untuk membentuk struktur sosial serta bagaimana bahasa dan simbol-simbol
lainnya direproduksi, dipelihara, serta diubah dalam penggunaannya. Makna, menurut
pandangan kelompok teori ini, tidak merupakan suatu kesatuan objektif yang ditransfer melalui
komunikasi, tetapi muncul dari dan diciptakan melalui interaksi. Dengan kata lain, makna
merupakan produk dan interaksi. Menurut teori-teori interaksional dan konvensional, makna
pada dasarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dari interaksi. Oleh karena itu,
makna dapat berubah dari waktu ke waktu, dari konteks ke konteks, serta dari satu kelompok
sosial ke kelompok lainnya. Dengan demikian, sifat objektivitas dari makna adalah relatif dan
temporer (Sendjaja, 2002: 1-24).
Kelompok teori yang keempat adalah kelompok-kelompok teori kritis dan interpretatif.
Mengacu pandangan Sendjaja (2002: 1.25), bahwa kelompok teori ini gagasan-gagasannya
banyak berasal dari berbagai tradisi, seperti sosiologi interpretatif (interpretative sociology),
pemikiran Max Weber, phenomenology dan hermeneutics, Marxisme dan aliran Frankfurt
School serta sebagai pendekatan tekstual, seperti teori-teori retorika, Biblical, dan
2. Teori-Teori Kontekstual
Seperti apa yang dijelaskan oleh Sendjaja (2002: 1.25), berdasarkan konteks atau
tingkatan analisisnya, teori-teori komunikasi secara umum dapat dibagi dalam lima konteks
atau tingkatan, sebagai berikut: (1) komunikasi intra-pribadi (intra-personal communication);
(2) komunikasi antarpribadi (interpersonal communication); (3) kelompok komunikasi (group
communication); (4) komunikasi organisasi (organizational commimication); dan (5)
komunikasi massa (mass communication).
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa yang
ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa melibatkan
aspek-aspek komunikasi intra-pribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, dan
komunikasi organisasi. Teori-teori komunikasi massa umumnya memfokuskan perhatiannya
pada hal-hal yang menyangkut struktur media, hubungan media dengan masyarakat, hubungan
antara media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak atau
hasil komunikasi massa terhadap individu.
1. Model Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa Latin 'communis" atau "common" dalam bahasa Inggris
yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita sedang berusaha untuk mencapai kesamaan
makna, "commonness". Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita mencoba
berbagi informasi, gagasan, atau sikap kita dengan partisipan lainnya. Kendala utama
informasi, gagasan atau sikap kita dengan partisipan lainnya. Kendala utama dalam ber-
komunikasi adalah kita sering mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang sama.
Oleh karena itu, komunikasi seharusnya dipertimbangkan sebagai aktivitas di mana tidak ada
tindakan atau ungkapan yang diberi makna secara penuh, kecuali jika diindentifikasikan oleh
partisipan komunikasi yang terlibat (Kathleen K. Reardon ,1987, Sendjaja, 2002: 4.4).
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku Human Communication menjelaskan 3
model komunikasi:
Pertama, model komunikasi linier, yaitu model komunikasi satu arah (one-way view of
communication). Di mana komunikator memberikan suatu stimulus dan komunikan
memberikan respons atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan seleksi dan
interpretasi. Seperti, teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory), asumsi-asumsi teori
ini yaitu ketika seseorang memersuasi orang lain, maka "menyuntikkan satu ampul" persuasi
kepada orang lain itu, hingga orang lain tersebut melakukan apa yang ia kehendaki.
Kedua, model komunikasi dua arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan
kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini, terjadi komunikasi umpan balik (feedback)
gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver)
yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons balik terhadap pesan dari
pengirim (sender). Dengan demikian, komunikasi berlangsung dalam proses dua arah
(two-way) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical process), sedangkan setiap
partisipan memiliki peran ganda, di mana pada satu waktu bertindak sebagai sender,
sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya.
Ketiga, model komunikasi transaksional, yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam
konteks hubungan (relationship) di antara dua orang atau lebih. Proses komunikasi ini
menekankan semua perilaku adalah komunikatif dan masing-masing pihak yang terlibat dalam
2. Proses Komunikasi
Menurut Sendjaja dkk. (2002:4.6), dalam tataran teoretis, paling tidak kita mengenal atau
memahami komunikasi dari dua perspektif, yaitu perspektif kognitif dan perilaku. Komunikasi
menurut Colin Cherry, yang mewakili perspektif kognitif adalah penggunaan lambang-
lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna atau berbagi informasi tentang satu objek
atau kejadian. Informasi adalah sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada
partisipan lain melalui penggunaan kata-kata atau lambang lainnya. Jika pesan yang
disampaikan diterima secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti yang
dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.
Pada umumnya proses komunikasi antarmanusia dapat digambarkan dalam model berikut.
SKEMA 1
Dalam kehidupan sehari-hari, proses komunikasi diawali oleh sumber (source) baik
individu ataupun kelompok yang berusaha berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain.
Komunikasi dalam kelompok merupakan bagian dari kegiatan keseharian orang. Sejak
lahir, orang sudah mulai bergabung dengan kelompok primer yang paling dekat, yaitu
keluarga. Kemudian seiring dengan perkembangan usia dan kemampuan intelektual kita
masuk dan terlibat dalam kelompok-kelompok sekunder seperti sekolah, lembaga agama,
tempat pekerjaan dan kelompok sekunder lainnya yang sesuai dengan minat dan keterikatan
kita, ringkasnya kelompok merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan kita,
karena melalui kelompok, memungkinkan kita dapat berbagi informasi, pengalaman, dan
pengetahuan kita dengan anggota kelompok lainnya.
Komunikasi adalah sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat
dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya guna mencapai kesamaan makna.
Tindak komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam beragam konteks, antara lain adalah dalam
Teori "desa global" yang pernah dilontarkan oleh Marshall McLuhan beberapa waktu yang
lalu menarik untuk disinggung kembali dalam bagian ini. Ia mengatakan bahwa, kita
sebenarnya hidup dalam suatu 'desa global'. Pernyataan McLuhan ini mengacu pada
perkembangan media komunikasi modern yang telah memungkinkan jutaan orang di seluruh
dunia untuk dapat berhubungan dengan hampir setiap sudut dunia. Hal ini merupakan
tantangan baru bagi semua disiplin ilmu, karena komunikasi modem yang dibantu oleh media
massa mampu menciptakan dalam menata publik, menentukan isu, memberikan kesamaan
kerangka pikir.
Secara teori, pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai
suatu proses di mana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan kepada
publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan proses di mana pesan
tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audience. Fokus kajian dalam komunikasi
massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa
pesan berita, peristiwa, atau produk budaya yang memengaruhi dan merefleksikan suatu
masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka institusi media massa juga adalah bagian dari
sistem kemasyarakatan dari suatu masyarakat dalam konteks yang lebih luas.
Kajian tentang media dapat dilakukan dari dua dimensi komunikasi massa. Dimensi
pertama dapat menjelaskan hubungan antara media dengan audience, andience dalam
pengertian individual maupun kelompok. Teori-teori mengenai hubungan antara media
andience, menekankan adanya komunikasi massa pada individu dan kelompok sebagai hasil
interaksi dengan media. Dalam kajian pertama ini, disebut sebagai kajian dimensi mikro dari
teori komunikasi massa.
Dimensi kedua disebut sebagai kajian dimensi makro, di mana kajian ini memandang dari
sisi pengaruh media kepada masyarakat luas beserta institusi-institusinya. Dimensi ini
menjelaskan keterkaitan antara media dengan berbagai institusi lain di masyarakat, seperti
politik, budaya, sosial, ekonomi pendidikan, agama, dan sebagainya. Teori-teori komunikasi
yang menjelaskan keterkaitan tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam
masyarakat, di mana keduanya saling memengaruhi satu dengan lainnya.
Teori komunikasi interpretatif ini antara lain mengadopsi teori interaksi simbolis, teori
hermenuetik, teori semiotika, maupun teori simbol. Teori-teori ini berkembang sangat pesat
dalam bidang komunikasi akhir-akhir ini karena perkembangan media komunikasi yang begitu
pesat terutama media cetak dan elektronik. Kemajuan visualisasi media informasi
menyebabkan penggunaan simbol-simbol sosial dan budaya modern tidak bisa dihindari.
Bahasa komunikasi berkembang dengan sangat pesat dan modern, begitu pula perilaku orang
berkomunikasi ikut berubah. Dari konteks inilah, maka berkembang teori-teori interpretatif
dalam kancah komunikasi saat ini.
Meskipun terdapat beberapa macam ilmu sosial kritis, semuanya memiliki tiga asumsi
dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial
interpretatif, seperti yang dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini. Yaitu, bahwa ilmuwan
kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus
pendekatan kritis bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana
berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini mengkaji
kondisi-kondisi sosial dalam usahanya untuk mengungkap struktur-struktur yang sering kali
tersembunyi. Kabanvakan teori-teori kritis mengajarkan, bahwa pengetahuan adalah kekuatan
untuk memahami bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan
untuk mengubah kekuatan penindas. Ketiga, pendekatan kritis secara sadar berupaya untuk
menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk
mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang memengaruhi hidup kita (Sendjaja, 2002:
30).
Wacana-wacana ilmu sosial kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik,
maupun sosiologis tetapi banyak di antaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan
interaksi sosial dan komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian, teoretisi kritis
biasanya menyangkut banyak hal dalam keseluruhan sistem masyarakat. Dengan demikian,
suatu teori kritis mengenai komunikasi dan ilmu-ilmu sosial lainnya perlu melibatkan masya-
rakat secara keseluruhan.
Dengan demikian, maka lahirlah berbagai teori kritis baru dalam komunikasi seperti
sosiologi komunikasi, hukum komunikasi dan hukum media, psikologi komunikasi,
komunikasi antarbudaya, komunikasi politik, komunikasi organisasi, komunikasi kelompok,
komunikasi publik, public relation, komunikasi sosial, semiotika komunikasi, dan sebagainya.
Pribadi adalah individu yang berbeda satu dengan lainnya, perbedaan tersebut
menyebabkan orang mengenal individu secara khas dan membedakannya dengan individu
Langkah pertama dalam persepsi diri adalah menyadari diri kita sendiri, yaitu mengungkap
siapa dan apa kita ini, dan sesungguhnya menyadari siapa diri kita, adalah juga persepsi diri.
Proses psikologis diasosiasikan dengan interpretasi dan pemberian makna terhadap orang atau
objek tertentu, proses ini dikenal sebagai persepsi. Dengan mengutip Cohen, Fisher (1987:118,
Sendjaja, 2002: 2.13) dikemukakan, bahwa persepsi didefinisikan sebagai interpretasi terhadap
berbagai sensasi sebagai representasi dari objek-objek eksternal, jadi persepsi adalah
pengetahuan tentang apa yang dapat ditangkap oleh indra kita. Definisi ini melibatkan
sejumlah karakteristik yang mendasari upaya kita untuk memahami proses antarpribadi.
Selanjutnya Sendjaja mengatakan bahwa:
Pertama, suatu tindakan mensyaratkan kehadiran objek-objek eksternal untuk dapat ditangkap
oleh indra kita. Dalam hal persepsi terhadap diri pribadi, kehadirannya sebagai objek eksternal
bisa jadi kurang nyata, tetapi keberadaannya jelas dapat dirasakan.
Kedua, adanya informasi untuk diinterpretasikan. Informasi yang dimaksud di sini adalah
segala sesuatu yang diperoleh melalui sensasi atau indra yang kita miliki. Ketiga, menyangkut
sifat representatif dari pengindraan. Maksudnya, kita tidak dapat mengartikan makna suatu
persepsi didasarkan pada pengamatan langsung. Konsekuensinya adalah pengetahuan yang
kita peroleh melalui persepsi bukanlah tentang apakah suatu objek, melainkan apa yang
tampak sebagai objek tersebut. Adakalanya penampakan dapat menyesatkan seperti yang kita
alami dalam ilusi optis, special effects dalam film dan sebagainya. Oleh karenanya, persepsi
tidak lebih dari pengetahuan mengenai apa yang tampak sebagai realitas bagi diri kita. Dengan
demikian, maka persepsi diri perlu otokoreksi karena bisa jadi perspesi kita tentang diri kita
adalah sebuah tipu muslihat yang diciptakan oleh proses persepsi individu tentang dirinya
sendiri (yang salah).
Memahami tentang diri sendiri bagaikan kita berkacakan cermin, bahwa apa yang dilihat
adalah wajah kita sebenarnya. Ketika orang menyadari siapa dirinya secara simultan ia juga
telah mempersepsikan dirinya sendiri. Agar orang dapat menyadari dirinya sendiri, pertama
kali orang harus memahami apakah diri atau self (nya) tersebut. "Diri" secara sederhana dapat
ditafsirkan sebagai identitas individu. Dengan demikian, identitas diri adalah cara-cara yang
digunakan orang untuk membedakan individu satu dengan individu-individu lainnya. Karena
itu, "diri" adalah suatu pengertian yang mengacu kepada identitas spesifik dari seseorang.
Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi fokus penelitian
dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi
pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Sidney Jourard (1971, Sendjaja, 2002:2.141)
menandai sehat atau tidaknya komunikasi pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi
didalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai
ukuran dari hubungan yang ideal.
Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure
yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke dalam kuandran "terbuka".
Meskipun self disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada
batasnya. Artinya, perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu
tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan
orang tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa keterbukaan yang ekstrem akan
memberikan efek negatif terhadap hubungan (Littlejohn, 1939: 161).
Komunikasi antarpribadi dalam keluarga dan tempat kerja yang penuh ketegangan, bisa
jadi meningkatkan kemungkinan seseorang untuk terserang stroke, hipertensi, dan berbagai
penyakit lainnya. Sebaliknya pasangan suami istri yang saling mencintai dan merek yang
memiliki jaringan teman yang menyenangkan cenderung terhindar dari hipertensi. Uraian ini
menunjukkan, bahwa manusi tidak dapat menghindar dari jalinan hubungan dengan sesamanya
Kita memiliki kadar yang berbeda dalam membutuhkan orang lain demikian pula mengenai
nilai penting kuantitas dan kualitas hubungan antarpribadi. Meskipun demikian, secara pasti
dapat dikatakan bahwa kita memerlukan hubungan antarpribadi. Bagian berikut akan
membahas teori-teori mengenai pengembangan, pemeliharaan dan mengakhiri hubungan
(Reardon, 1987:159, Sendjaja, 2002:2.39)
Pemahaman mengenai hubungan merupakan suatu aspek penting dari studi tentang
komunikasi antarpribadi, karena hubungan berkembang dan berakhir melalui komunikasi.
Telah puluhan tahun para ahli mencoba untuk menentukan bagaimana hubungan terbentuk dan
bagaimana hubungan berakhir.
1) Self Disclosure
Proses pengungkapan diri (self disclosure) adalah proses pengungkapan informasi diri
pribadi seseorang kepada orang lain atau sebaliknya. Pengungkapan diri merupakan
kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya.
Proses pengungkapan diri dilakukan dalam dua bentuk; pertama, dilakukan secara
tertutup, yaitu seseorang mengungkapkan informasi diri kepada orang lain dengan cara
sembunyi-sembunyi melalui ungkapan dan tindakan, di mana ungkapan dan tindakan itu
2) Social Penetration
Altman dan Taylor (1973, Sendjaja, 2002: 2.42) mengemukakan suatu model
perkembangan hubungan yang disebut social penetration atau penetrasi sosial. Yaitu
proses di mana orang saling mengenal satu dengan lainnya. Model ini selain melibatkan
self disclosure juga menjelaskan bilamana harus melakukan self disclosure dalam
perkembangan hubungan. Penetrasi sosial merupakan proses yang bertahap, dimulai dari
komunikasi basa-basi yang tidak akrab dan terus berlangsung hingga menyangkut topik
pembicaraan yang lebih pribadi dan akrab, seiring dengan berkembangnya hubungan. Di
sini orang akan membiarkan orang lain untuk lebih mengenal dirinya secara bertahap.
Dalam proses ini orang biasanya akan menggunakan persepsinya untuk menilai
keseimbangan antara upaya dan ganjaran (cost and rewards) yang diterimanya atas
pertukaran yang terus berlangsung untuk memperkirakan prospek hubungan mereka. Jika
perkiraan tersebut menjanjikan kesenangan dan keuntungan, maka mereka secara bertahap
akan bergerak menuju tingkat hubungan yang lebih akrab. Altman dan Taylor,
menggunakan bawang merah (onion) sebagai analogi untuk menjelaskan bagaimana orang
melalui interakasi saling mengelupas lapisan-lapisan informasi mengenai diri masing-
masing. Lapisan luar berisi informasi superfisial, seperti nama, alamat, atau umur. Ketika
lapisan-lapisan ini sudah terkelupas; kita semakin mendekati lapisan terdalam yang berisi
informasi yang lebih mendasar tentang kepribadian. Altman dan Tavlor juga
mengemukakan adanya dimensi "keluasan" dan "kedalaman" dari jenis-jenis informasi,
yang menjelaskan bahwa pada setiap lapisan kepribadian. Keluasan mengacu kepada
banyaknya jenis-jenis informasi pada lapisan tertentu yang dapat diketahui oleh orang lain
dalam pengembangan hubungan. Dimensi kedalaman mengacu pada lapisan informasi
mana (yang lebih pribadi atau yang superfisial) yang dapat dikemukakan pada orang lain.
Kedalaman ini diasumsikan akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan
hubungan. Model ini menggambarkan perkembangan hubungan sebagai suatu proses, di
mana hubungan adalah sesuatu yang terus berlangsung dan berubah.
3) Process View
Process View menganggap bahwa kualitas dan sifat hubungan dapat diperkirakan hanya
dengan menggunakan atribut masing-masing sebagai individu dan kombinasi antara
atribut- atribut tadi. Hubungan intensif antara orang-orang dalam kelompok primer dapat
menyebabkan lahirnya proses view. Jadi, umpamanya suami istri memahami perilaku
masing-masing, istri memahami makna senyum suami, sedangkan suami juga memahami
kerutan kening istri. Namun pemahaman makna itu berhubungan secara spesifik dengan
objek tertentu. Jadi umpamanya pemahaman istri terhadap senyuman suami itu ketika
berhubungan dengan peristiwa ketika suami menyentuh istri, begitu pula pemaknaan
suami terhadap senyuman istri ketika berada di toko pakaian. Atribut yang sama, yaitu "se-
nyuman", namun memiliki makna yang berbeda apabila dilakukan oleh orang dan objek
serta situasi yang berbeda. Proses vieiv membutuhkan waktu dalam memahami
atribut-atribut yang digunakan di antara orang-orang dalam kelompok primer itu.
Teori ini menelaah bagaimana kontribusi seseorang dalam suatu hubungan, di mana
hubungan itu memengaruhi kontribusi orang lain. Thibaut dan Kelley, (Sendjaja, 2002:
2.43) pencetus teori ini, mengemukakan bahwa orang mengevaluasi hubungannya dengan
orang lain dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang
diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal
dalam hubungan tersebut atau pergi meninggalkannya. Ukuran bagi keseimbangan
pertukaran antara untung dan rugi dalam hubungan dengan orang lain itu disebut
comparison levels, di mana apabila orang mendapatkan keuntungan dari hubungannya
dengan orang lain, maka orang akan merasa puas dengan hubungan itu. Sebaliknya,
apabila orang merasa rugi berhubungan dengan orang lain dalam konteks upaya dan
ganjaran, maka orang cenderung menahan diri atau meninggalkan hubungan tersebut.
Biasanya dalam konteks hubungan ini, seseorang memiliki banyak alternatif yang dapat
diberikan dalam model pertukaran sosial di mana pilihan-pilihan dan alternatif tersebut
memiliki ukuran yang dapat ditoleransi seseorang dengan mempertimbangkan
alternatif-alternatif yang dia miliki.
Asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan upaya (untung-rugi) tidak berarti bahwa
orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih
lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkannya. Tentunya
kepentingan masing-masing orang akan dapat dipertemukan untuk dapat saling
memuaskan daripada mengarah pada hubungan yang eksploitatif. Hubungan yang ideal
akan terjadi bilamana kedua belah pihak dapat saling memberikan cukup keuntungan
sehingga hubungan tersebut menjadi sumber yang dapat diandalkan bagi kepuasan kedua
belah pihak (Roloff, 1981, Sendjaja, 2002: 2.43)
Baruch Spinoza 300 tahun yang lalu menyatakan, bahwa -rianusia adalah binatang sosial.
Pernyataan ini diperkuat oleh psikologi modern yang menunjukkan bahwa orang lain
mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sikap kita, perilaku kita, dan >abikan persepsi
kita (Severin dan Tankard, Jr., 2005: 219).
Kelompok adalah sekumpulan orang-orang yang terdiri dari dua atau tiga orang bahkan
lebih. Kelompok memiliki hubungan yang intensif di antara mereka satu sama lainnya,
terutama kelompok primer, intensitas hubungan di antara mereka merupakan persyaratan
utama yang dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok tersebut. Kelompok memiliki tujuan
dan aturan-aturan yang dibuat sendiri dan merupakan kontribusi arus informasi di antara
mereka sehingga mampu menciptakan atribut kelompok sebagai bentuk karakteristik yang
khas dan melekat pada kelompok itu. elompok yang baik adalah kelompok yang dapat
mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif di antara anggota kelompok, serta tatap muka itu
pula akan mengatur sirkulasi komunikasi makna di antara mereka, sehingga mampu
melahirkan sentimen-sentimen kelompok serta kerinduan di antara mereka.
Pengertian kelompok di sini adalah kelompok kecil, tidak ada batasan yang jelas tentang
berapa jumlah orang yang berada dalam satu kelompok kecil, namun pada umumnya
kelompok kecil terdi dari 2 sampai 15 orang. Jumlah yang lebih kecil dari 2 orang bukanlah
kelompok, begitu pula jumlah anggota kelompok yang melebi 15 orang, akan menyulitkan
setiap anggota berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya secara intensif dan face to face.
Kelompok juga memberi identitas terhadap individu, melalui dentitas ini setiap anggota
kelompok secara tidak langsung berambungan satu sama lain. Melalui identitas ini individu
melakukan pertukaran fungsi dengan indivudu lain dalam kelompok. Pergaulan ini akhirnya
menciptakan aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap individu dalam kelompok sebagai
sebuah kepastian hak dan kewajiban mereka dalam kelompok. Aturan-aturan inilah bentuk
lain dari karakter sebuah kelompok yang dapat dibedakan dengan kelompok lain dalam
masyarakat.
Ada empat elemen kelompok yang dikemukakan oleh Adler dan Rodman (Sendjaja,
2002: 3.5), yaitu interaksi, waktu, ukuran, dan tujuan. (1) Interaksi dalam komunikasi
kelompok merupakan aktor yang penting, karena melalui interaksi inilah, kita dapat melihat
perbedaan antara kelompok dengan istilah yang disebut dengan coact. Coact adalah
sekumpulan orang yang secara serentak terrikat dalam aktivitas yang sama namun tanpa
komunikasi satu ama lain. Misalnya, mahasiswa yang hanya secara pasif mendengarkan suatu
perkuliahan, secara teknis belum dapat disebut sebagai kelompok. Mereka dapat dikatakan
Karakteristik komunikasi dalam kelompok ditentukan melati dua hal, yaitu norma dan
peran. Norma adalah kesepakatan da perjanjian tentang bagaimana orang-orang dalam suatu
kelompok berhubungan dan berperilaku satu dengan lainnya. Severin dan Tankard (2005:220,
Reno, Cialdini dan Kallgren, 1993) mengatakan norma-norma sosial (social norm) terdiri dari
dua jenis; deskriptif dan perintah. Norma-norma deskriptif menentukan apa yang pada
umumnya dilakukan dalam sebuah konteks, sedangkan norm, norma perintah (injunctive
norm) menentukan apa yang pada umunnya disetujui oleh masyarakat. Keduanya mempunyai
dampak pada tingkah laku manusia, namun norma-norma perintah tampaknya mempunyai
dampak yang lebih besar.
Norma oleh para sosiolog disebut juga dengan 'hukum' (law ataupun 'aturan' (rule), yaitu
perilaku-perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan dalam suatu
kelompok. Ada tiga kategori norma kelompok, yaitu norma sosial, prosedural, dan tugas.
Norma sosial mengatur hubungan di antara para anggota kelompok. Sedangkan norma
prosedural menguraikan dengan lebih rinci bagaimana kelompok harus beroperasi, seperti
bagaimana suatu kelompok harus membuat keputusan, apakah melalui suara mayoritas
ataukah dilakukan pembicaraan sampai tercapai kesepakatan. Dari norma tugas memusatkan
perhatian pada bagaimana suatu pekejaan harus dilakukan (Sendjaja, 2002: 3.6).
Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apakah seseorang melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran (Soekanto,
200 242). Peran dibagi menjadi tiga, yaitu peran aktif, peran partisipatif dan peran pasif. Peran
aktif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok karena kedudukannya di dalam
kelompok sebagai aktivis kelompok, seperti pengurus, pejabat, dan sebagainya. Peran
partisipatif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok pada umumnya kepada
kelompoknya, partisipasi anggota macam ini akan memberi sumbangan yang sangat berguna
bagi kelompok itu sendiri. Sedangkan peran pasif adalah sumbangan anggota kelompok yang
bersifat pasif, di mana anggota kelompok menahan diri agar memberi kesempatan kepada
fungsi-fungsi lain dalam kelompok dapat berjalan dengan baik. Dengan cara bersikap pasif,
seseorang telah memberi sumbangan kepada terjadinya kemajuan dalam kelompok atau
memberi sumbangan kepada kelompok agar tidak terjadi pertentangan dalam kelompok karena
adanya peran-peran yang kontradiktif.
Peran juga mencakup tiga hal: (a) peran meliputi norma-norma yang dihubungkan
dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, dengan demikian peran berfungsi
membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan; (b) peran adalah suatu konnsep
tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; (c)
a. Fungsi pertama dalam kelompok adalah hubungan sosial, dalam arti bagaimana suatu
kelompok mampu memelihara dan memantapkan hubungan sosial di antara para
anggotanya, seperti bagaimana suatu kelompok secara rutin memberikan kesempatan
kepada anggotanya untuk melakukan aktivitas yang informal, santai, dan menghibur.
b. Pendidikan adalah fungsi kedua dari kelompok, dalam arti bagaimana sebuah kelompok
secara formal maupun informal bekerja untuk mencapai dan mempertukarkan pengetahuan.
Melalui fungsi pendidikan ini, kebutuhan-kebutuhan dari para anggota kelompok, kelompok
itu sendiri, bahkan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Namun demikian, fungsi pen-
didikan tergantung pada tiga faktor, yaitu jumlah informasi baru yang dikontribusikan,
jumlah partisipan dalam kelompok, serta frekuensi interaksi di antara para anggota
kelompok. Fungsi pendidikan ini akan sangat efektif jika setiap anggota kelompok
membawa pengetahuan yang berguna bagi kelompoknya tanpa pengetahuan baru yang
disumbangkan masing- masing anggota, mustahil fungsi edukasi ini akan tercapai.
c. Fungsi persuasi, seorang anggota kelompok berupaya memersuasi anggota lainnya supaya
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seseorang yang terlibat usaha-usaha persuasif
dalam suatu kelompok, membawa risiko untuk tidak diterima oleh para anggota lainnya.
Misalnya, jika usaha-usaha persuasif tersebut terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam kelompok, maka justru orang yang berusaha memersuasi tersebut akan
menciptakan suatu konflik, dengan demikian malah membahayakan kedudukannya dalam
kelompok.
e. Fungsi terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan dengan kelompok lainnya, karena
kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari kelompok terapi adalah membantu setiap
individu mencapai perubahan personalnya. Tentunya, individu tersebut harus berinteraksi
dengan anggota kelompok lainnya guna mendapatkan manfaat, namun usaha utamanya
adalah membantu dirinya sendiri, bukan membantu kelompok mencapai konsensus. Contoh
dari kelompok terapi ini adalah kelompok konsultasi perkawinan, kelompok penderita
narkotika, kelompok perokok berat, dan sebagainya. Tindak komunikasi dalam
kelompok-kelompok terapi dikenal dengan nama pengungkapan diri (self disclosure).
Artinya, dalam suasana yang mendukung, setiap anggota dianjurkan untuk berbicara secara
4. Tipe Kelompok
Soeryono Soekanto (2002: 118) menjelaskan, bahwa kelompok secara umum terdiri dari
beberapa rumpun; pertama adalah kelompok teratur, yaitu kelompok yang dapat dijelaskan
strukturnya maupun norma dan perannya seperti ingroup dan outgroup, kelompok primer dan
kelompok sekunder, paguyuban dan patembayan, kelompok formal dan kelompok informal,
membership group dan reference group, kelompok okupasional dan volunteer. Kedua,
kelompok yang tidak teratur yaitu kerumunan (crowd) dan publik. Tiga, masyarakat
(community) perkotaan dan masyarakat pedesaan. Keempat, kelompok kecil (small group).
Ronald B. Adler dan George Rodman (Sendjaja, 2002: 3.14), membagi kelompok dalam
tiga tipe, yaitu kelompok belajar (learning r cup), kelompok pertumbuhan (growth group), dan
kelompok pemecahan masalah (problem solving group) Penjelasan ketiga tipe kelompok itu
adalah sebagai berikut:
Kata 'belajar' atau learning, tidak tertuju pada pengertian pendidikan di sekolah, namun juga
termasuk belajar dalam kelompok (learning group), seperti kelompok bela diri, kelompok
sepak bola, kelompok keterampilan, kelompok belajar, dan sebagainya. Tujuan dari
learning group ini adalah meningkatkan informasi, pengetahuan, dan kemampuan diri para
anggotanya.
Organisasi adalah suatu kumpulan atau sistem individual yang berhierarki secara jenjang
dan memiliki sistem pembagian tugas untuk mencapai tujuan tertentu.
DeVito (1997: 337), menjelaskan organisasi sebagai sebuah kelompok individu yang
diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Jumlah anggota organisasi bervariasi dari tiga
atau empat sampai dengan ribuan anggota. Organisasi juga memiliki struktur formal maupun
informal. Organisasi memiliki tujuan umum untuk meningkatkan pendapatan, namun juga
memiliki tujuan-tujuan spesifik yang dimiliki oleh orang-orang dalam organisasi itu. Dan
untuk mencapai tujuan, organisasi membuat norma aturan yang dipatuhi oleh semua anggota
organisasi.
Dari batasan tersebut, maka suatu organisasi sebenarnya memiliki karakter yang hampir
sama dengan kelompok, perbedaannya adalah pada jumlah anggota yang lebih banyak dan
struktur yang lebih rumit, dengan demikian juga, maka norma-norma organisasi juga lebih
kompleks. Organisasi memiliki suatu jenjang jabatan ataupun kedudukan yang memungkinkan
semua individu dalam organisasi tersebut memiliki perbedaan posisi yang sangat jelas, seperti
pimpinan, staf pimpinan, dan karyawan. Masing-masing orang dalam posisi tersebut memiliki
tanggung jawab terhadap bidang pekerjaannya itu. Dengan demikian, komunikasi organisasi
adalah komunikasi antarmanusia (human communication) yang terjadi dalam konteks
organisasi di mana terjadi jaringan-jaringan pesan satu sama lain yang saling bergantung satu
sama lain.
Menurut Sendjaja (2002: 4.8), organisasi baik yang berorientasi untuk mencari
keuntungan (profit) maupun nirlaba (non-profit), memiliki empat fungsi organisasi, yaitu:
fungsi informatif, regulatif, persuasif, dan integratif. Keempat fungsi tersebut dijelaskan
sebagai berikut.
a. Fungsi Informatif
Fungsi regulatif ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu
organisasi. Pada semua lembaga atau organisasi, ada dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi
regulatif ini. Pertama, atasan atau orang-orang yang berada dalam tatanan manajemen, yaitu
mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan.
Di samping iti mereka juga mempunyai kewenangan untuk memberi instruksi atau perintah,
sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka ditempatkan pada lapis atas (position
of outhority) supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun
demikian sikap bawahan untuk menjalankan perintah banyak bergantung pada:
Kedua, berkaitan dengan pesan atau message. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya
berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan tentang
pekerjaan yang boleh untuk dilaksanakan.
c. Fungsi Persuasif
Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenanga tidak akan selalu membawa
hasil sesuai dengan yang diharaplcai Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih
sulit untuk memersuasi bawahannya daripada memberi perintah. Setiap pekerjaan yang
dilakukan secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar
dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan kewenangannya.
d. Fungsi Integratif
Secara umum, dalam berbagai hal, pendekatan struktural dan fungsional mengenai
organisasi hanya menekankan pada produktivitas dan penyelesaian tugas-tugas pekerjaan,
sedangkan faktor manusia dipandang sebagai variabel dalam suatu pengertian yang lebih luas.
Menurut Chris Agrys, praktik organisasi yang demikian dipandang tidak manusiawi, karena
penyelesaian suatu pekerjaan lebih mengalahkan perkembangan individu dan keadaan ini ber-
langsung secara berulang-ulang atau dalam bahasa Agrys, ketika kompetensi teknis tinggi,
maka kompetensi antarpribadi dikurangi. Oleh karena itu, Agrys mencoba menjelaskan
pandangannya melalui pendekatan human relations untuk mengkritik prespektif struktural
fungsional.
1. Stimulus-Respons
Teori stimulus-respons ini pada dasarnya merupakan suati prinsip belajar yang sederhana,
di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat
men jelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaks audience. McQuail (1994:
234) menjelaskan elemen-elemen utama dari teori ini adalah: (a) pesan (Stimulus); (b) seorang
penerima atau receiver (Organisme); dan (c) efek (Respons).
Prinsip stimulus-respons ini merupakan dasar dari teori jarum hipodermik, teori klasik
mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat berpengaruh. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, teori jarum hipodermik memandang bahwa sebuah pemberitaan media
massa diibaratkan sebagai obat yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah audience, yang
kemudian audience akan bereaksi seperti yang diharapkan. Dalam masyarakat massa, di mana
prinsif stimulus-respons mengasumsikan bahwa pesan informasi dipersiapkan oleh media dan
didistribusikan secara sistematis dan dalam skala yang luas. Sehingga secara serempak pesan
tersebut dapat diterima oleh sejumlah besar individu, bukan ditujukan pada orang per orang.
Kemudian sejumlah besar individu itu akan merespon pesan informasi itu. Penggunaan
teknologi telematika yang semakin luas dimaksudkan untuk reproduksi dan distribusi pesan
informasi itu sehingga diharapkan dapat memaksimalkan jumlah penerimaan respon oleh
audience, sekaligus meningkatkan respons oleh audience.
Pada tahun 1970, Melvin DeFleur melakukan modifikasi terhadap teori stimulus-respons
dengan teorinya yang dikenal sebagai perbedaan individu dalam komunikasi massa (individual
differences).
Lazarsfeld mengajukan gagasan mengenai 'komunikasi dua tahap' (twoo step flow) dan
konsep 'pemuka pendapat'. Sering kali informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada
para pemuka pendapat, dan dari pemuka pendapat kemudian kepada orang lain yang kurang
aktif dalam masyarakat. Gagasan ini kemudian memasukkan kritik terhadap teori
stimulus-respons dalam konteks media massa.
Mengacu kepada Sendjaja (2002: 5.16), teori komunikasi dua tahap dan konsep pemuka
pendapat memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut: (a) individu tidak terisolasi dari kehidupan
sosial, tapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial dalam berinteraksi dengan
orang lain; (b) respons dan reaksi terhadap pesan dari media tidak terjadi secara langsung dan
segera, tetapi melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial tersebut;
(c) ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai penerimaan dan perhatian, dan
yang kedua berkaitan dengan respons dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya
memengaruhi atau penyampaian informasi; (d) individu tidak bersikap sama terhadap pesan
media, melainkan memiliki berbagai pesan yang berbeda dalam proses komunikasi, dan
khususnya, dapat dibagi di antara mereka yang secara aktif menerima dari menyebarkan
gagasan dari media, dan mereka yang semata-mata hanya mengandalkan hubungan personal
dengan orang lain sebagai panutannya; (e) individu-individu yang berperan lebih aktif (pe-
muka pendapat) ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat pergaulan
yang lebih tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap masing-masing lain, dan
memiliki pesan sebagai sumber informasi dan panutan. Secara garis besar, menurut teori ini
media massa tidak bekerja dalam suatu situasi sosial yang pasif, tetapi memiliki suatu akses ke
dalam jaringan hubungan sosial yang sangat kompleks, dan bersaing dengan sumber-sumber
gagasan, pengetahuan, dan kekuasaan yang lainnya
3. Difusi Inovasi
Salah satu persoalan empiris komunikasi massa adalah berkaitan dengan proses adopsi
inovasi. Hal ini relevan untuk masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat maju,
karena terdapat kebutuhan yang terus-menerus dalam perubahan sosial dan teknologi, untuk
mengganti cara-cara lama dengan teknik-teknik baru. Teori ini berkaitan dengan komunikasi
massa, karena dalam berbagai situasi di mana efektivitas potensi perubahan yang berawal dari
penelitian ilmiah dan kebijakan publik, dalam pelaksanaannya, sasaran dari upaya difusi
inovasi umumnya petani dan anggota masyarakat pedesaan.
Mengacu kepada penjelasan Sendjaja (2002: 2.17), bahwa teori ini mencakup sejumlah
gagasan mengenai proses difusi inovasi sebagai berikut:
Pertama, teori ini membedakan tiga tahapan utama dari keseluruhan proses ke dalam tahapan
anteseden, proses, dan konsekuensi. Tahapan yang pertama mengacu kepada situasi atau
karakteristik dari orang yang terlibat yang memungkinkannya untuk diterpa informasi tentang
suatu inovasi dan relevansi informasi tersebut terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya,
adopsi inovasi biasanya lebih mudah terjadi pada mereka yang terbuka terhadap perubahan,
menghargai kebutuhan akan informasi, dan selalu mencari informasi baru. Tahapan kedua
berkaitan dengan proses mempelajari, perubahan sikap, dan keputusan. Di sini nilai inovatif
yang dirasakan akan memainkan peran penting, demikian pula dengan norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku dalam sistem sosialnya. Jadi, kadang kala peralatan yang secara teknis
dapat bermanfaat, tidak diterima oleh suatu masyarakat karena alasan-alasan moral atau
kultural, atau dianggap membahayakan struktur hubungan sosial yang telah ada. Tahapan
konsekuensi dari aktivitas difusi terutama mengacu pada keadaan selanjutnya jika terjadi
adopsi inovasi. Keadaan tersebut dapat berupa terus menerima dengan menggunakan inovasi,
atau kemudian berhenti menggunakannya
Ketiga, difusi inovasi biasanya melibatkan berbagai sumber komunikasi yang berbeda (media
massa, advertensi atau promosi, penyuluhan, atau kontak-kontak sosial yang informal), dan
efektivitas sumber-sumber tersebut akan berbeda pada tiap tahap, serta untuk fungsi yang
berbeda pula. Jadi, media massa dan advertensi dapat berperan dalam menciptakan kesadaran
dan pengetahuan, penyuluhan berguna untuk memersuasi, pengaruh antarpribadi berfungsi
bagi keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, dan pengalaman dalam menggunakan
inovasi dapat menjad i sumber konfirmasi untuk terus menerapkan inovasi atau sebaliknya .
Keempat, teori ini melihat adanya 'variabel-variabel penerima' yang berfungsi pada tahap
pertama (pengetahuan), karena diperolehnya pengetahuan akan dipengaruhi oleh kepribadian
atau karakteristik sosial. Meskipun demikian, setidaknya sejumlah variabel penerima akan
4. Teori Agenda-Setting
McCombs dan Donald Shaw mengatakan pula, bahwa audience tidak hanya
mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari
seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media massa
memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang
dikatakan oleh para kandidat dalam suatu kampanye pemilu, media massa terlihat
menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media massa menetapkan 'agenda'
kampanye tersebut dan kemampuan untuk memengaruhi perubahan kognitif individu ini
merupakan aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa (Effendi, 2000: 288).
Pada tahun 1976, McCombs dan Shaw mengambil kasus Watergate sebagai ilustrasi
dari fungsi agenda-setting. Mereka menunjukkan bahwa sebenarnya bukanlah sesuatu yang
baru dalam mengungkap kasus politik yang korup, tetapi pemberitaan surat kabar yang sangat
intensif dan diikuti oleh penayangan dengar pendapat di Dewan Perwakilan melalui televisi,
telah membuat kasus Watergate menjadi 'topic of the year' (Sendjaja, 2002: 5.26).
Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L. DeFleur (1976,
Sendjaja, 2002: 5, 26) memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat
yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini pada dasarnya
merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu
masyarakat modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai
sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan
konflik pada tataran masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. Pemikiran
terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung
pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi kepada,
apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Jenis dan tingkat ketergantungan akan dipengaruhi
oleh jumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting terutama berkaitan dengan tingkat
perubahan, konfliknya atau tidak stabilnya masyarakat tersebut, dan kedua, berkaitan dengan
apa yang dilakukan media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi. Dengan
demikian, teori ini menjelaskan saling hubungan antara tiga perangkat variabel utama dan
menentukan jenis, efek tertentu sebagai hasil interaksi antara ketiga variabel tersebut.
Lebih lanjut Ball-Rokeach dan DeFleur (1976, Sendjaja, 2002: 5. 28) mengemukakan,
bahwa ketiga komponen yaitu audience, sistem media dan sistem sosial, saling berhubungan
satu dengan lainnya, meskipun sifat hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya. Setiap komponen dapat pula memiliki cara yang beragam yang secara
langsung berkaitan dengan perbedaan efek yang terjadi. Seperti misalnya sistem sosial akan
berbeda-beda sesuai dengan tingkat stabilitasnya. Adakalanya sistem sosial yang stabil akan
mengalami masa-masa krisis. Sistem sosial yang telah mapan dapat mengalami tantangan
legitimasi dan ketahanannya secara mendasar. Dalam kondisi semacam ini akan muncul
kecenderungan untuk mendefinisikan hal-hal baru, penyesuaian sikap, menegaskan kembali
nilai-nilai yang berlaku atau mempromosikan nilai-nilai baru, yang kesemuanya menstimulasi
proses pertukaran informasi. Audience akan memiliki hubungan yang beragam dengan sistem
sosial dan perubahan-perubahan yang terjadi. Sejumlah kelompok mungkin mampu bertahan
sementara lainnya akan lenyap. Demikian pula dengan keragaman ketergantungan pada media
massa sebagai informasi dan panduan. Pada umumnya kelompok elite pada masyarakat akan
memiliki lebih banyak kendala terhadap media, lebih banyak akses ke dalamnya, dan tidak
terlalu tergantung pada media jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sementara
kelompok elite cenderung untuk memiliki akses kepada sumber informasi lain yang lebih
cakap dan kompeten, non-elite terpaksa tergantung pada media massa atau sumber informasi
perorangan yang biasanya kurang memadai. Media massa beragam dalam hal kualitas,
persebaran, realibilitas, dan otoritas. Untuk kondisi tertentu atau dalam masyarakat tertentu
media massa akan lebih berperan dalam memberikan informasi sosial-politik dibandingkan
dalam kondisi atau masyarakat lainnya. Selanjutnya, terdapat pula keragaman fungsi dari
media massa untuk memenuhi berbagai kepentingan, selera, kebutuhan, dan sebagainya.
6. Spiral of Silence
Teori spiral of silence atau spiral kebisuan berkaitan dengan pertanyaan mengenai
bagaimana terbentuknya pendapat umum. Dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth
Noelle-Neuman, sosiolog Jerman, pada tahun 1974, teori ini menjelaskan bahwa jawaban dari
pertanyaan tersebut terletak dalam suatu proses saling memengaruhi antara komunikasi massa,
komunikasi antarpribadi, dan persepsi individu atas-pendapatnya sendiri dalam hubungannya
dengan pendapat orang lain dalam masyarakat. Teori ini mendasarkan asumsinya pada
pemikiran sosial-psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat
tergantung pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, atau atas apa yang orang rasakan sebagai
pendapat dari orang lain. Berangkat dari asumsi tersebut, spiral of silence selanjutnya
menjelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti
kesendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Oleh karenanya, orang akan
mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan
mendapatkan dukungan, dan mana yang tidak dominan atau populer. Jika orang merasakan
bahwa pandangannya termasuk di antara yang tidak dominan atau tidak populer, maka ia
7. Information Gaps
Dalam membahas efek jangka panjang komunikasi massa, tampaknya penting untuk
dikemukakan suatu pokok bahasan yang disebut sebagai celah informasi atau celah
pengetahuan (information atau knowledge gaps). Latar belakang pemikiran ini terbentuk oleh
arus informasi yang terus meningkat, yang sebagian besar dilakukan oleh media massa. Secara
teoretis peningkatan ini akan menguntungkan setiap orang dalam masyarakat karena setiap
individu memiliki kemungkinan untuk mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya atau di
dunia, yang tentunya akan memantu dirinya dalam memperluas wawasan. Namun informasi
sering kali menghasilkan efek negatif, di mana peningkatan pengetahuan pada kelompok
tertentu akan menjauh dan meninggalkan kelompok lainnya. Dalam hal seperti ini information
gaps akan terjadi dan terus meningkat sehingga menimbulkan jarak antara kelompok sosial
yang satu dengan yang lain dalam hal pengetahuan mengenai suatu topik tertentu.
Philip Tichenor (1970) yang mengawali pemikiran tentang knowledge gaps, dengan
menjelaskan bahwa ketika arus informasi dalam suatu sistem sosial meningkat, akan
melebarkan celah pengetahuan di antara sistem sosial yang berbeda di masyarakat. Sementara
itu, Everett M. Rogers (1976) memperkuat asumsi tersebut dengan mengatakan bahwa,
informasi bukan hanya menghasilkan melebarnya knowledge gaps, tetapi juga gaps yang
berkaitan dengan sikap dan perilaku. Menurutnya komunikasi massa bukan satu-satunya
penyebab terjadinya gaps tersebut, karena efek yang serupa juga terjadi pada komunikasi
langsung antar-individu (Sedjaja, 2002: 5.30).
Kari Erik Rosengren memodifikasi 7 elemen di atas menjadi 11 elemen sebagai berikut:
(1) kebutuhan mendasar tertentu, dalam interaksinya dengan (2) berbagai kombinasi antara
intra dan ekstra individu, dan juga dengan (3) struktur masyarakat, termasuk struktur media,
menghasilkan (4) berbagai percampuran personal individu, dan (5) persepsi mengenai solusi
bagi persoalan tersebut, yang menghasilkan (6) berbagai motif untuk mencari pemenuhan atau
penyelesaian persoalan, yang menghasilkan (7) perbedaan pola konsumsi media dan (8)
perbedaan pola perilaku lainnya, yang menyebabkan (9) perbedaan pola konsumsi, yang dapat
memengaruhi (10) kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan
memengaruhi pula (11) struktur media dan berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi
dalam masyarakat (Effendy, 2000: 291).
Menurut (Sendjaja, 2002: 5.41), teori uses and effect pertama kali dikemukakan oleh Sven
Windahl (1979), merupakan sintesis antara pendekatan uses and gratifications dan teori
tradisional mengenai efek. Konsep 'use' (penggunaan) merupakan bagian yang sangat penting
atau pokok dari pemikiran ini. Karena pengetahuan mengenai penggunaan media yang
menyebabnya, akan memberikan jalan bagi pemahaman dan perkiraan tentang hasil dari suatu
proses komunikasi massa. Penggunaan media massa dapat memiliki banyak arti. Ini dapat
berarti exposure yang semata-mata menunjuk pada tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain,
pengertian tersebut dapat menjadi suatu proses yang lebih kompleks, di mana isi terkait
harapan-harapan tertentu untuk dapat dipenuhi, fokus dari teori ini lebih kepada pengertian
yang kedua.
Donohew dan Tipton (1973), menjelaskan tentang pencarian, pengindraan dan pemrosesan
informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial tentang kesesuaian sikap.
Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari informasi yang
tidak sesuai dengan image of reality-nya karena informasi itu bisa saja membahayakannya.
Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif
kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan
sebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok
konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari
Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).
Berger dan Luckmann kemudian melalui Social Construction of Reality (1965), menulis
tentang konstruksi sosial atas realitas sosial dibangun secara simultan melalui tiga proses,
yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses simultan ini terjadi antara idividu
Gagasan awal dari teori konstruksi sosial media massa ini adalah untuk mengoreksi teori
konstruksi sosial atas realitas yang dibangun oleh Berger dan Luckmann (1965). Seperti yang
sudah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, substansi "teori konstruksi sosial media massa"
adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung
dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas sosial yang terkonstruksi itu juga mem-
bentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis.
Posisi "konstruksi sosial media massa" adalah mengoreksi substansi kelemahan dan
melengkapi "konstruksi sosial atas realita", dengan menempatkan seluruh kelebihan media
massa dan efek media pada keunggulan "konstruksi sosial media massa" atas "Konstruksi
sosial atas realita". Namun proses simultan yang digambarkan di atas tidak bekerja secara
tiba-tiba, namun terbentuknya proses tersebut melalui beberapa tahap penting. Dari konten
Konstruksi sosial media massa, proses kelahiran konstruksi sosial media massa melalui
tahap-tahap sebagai berikut: (a) tahap menyiapkan materi konstruksi; (b) tahap sebaran
konstruksi; (c) tahap pembentukan konstruksi; dan (d) tahap konfirmasi.
1 2 . Lasswell Model
Seorang ahli ilmu politik Amerika Serikat pada tahun 1948 mengemukakan suatu
ungkapan yang sangat terkenal dalam teori dan penelitian komunikasi massa. Ungkapan yang
merupakan cara sederhana untuk memahami proses komunikasi massa adalah dengan
menjawab pertanyaan sebagai berikut: siapa (who); berkata apa (says what); melalui saluran
apa (which channel); kepada siapa (to whom); dengan efek apa? (with what effect?)
Dalam Four Theories of the Press (Siebert, Peterson, dan Schramm, 1956, Severin dan
Tankard, Jr. 2005: 373), membagi pers di dunia dalam 4 kategori: otoriter, liberal, tanggung
jawab sosial, dan totaliter-Soviet. Namun kesemuanya merupakan "Teori Normative" yang
berasal dari pengamatan, bukan dari hasil uji dan pembuatan hipotesis dengan menggunakan
metode ilmu sosial.
1. Teori Otoriter
Penemuan alat cetak pers dan pelat huruf yang mudah dipindah terjadi saat dunia di
bawah kekuasaan otoriter sistem kerajaan dengan kekuasaan absolutnya. Ketika dasar dan
teori pers pertama (teori otoriter) mendukung dan menjadi kepanjangan tangan kebijakan
pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Mesin cetak harus memiliki izin dan,
2. Teori Liberal
Teori Liberal pers berkembang sebagai dampak dari masa pencerahan dan teori umum
tentang rasionalisasi serta hak-hak alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter.
Dari tulisan Milton, Locke, dan Mill dapat dimunculkan pemahaman bahwa pers harus
mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus
sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Di bawah
teori liberal pers bersifat swasta, dan siapa pun yang mempunyai uang yang cukup dapat
menerbitkan media. Media dikontrol dalam dua cara. Dengan beragamnya pendapat, "proses
pembuktian kebenaran" dalam "pasar bebas gagasan" akan memungkinkan individu
membedakan mana yang benar atau salah. Demikian pula dengan sistem hukum yang memiliki
ketentuan untuk menindak tindakan fitnah, tindakan senonoh, ketidaksopanan, dan hasutan
dalam masa peperangan. Teori liberal pers berkembang di Inggris selama abad ke-18 tetapi
tidak diperbolehkan dijalankan dikoloni Inggris di Amerika Utara sampai putusnya hubungan
dengan negara induk tersebut. Setelah tahun 1776, teori ini diimplementasikan di seluruh
wilayah yang lepas dari pemerintahan kolonial dan secara resmi diadopsi dengan adanya
Amandemen Pertama pada Piagam Hak Asasi Manusia baru yang ditambahkan ke dalam
Undang- Undang Dasar (Severin dan Tankard, Jr. 2005: 378).
Di abad kedua puluh di Amerika Serikat, ada gagasan yang berkembang, bahwa media
satu-satunya industri yang dilindungi Piagam Hak Asasi Manusia, harus memenuhi tanggung
jawab sosial. Teori tanggung jawab sosial, yang merupakan evolusi gagasan praktisi media,
Undang-Undang Media, dan hasil kerja Komisi Kebebasan Pers (Commission on Freedom of
the Press), berpendapat bahwa selain betujuan untuk memberikan informasi, menghibur,
mencari untung (seperti hal teori liberal), juga bertujuan untuk membawa konflik ke dalam
arena diskusi. Teori tanggung jawab sosial mengatakan bahwa, setiap orang yang memiliki
sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media
dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya. Di bawah
teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional,
dan dalam hal penyiaran, dikontrol oleh badan pengatur mengingat keterbatasan teknis pada
jumlah saluran frekuensi yang tersedia (Effendy, 2000: 272).
Teori otoriter pers di banyak negara berubah menjadi teori Totaliter-Soviet. Soviet
berpandangan, bahwa tujuan utama media adalah membantu keberhasilan dan kelangsungan
sistem Soviet. Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari pemerintah dan badan
pengawas dan hanya anggota partai yang loyal dan anggota partai ortodoks saja yang bisa
menggunakan media secara regular. Media dalam sistem Soviet dimiliki dan dikontrol oleh
negara dan ada hanya sebagai kepanjangan tangan negara.
Pada salah satu tindakan pelarangan penerimaan saluran televisi asing. Di akhir musim
panas tahun 1999, polisi Cina mulai merampas satelit, antena penerima, dan dekoder. Tahun itu
merupakan saat yang sangat sensitif bagi pemerintahan Cina, dengan adanya tiga peristiwa
penting, hari peringatan demonstrasi Tiananmen kesepuluh, perayaan ulang tahun Republik
Cina kelima puluh, dan perayaan gerakan Empat Mei yang kedelapan puluh, saat para pelajar
memrotes perlakuan kekuatan Barat terhadap Cina. Pemerintah memperingatkan operator TV
kabel untuk tidak menayangkan program TV asing. Beberapa pakar percaya pemerintah ingin
memblokir saluran akhir yang mungkin menyiarkan berita tentang Tianannmen (Landler,
1999, Severin dan Tankard, Jr. 2005: 80).
Pada bagian lain dalam buku ini telah dijelaskan mengenai persoalan virtual reality,
realitas maya, cybercommunity, sebagai akibat langsung dari perkembangan teknologi
telematika yang semakin pesat. Sehingga oleh banyak cabang ilmu sosial mulai melihat ma-
salah cyber Community ini sebagai sebuah arena kajian yang menarik sebuah sosiologi
kehidupan baru yang menarik dikaji.
Walaupun wilayah kajian ini masih prematur disebut telah melahirkan sebuah teori, namun
bisa jadi teori yang lahir dari kajian masyarakat maya (cybercommunity) ini, menjadi sebuah
teori paling akhir dalam kajian komunikasi atau sosiologi komunikasi, karena seperti yang
dijelaskan pada bagian tentang masyarakat cyber, telah lahir sebuah kajian ilmiah mengenai
cybercommunity, di mana cybercommunity ini memiliki struktur yang menyerupai kehidupan
sosial masyarakat nyata, sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah teori cybercommunity.
Tankard (2005), dalam bukunya tentang teori komunikasi, menjelaskan tentang teori
komunikasi dunia maya, di mana yang dimaksud oleh Severin dan Tankard sebagai dunia maya
adalah cybercommunity itu. Walaupun unsur-unsur dunia maya tidak dijelaskan secara detail
oleh keduanya dalam buku tersebut, sebagaimana konsep teori cybercommunity dalam buku
ini, namun keduanya mengajukan beberapa bagian-bagian penting dalam teori komunikasi
dunia maya, yaitu (1) konsep dasar komunikasi digital, seperti dunia maya (cyberspace),
virtual reality (VR) komunitas maya (virtual communities) chat rooms, multi-user domain
Referensi:
A.S. Haris Sumadiria. (2014). Sosiologi Komunikasi Massa. Sembiosa Rekatama Media,
Bandung
Burhan Bungin. (2014). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Kencana, Jakarta.
Momon Sudarma. ((2014). Sosiologi Komunikasi. Mitra Wacana Media, Jakarta.