Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS ANTROPOLOGI HUKUM TENTANG PENGARUH NILAI-NILAI

BUDAYA TERHADAP BUDAYA HUKUM MASYARAKAT BATAK-TOBA


TERKAIT DENGAN BATAS USIA KAWIN MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

Zulfadli Barus
dosen Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta
Email: zfdlibrs@yahoo.com

Abstract
Legal Culture as collective respons to the Mariage Law (the Act No. 1 Year 1974), are different in every
Adat Communities in Indonesia, especially in the Age Limit for man (19 years old) and woman (16 years
old) who are going to marry. So, this Act could be said as living law, if the value system of Adat Law
Communities are relevant to the Age Limit to marry which are stated by the Act No.1 Year of 1974. In a
few cases in the Batak Toba Society, the average of age limit to get merry are 27 years old for man and
23 years old for woman. Therefore, the legal culture of Batak Toba Society have been supported the Act
No.1 Year 1974. It is also could get less deal number of mother who give birth to, if that it’s number has
been grown up in Indonesia recently.
Keywords : Anthropology of Law, the legal culture of Batak Toba Society, Act No.1 Year of 1974, the
average of age limit to get merry

Abstrak
Budaya hukum sebagai respon kolektif masing-masing masyarakat Adat, terkait dengan batas usia
kawin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disikapi berbeda berdasarkan nilai-nilai yang hidup
di masing-masing masyarakat. Aturan tersebut menjadi hukum yang hidup (living law) bila nilai-nilai
masyarakat adat tersebut mendukungnya, demikian pula sebaliknya. Dilingkungan masyarakat adat
Batak Toba, fenomena rata-rata usia kawin bagi pria (27 tahun) dan wanita (23 tahun), sehingga tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan bila dilihat dari aspek kesehatan, hal
ini dapat mengurangi resiko kematian ibu karena melahirkan, yang akhir-akhir ini cenderung meningkat
di Indonesia.
Kata kunci : Antropologi hukum, Hukum adat Batak-Toba, Undang-undang Perkawinan, batas usia
perkawinan

A. Pendahuluan segala bentuk perilaku budaya manusia yang


mempengaruhi atau yang berkaitan dengan
Antropologi Hukum sebagai ilmu dipengaruhi
masalah hukum (Hilman Hadikusuma : 2004 : 4).
oleh Antropologi dan Ilmu Hukum, sehingga
sebagai “anak”, ia memiliki “bapak” Antropologi dan Antropologi hukum mempelajari hukum
“ibu” Ilmu Hukum, maka memahami Antropologi dari konteks kultur masyarakat tertentu, baik
dan Ilmu Hukum adalah prasayrat untuk dapat pada masyarakat modern, maupun masyarakat
mengerti Antropologi Hukum. Antropologi Hukum sederhana. Dengan kata lain, Antropologi Hukum
sebagai Ilmu mempelajari perilaku manusia adalah Antropologi yang mempelajari Hukum
dengan segala aspeknya yang terkait dengan sebagai salah satu aspek dari kebudayaan (J. B.
norma-norma hukum tertulis dan tidka tertulis Daliyo cs : 1992 : 139).
secara empiris. Itulah sebabnya penelitian antropologis
Interaksi empirik dalam masyarakat itu tidak terhadap hukum sebagai salah satu aspek budaya
hanya menyangkut masyarakat yang budayanya dibedakan menjadi dua kelompok tujuan, yaitu:
masih sederhana (primitif), tetapi juga masyarakat penelitian untuk kepentingan pengembangan
yang budayanya modern. Dalam hal ini, budaya Antropologi, dan penelitian untuk pengembangan
yang dimaksud adalah budaya hukum, yaitu Ilmu Hukum. Antropologi Hukum menekankan

Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ... 137
pada penelitian untuk pengembangan Ilmu Hukum Koentjaraningrat (Koentjaraningrat : Edisi
(J.B.Daliyo cs : 1992 : 140). Baru: 180) mengemukakan bahwa “Kebudayaan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dipahami bila perk embangan Ant ropologi dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
Hukum di Indonesia berkorelasi positif dengan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia
perkembangan Ilmu Hukum Adat, sehingga antara dengan belajar”. Jadi, menurut Koentjaraningrat
keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat kebudayaan berkaitan erat dengan 3 (tiga) hal
dipisahkan. oleh karena itulah, tulisan ini, penulis yang saling terkait.Pertama, hal-hal yang bersifat
beri judul, “Analisis Antropologi Hukum tentang abstrak seperti sistem gagasan, pengetahuan,
Pengaruh Nilai-Nilai Budaya terhadap Budaya kesenian, nilai dan lain-lain.Kedua, hal-hal bersifat
Hukum Masyarakat Batak Toba Terkait dengan nyata (konkrit), yaitu perilaku yang sudah terpola
Batas Usia Kawin Menurut Undang-Undang No.1 misalnya kebiasaan dan lain-lain. Ketiga, hal-hal
Tahun 1974”, untuk mengetahui apakah Undang- yang berkaitan dengan benda-benda fisik sebagai
Undang ini efektif berlaku atau tidak di lingkungan perwujudan dari gagasan dan karya manusia
masyarakat, khususnya Pasal 7 ayat (1) Undang- seperti candi, peralatan rumah tangga, benda-
Undang No.1 Tahun 1974 terkait dengan batas benda seni dan lain-lain sebagainya.
usia kawin bagi pria (19 tahun) dan wanita (16
tahun) dilihat dari perspektif Antropologi Hukum. C. Kluckhohn (Soerjono Soekanto : 1990 :
Efektivitas hukum yang dimaksud di sini adalah, 193) mengemukakan bahwa kebudayaan
apakah ketentuan batas usia kawin secara normatif terdiri atas 7 (tujuh) unsur yaitu:
tersebut (law in books) sama atau tidak dengan
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia,
yang dipraktekkan (law in action), khususnya
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem
di lingkungan masyarakat adat Batak Toba.
ekonomi,
Jadi, masalah yang akan dianalisis penulis
3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan,
adalah tentang efektivitas hukum Pasal 7 ayat (1)
organisasi politik, sistem hukum, sistem
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, apakah dalam
perkawinan),
praktiknya terjadi kesenjangan antara law in books
4. Bahasa (lisan maupun tulisan),
dengan law in action.
5. Kesenian,
Berdasarkan survey demografi dan kesehatan
6. Sistem pengetahuan, dan
Indonesia (SDKI) 2012, pada 6.927 responden
wanita berusia 15-19 tahun di sejumlah wilayah di 7. Religi (Sistem kepercayaan).
Indonesia, 59% di antaranya pernah melahirkan Pembagian unsur-unsur kebudayaan itu
pertama kali pada usia di bawah 18 tahun. Artinya, mengandung arti bahwa dalam garis besarnya
satu dari sepuluh remaja perempuan umur 15- setiap kebudayaan memiliki sekurang-kurangnya
19 tahun sudah pernah melahirkan atau sedang unsur-unsur yang sama. Sekalipun ada perbedaan
hamil. Bahkan, sebanyak 11,1% telah menikah tetapi dianggap bukan perbedaan yang bersifat
pertama kali pada usia 10-14 tahun(Media prinsip.Masing-masing unsur kebudayaan dibentuk
Indonesia : 25 Maret 2014). Fakta-fakta tersebut oleh satuan-satuan yang lebih kecil (sub unsur)
menunjukkan bahwa ketentuan batas usia kawin yang disebut kompleks kebudayaan.Kompleks
seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang kebudayaan dibentuk oleh satuan-satuan yang
No.1 Tahun 1974 di atas tidak efektif. lebih kecil lagi yang disebut tema-tema budaya.
Tema-tema budaya dibentuk oleh satuan-satuan
B. Unsur Budaya, Wujud Kebudayaan, dan yang lebih kecil, demikian seterusnya.
Budaya Hukum Unsur-unsur kebudayaan menjelma dalam
E. B. Tylor (Soerjono Soekanto : 1990 : tiap macam wujud kebudayaan yang menurut
188) mengemukakan bahwa “Kebudayaan Koentjaraningrat (Soerjono Soeknato : 1990 :
adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, 186-187) terdiri atas:
kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat- 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
istiadat dan lain kemampuan-kemampuan dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan norma, peraturan dan sebagainya,
oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. 2. Wujud kebudayaan sebagai kompleks
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
bahwa ruang lingkup kebudayaan itu sangat luas, dalam masyarakat,
karena meliputi semua aspek kehidupan manusia 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda
sebagai anggota masyarakat. hasil karya manusia.

138 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ...
Ketiga wujud kebudayaan haruslah dilihat hukumberdasarkan nilai-nilai budaya yang hidup
sebagai suatu yang sistemik karena ide atau ditengah – tengah masyarakat tersebut. oleh
gagasan sebagai wujud kebudayaan ideal sebab itu, Stajipto Rahardjo mengemukakan
mempengaruhi perilaku manusia dan perilaku “Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh
manusia dapat menghasilkan benda-benda nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan dalam
fisik sebagai hasil karya manusia. Oleh karena mempraktikkan hukumnya” (Stajipto Rahardjo :
itu, ketiga wujud kebudayaan akan selalu 2003 : 96).
terdapat pada tiap unsur kebudayaan. Misalnya
unsur sistem kemasyarakatan sebagai unsur
kebudayaan yang meliputi kompleks budaya, C. Sistem Hukum dan Budaya Hukum
seperti sistem kekerabatan, sistem hukum, sistem Lawrence M. Friedman mengemukakan
perkawinan dan lain-lain akan menjelma dalam bahwa sistem hukum memiliki 3 (tiga) unsur yaitu
3 (tiga) wujud kebudayaan. Pertama, wujud (a) struktur hukum, (b) substansi hukum dan (c)
kebudayaan pada tataran nilai akan tercermin budaya hukum. (M. Sastraprateja:1993 : 7) Unsur
dalam nilai-nilai sakral yang melandasi ikatan struktur hukum meliputi lembaga pengadilan dan
perkawinan seperti misalnya nilai religius-magis ruang lingkup kompetensinya, lembaga legislatif
sehingga perkawinan adalah suatu peristiwa dan lain-lain yang membentuk dan menegakkan
penting dalam kehidupan seseorang.Untuk hukum. Unsur substansi hukum adalah aturan atau
melangsungkan perkawinan ada ritual-ritual norma dalam sistem hukum yang memberi tuntutan
sakral yang harus dilaksanakan. Kedua, wujud untuk melakukan perilaku yang seharusnya. Unsur
kebudayaan pada tataran perilaku akan tercermin budaya hukum adalah sikap manusia terhadap
dari ucapan-ucapan perkawinan sebagai perilaku hukum dan sistem hukum yang berkaitan dengan
terpola yang harus dilakukan kedua belah pihak kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya (M.
seperti ucapan melamar atau upacara pesta Sastraprateja :1993 : 7). Sikap manusia terhadap
perkawinan. Ketiga, wujud kebudayaan pada hukum dan sistem hukum itu akan tercermin
tataran fisik akan tercermin dari benda-benda dari bagaimana manusia itu bertindak mematuhi
fisik yang dipergunakan dalam ritual perkawinan hukum, menghindari atau menyalahgunakannya
seperti sirih, uang logam, emas, perak, pakaian, (M. Sastraprateja :1993 : 7).
piring, perabot rumah tangga dan lain-lain.
Ketiga unsur sistem hukum tersebut dapat
Wujud kebudayaan yang akan dibicarakan dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan karena
adalah wujud kebudayaan yang disebut pertama saling mempengaruhi antara satu sama lain. Unsur
yaitu “cultural system (sistem budaya)”. (Soerjono struktur hukum berkaitan erat dengan substansi
Soeknato : 1990 : 186-187)Sistem budaya hukum karena substansi hukum (misalnya
merupakan bagian ideal dari kebudayaan karena Undang-undang), dibentuk oleh badan legislatif
berkaitan dengan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai- (DPR) dan eksekutif (Pemerintah), dan ditegakkan
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. oleh badan pengadilan (yudikatif). Unsur substansi
Ide-ide, gagasan-gagasan atau nilai-nilai itu hukum berkaitan erat dengan unsur budaya hukum
mengatur dan memberi arah kepada perilaku, karena budaya hukum berkaitan erat dengan
tindakan, perbuatan dan karya manusia. (Soerjono sikap dan perilaku masyarakat terhadap substansi
Soeknato : 1990 : 186-187)Nilai-nilai budaya, hukum, yaitu apakah hukum itu dipatuhi, dihindari,
ide atau gagasan tersebut mengarahkan dan atau dilanggar. Budaya hukum yang tercermin dari
menentukan bagaimana suatu masyarakat perilaku masyarakat yang melanggar, mematuhi,
mempersepsi, bersikap, dan bertindak terhadap dan atau menghindari, menunjukkan bahwa
setiap gejala yang terdapat dalam kehidupan dalam kenyataannya substansi hukum tersebut
manusia.Karenanya, nilai-nilai budaya memberi tidak dengan sendirinya berlaku (dipatuhi) meski
orientasi terhadap bagaimana seharusnya ia dibuat oleh badan pembentuk hukum yang
masyarakat bersikap dan bertindak sebagai berwenang, karena faktanya banyak dilakukan
respon terhadap suatu gejala sosial. pelanggaran terhadap substansi hukum tersebut.
Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat Karenanya, Friedman (M. Sastraprateja :1993 : 7)
dalam hal menanggapi gejala hukum. Nilai- mengemukakan, “Tanpa budaya hukum sistem
nilai budaya mengarahkan atau menentukan hukum itu sendiri tidak akan berdaya -seperti
bagaimana masyarakat menyikapi gejala-gejala ikan mati yang berenang di keranjang, bukan
hukum dalam arti apakah hukum tersebut akan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya.”
dipatuhi, diabaikan, atau dilanggar.Karenanya, Analogi Friedman ini memperjelas betapa eratnya
budaya hukum itu dapat dilihat sebagai respon hubungan antara substansi hukum dengan budaya
kolektif masyarakat terhadap gejala-gejala hukum.

Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ... 139
Dapat disimpulkan bahwa aneka ragam abst r ak dan umum. Lembaga penegakan/
persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap penerapan hukum adalah badan judikatif atau
substansi hukum (mematuhi, mengabaikan, dan lembaga peradilan yang bertugas menerapkan
atau melanggamya) sangat bergantung pada nilai- aturan hukum atau undang-undang terhadap
nilai budaya yang hidup dan melandasi budaya suatu peristiwa konkrit.
hukum masyarakat tersebut. M. Sastraprateja Unsur kedua sistem hukum adalah substansi
(M. Sastraprateja :1993 : 7) mengemukakan hukum.Substansi hukum berkaitan dengan norma-
bahwa “orang bertindak berdasarkan nilai norma atau kaidah-kaidah hukum yang dibentuk
yang diyakininya. Dan ini selalu diulang dan oleh lembaga pembentuk hukum. Substansi
menjadi kaidah hidupnya.Semakin kuat nilai hukum dapat meliputi 3 (tiga) macam jenis kaidah
yang dipilih, semakin kuat pengaruh nilai itu atas hukum yaitu (a) hukum perundang-undangan, (b)
kehidupannya.” Persepsi, sikap, dan perilaku hukum jurisprudensi dan (c) hukum tidak tertulis.
suatu masyarakat terhadap hukum dan sistem Kaidah hukum mana di antara ketiganya yang
hukum ditentukan oleh nilai-nilai budayanya.Nilai- diutamakan bergantung kepada sistem hukum
nilai budaya yang diyakini menentukan bagaimana masing-masing.Di dunia ada 2 (dua) jenis sistem
perilakunya terhadap hukum. Jadi, karena tiap hukum yang terkenal yaitu Common Law System
masyarakat atau tiap bangsa mempunyai nilai- (seperti di Inggris dan Amerika) dan Civil Law
nilai budaya yang berbeda, maka akan berbeda System (seperti di Belanda). Di luar kedua sistem
pula budaya hukum antara suatu masyarakat hukum tersebut masih terdapat berbagai jenis
dengan masyarakat lainnya. Dalam hubungan ini, sistem hukum yang lain seperti sistem hukum
Lawrence M. Friedman (Lawrence M. Friedman Islam (Sunarjati Hartono : 1991 : 31).
: 1984 : 9) mengemukakan bahwa “Setiap
Sistem hukum Indonesia mewarisi sistem
masyarakat, setiap negara, setiap komunitas
hukum Belanda sehingga condong pada Civil
mempunyai budaya hukum.”
Law Systems. Dalam sistem hukum Indonesia,
Ada 2 (dua) hal yang mungkin terjadi berkaitan undang-undang atau hukum perundang-undangan
dengan hubungan antara nilai- nilai budaya merupakan norma-norma hukum yang utama.
dengan budaya hukum.Pertama, masyarakat akan Unsur substansi hukum dapat juga dipandang
cenderung mematuhi substansi hukum jika nilai- sebagai suatu sistem tersendiri yaitu sistem kaidah
nilai substansi hukum itu menunjukkan kesesuaian hukum positif sehingga sering disebut sistem tata
dengan nilai-nilai budayanya. Kedua, akan terjadi hukum atau sistem hukum dalam arti sempit.Unsur
pelanggaran terhadap substansi hukum jika nilai- substansi hukum meliputi bidang-bidang hukum
nilai budaya masyarakat tersebut bertentangan tata negara, administrasi negara, pidana, perdata,
dengan nilai-nilai substansi hukum meski hal itu hukum dagang, dan lain-lain.
ditetapkan oleh negara (badan yang berwenang).
Unsur ketiga sistem hukum adalah budaya
Dengan demikian, dapat difahamibila nilai-nilai
hukum. Lawrence M. Friedman (Sunarjati
budaya yang diyakini suatu kelompok, suku atau
Hartono : 1991 : 9) mengemukakan “Setiap
bangsa sangat besar pengaruhnya terhadap
masyarakat, setiap negara, setiap komunitas
budaya hukum kelompok, suku atau bangsa yang
mempunyai budaya hukum.” Maka, tiap negara,
bersangkutan. Dengan perkataan lain, budaya
tiap masyarakat, dan tiap komunitas, dengan
hukum pada dasarnya merupakan gambaran
sendirinya akan memiliki budaya hukum yang
dari persepsi, sikap dan perilaku kelompok,
berbeda.
suku atau bangsa terhadap hukum dan sistem
hukumnya. Perilaku itu dapat berwujud dalam Masyarakat Jepang memiliki “budaya malu”
bentuk mematuhi ,melanggar, dan menghindari yaitu suatu jenis budaya hukum yang menganggap
aturan hukum. bahwa penyelesaian suatu masalah berdasarkan
hukum positif belum cukup untuk menghapuskan
Lebih lanjut Friedman menjelaskan bahwa
kesalahan seseorang sebelum meminta maaf
unsur pertama sistem hukum, yaitu struktur hukum
secara terang-terangan (Satjipto Rahardjo :
berkaitan dengan macam-macam kelembagaan
2003 : 113). Artinya, penyelesaian berdasarkan
hukum dengan segala kewenangannya dalam
hukum negara harus pula dibarengi dengan
suatu sistem hukum.Kelembagaan hukum dalam
penyelesaian berdasarkan hukum moral.Bahkan,
garis besamya dapat dibagi atas (a) lembaga
hukuman moral dianggap jauh lebih berat dari
pembentuk hukum dan (b) lembaga penegakan/
pada hukuman negara. Menurut Satjipto Rahardjo,
penerapan hukum. Lembaga pembentuk hukum
(Satjipto Rahardjo : 2003 : 114) hal itu disebabkan
adalah badan legislatif dan eksekutif sebagai
masyarakat Jepang sekalipun memakai sistem
lembaga pembentuk undang- undang at au
hukum modern tetapi lebih mengutamakan
pembentuk norma-norma hukum yang bersifat
moralitas (supremacy of moral). Hal ini berbeda

140 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ...
bila dikaitkan dengan budaya hukum yang ada D. Lingkungan Masyarakat Adat
pada kelompok masyarakat tertentu di Indonesia
Van Vollen Hoven membagi masyarakat
yang memiliki kecenderungan budaya hukum
Indonesia atas 19 (sembilan belas) lingkungan
dengan perilaku yang menghindari hukum sebagai
hukum adat (Koentjaraningrat : 1990 : 301).
sarana penyelesaian masalah lewat budaya
Pembagian ini menunjukkan bahwa bangsa
transaksionaldalam arti yang menyimpang,
Indonesia merupakan bangsa yang multi etnis
sehingga tidak ada lagi bedanya antara fasilitas
dengan nilai-nilai budaya yang berbeda-beda.
penjara dengan hotel berbintang bagi narapidana
Tiap kelompok masyarakat dalam lingkaran hukum
tertentu yang sedang menjalani hukuman.
adat memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda
Melalui “budaya malu”, masyarakat Jepang sehingga patut diduga bahwa masing-masing
tidak menganggap hukum positif sebagai sarana kelompok masyarakat akan memiliki persepsi,
“ultimum remedium” dalam penyelesaian masalah sikap dan perilaku yang berbeda terhadap
dalam arti yang positif. Penyelesaian masalah substansi hukum dan sistem hukum. Artinya, hal
berdasarkan hukum positif dianggap tidak cukup ini dapat melahirkan budaya hukum yang berbeda-
memadai sehingga perlu penyelesaian secara lain beda antara masing – masing lingkungan adat
yakni penyelesaian secara moral. tersebut. Salah satu dari lingkungan hukum adat
contoh-contoh perilaku di atas bagaimana yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini
substansi hukum itu dipersepsi dan disikapi secara adalah lingkungan hukum adat Batak-Toba yang
berbeda dari sudut pandang nilai-nilai budaya yang asalnya dari Tapanuli, Sumatera Utara, khususnya
berbeda yang hidup dalam masyarakat.contoh- tentang budaya hukumnya dikaitkan dengan
contoh tersebut menunjukkan dua macam perilaku persepsi, sikap, dan perilaku masyarakatnya
yang berbeda dalam penyelesaian masalah tentang Perkawinan Usia Dini menurut Undang-
menurut aturan hukum negara, disebabkan oleh Undang Nomor 1 Tahun 1974.
perbedaan nilai-nilai yang dianut. Friedman Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
(Satjipto Rahardjo : 2003 : 8) mengemukakan 1974 disebutkan bahwa “Perkawinan hanya
bahwa “Budaya hukum adalah sikap manusia diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
terhadap hukum dan sistem hukum yang berkaitan 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
dengan kepercayaan, nilai, pemikiran serta sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
harapannya.” Sebagai akibat dari pengaruh Realitanya, substansi hukum tentang pembatasan
nilai-nilai budaya tersebut, Friedman (Satjipto usia kawin tersebut dalam kenyataan disikapi
Rahardjo : 2003 : 8) lebih lanjut mengemukakan secar a berbeda oleh berbaga i k elompok
bahwa budaya hukum itulah yang menentukan masyarakat adat, karena ada yang mendukung
bagaimana hukum akan dipatuhi, dihindari atau dan ada yang melanggarnya. Melanggar dalam
disalahgunakan. arti mereka melangsungkan perkawinan di usia
Sikap dan tanggapan terhadap hukum dini (dibawah umur 19 tahun bagi pria dan 16
dalam masyarakat Jepang dan Indonesia tahun bagi wanita). Sedangkan perilaku yang
tersebut bukan gambaran dari sikap pribadi- mendukung berarti mereka melangsungkan
pribadi tetapi kecenderungan sikap anggota perkawinan diusia yang sama dan atau lebih tinggi
masyarakat yang dilakukan berulang-ulang dari batas usia tersebut.
sehingga menggambarkan perilaku bersama. Persepsi, sikap dan perilaku masyarakat
Dengan demikian, budaya hukum suatu kelompok Batak-Toba menunjukkan bahwa mereka memiliki
masyarakat terbentuk bukan karena produk kecenderungan mematuhi aturan pembatasan
perilaku satu atau dua orang tetapi produk perilaku usia kawin yang diatur dalam Undang – undang
bersama anggota masyarakat. Karenanya, Hilman Nomor 1 tahun 1974, karena rata-rata usia
Hadikusuma (Hilman Hadikusuma: 1986 : 51) kawin calon pengantin Batak-Toba adalah di
mengemukakan bahwa “Budaya hukum adalah atas ketentuan Undang-undang. Karena, dalam
tanggapan umum yang sama dari masyarakat beberapa kasus di kota besar seperti Jakarta ada
tertentu terhadap gejala-gejala hukum.” Dengan calon pengantin pria berusia di atas 27 (dua puluh
perkataan lain, budaya hukum bukan reaksi tujuh) tahun dan calon pengantin wanita di atas
pribadi-pribadi tertentu terhadap substansi hukum usia 25 (dua puluh lima) tahun, karena keduanya
tetapi reaksi bersama sekelompok orang, suku, telah bekerja dan berpendidikan sarjana Strata
atau bangsa. oleh sebab itu, seperti dikemukakan 1 (S-1). Persepsi sikap dan perilaku masyarakat
Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo : 2003 : 96) Batak-Toba ini adalah refleksi dari nilai budaya
“Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh mereka yang membentuk budaya hukumnya dan
nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan dalam dapat berbeda dengan budaya hukum masyarakat
mempraktekkan hukumnya”. adat lain yang membolehkan kawin bagi pasangan

Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ... 141
dengan usia lebih muda dari yang ditentukan oleh terpikirkan oleh seorang anak laki-laki dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. masyarakat Batak-Toba.
Bagaimana pandangan masyarakat Batak-
E. Nilai-nilai Budaya Masyarakat Batak Toba Toba mengenai sifat dan hakikat serta fungsi
lembaga perkawinan? Pada dasarnya, masyarakat
Masyarakat Batak-Toba menganut sistem Batak-Toba memiliki pandangan yang sama
kemasyarakatan patrilineal murni, karena setiap dengan masyarakat yang lain di Indonesia
anak menarik garis keturunan atau “marga” mengenai hal ini. Bagi masyarakat Batak-Toba,
berdasarkan garis keturunan bapak.oleh karena perkawinan bukan hanya urusan pribadi pihak
itu, anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan yang hendak kawin tetapi urusan keluarga dan
ayahnya memiliki kedudukan yang penting. kerabat.Peristiwa perkawinan bukan hanya penting
Namun, hal itu tidak berarti bahwa kedudukan bagi masing-masing individu tetapi juga bagi
anak perempuan menjadi tidak penting.Anggapan seluruh anggota keluarga. Bahkan, perkawinan
demikian tentu saja keliru dan hal itu terjadi karena merupakan peristiwa penting bagi seluruh anggota
salah paham terhadap sistem kemasyarakatan kerabat karena dengan perkawinan akan terbentuk
Batak Toba yang disebut “Dalihan Na Tolu”.Dalihan hubungan kekerabatan antara dua kerabat marga
Na Tolu adalah sistem filsafat masyarakat Batak yang berbeda yaitu kerabat pihak laki-laki dengan
Toba yang memandang hubungan sosial yang kerabat pihak perempuan.
membentuk masyarakat Batak Toba didasarkan
Hubungan antar dua kekerabatan yang
oleh tiga hal yaitu “Hula-hula,Dongan tubu dan
terbentuk itu bukan hubungan hukum tetapi
Boru. “Dalam konteks filsafat inilah, kedudukan
hubungan yang berkaitan dengan atau memiliki
anak perempuan juga memiliki kedudukan penting
makna spiritual yang bersifat religio- magis.oleh
bagi masyarakat Batak Toba.
sebab itulah, perkawinan masyarakat Batak-Toba
Salah satu nilai budaya masyarakat Batak selalu dilakukan dalam upacara ritual tertentu yang
Toba yang berkaitan dengan anak adalah nilai sarat makna religio-magis dan disertai penyerahan
“Hagabeon” (Bungaran A.Simanjuntak: 2003 : benda- benda atau sejumlah tertentu uang
371).Istilah “gabe” dalam bahasa Batak Toba sebagai syarat yang harus diserahkan pihak laki-
mengandung makna mempunyai anak (terutama laki kepada pihak perempuan.Pihak laki-laki harus
anak laki-laki). Seorang suami yang tidak menyerahkan sesuatu benda yang disebut “tuhor
mempunyai keturunan anak laki-laki dianggap atau boli” sebagai pengganti berpindahnya si
bernasib malang karena garis keturunannya wanita ke dalam kelompok marga (clan) suaminya.
akan punah jika yang bersangkutan meninggal Pemberian ini diserahkan dengan pertimbangan
dunia (“punu”). Maka, lembaga perkawinan demi keseimbangan alam kosmis di kelompok
bagi masyarakat Batak-Toba sangat penting marga si wanita” (Nalom Siahaan: 1982 : 58)
sebagai lembaga untuk meneruskan garis
Pada jaman sekarang “tuhor atau boli” tidak
keturunan marga. Hal itu tidak menjadi faktor
lagi berbentuk benda-benda (bride price) tetapi
yang mendorong seorang ayah untuk sesegera
sejumlah uang.Jumlah uang yang wajib diserahkan
mungkin menikahkan anak laki-lakinya. Bahkan,
pihak laki-laki kepada keluarga si wanita sebagai
yang terjadi adalah sebaliknya.
“tuhor atau boli” bergantung dari berbagai faktor.
Masyarakat Batak Toba memiliki motto Faktor yang utama adalah kemampuan keluarga
(semboyan) yang sangat terkenal yang berkenaan laki-laki. Jika keluarga laki-laki kaya, jumlah uang
dengan anak yaitu “Anakhon hi do hamoraon yang diserahkan kepada keluarga wanita akan
di ahu” Motto ini mengandung arti bahwa anak cenderung banyak. Selain itu, faktor keadaan si
(terutama laki-laki) adalah segala-galanya wanita juga mempengaruhi. Jika calon mempelai
bagi seorang ayah. Maka, seorang ayah akan seorang wanita dan berpendidikan tinggi serta
berusaha berbuat yang terbaik bagi anaknya sudah bekerja, pihak wanita akan cenderung
terutama dalam hal pendidikan. Seorang ayah meminta “tuhor atau boli” yang tinggi. Di Jakarta,
akan berusaha sedapat mungkin mendorong dengan kondisi wanita seperti dikemukakan
anaknya (terutama laki-laki) untuk sekolah sampai di atas, “tuhor atau boli” wanita tersebut bisa
jenjang tertinggi. la tidak akan diminta kawin mencapai Rp. 100 juta. Semakin tinggi “tuhor atau
sebelum menyelesaikan pendidikannya. Apabila boli” semakin tinggi harkat dan martabat pihak
sudah menyelesaikan studi dan sudah bekerja keluarga wanita.
barulah yang bersangkutan didorong kawin.Itulah
Dari sudut fungsinya, masyarakat Batak-Toba
gambaran ideal yang diharapkan oleh seorang
seperti halnya sistem kemasyarakatan yang lain
ayah dari anaknya laki-laki. oleh karena itu,
yang terdapat di Indonesia memandang lembaga
kemungkinan untuk kawin pada usia muda tidak
perkawinan sebagai sarana untuk meneruskan

142 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ...
garis keturunan. Akan tetapi, ada perbedaan pria adalah di atas 27 (dua puluh tujuh) tahun
fungsi perkawinan bagi masyarakat Batak-Toba sedangkan usia calon pengantin wanita adalah di
dengan masyarakat lain. Bagi masyarakat atas 23 (dua puluh tiga) tahun. Pada usia tersebut
Batak-Toba, lembaga perkawinan selain memiliki rata-rata kedua calon pengantin (laki-laki dan
fungsi sebagaimana dikemukakan juga berfungsi wanita) telah menyelesaikan jenjang pendidikan
meneruskan silsilah marga atau garis keturunan minimal strata satu (S-1).
dalam suatu kesatuan marga. Dalam masyarakat Batak-Toba tidak ada
Dalam masyarakat Batak-Toba tanggung nilai-nilai sosial-budaya yang menganggap
jawab untuk meneruskan silsilah keluarga dalam bahwa perkawinan pada usia muda sebagai
kesatuan suatu marga terletak di pundak anak laki- suatu hal yang baik. Sebaliknya, masyarakat
laki sesuai dengan sistem kemasyarakatan Batak- Batak-Toba menganggap bahwa perkawinan
Toba yang patrilineal murni. Silsilah satu keluarga pada usia muda adalah sesuatu hal yang tidak
dari silsilah satu marga dengan sendirinya akan baik. Apalagi kalau dilakukan oleh seorang anak
punah jika kepala keluarga (bapak atau ayah) laki- laki.Kedudukan anak laki-laki adalah sangat
meninggal dunia tanpa memiliki anak laki-laki. penting dalam masyarakat Batak-Toba.Sebab,
Wanita tidak memiliki tanggung jawab sosial anak laki-laki adalah penerus garis keturunan
seperti ini karena wanita yang sudah kawin akan orang tuanya dalam silsilah marga sesuai dengan
meneruskan garis keturunan pihak suaminya. sistem kekerabatan patrilineal murni yang dianut
Dalam usia berapa seseorang sebaiknya oleh masyarakat Batak-Toba.
kawin? Tidak ada keseragaman pada seluruh Seorang ayah dalam masyarakat Batak-
sistem kemasyarakatan yang ada di Indonesia Toba akan berusaha dengan segala daya upaya
menge na i ha l in i.Ma si ng - mas ing s ist em mendorong anak laki-lakinya untuk berpikiran
kemasyarakatan memiliki pandangan dan alasan maju dan mencapai prestasi setinggi mungkin.
tersendiri. Sebab, seorang ayah akan sangat bangga apabila
B ag i m a s ya r ak a t B at ak - Tob a k apa n anaknya yang laki-laki telah mencapai kedudukan
seseorang sebaiknya kawin atau berkeluarga yang terhormat dalam masyarakat atau memiliki
tidak semata-mata ditentukan oleh usia. Usia status sosial yang terpandang dan baru kemudian
hanya salah satu faktor pertimbangan tetapi membentuk suatu keluarga. Apalagi jika anak
bukan faktor yang menentukan pertimbangan. tersebut juga berhasil mencapai pendidikan yang
Faktor utama untuk menentukan kapan seseorang tinggi.Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial-
kawin dalam masyarakat Batak-Toba adalah budaya masyarakat Batak-Toba mengenai suatu
faktor kemampuan untuk bertanggung jawab. perkawinan yang ideal.
Kemampuan bertanggung jawab tentu saja
tidak dapat diukur dari segi usia melainkan
F. Budaya Hukum Masyarakat Batak-Toba
gabungan dari berbagai faktor yaitu usia, mental,
tentang Batas Usia Kaw in Menurut
kemampuan ekonomis dan lain sebagainya. oleh
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974
karena itu, faktor pertimbangan yang menentukan
keputusan kapan seorang anak sebaiknya kawin B ag i m a s ya r ak a t B at ak - To ba , s u at u
atau berumah tangga tidak pernah menjadi perkawinan adalah ideal jika seorang laki-
sesuatu hal yang sederhana bagi masyarakat laki sudah mampu mandiri untuk membentuk
Batak-Toba. Berbagai faktor yang menjadi bahan rumah tangga dari sudut ekonomi, sosial dan
pertimbangan itu memiliki implikasi langsung budaya,yaitu seorang anak laki- laki idealnya
terhadap rata-rata usia calon pengantin dalam harus sudah bekerja dan mempunyai penghasilan
masyarakat Batak Toba. Hal itu tercermin dari sendiri barulah pantas untuk membentuk rumah
rata-rata usia kawin calon pengantin masyarakat tangga.
Batak Toba yang berada di atas batas usia kawin Pandangan perkawinan ideal sebagaimana
minimal yang ditentukan oleh undang-undang. dikemukakan di atas bukan hanya menjadi
Data mengenai hat itu dapat dilihat di Kantor idaman pihak keluarga laki-laki saja.Akan tetapi,
catatan Sipil DKI Jakarta atau dari hasil observasi juga menjadi idaman pihak keluarga wanita
dalam pesta-pesta perkawinan adat masyarakat calon istrinya. Keluarga pihak perempuan akan
Batak-Toba di Jakarta sebagai kota besar. Dari merasa bangga jika calon suami anaknya sudah
hasil observasi pada pesta perkawinan adat bekerja dan apalagi kalau memiliki pendidikan
masyarakat Batak Toba dapat diketahui bahwa yang tinggi. Sebaliknya, pihak keluarga wanita
rata-rata usia pasangan calon pengantin adalah akan merasa enggan untuk mengijinkan anaknya
di atas ketentuan usia yang ditetapkan dalam untuk menikah dengan seorang laki-laki yang
undang-undang. Usia rata-rata calon pengantin belum memiliki penghasilan sendiri. Bahkan, pihak

Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ... 143
keluarga wanita akan merasa terhina dan akan G. Budaya Hukum Masyarakat Batak Toba
mendapat cemoohan dari kerabat-kerabatnya dikaitkan dengan Nikah dini dan Angka
jika mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang Kematian Ibu karena Melahirkan.
belum bekerja. Dengan perkataan lain, “gengsi”
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
keluarga pihak perempuan memiliki peranan Universitas Indonesia (LDFEUI) menengarai
penting dan menjadi salah satu pertimbangan jika penyebab utama peningkatan angka rata-rata
hendak menikahkan putrinya. kematian ibu (AKI) akibat melahirkan ialah
Bungar a n S imanjun t ak ( Bungar a n A. pernikahan usia dini yang gagal dikendalikan
Simanjuntak: 2003 : 371) mengemukakan bahwa pemerintah.
masyarakat Batak Toba memiliki nilai budaya yang Kepala LDFEUI, Sonny Harry B Harmadi,
tersimpul dalam suatu motto yaitu “hamoraoan mengatakan bahwa saat ini di Indonesia ada
(kekayaan), hagabeon (memiliki keturunan atau sekitar 45% pernikahan perempuan dilakukan
anak) dan hasangapon (kekuasaan).” Ketiganya pada usia sangat dini atau di bawah 18 tahun.
satu sama lain berkaitan erat.Ketiga prinsip ini Padahal melahirkan di usia belum sampai 20 tahun
selalu mewarnai pandangan masyarakat Batak- berisiko kematian lima kali lipat jika dibandingkan
Toba dalam menanggapi setiap fenomena.Di dengan kehamilan saat usia mencapai 20 tahun
antara ketiga prinsip tersebut, prinsip “hagabeon” ke atas, sehingga upaya Indonesia mencapai
atau memperoleh anak terutama anak laki-laki” target penurunan AKI berdasarkan Millennium
merupakan prinsip yang sangat penting.Hal itu Development Goals (MDGs), yakni 102 per 100
berkaitan dengan sistem kemasyarakatan Batak- ribu pada 2015, semakin mustahil.Sony juga
Toba yang menganut sistem patrilineal murni. mengatakan bahwa rata-rata AKI saat ini di
Indonesia bukanlah 349 per 100 ribu kelahiran
Dalam sistem kekerabatan seperti ini anak laki-
hidup, melainkan telah mencapai 359 per 100 ribu
laki memegang peranan dan memiliki kedudukan
kelahiran hidup. oleh karena itu, menurut Sonny,
yang penting karena merupakan penerus garis
guna menekan pertambahan AKI yang diduga
keturunan ayahnya atau marganya.Dalam rangka akibat melonjaknya pernikahan dini, pemerintah
menjunjung tinggi prinsip “hagabeon” inilah seyogianya segera merevisi UU No 1/1974 tentang
prinsip kedua yaitu “hamoraoan” atau kekayaan Perkawinan, karena menurutnya batasan minimal
berfungsi. Dalam arti bahwa seorang bapak yang perempuan bisa menikah pada usia 16 tahun
memiliki harta kekayaan akan mempergunakan sudah tidak lagi relevan pada saat ini (Media
seluruh hartanya demi kepentingan dan kemajuan Indonesia : 2013 : 14).
anak-anaknya terutama anak laki-laki. Karenanya Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan
bagi seorang ayah yang memiliki harta kekayaan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
akan menjadi celaan kerabat dan masyarakat jika Fasli Jalal mengatakan Survei Demografi dan
anak- anaknya terutama anak laki-laki gagal dalam Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mencatat rata-
pendidikan atau dalam suatu bidang tertentu. rata AKI pada 2012 mencapai 349 per 100 ribu
Harta kekayaan seorang bapak atau ayah harus kelahiran hidup atau meningkat tajam ketimbang
dipergunakan untuk mendukung anaknya supaya hasil survei SDKI pada 2007 yang mencapai 228
mencapai prestasi, pendidikan atau kedudukan per 100 ribu.
yang setinggi-tingginya. Dengan jalan demikian, Sela nj utn ya, Deputi Bi dang Kel uarga
anak yang bersangkutan diharapkan menjadi Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN
orang yang memiliki kedudukan atau kekuasaan Sudibyo Alimoeso memaparkan fenomena
(Bungaran A. Simanjuntak: 2003 : 371). melahirkan di usia remaja 15-19 tahun pada 2012
Penggunaan harta kekayaan (hamoraoan) melonjak dari 48 per 1.000 perempuan dari tahun
seorang ayah untuk kepentingan anak-anaknya sebelumnya 35 per 1.000(Media Indonesia : 2013
berkaitan dengan prinsip ketiga masyarakat : 14).
Batak-Toba yaitu “hasangapon” atau kekuasaan. M e n u r u t K e t u a Ya ya s a n K e s e h a t a n
Mas yar ak a t Batak - Toba dapat dik atak a n Perempuan (YKP) Sumrotin K. Susido, Indonesia
sebagai masyarakat yang sangat mendambakan termasuk negara dengan jumlah pernikahan usia
kekuasaan.Kekuasaan sangat penting dan selalu muda tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
menjadi idaman masyarakat Batak-Toba karena Ada 22.000 (0,2%) perempuan Indonesia sudah
kekuasaan dapat meningkatkan harkat dan menikah di usia 10-14 tahun, dan yang menikah
martabat atau “gengsi” keluarga.oleh karena itu, pada usia 15-19 tahun ada 11,7% (Media
untuk mencapai kekuasaan, harta kekayaan kalau Indonesia : 06 Maret 2014). Menurut Muhammad
perlu harus dipertaruhkan. Kartono, Mantan Ketua IDI, dipandang dari sudut

144 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ...
kesehatan, di usia 18 tahun, fungsi reproduksi baru 2. Masyarakat Batak Toba memiliki nilai-
dimulai. Pada perempuan, rahimnya sudah mulai nilai budaya yang menganggap bahwa
siap tapi belum sempurna.Karenanya, jika remaja perkawinan adalah suatu peristiwa penting
hamil ada “persaingan” antara ibu dan anak. dala m k ehidupa n m an usi a s ehi ngg a
Kalau janinnya menang, ibunya akan kekurangan seseorang tidak baik jika dalam usia muda
gizi, kekurangan darah, dan anemia. Jika ibunya sudah melangsungkan perkawinan, karena
menang, bayi biasanya akan terlahir dengan dianggap belum siap secara ekonomi,
kondisi berat badan kurang(Media Indonesia : 06 mental dan sosial. Mereka tidak menyukai
Maret 2014). perk awinan pada usia muda, k arena
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat potensial mendatangkan masalah bagi
dipahami betapa besarnya pengaruh nilai – nilai yang bersangkutan, keluarga kedua belah
budaya sehingga ketentuan pembatasan usia pihak dan kaum kerabat keduanya. Khusus
kawin minimal dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 bagi wanita, pernikahan dini dapat berisiko
dapat berlaku efektif dalam masyarakat Batak- meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI)
Toba. Pembatasan usia kawin dalam UU Nomor akibat melahirkan.
1 Tahun 1974 dianggap sesuai dengan nilai-nilai 3. Nilai-nilai budaya (hamoraoan, hagabeon dan
budaya yang dianut oleh masyarakat Batak-Toba. hasangapon) sangat berpengaruh terhadap
Bahkan, dapat dikemukakan bahwa efektivitas perilkau masyarakat Batak Toba terkait
pembatasan usia kawin minimal dalam UU dengan aturan pembatasan usia kawin dalam
Nomor 1 Tahun 1974 didukung oleh masyarakat Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974,yang
Batak-Toba bukan karena faktor substansi cenderung menunjukkan budaya hukum yang
hukum itu ditetapkan oleh negara tetapi karena mematuhi aturan pembatasan usia kawin
sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka.Bahkan, minimal tersebut, karena rata-rata usia calon
dapat dikemukakan bahwa budaya hukum pengantin dalam masyarakat Batak Toba
masyarakat Batak-Toba akan tetap menunjukkan adalah di atas 20 tahun untuk wanita dan 25
kecenderungan tidak menyukai perkawinan pada tahun untuk laki-laki.
usia muda terlepas dari ada tidaknya ketentuan
pembatasan usia kawin seperti yang diatur dalam I. Saran
Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974.
1. U n t uk m er ubah buda ya huk um y ang
Ur aia n yang dik emuk ak an di at as
melanggar aturan batas minimal usia
menunjukkan bahwa masyarakat Batak-Toba
memiliki kecenderungan sikap dan perilaku kawin menurut Undang – undang Nomor 1
(budaya hukum) untuk mematuhi ketentuan Tahun 14974 menjadi budaya hukum yang
pembatasan usia kawin minimal seperti diatur mendukung, perlu dilakukan penyuluhan
dalam undang-undang. Mengapa?Menurut hukum tentang kesehatan perkawinan
penulis, faktor penyebabnya bukan karena mereka khususnya dikalangan generasi muda.
memiliki kesadaran hukum yang sudah tinggi 2. Generasi muda masyarakat Batak-Toba
melainkan karena pengaruh faktor nilai- nilai yang lahir dan besar di perantauan perlu
budayanya. tetap mempertahankan nila-nilai budayanya
agar dapat menghindari perkawinan diusia
dini karena dapat mempengaruhi kualitas
H. Simpulan perkawinan itu.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan 3. Perlunya Pemerintah merevisi UU Nomor 1
di atas dapat ditarik kesimpulan- kesimpulan Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya
sebagai berikut: pasal yang mengatur tentang batas usia
1. A nt hr opolog i huk um s ebagai cabang kawin bagi wanita dari 16 tahun menjadi
anthropologi budaya melihat hukum sebagai 18 tahun agar memperkecil risiko kematian
gejala budaya sehingga respon kolektif suatu bagi Ibu yang melahirkan dan juga agar tidak
masyarakat terhadap hukum dalam bentuk bertentangandengan batas usia dewasa
budaya (mematuhi atau melanggar hukum) menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun
sangat dipengaruhi oleh nilai – nilai budaya 2006 tentang Kewarganegaraan jo Undang-
dari masyarakat itu sendiri. Hukum akan undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
dipatuhi bila tidak bertentangan dengan nilai – Perlindungan anak.
nilai budaya masyarakat tersebut dan hukum
akan dilanggar bila bertentangan dengan nilai
– nilai budaya dari masyarakat tersebut.

Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ... 145
daftar Pustaka

Bungaran A. Simanjuntak. ‘Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba’ dalam E. K. M. Masinambouw
(editor), Hukum dan Kemajemukan Budaya. Jakarta : Yayasan obor Indonesia.
Friedman, Lawrence M. 1984. American Law, WW Norton company. London : The New York.
Hilman Hadikusuma. 1986. Anthropologi Hukum Indonesia. Bandung : Alumni.
—————————————. 2004. Pengantar Antropologi Hukum, Bandung : citra Aditya Bakti.
J.B. Daliyo cs. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta : Gramedia.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Anthropologi, Edisi baru. Jakarta : Rineka cipta.
Media Indonesia. 2013. Nikah Dini Tingkatkan Kematian Ibu. 22 Agustus 2013.
——————————-. 2014. Kehamilan Dini Sulit Dicegah. Selasa, 25 Maret 2014
——————————-. 2014. Batas Usia Menikah Diusulkan Minimal 18 Tahun. Kamis, 06 Maret 2014
M. Sastraprateja. 1993. Pendidikan Nilai, dalam K. Kaswardi (penyunting), Pendidikan Nilai Memasuki
Tahun 2000. Jakarta : Grasindo.
Nalom Siahaan. 1982. Adat Dalihan Natolu, Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta : Grafika.
Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Stajipto Rahardjo. 2003. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Editor: Karolus Kopong Medan dan
Frans J. Rengke). Jakarta : Kompas.
Sunarjati Hartono. 1991. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung : citra Aditya Bhakti.

146 Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 Analisis Antropologi Hukum tentang ...

Anda mungkin juga menyukai