Anda di halaman 1dari 3

Berdasarkan proses pembentukannya gua dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Gua alami, merupakan suatu bentukan alam yang umumnya terjadi akibat
adanya suatu proses alam yang melubangi batuan. Bisa berbentuk suatu lorong
yang panjang, gelap dan berkelok-kelok, tetapi dapat pula sebagai suatu ceruk
dalam.
2. Gua buatan, merupakan suatu bentukan lubang yang terdapat di tanah, batuan
atau gunung yang dibuat olehmanusia. Pada dasarnya bentukan tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai gua, akan tetapi lebih tepatnya sebagai terowongan.

Teori Perkembangan Gua

1. Teori Vadose-Dwerry house (1907), Greene (1908), Matson (1909), dan Malott
(1937) mempertahankan bahwa sebagian besar perkembangan gua berada di atas
water tabel dimana aliran air tanah paling besar. Jadi, aliran air tanah yang
mengalir dengan cepat, yang mana gabungan korosi secara mekanis dengan
pelarutan karbonat, yang bertanggung jawab terhadap perkembangan gua. Martel
(1921) percaya bahwa begitu pentingnya aliran dalam gua dan saluran (conduit)
begitu besar sehingga tidak berhubungan terhadap hal terbentuknya gua batu
gamping sehingga tidak relevan menghubungkan batugamping yang ber-gua
dengan dengan adanya water table, dengan pengertian bahwa permukaan tunggal
dibawah keseluruhan batuannya telah jenuh air.

2. Teori Deep Phreatic-Cjivic (1893), Grund (1903), Davis (1930) dan Bretz
(1942) memperlihatkan bahwa permulaan gua dan kebanyakan pembesaran
perguaan terjadi di kedalaman yang acak berada di bawah water table, sering kali
pada zona phreatic yang dalam. Gua-gua diperlebar sebagai akibat dari korosi oleh
air phreatic yang mengalir pelan. Perkembangan perguaan giliran kedua dapat
terjadi jika water table diperrendah oleh denudasi (penggundulan) permukaan,
sehingga pengeringan gua dari air tanah dan membuatnya menjadi vadose dan
udara masuk kedalam gua. Selama proses kedua ini aliran permukaan dapat masuk
ke sistem perguaan dan sedikit merubah lorong gua oleh korosi.

3. Phreatic Dangkal atau Teori Water Table-Swinnerton (1932), R Rhoades dan


Sinacori (1941), dan Davies (1960) mendukung gagasan bahwa air yang mengalir
deras pada water tabel adalah yang bertanggungjawab terhadap pelarutan di banyak
gua. Elevasi dari water table berfluktuasi dengan variasi volume aliran air tanah,
dan dapat menjadi perkembangan gua yang kuat didalam sebuah zone yang rapat
diatas dan dibawah posisi rata-rata. Betapapun, posisi rata-rata water table harus
relatif tetap konstan untuk periode yang lama. Untuk menjelaskan sistem gua yang
multi tingkat, sebuah water table yang seimbang sering dihubungkan dengan
periode base levelling dari landscapediikuti dengan periode peremajaan dengan
kecepatan down-cutting ke base level berikutnya.

GUA PADA BATU GAMPING, KAWASAN KARST


Dari seluruh proses kejadian terbentuknya gua, yang paling luas dan intensif
adalah gua-gua yang terbentuk pada formasi batu gamping yang umumnya
kemudian berkembang menjadi suatu bentang alam khas yang dikenal sebagai
bentang alam karst (karst, istilah internasional, berasal dari bahasa Jerman yang
diperkenalkan oleh Cvijic pada sekitar tahun 1850 dari istilah asli bahasa Slavia
krs atau kras setelah ia meneliti suatu daerah gersang di Slovenia/dulu Yugoslavia,
timur laut Trieste). Hampir semua gua yang ada dibentuk dari karst (dari bahasa
Slavia Krs/Kras yang berarti batu-batuan). Istilah karst dipakai untuk suatu
kawasan batu gamping (limestone) yang telah mengalami pelarutan sehingga
menimbulkan relief dan pola pengaliran yang khas. Hal ini dicirikan dengan
adanya proses geokimia dan kehadiran atmosfer, biosfer, dan hidrosfer sekaligus.

Sejarah geologi karst dimulai pada zaman karbon (sebutan untuk sebuah masa di
354-290 juta tahun lalu) akhir, hingga Perm (290-248 juta tahun lalu) awal yang
menimbulkan batuan tertua. Umumnya pada akhir masa Perm awal, terjadi
aktivitas tektonik berupa pengangkatan dan pelipatan satuan sabak serta timbulnya
sesar mendatar. Pada zaman Trias (248-206 juta tahun lalu) awal, terjadi proses
susut laut yang membentuk morfologi batu gamping. Ini akan diikuti dengan
intrusi ke permukaan yang menerobos batu gamping, hingga mengakibatkan batu
gamping menjadi marmer.

Akibat proses gaya-gaya geologi yang berpengaruh, akan terbentuk struktur


rekahan yang disebut diaklas, yakni jalur resapan air permukaan dan membentuk
morfologi karst. Hal ini akan terus terjadi, entah sampai kapan berakhirnya.
Mengapa pembentukan gua sangat intensif di kawasan karst yang batuannya
didominasi batu gamping / batu kapur / limestone? Hal ini sangat terkait dengan
sifat batu gamping yang unsur utamanya adalah karbonat CaCO3 yang sangat
reaktif terhadap larutan asam, khususnya larutan senyawa asam yang mengandung
CO2. Walaupun secara kimiawi prosesnya sangat rumit dan kompleks, tetapi
proses pelarutan batu gamping secara sederhana mengikuti persamaan reaksi
berikut:

CaCO3 + H2O <======> CaO + H2CO3

Proses dengan panah bolak-balik tersebut menunjukan bahwa air yang


mengandung senyawa asam CO2 akan melarutkan karbonat menjadi kalsium dan
bikarbonat. Reaksi balik dari kanan ke kiri akan kembali menghasilkan karbonat.
Maka selain adanya proses pelarutan yang membawa partikel karbonat sehingga
terjadi pelubangan dan pengguaan pada batu gamping, di tempat lain terjadi proses
pengendapan karbonat berikutnya. Ini menerangkan proses selain terbentuknya gua
itu sendiri, juga terbentuknya hiasan-hiasan gua (stalagtite, stalagmite, flowstone,
guardam, dll) yang merupakan hasil endapan karbonat dari pelarutan karbonat di
tempat lain.

Namun demikian tidak sembarang batu gamping dan tidak sembarang tempat bisa
membentuk gua. Gua batu gamping (yang berlorong panjang dan berliku-liku)
umumnya berkembang akibat adanya proses pelarutan dan diperbesar oleh proses
erosi / abrasi yang mengikuti suatu jaringan retakan pada batu gamping.
Sebelumnya, faktor iklim, tanah penutup dan keberadaan air tanah menjadi kontrol
utama proses pengguaan ini. Selain itu batu gampingnya sendiri umumnya harus
padat, murni karbonat dengan sedikit campuran partikel lain, berlapis baik dan
dalam kedudukan mendatar / tidak miring terjal.

Kondisi ideal di atas merupakan kondisi ideal bagi berkembangnya perguaan dan
biasanya berkembang menjadi kawasan karst yang luas. Contoh daerah yang
mempunyai kondisi ideal tersebut antara lain di Pangandaran, Jawa Barat;
Karangbolong, Gombong Selatan (Kebumen) di Jawa Tengah; Gunung Sewu yang
sangat luas mulai dari Yogyakarta, selatan Wonogiri Jawa Tengah hingga Pacitan
di Jawa Timur, yang kemudian bahkan menerus ke Tulungagung dan Blitar. Di
Sumatra kawasan karst cukup luas berada di Payakumbuh hingga Sawahlunto, di
Kalimantan terdapat di Sangkurilang, Kalimantan Timur bagian utara, Sulawesi
Selatan di Maros dan Toraja, serta di berbagai tempat di Papua.

Anda mungkin juga menyukai